07. Gara-Gara Icha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pinky memarkir mobilnya di halaman dengan buru-buru lalu bergegas memasuki rumah, meneriakkan nama Maminya ke penjuru ruangan.
Pagi itu, dalam perjalanan ke Rumah Sakit, ia memang sengaja mampir ke rumah maminya terlebih dahulu.

"Mih! Mamih!" teriaknya.
Tak menemukan maminya di dapur, akhirnya ia menemukan perempuan itu duduk santai di teras belakang, bersama papinya.

"Eh, Pinky. Tumben mampir pagi-pagi begini?" Maminya menyapa.
Bibir Pinky merengut.

"Mih, normal nggak sih kalo lelaki nonton Uttaran? Aku tahu kalo mamih juga suka nonton film india, tapi kalo ada pria yang juga suka, rasanya kok gimana gitu." Pinky langsung nyerocos.

Maminya menyeruput teh di cangkir sebelum akhirnya menjawab, "Wajar kok. Nggak ada yang salah. Emang kenapa? Aming kan juga suka."

Pinky ternganga.
"Kok Mamih tahu?"
"Ya iyalah tau. Lawong kadang kita nonton bareng. Aku, Papimu, sama Aming."

"Lah?"

Pinky mengerjap. Membayangkan Papi, Mami dan juga suaminya nobar Uttaran, membayangkan mereka bertiga sesenggukan nangisin Icha, lalu berbagi tisu, Pinky menjerit dramatis.

"Nehiiiiiiiiiii.....!!!"

Lah, kok pake bahasa India?
Maksudnya, "Tidaaaakkk...!!!"

°°°

"Nggak apa-apa kok. Bukan hal yang aneh kalo lelaki suka nonton film India. Tuh, Papimu aja sampai punya poster-posternya Shahrukh Khan sama Rani Mukerji." Mami menyodorkan secangkir teh hangat ke depan Pinky.

Pinky terlihat syok lagi. Ia tahu Papinya suka nonton film, tapi ia nggak nyangka kalo beliau sampai punya poster bintang India.

"Hiburan, Ping. Semua itu cuma buat hiburan." Maminya buru-buru berujar lagi.

"Oh iya, ntar kalo pulang dari kerja, mampir ke rumah Mami mertuamu dulu ya. Mami udah beliin oleh-oleh dari luar kota untuknya."

Pinky menyeruput teh hangat di hadapannya lalu mengangguk.

°°°

Sesuai perintah Maminya, Pinky mampir ke rumah mertuanya demi untuk memberikan oleh-oleh yang telah dibungkus rapi. Biasanya sih kue karena Maminya sudah sering ngasih tugas kayak gini.

Setelah bercipika-cipiki, Mama Aming mengajak Pinky mengobrol terlebih dahulu. Mereka bercengkarama di ruang tengah sambil menikmati kudapan dan teh hangat.

Papa Aming yang baru pulang dari kantor juga segera bergabung dengan mereka. Begitupula dengan Sofia, adik Aming satu-satunya yang baru selesai ngampus.

Banyak hal yang mereka obrolkan, hingga akhirnya Pinky memberanikan diri untuk menanyakan soal Aming.

"Eh, Ma. Sejak kapan sih Aming suka nonton Uttaran? Sampe nangis-nangis gitu?" Dan tetep saja temanya itu saking nggak terimanya Pinky bahwa suaminya kecantol drama India.

"Sejak Kak Aming putus sama Kak Icha kayaknya." Sofia nyeletuk.

Hening sejenak.

Papa dan Mamanya Aming cuma berpandangan was-was, sementara Sofia buru-buru menutup mulutnya sendiri, merasa keceplosan.

"Mantan pacar?" Pinky mengulang.
"Errr, anu, maksudnya...." Sofia gelagapan. "Aku ke kamar dulu ya, Kak? Mau ganti baju, hehehe." Cewek itu buru-buru bangkit meninggalkan ruang tengah.

Pinky menatap Papa dan Mama mertuanya bergantian. Ada ekspresi kaku pada wajah mereka hingga Pinky berinisiatif untuk bangkit.

"Ma, kayaknya aku harus bicara sama Sofia deh," ucapnya.
"Tapi, Ping..." Mama mertuanya tergagap namun urung berkata-kata lagi karena Pinky sudah melesat, mengikuti Sofia ke kamarnya.

°°°

"Ayo ceritain soal Icha," titah Pinky setelah ia memasuki kamar Sofia.
Hubungan mereka sudah lumayan dekat sebagai saudara ipar, jadi Pinky merasa biasa-biasa aja ketika ia menyeruak masuk ke kamar Sofia.

Sofia hanya meringis sambil garuk-garuk kepala.
"Anu, Kak, aku tadi keceplosan. Icha itu..."
"Udah, ceritain aja soal dia. Kenapa mereka putus? Sempat pacaran berapa lama? Sekarang Icha kemana? Apa kakakmu masih sering kontak dengannya? Apakah...?"

"Duh, Kak. Bisa nggak sih nanya satu-satu?"
"Nggak bisa!" Pinky menjerit frustasi.
Sofia garuk-garuk kepala lagi.

"Anu, mereka udah pacaran lumayan lama kok. Kak Icha dulu juga sering kemari, dia udah akrab banget sama Papa dan Mama."
"Kenapa mereka putus?"
"Kalo itu sih aku nggak tau, Kak."

Pinky bersedekap.
"Apa dia cantik? Seksi? Pintar?"
"Yaa... gitu deh."
"Punya fotonya?"
"Ya enggak-lah," jawab Sofia cepat.

"Ada akun sosmed? Fesbuk? Twitter? Instagram? Line? Ato apa kek?"

Sofia tak segera menjawab lagi. Cewek itu meringis takut-takut.
"Sofia?!" Pinky menjerit.

"Aku cuma tahu akun fesbuknya." Dan akhirnya Sofia menjawab.

Pinky menatap sekeliling. Begitu menemukan PC di pojok ruangan, ia beranjak ke sana dan menyalakannya.

"Apa nama akunnya?" tanya Pinky tanpa melihat ke arah adik iparnya.
Sofia mendesis lirih, tapi toh akhirnya Ia mengucapkan sederet nama.

Pinky mengetikkan nama itu di mesin pencarian, dan akhirnya ia menemukan apa yang dicari.

Cantik, putih, bodinya bagus, senyumnya menawan. Dan yang paling membuat Pinky 'tertusuk', ia masih menemukan foto-foto Aming di kronologi akunnya. Ia bahkan menemukan foto mereka berdua, Aming dan Icha, duduk berdampingan dan terlihat mesra.

Pinky mengeram.
Syiet!

°°°

Aming pura-pura tak tahu ketika Pinky mondar mandir di depan ruang kerjanya.
Sebenarnya ruang kerja Aming dilengkapi pintu geser, tapi seperti biasa, pintu itu tidak ia fungsikan. Entah kenapa ia memang lebih suka bekerja dengan kondisi pintu terbuka. Lebih fresh dan lega saja menurutnya.

Itulah kenapa Ia leluasa tahu bahwa sejak lima belas menit yang lalu, Pinky tengah sibuk jalan ke sana kemari seperti setrikaan.

Terkadang kepalanya menyembul dari balik pintu, mengintip secara sembunyi-sembunyi ke arah Aming, lalu kembali mondar mandir lagi.
Dan sekian menit kemudian, perempuan itu akan kembali mengintip dari balik pintu.

Dan dari samping layar komputer, Aming hanya terkikik lirih menyaksikan ulah istrinya.
Perempuan itu pasti tengah gusar. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Namun ia terlalu gengsi untuk mulai bercerita pada Aming.

"Aku nggak sibuk kok. Masuk aja kalo mau masuk. Sini." Aming berteriak.

Segera terdengar lengkingan dari luar sana, "SIAPA JUGA YANG MAU MASUK KE SITU!?"

Aming tersenyum mendengar teriakan istrinya.
"Ya udah, pintu mau ku tutup lho ya," ucapnya.
Terdengar derap kaki dan sekian detik kemudian, Pinky muncul dari luar sana.

Seperti biasa, mengenakan kaos tipis tanpa daleman, sementara rambut panjangnya ia kuncir asal dengan jepit, menyisakan untaian rambut di seputar wajah hingga tengkuk.

Acak-acakan, tapi cantik. Dan seksi.

"Kok belum tidur?" Aming basa basi tanpa beranjak dari kursinya.
Pinky bersedekap lalu menatap Aming dengan apa.
"Sedang apa?" Ia bertanya ketus.

Bukannya marah atau sakit hati dengan sikap perempuan tersebut, Aming malah nyaris tergelak. Beneran deh, Pinky kalo lagi badmood kelihatan lucu dan ngegemesin. Bikin Aming betah godain dia.

"Lagi kerja." Akhirnya Aming menjawab.
Bibir Pinky mencebik.
"Kerja apa kerjaaa??" sindirnya.

Aming mengulum senyum.
"Mau tau banget apa mau tau ajaaa??" balasnya.
Bibir Pinky mengerut sebal.
"Pasti lagi nonton Icha? Ya, kan?" todongnya.

Aming menyipitkan matanya sejenak.
"Icha? Uttaran maksudnya? Maunya sih iya. Tapi episode terbaru belum ada," jawabnya santai.

"Icha cantik ya?"
"Ya cantiklah, namanya juga bintang film."
"Kalo Icha yang satunya?"

Aming menyipitkan matanya.
"Icha yang satunya?" tanya pria itu.
Pinky buru-buru mengangguk.
"Iya, Icha yang satunya. Yang itu tuh, yang cantik, yang tinggi, yang body-nya bohai, yang masih nyimpen foto mesra mantannya di fesbuk."

Aming melongo sejenak.
"Icha yang mana sih?" Ia bertanya gemas.

"Icha mantan pacarmu!" Pinky menjerit.

Aming buru-buru bangkit.
"Ping, aku nggak ngerti yang kamu omongin. Beneran deh."
"Udah, nggak usah banyak alasan. Aku udah tahu kok mantan pacarmu. Aku bahkan udah stalking ke akun fesbuknya dan dia masih nyimpen fotomu di sana!"

"Kami udah putus." Aming menjawab kalem.

"Terus kenapa fotomu masih ada di sana?"

"Ya mana kutahu. Sejak kami putus, aku udah nggak punya akun fesbuk lagi."

Bibir Pinky berdecih. "Cih. Itu, fotomu waktu megangin tangannya, meluk dia dengan mesra, bikin ill-feel tauk!"

Perempuan itu berbalik lalu beranjak meninggalkan ruang kerja Aming.

"Ping!" Aming mengikuti langkahnya buru-buru.

"Please, ini ada apa sih? Jangan uring-uringan nggak jelas gini dong?"

"Bodo ah."

"Ping..."

Pinky membuka pintu kamarnya. Dan sebelum Aming berhasil menjangkau dirinya, perempuan itu berdiri di ambang pintu sejenak lalu berbalik menatap suaminya.
"Malam ini kamu tidur di luar."

Dan... blam!
Pintu ditutup kasar dari dalam.
Lengang. Aming mengangkat tangan bingung dan frustrasi.

Buru-buru lelaki itu bergerak menuju meja telepon dan sekian detik kemudian ia sudah melakukan panggilan pada Mamanya.

"Ma, tadi Pinky main ke situ ya?" Ia bertanya langsung.

"Iya. Tadi ia ke sini, bawain kue dari maminya. Ada apa?"

"Ngomongin apa aja sih kok sekarang Pinky jadi uring-uringan gini?"

Jeda sejenak, lalu terdengar Mamanya ngedumel, "Duh, gawat ini. Sofia! Sini kamu!"

Teriakan Maminya melengking hingga membuat Aming menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Nih biang keroknya. Ngomong langsung aja ke dia." Terdengar bunyi berisik, dan suara Mama Aming kini berganti suara Sofia yang cempreng.

"Duh, maafin aku, Kak. Tadi aku keceplosan," jawabnya.
"Keceplosan gimana?"
"Itu, anu... secara nggak sengaja aku ngomongin soal Kak Icha, mantan kak Aming. Terus gitu deh, kak Pinky jadi kepo, nanya-nanya terus soal dia. Dan aku nggak berdaya, Kak, untuk nggak menjawab. Kak Pinky bahkan stalking akun fesbuk-nya kak Icha, dan... gitu deh."

Aming memejamkan matanya sejenak lalu menarik napas.

"Huaaaa, maafkan aku Kak Aming. Aku bener-bener nggak sengaja. Aku nggak bermaksud bikin masalah di antara kalian. Apa kak Pinky masih marah? Apa kalian berantem?"

Aming tak segera menjawab. Alih-alih melabrak adiknya, pria itu justru berucap, "Sof, makasih banyak ya?"

"Duh, Kak Aming bener-bener marah ya? Ini satir kan? Kakak nggak bakal menarik kembali mobilku, kan?"
Ada nada was-was pada ucapan Sofia. Cewek itu terlihat takut-takut kalau Aming akan menarik kembali mobil mewah yang sudah ia berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun.

"Enggak. Beneran kok, makasih banget ya," jawab Aming.
"Kakak nggak apa-apa, kan?"
"Enggak apa-apa kok. Udah ya, udah malam nih. Sampaikan salamku pada Mama. Good night." Dan ia memutuskan pembicaraan.

Pria itu berjalan kembali ke arah ruang kerjanya dengan langkah ringan. Sesaat sebelum ia menjatuhkan pantatnya ke kursi, senyum geli terpatri di bibirnya yang tipis.

Beneran deh. Ia bersyukur karena Sofia telah lancang membahas soal Icha pada Pinky. Karena jika adik tengilnya itu tidak membahas tentang Icha, Aming takkan melihat Pinky yang uring-uringan seperti tadi.

Jika perempuan itu uring-uringan, maka firasatnya benar.

Mulai ada cinta di antara mereka.

Lagi-lagi, Aming tersenyum geli.

Ah, Pinky yang lucu, desisnya sambil kembali tertawa.

°°°

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro