06. Sedikit Lebih Dekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Joshua memasuki ruang kerja Pinky dengan tergopoh-gopoh.
"Aku udah tahu gimana wajah suamimu," ucapnya.

Pinky meletakkan pulpen ke atas kertas lalu mendongak ke arah sahabatnya itu.
"Kamu bertemu dengannya? Kapan?"

Joshua menggeleng, "Dokter Giska yang nunjukkin fotonya ke aku."

Pinky melotot. Ia bangkit seketika.
"Dokter Giska masih nyimpan fotonya Aming?"
"Masih, di ponselnya."
"Tapi kan dia bilang ponselnya masih rusak setelah terlempar dari luar jendela? Dan dia bilang semua datanya hilang, termasuk foto suamiku?"

Joshua mengangkat bahu.
"Buktinya dia masih punya," jawabnya cuek.
Pinky menggebrak meja lalu bangkit.
"Berani-beraninya dia nyimpen foto laki orang di ponselnya," gerutunya. Perempuan itu meniup poni lalu beranjak.

"Jelek gitu."
Ucapan Joshua membuat langkah Pinky urung. "Apanya?"
"Suamimu." Josh menjawab.
"Setelah kulihat foto di ponselnya dokter Giska, ternyata dia nggak cakep-cakep amat. Dewa Yunani apaan? Dekil gitu."

Pinky berkacak pinggang dan menatap Joshua dengan kesal. Rasa lelah karena seharian ini ia harus menangani banyak pasien, belum lagi bolak-balik ke kampus karena janjian dengan dosen, membuat ubun-ubunnya panas.
"Kamu sensi amat sih? Masih sakit hati karena cintamu ku tolak?"

Uhukkk, Joshua meradang.
"Pinky, kata-katamu itu..."
"JAHAT? Iya, lha terus?"
"Faktanya emang suamimu nggak ganteng-ganteng amat."
"Ya udah, untuk apa kamu kepo? Mup on, Josh. Mup on!"

Ibarat kompor, Joshua nyaris saja meleduk.
"Siapa yang kepo? Siapa yang belum mup on? Kamu pikir aku nggak sanggup nyari yang lebih daripada Aming?"

Pinky ternganga.
"Lebih daripada Aming? Maksudnya, lebih ganteng gitu?" Perempuan itu menutup mulut. "Josh, kamu... nggak hombreng, kan?"

Joshua meringis. "Bukan gitu maksudku!" Ia berteriak. "Maksudku... ah, bodo ah. Pokoknya suamimu jelek." Pemuda itu beranjak, ketika melewati Pinky yang masih terbengong, ia menabrakkan pundaknya pada pundak Pinky dengan sikap kekanak-kanakan.

Bahkan sesaat setelah ia keluar dari ruang kerja perempuan, Josh masih saja sempat melongokkan kepalanya dari balik pintu sambil berteriak, "Suamimu jelek, titik."

Pinky yang tadinya berniat mencari dokter Giska serasa diserang vertigo mendadak.
Entah karena rasa lelah yang bercampur dengan perasaan jengkel, ngantuk, dan juga kelaparan.
Perempuan itu beringsut, duduk kembali ke kursinya. Berniat memanggil taksi untuk mengantarkannya pulang karena hari ini, ia memang sengaja tak membawa mobil. Kebiasaan, jika ia lelah menyetir, maka ia memilih untuk bekerja naik taksi saja.

Baru juga mau menelpon, salah satu perawat menerobos dengan terburu-buru.
"Dokter," panggilnya.
"Apa? Ada pasien gawat?" tanya Pinky.
"Bukan. Anu, itu..."
Belum sempat perawat itu menjawab, sesosok tubuh jangkung muncul dari balik pintu.
Aming.

Lelaki itu tersenyum dan berjalan santai memasuki ruangan.
Perawat muda yang berdiri tersipu di sisi pintu dan tampak tengah terpesona dengan sosok Aming, tiba-tiba mengaduh lirih ketika merasakan sesuatu mengenai kepalanya. Ia menoleh dan menemukan buntelan kertas di lantai.

Menatap ke arah Pinky dengan ekspresi takut-takut, ia menyadari bahwa perempuan itulah yang melemparnya dengan buntelan kertas.

"Out." Pinky komat-kamit. Dan tanpa menunggu perintah kedua, perawat itu buru-buru beranjak, meninggalkan Pinky dan Aming berduaan.

"Tumben mampir. Ada apa?" Pinky bertanya dulu.
"Enggak. Aku nggak mampir kok. Aku emang sengaja datang kemari."
"Untuk?"
"Menjemputmu."
"Kan aku nggak minta dijemput?" Pinky bertanya lagi.
"Aku yang berinisiatif melakukannya," jawab Aming santai.

Pinky menggaruk-garuk kepalanya, bingung.
"Aku tahu kamu nggak bawa mobil. Jadi aku sengaja datang menjemputmu. Apa kamu masih sibuk?"
"Err, enggak. Udah selesai, aku juga berniat mau pulang kok." Pinky berubah kikuk.
"Ya udah, yuk," ajak Aming lagi.

Pinky tertegan sejenak.
Dalam hati ia bersorak. Ia baru tahu kalau ternyata punya suami bisa juga dimanfaatin jadi sopir pribadi. Hihihi...

"Kamu juga bisa minta untuk diantarkan belanja atau kemana gitu. Aku pasti siap nganterin kalo nggak sibuk. Itu udah jadi tugasku untuk jadi... sopir pribadi mungkin?" Aming tersenyum manis.
Dan Pinky serasa leleh laksana es krim. Perempuan itu tercengang.
Wow.

"Oke deh, yuk." Buru-buru ia merapikan mejanya dan bersiap untuk pulang, dengan suaminya.
Entah karena terlalu lelah atau mungkin ngantuk, Pinky langsung tertidur sesaat setelah ia masuk ke mobil Aming.

Ia terbangun dua puluh menit kemudian ketika Aming membangunkannya dengan lembut. Dan mereka sudah sampai rumah dengan selamat.

Pinky keluar dari mobil dengan langkah sempoyongan memasuki rumah. Salah satunya matanya bahkan masih setengah tertutup.
"Udah makan?" tanya Aming.
Pinky menggeleng.
"Mau kusiapin makan malam?"

Mendengar kata 'makan malam', kedua mata Pinky melebar seketika.
"Mau," jawabnya antusias.
Aming tersenyum geli. "Ya udah, mandi dulu sana," ujarnya.
"Oke." Pinky menjawab cepat lalu buru-buru berlari ke kamar untuk mandi dan berganti baju.

Mengenakan kaos longgar yang -seperti biasa- dalemannya nggak pakai apa-apa, perempuan itu muncul di ruang makan beberapa menit kemudian.

Aming menatap istrinya yang tengah sibuk menyisir rambutnya yang basah sambil mencicipi aneka hidangan yang telah ia siapkan. Tanpa menunggu dipersilakan, perempuan itu duduk dengan tak sabaran dan mulai melahap santapan yang ada di meja.

"Kamu nggak makan?" tanya perempuan itu.
Aming menggeleng. "Udah," jawabnya. Dan Pinky kembali sibuk memasukkan makanan ke mulutnya.
Aming bahkan dengan sabar menemani Pinky hingga perempuan itu selesai bersantap.
Ia juga menemani perempuan itu bermalas-malasan sejenak di sofa sambil menyantap puding buatannya.
"Ini enak banget," pujinya.
Aming hanya mengangguk dan tersenyum.

"Ping, boleh aku menanyakan sesuatu?"
"Apa?"
"Kenapa kamu begitu terobsesi ingin menjadi relawan?"

Hening, Pinky tak segera menjawab.

"Aku melihat brosur-brosur tentang organisasi UNHCR di mejamu, ada banyak. Termasuk tulisan-tulisan dan jurnal soal aktivis kemanusiaan. Mamimu juga pernah cerita bahwa kamu pernah ikut pendaftaran jadi dokter relawan ke Afgan, tapi beliau melarangmu. Jadi, apa yang membuatmu begitu ingin pergi ke sana?" Aming kembali memperpanjang pertanyaannya.

Pinky menyisir rambutnya dengan asal lalu menegakkan punggung, sekedar mengatur jawaban yang paling pas.

"Rasanya menyenangkan sekali kalo kita bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain," jawabnya kemudian.

"Aku pernah magang selama hampir satu tahun di sebuah pulau terpencil. Sebuah desa kecil di kaki bukit yang tak ada listrik, jauh dari rumah sakit, dan jauh dari tempat belajar, pokoknya, terisolir banget. Waktu itu, kebetulan aku punya pasien seorang anak kecil yang sedang sakit malaria. Dan... dia harus meregang nyawa karena obat-obatan kami terbatas dan sudah terlalu terlambat untuk menyembuhkannya." Suara Pinky bergetar.

"Anak itu meninggal mengenaskan di pangkuanku. Dan... aku gagal menyelamatkannya."

Aming melihat kedua mata Pinky berkaca-kaca. Buru-buru pria itu meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

"It's okay. Kamu nggak harus menceritakannya jika nggak ingin. Maaf, aku nggak bermaksud membuatmu tak nyaman seperti ini," ucapnya.
Pinky mengangkat bahu, pasrah.
"Maaf, aku jadi cengeng kalo ngomongin ini," jawabnya.

Aming meraih beberapa lembar tisu lalu menyodorkannya ke arah Pinky. Segera perempuan itu menerimanya dan menempelkan ke matanya yang telah basah.

Aming memperhatikan istrinya dalam diam dan menunggu hingga perempuan itu kembali tenang.

"Trims karena kamu mau cerita, walau sedikit." Aming memuji.
Pinky cuma mengangkat bahu.
"Makan lagi pudingnya."
"Udah kenyang," sahut Pinky.

"Ping...?" Aming terdengar ingin mengalihkan topik.
"Apa?" Pinky mengernyit.
"Ngomong-ngomong soal pembicaraan kita beberapa waktu yang lalu, tentang kebiasaanmu yang... suka masturbasi..."

Pinky tersedak, padahal lagi nggak makan sesuatu.
"Duh, jangan ngomongin itu dong."
"Aku tetap ingin membahasnya." Aming berujar tegas.
"Kamu nggak perlu melakukannya lagi. Sekarang kamu udah nikah, jadi jika kamu menginginkan kepuasan, kamu tinggal bilang padaku, dan kita bisa mendapatkan kepuasan bersama." Lelaki itu tersenyum, tanpa beban.

Pinky menelan ludah.
"Tapi, Ming..."
"Belum pengen punya anak? Nggak apa-apa. Aku sudah beli kondom. Selalu siap tersedia, di kamar." Aming kembali berujar pede.

Pinky garuk-garuk hidung.
"Udah malam, istirahat sana. Aku mau cuci piring dulu." Aming bangkit.

Lelaki itu belum sampai dapur ketika Pinky ikut bangkit dan berujar, "Biar aku aja yang cuci piring. Kan kamu udah bikinin makan malam."

Aming berbalik, menatap istrinya ragu, "Beneran nggak apa-apa?"

Pinky mengangguk.

"Oke deh, trims ya." Dan Aming melangkahkan kakinya meninggalkan Pinky.

Pinky mendesah lega. Entah kenapa setelah menceritakan soal impiannya untuk jadi relawan, ada semacam perasaan lega menghinggapinya. Ia tak peduli akan reaksi Aming. Yang jelas sekarang pria itu tahu bahwa ia masih punya keinginan untuk berkelana bebas ke penjuru dunia.

°°°

Pinky baru saja selesai membereskan sisa makan malam dan juga mencuci piring. Setelah itu ia bergerak menuju kamar.

Tak menemukan suaminya di sana, perempuan itu memutar langkah berniat mencari suaminya di ruang kerjanya. Ia hanya ingin mengucapkan selamat malam lalu tidur.

Begitu sampai di sana, yang ia lihat adalah Aming tengah duduk di depan layar monitor dan... sesenggukan.

Sesenggukan?
Apa Aming meratapi obrolan mereka tadi?
Apa ia kecewa setelah tahu Pinky ingin berkelana menjadi relawan?
Apa ia tak rela membiarkannya pergi?

Was-was Pinky mempercepat langkah mendekatinya.
"Ada apa?" Ia bertanya cemas.
Aming buru-buru mengusap air mata dengan punggung tangan, tapi tak berusaha menyembunyikan isak tangisnya.

"Drama ini memang bener-bener menyentuh, Ping. Ceritanya bagus banget, aku sampek ikut terbawa dalam kesedihan. Oh, kasihan sekali," ucapnya.

Pinky menautkan kedua alisnya.
"Drama? Drama Korea?"

"Bukan. Tuh." Aming menunjuk layar dengan dagunya.
Pinky melangkah ke samping Aming dan mengikuti arah pandangan lelaki itu, ke layar monitor.
Dan ia terbelalak.

Perempuan itu menoleh ke arah Aming dengan tatapan syok, seolah tak percaya dengan tontonan Aming.
Aming balas menatap istrinya, tanpa ekspresi berdosa.

"Uttaran?" Bibir Pinky bergerak.
Aming mengangguk dengan malu-malu.
"Kasihan sekali sama Icha. Apa yang dilakukan Tapasya itu... jahat."

Pinky cengo.

Tung tarara tung
Tung tarara tung
Tung tarara tung

°°°

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro