09. Cinta Di Depan Mata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pinky turun dari mobil lalu berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan langkah ringan.
Rambutnya yang masih basah bekas keramas pagi tadi ia kibas-kibas dengan ekspresi berlebih. Bibirnya yang sejak dulu udah murah senyum sekarang malah ia tambah diskon! Bahkan kalo perlu, senyumnya pengen ia cecerin di seantero rumah sakit saking hatinya lagi happy!

Beberapa pasien yang sudah menunggu di kursi tunggu beserta perawat yang berlalu lalang menatapnya dengan bingung.
Ada dokter senewen, pikir mereka. Dan Pinky tak ambil pusing. Bodo ah, yang penting hari ini hatinya seneng.

Ketika melewati silang yang mengarah pada ruangannya, Pinky berpapasan dengan Joshua yang segera menatapnya dengan cengo.
"Rambutmu kenapa?" tanya Joshua heran sambil ngintilin Pinky ke ruangannya.
"Udah tahu basah gini, masih aja nanya." Pinky menjawab cuek sambil - kembali mengibaskan rambutnya dengan cepat. Menciptakan beberapa tetesan air ke wajah Joshua.

"Iya, tau, basah. Maksudnya, kenapa bisa jadi basah kuyup begini?"
"Basah kuyup? Ini aku habis keramas, Josh!" jengit Pinky.

Joshua menatap perempuan di hadapannya dengan manyun. Tapi tetap saja ia mengintili langkahnya.
"Emang di rumah nggak punya hair dryer?" Dan tetap saja ia kepo.
"Ya punyalah."
"Terus, kenapa nggak dikeringin dulu?"
"Sengaja."
"Untuk?"
"Mau tahu aja sih."
Pinky menoleh cepat, menyebabkan rambutnya terkibas ala iklan shampoo, cetaarr!

"Itu artinya Dokter Pinky habis gituan! Ndeso banget sih kamu, Dok." Dokter Giska menyahut dari belakang mereka sambil menepuk pundak Joshua dengan gemas.
Joshua menatapnya dengan tatapan berkilat.
"Hayooo, ngatain orang ndeso bisa di laporin lho. Ini termasuk ujaran kebencian, bisa-bisa..."
"Halah!"
Dokter Giska kembali menepuk pundak Joshua, kali ini lebih keras hingga lelaki itu sempat mengaduh.

"Ngomong-ngomong, gituan apa maksudnya?" Fokusnya berubah cepat.
"Maksudnya, dokter Pinky sama suaminya habis gini." Dokter Giska menunjukkan punggung tangan, lalu menepuk dengan tangan satunya hingga menimbulkan suara.
"Makanya pagi ini ia mandi keramas, mandi besar," lanjutnya.

Joshua menatap isyarat tangan dokter Giska dengan bingung. Ia bahkan sempat ikut mempraktekkannya, menunjukkan punggung tangan, lalu meletakkan telapak tangan yang satunya di atasnya. "Apaan sih? Tumpang... tindih..." Lelaki itu melotot ke arah dokter Giska lalu ke arah Pinky secara bergantian.
"Maksudnya kamu dan suamimu..."

Pinky kembali mengibaskan rambutnya lalu mengangguk.
"Last night was... hot!" ucapnya.
Bibir Joshua mengerut.
"Bukannya kalian lagi berantem?"
"Udah baikan-laaah."
"Serius?"
"Ya seriuslah, masa mau bohongan." Lagi-lagi Pinky mengibaskan rambutnya yang lembab.

Joshua menatapnya dengan tatapan terpukul. "Tahu gini aku nggak bakal ngasih nasehat apa-apa ke kamu. Biar kalian berantem terus! Huh!" Dan pria itu berbalik, lalu beranjak meninggalkan mereka dengan bersungut-sungut.

"Nih orang kapan move-on-nya sih?" omel Pinky.
Dokter Giska buru-buru menggamit pundaknya lalu mengajaknya masuk ke ruangan.

"Udah, abaikan aja dia. Sekarang coba ceritain, gimana ceritanya kamu bisa luluh sama suamimu? Kamu bilang nggak berniat menjalani pernikahan yang awet dengannya? Kamu bilang kehidupan pernikahan nggak cocok denganmu? Kamu bilang masih pengen ke Afrika? Jadi relawan? Sekarang kok kayaknya kamu kesengsem sama suamimu?" Dokter Giska menghempaskan tubuh Pinky ke kursi kerjanya dengan gemas. Seolah dia yang lagi ngebet nungguin Aming jadi duda!

Pinky menyeringai. Ia menegakkan punggungnya lalu menatap dokter Giska dengan ekspresi pasrah.
"Yaaa, gimana ya? Ternyata kehidupan pernikahan nggak seburuk yang kukira. Tadinya kupikir kalo nikah tuh bakal membuat kita dibatasi. Aku ngebayangin suamiku akan melarangku melakukan ini dan itu. Faktanya, nggak gitu. Dia ngasih kebebasan penuh padaku untuk berkarir, melanjutkan studi, melakukan hobi, bahkan ia setuju untuk menunda momongan karena aku belum siap. Jadi, yaa... gimana ya? Lama-lama aku jadi terbiasa dengannya, aku nyaman hidup bersamanya dan..."

"Yakin banget nih kalo kamu udah jatuh hati sama suamimu!"

Pinky mendesah. Ia menyisir rambutnya yang masih lembab seraya menatap sahabatnya dengan bingung. Tapi ia tak memberi bantahan atas argumen Dokter Giska.

"Ya udah deh. Selamat kalo gitu. Mulai sekarang aku nggak bakal ngarepin suamimu lagi. Aku bakal fokus nyari cowok lain untuk bisa diajak ke pelaminan." Dokter Giska berbalik lalu melangkah keluar dari ruang kerja Pinky.

Awalnya Pinky mengantar kepergian perempuan itu dengan senyuman. Tapi sekian detik kemudian ia melotot.
Ngarepin siapa?
Ngarepin suaminya?!

Pinky bangkit seketika lalu berlari menuju pintu.
"Dokter Giskaaaaaa!! Kamu bilang apaaaa??? Tega-teganya kamu Doookkkk...!"

Dokter Giska yang baru sampai ujung lorong memilih untuk berlari, menghindari amukan Pinky.
"Udah enggaaaakkkk! Aku bakal cari laki lain!! Tapi kalo bisa yang mirip suamimuuu!!!" jeritnya.

"Dokteeeerrrrrr....!" Pinky kembali berteriak nggak terima.

°°°

Tepuk tangan bergemuruh ketika Aming menyudahi pembicaraannya. Presentasi hari ini berjalan sukses. Semua kolega bisnisnya puas. Dan sudah bisa dipastikan, tender bisnis yang digadang-gadang akan menciptakan untung besar bagi perusahaannya sudah ternganga di hadapannya.

Biasanya Aming memang jago melakukan presentasi. Tapi entah kenapa hari ini ia serasa punya luapan energi yang melimpah sehingga bisa melakukan pekerjaannya dengan lebih baik.

Mungkin karena suasana hatinya sedang baik. Mungkin karena semalam ia melewatkan momen spesial dengan istrinya. Indah, menggoda, bergelora.

Ingat apa yang terjadi semalam dengan Pinky, tanpa sadar sudut bibirnya melengkung. Ia kembali tersenyum.

Well, ternyata pernikahannya berjalan lebih baik dari yang ia kira semula.

Lelaki itu baru saja menyalami beberapa kolega bisnisnya ketika ponselnya berdering.
Menatap sekilas nomor tak dikenal di layar, ia memutuskan untuk menjawab tanpa berpikir dua kali.

"Halo." Ia bergerak menjauh dari hiruk pikuk beberapa orang yang masih mengobrol. Berjalan pelan menuju meja dekat jendela lalu menyandarkan pinggulnya di sana.

"Halo?" Ia kembali bertanya.
Dan jawaban lembut itu ia dengar dari seberang sana, "Aming..."

Tubuh Aming membeku. Tanpa perlu mengucapkan nama, ia tahu sosok yang ada di ujung telpon. Ia masih hafal suaranya.

"Icha?"

°°°

Aming setuju untuk melakukan pertemuan dengan Icha di sebuah kafe yang privat. Ketika sampai sana, Icha sudah menunggu di salah satu kursi yang berada tepat di samping kolam. Gemericik air dan suasana yang sepi menambah kesan pribadi tempat tersebut.

"Kapan balik dari luar negeri?" Aming menyapa dengan pertanyaan sambil duduk di kursi yang berada di seberang Icha.

"Nggak pengen nanyain kabarku dulu gitu?" Icha terdengar sewot.
Aming menatapnya sekilas tanpa tersenyum. "Kamu kelihatan baik-baik saja gitu kok."

"Kabarmu sendiri gimana?"
"Baik." Aming menjawab pendek.
"Udah kupesenin makanan kesukaanmu."
"Nggak perlu repot-rapot. Toh aku cuma sebentar. Beberapa menit lagi aku harus balik ke kantor." Aming menatap arlojinya dengan cuek.

Icha mendesah.
"Ming, kita udah lama nggak ketemu. Kok kamu judes gitu sih?" ujarnya.

Aming terkekeh. "Aku mau ketemu sama kamu cuma untuk memastikan satu hal, bukan untuk berkangen-kangenan," jawabnya.

Perempuan cantik di depannya tampak kecewa. "Aku merindukanmu, Ming," ucapnya kemudian.

"Bukan urusanku." Aming menyergah. "Aku cuma ingin meminta agar kamu menghapus semua foto-foto kita di akun fesbukmu. Jujur itu membuatku tak nyaman."

"Kenapa aku harus menghapusnya?" Icha balik berujar ketus.
"Karena kita sudah putus. Dan aku nggak mau ada jejak apapun tentang hubungan kita." Aming menatap lurus ke mata Icha.
Perempuan berambut panjang itu bersedekap angkuh.
"Bagaimana kalau aku nggak mau? Foto-foto itu milikku, aku menyukainya dan berniat mengabadikannya."

Aming mengangkat tangan kesal.
"Oke, jadi maumu apa sih?" ucapnya.
"Aku tahu kamu sudah menikah dan itupun karena perjodohan." Icha menatapnya lekat.
"Lalu?"
"Aku ingin memulai lagi segalanya dari awal denganmu."

Aming tertawa lirih.
"Tidak, terima kasih. Aku bahagia dengan pernikahanku."
"Ming..."
"Kita sudah putus, Cha. Putus ya putus. Dan aku nggak tertarik untuk menjalin hubungan lagi denganmu, apapun bentuknya."

Icha menggigit bibir. "Aku menyesal, Ming. Aku menyesal telah memutuskan untuk meninggalkanmu dan pergi ke luar negeri. Faktanya, aku nggak pernah..."

"Woa, stop. Jangan membahasnya lagi, oke? Kamu sudah mutusin untuk mengejar karir dan aku merelakanmu. Jadi, nggak usah dibahas lagi ya. Intinya, aku mau menemuimu karena rasa tidak nyaman akan foto-foto yang kamu unggah di sosial media. Selebihnya, aku nggak peduli." Aming bangkit.

Icha buru-buru ikut bangkit. "Aku sudah mengakhiri kontrakku dengan rumah mode yang ada di Paris. Aku takkan ke sana lagi. Aku memutuskan untuk kembali lagi ke sini, selamanya."

Aming hanya tersenyum basa basi sambil pamit, "bukan urusanku. Bye." Dan ia pergi, tanpa menoleh kembali ke arah Icha.

°°°

Sosok tinggi semampai itu memasuki ruang kerja Pinky dengan angkuh. Tangannya menenteng Hermes elegan berwarna clay, berikut blouse keluaran terbaru dari rumah mode Christian Dior.

Pinky tak terlalu suka belanja, tapi ia tak buta mode. Ia tahu semua hal yang dikenakan wanita itu dari merek mahal. Termasuk Jimmy Choo di kakinya. Dan juga kaca mata itu.

Mengenakan kaca mata Bentley seharga ratusan juta yang disematkan di puncak kepala, iris coklatnya beradu pandang dengan Pinky.

"Dokter Pinky Aliska?" Ia menyapa.
Pinky tak menjawab. Ia belum pernah bertemu dengannya. Tapi sosok wanita berkulit bersih ini sudah ia hafal di benaknya. Sosok perempuan yang ia lihat di akun Facebook, dengan pose-pose mesranya bersama suaminya.

Icha, mantan pacar Aming.

"Boleh saya duduk?" Icha menyapa lagi.
Buru-buru Pinky bangkit.
"Maaf, jam kerja saya sudah habis. Silahkan datang kembali lagi besok. Saya sudah mau pulang." Ia berkemas.

"Bagaimana kalau minum kopi sebentar?"

Pinky tersenyum, berusaha ramah, lalu menggeleng.
"Maaf, saya tidak minum kopi dengan orang asing. Lagipula..."
"Saya Icha. Mantan pacar Aming, suamimu. Bisa kita bicara sebentar?"

Shit.
Pinky mengumpat dalam hati.
Nggak tahu diri banget sih wanita ini.

"Baiklah, ayo ke kantin." Dan akhirnya ia mengiyakan.

Pinky berjalan terlebih dahulu sementara Icha mengikuti dari belakang. Mereka sampai di kantin beberapa detik kemudian dan duduk di kursi dekat kasir.

Pinky berteriak pada salah satu pelayan untuk membawakan mereka dua cangkir kopi.
"Gini ya, jujur saya nggak biasa mengobrol lama dengan orang yang tidak saya kenal. Lagipula saya harus segera pulang karena sopir taksi sudah nungguin di depan. Tapi, oke deh, saya bisa menyisihkan sedikit waktu untuk anda." Pinky berujar tak kalah angkuh.

"Saya baru saja kembali dari luar negeri beberapa hari yang lalu." Icha membuka suara. "Seperti yang sudah saya bilang tadi, saya dan suamimu pernah punya hubungan yang istimewa, dulu. Dan itu termasuk hubungan yang lumayan lama."

Pinky manggut-manggut.

"Sebenarnya waktu itu kami nggak bener-bener putus. Kami cuma putus kontak karena aku berkarir di Paris."

Pinky kembali manggut-manggut.

"Jadi bisa dikatakan, hubungan kami nggak bener-bener berakhir."

Rahang Pinky kaku. Tapi ia manggut-manggut lagi.

"Aku tahu kalo kalian nikah karena dijodohin."

"Terus?" Pinky manggut-manggut lagi. Tatapannya makin horror, tapi Icha nggak peka.

"Aku mengenalnya dengan baik. Ia termasuk pribadi yang susah untuk dekat dengan orang lain, termasuk perempuan."

"Hm..." Pinky manggut-manggut terus.

"Kalian belum lama nikah. Belum ada satu tahun. Jadi bisa kutebak, hubungan kalian pasti masih canggung satu sama lain."

"Hhmmmmmm...." Pinky tetap manggut-manggut.

"Saya sudah bertemu secara pribadi dengan Aming."

Duarrr!
Kalimat itu sukses membuat mood Pinky yang tadinya udah kemretek seketika ambyar!

Mereka ketemuan?
Icha dan suaminya?
Secara pribadi?
Kurang asyyyeeemm banget!

"Kami mengobrol lama tentang banyak hal dan..."

Nalar Pinky sudah tak mampu menerima semua kalimat yang keluar dari mulut Icha. Terlalu marah, entah. Yang jelas, pikirannya sudah tak fokus pada perempuan cantik di depannya.

Icha masih mengoceh panjang lebar - entah apa aja isinya - ketika akhirnya Pinky memutuskan meraih tasnya lalu bangkit. Dan tanpa mengucapkan apa-apa, ia beranjak meninggalkan Icha.

"Hei, aku belum selesai bicara."
Terdengar perempuan itu berteriak. Dan Pinky tak peduli. Ia terus melangkah.

"Pokoknya aku tidak akan menyerah akan Aming!"

BOOM!
Rasanya ada suara ledakan di kepala Pinky.

Perempuan itu menjatuhkan tasnya ke lantai lalu memutar tubuh dan menatap Icha dengan geram. Giginya bergemerutuk, begitu pula jemari tangannya yang mengeluarkan bunyi ketika mengepal.

"ANJRIT!" Dan kesabarannya musnah sudah.

"GUE UDAH NAHAN DARI TADI DAN ELO NYEROCOS MULUUUUU!! Dasar bibit pelakor!" Ia berteriak lalu menghambur ke arah Icha dan dengan jengkel menjambak rambutnya yang panjang dengan kasar.

Dan Icha menjerit seketika.
"OH-MY-GOD! WHAT ARE YOU DOING?!"

"THIS IS THE POWER OF JAMBAK!!" Dan Pinky mengeratkan jambakkannya.

°°°

Sepulang dari kantor, Aming berinisiatif untuk mampir ke Rumah Sakit. Berniat menjemput Pinky tanpa sepengetahuannya.
Tadi pagi perempuan itu memutuskan untuk ke sana naik taksi. Capek katanya, setelah apa yang mereka lakukan tadi malam. Ahem...

Memang sih Pinky tidak minta dijemput. Tapi Aming ingin memberinya kejutan.

Lelaki itu baru saja turun dari mobil dan melangkah menuju pintu masuk ketika dua orang perawat yang masih muda mendekati dirinya dengan tergopoh-gopoh.
"Mas! Mas!"
Mereka bahkan bergelayut di lengannya. #Modus

Aming mengernyitkan dahinya bingung.
"Ada apa ya mbak?"
"Anu, itu... Dokter Pinky..."

"Ada apa dengan Dokter Pinky?"

"Itu... jambak-jambak'an... di kantin..."
"Iya, adu gebug!"
"Hah?" Aming cengo.

Tanpa bertanya lagi, dua perawat - yang masih bergelayut di masing-masing lengannya itu membawanya ke kantin Rumah Sakit.

Ketika sampai di sana, Aming menyaksikan pemandangan yang tak lazim. Seumur-umur, baru kali ini ia nemuin yang kayak gini.
Di sana, nyaris di tengah-tengah ruangan, ia menyaksikan dua orang tengah bergumul sengit.

Satunya ia kenali sebagai Icha, dan satunya lagi... istrinya!

Mereka tengah berkelahi heboh, adu jambak, gulat, atau apalah namanya. Kadang Icha yang ada di atas, sejenak kemudian mereka berguling, dan Pinky yang ganti duduk di pinggulnya. Tangan mereka dengan lincah saling menarik rambut satu sama lain.

Pengunjung kantin yang sore itu tak begitu ramai tampaknya sudah berusaha melerai namun tak membuahkan hasil.

"Mas, tolong bantu misah dong!" Perawat di sisi Aming mulai heboh.

Aming mematung, menatap adegan di hadapannya dengan ekspresi takjub.
Takjub?

Lelaki itu melongo, dan lirih ia menggumam, "Woaahh, kereeenn."

Gubraakkk!!

Dua perawat muda di sisinya menatap sosok itu dengan cengo.

Wong ediaaann!!
Istrinya berantem bukannya dipisah, malah dikatain keren.

"Mas, ini lagi berantem lho. Jambak-jambak'an lho. Cakar-cakaran lho. Adu gebug, Mas! Helooow...."

Tanpa menggubris cerocosan perawat tersebut, Aming tersenyum kagum lalu beranjak. Mulanya perawat tersebut mengira bahwa Aming akan segera memisah perkelahian antara Icha dan Pinky, nyatanya pria tersebut malah mundur beberapa langkah, menyandarkan punggungnya di meja kasir dengan santai, lalu menyaksikan perkelahian itu dengan tatapan antara terpesona bercampur geli.

Tanpa menghiraukan tatapan cengo dari beberapa orang di kantin, ia meraih ponsel dari sakunya dan tampak melakukan panggilan.

"Ma..." panggilnya ketika panggilan yang ia lakukan telah tersambung.

"Ma, sudah lama aku ingin mengatakan ini pada Mama. Dan kali ini aku ingin mengatakannya dengan tulus, dari lubuk hatiku yang paling dalam. Terima kasih ya, Ma. Terima kasih karena Mama menjodohkanku dengan Pinky hingga aku bisa mengenal makhluk ajaib ini." Tatapan matanya tetap tak beralih dari sosok istrinya yang masih saja berjibaku dan bergumul dalam perkelahian. Bibirnya kembali tersenyum.

"Aku mencintainya."

°°°

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro