10. Klik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aming menatap Pinky yang duduk merengut di pinggir ranjang.
Setelah berhasil memisah perkelahiannya dengan Icha di Rumah Sakit lalu membawanya pulang, Pinky tak membuka suara.
Ketika Aming berusaha mengobati luka cakar di kening Pinky, perempuan itu menolak.

Ngomong-ngomong, jangan membayangkan adegan memisah perkelahian antara Pinky dan Icha sedramatis perkelahian mereka.
Apa kalian pikir Aming akan menghambur ke arah mereka, berdiri di tengah-tengah laksana pangeran yang diperebutkan dua puteri sambil berteriak, "Cukup sudah perkelahian ini? Aku bukan benda yang harus kalian perebutkan?"

#uhuukk

Bukan.
Adegannya tidak seperti itu.

Faktanya, Security Rumah Sakit yang datang menghentikan perkelahian tersebut. Dua Security tak mampu meredam The Power of Jambak yang dilayangkan Pinky sehingga dipanggillah lagi dua Security hingga perkelahian itu terhenti.

Dua orang memegangi Pinky, sementara dua lainnya menarik Icha menjauh, membawanya pergi dari kantin. Setelah beberapa dokter rekan Pinky datang, menanyainya ini dan itu, barulah keributan itu benar-benar reda.

Lalu apa yang dilakukan Aming?
Seperti sediakala, ia bersandar santai di ujung meja kasir sambil menatap perkelahian istrinya dengan takjub. Sesekali ia bahkan bersorak riang layaknya supporter bola manakala Pinky berhasil mendominasi serangan, atau melayangkan pukulan ke arah Icha. (Oke, Aming rada sableng sekarang!)

Ini pasti bercanda?
Enggaklah, ini serius.

"Sini kuobati dulu." Masih membawa obat merah dan kapas, Aming bergerak lalu duduk di samping Pinky.
Pinky beringsut menjauh. "Nggak mau," jawabnya sewot.
"Luka di keningmu harus diobati, Ping." Suara Aming lembut.
"Nggak mau." Dan Pinky melengos, masih tampak sewot.
"Berantemnya sama Icha, kok marahnya ke aku, sih?" Suara Aming masih terdengar tenang.
"Biarin." Pinky menjawab pendek.

"Jadi ngambek-nya sama siapa nih? Sama aku ato sama Icha?" Aming masih saja bertanya dengan sabar.
"Kalian berdua." Dan Pinky tetap bersuara ketus.

"Emang aku salah apa sih? Ngomong dong." Aming menyentuh lengan Pinky, tapi perempuan itu menyentakkannya.
Ia mendengus lalu menoleh ke arah suaminya.
"Jadi bener kalau kalian berdua ketemuan?" Kali ini ia ngegas.

Aming mengangguk.
"Iya," jawabnya.
"Berduaan aja?"
Lagi-lagi Aming mengangguk sambil menjawab jujur, "Iya."

"Di kafe elit yang privat?"
"Iya."

Dan Pinky makin meradang, sementara Aming menatapnya tenang.
"Berapa lama kalian kangen-kangenan? Satu jam? Dua jam?"
"Nggak ada 10 menit kok."
"Yakin?"
Aming mengangguk.

"Ngomongin apaan? Nostalgia? Ingat masa-masa pacaran? Melepas rindu?"
"Woa, tenang Buuk. Bisa nggak nanyanya satu-satu aja ya?"
"NGGAK BISA!" Pinky ngegas lagi.

Aming mengulum senyum lalu menarik napas panjang. Entah kenapa, kali ini ia seolah mendapat hidayah hingga kesabarannya menjadi luar biasa berlipat.

"Kami cuma sempat saling nanyain kabar bentar." Aming menjawab dengan sabar.

"Terus?" Pinky tak sabaran.

"Pertemuan kami cuma sekitar 10 menit. Aku mau menemuinya bukan untuk kangen-kangenan. Aku cuma minta ke dia secara langsung agar semua foto-foto kami di fesbuk di hapus."

"Terus?"

"Terus dia nolak. Dan, ya udah. Aku pergi, ninggalin dia."
"Yakin?"
"Iya."
"Cuma gitu doang? Nggak ngobrol lebih gitu? Cipika cipiki gitu?"

Aming kembali tergelak. "Cemburu ya?"

Pinky melotot. "KAGAK!" teriaknya.

Bukannya ikut sewot, Aming malah nyengir.
Pelan ia meraih tangan Pinky. Walau sempat disentakkan dua kali, toh ia tetap berusaha kembali meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

"Pertemuan kami cuma sebentar. Nggak lebih dari sepuluh menit dan nggak ada basa-basi berlebih. Percayalah."

Pinky melengos. "Tetep aja aku kesel," ia ngedumel.

"Iya deh, sori. Salahku sih kenapa aku ketemu sama dia tanpa memberitahumu. Aku nggak tau apa aja yang ia katakan ke kamu, tapi kuharap, kamu nggak percaya gitu aja. Jika ada yang bergejolak di hatimu, tanyakan aja langsung padaku. Oke?"

Demi mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Aming dengan intonasi sabar, amarah Pinky mulai memudar.

"Bener kalian nggak nyambung lagi, kan? Nggak menjalin komunikasi diam-diam, kan?" Perempuan itu menatap suaminya.
Aming menggeleng cepat, "Enggak."
"Kamu masih cinta sama dia?"
Lagi-lagi Aming menggeleng cepat, "Enggak," jawabnya lagi.
"Sedikitpun?"

Aming tersenyum lembut lagi.
"Nggak percaya banget sih, Ping. Nggak ada kok. Aku udah nganggep Icha itu orang lain. Nggak ada lagi perasaan cinta, kangen, ato gimanapun. Lagian, kan udah ada kamu."

Pinky mendelik. "Gombal," Ia melengos lagi.

"Serius." Kali ini Aming memegang rahang Pinky lalu dengan hati-hati ia membuat perempuan itu menatap dirinya.
"Serius." Aming mengulang.
"Kalo aku bilang sepakat dengan pernikahan ini, itu tandanya aku bersedia memulai segalanya dari awal bersamamu. Mencintai pernikahan kita, komitmen kita, keluarga kita, dan juga... kamu."

Pinky mengerjap.
"Apa kamu sudah jatuh cinta padaku?" ceplosnya.

Aming nyengir sejenak.
"Well, gimana ya? Aku udah sempat mikirin ini sejak kita menikah. Berandai-andai kalo akhirnya aku bakal jatuh hati sama kamu. Hanya saja, aku nggak nyangka bakal merasakannya secepat ini," jelasnya.
"Ternyata, jatuh hati padamu lebih mudah daripada dugaanku semula. Kamu lucu, kamu nggemesin, kamu asyik, kamu nyenengin, kamu ajaib..."

Gombalan Aming seakan meluap entah ke mana karena Pinky keburu melongo,  kaget bercampur bingung.
Semburat merah menerpa wajahnya yang bersih.
Memang sih ia dan Aming sepakat untuk menjalani pernikahan dengan baik. Tapi mendengar Aming mengungkapkan cinta terang-terangan seperti ini, tetap saja dadanya berdebar.

"Aku mencintaimu..."

Dan kalimat itu terucap berbarengan dengan sebuah kecupan ringan di bibir Pinky.
Dan perempuan itu nyaris saja menjawab : Aku juga.

°°°

Pinky keluar dari ruang Direktur Rumah Sakit dengan wajah lesu.
Seperti yang sudah ia duga sebelumnya, ia kena teguran keras karena pertengkarannya dengan Icha.

"Anda ini dokter. Kok bisa-bisanya seorang Dokter bertingkah seperti pegulat?" Omel Pak Direktur waktu itu.

"Pegulat? Huh. Baru tahu ya kalo saya dulu pernah ikut les gulat." Pinky ngedumel dalam perjalanan ke ruangannya. "Jangankan kok jadi pegulat, coba aja si Icha bikin masalah denganku lagi, aku pasti bakal ikut les menembak."
Dan ia terus saja melenggang sambil bersungut-sungut.

Ketika sampa di ruang kerjanya, ia sudah di sambut Dokter Giska dan juga Joshua.

"Gimana? Kena marah pak direktur ya? Kena sanksi? Diskors?" Dokter Giska yang berdiri di samping jendela buru-buru beranjak, mengambil lembaran map di meja lalu mendekati Pinky.
"Sabar buuk... Sabar buuk... " Ia mengipas-ngipas perempuan itu dengan map di tangannya.

Sementara Joshua yang tadinya duduk di kursi, ikut bangkit lalu buru-buru mengambilkan air minum.
"Sabar buuk... Sabar buuk..." Ia ikut menenangkan Pinky yang menunjukkan wajah suntuk.

Pinky meraih segelas air minum dari tangan Joshua, menenggaknya separo, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.

Joshua buru-buru mengambil gelas dari tangan Pinky, meletakkannya ke atas meja, lalu ikut duduk di sampingnya.
Dokter Giska ikut berdusal di sisinya sambil terus mengipasi Pinky.

"Jadi gimana? Kamu beneran diskors?" Dokter Giska bertanya dengan tak sabaran.
Pinky mendesah sembari menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Begitulah," jawabnya pendek.
"Dan jika aku nggak meminta maaf padanya secara pribadi, maka wanita itu akan menuntutku dan juga rumah sakit ini atas tindakan penyerangan," lanjutnya.

"WHAT?!" Dokter Giska dan Joshua berteriak nyaris bersamaan.

"Tau gini aku bakal bantuin kamu menghajar wanita itu! Ih, gemes deh. Udah seenaknya pasang foto suami orang, masih aja playing victim. Merasa sok tersakiti, sok teraniaya. Halah, basi." Dokter Giska mengomel dengan menggebu-gebu.

Joshua berdehem.  "Dokter Giska, istri Aming  bukan anda. Kok jadi anda yang sewot?"
Dokter Giska mengeram.
"Tapi, Josh. Ini nyebelin banget. Sebagai sesama perempuan, yang nantinya bakal nikah dan jadi istri, harga diriku seperti diinjak-injak. Hal kayak gini nggak bisa dibiarin!"
Dokter Giska bahkan sempat menggebrak meja.

Joshua buru-buru menggamit bahu perempuan tersebut lalu memutar tubuhnya. "Dokter Giska, kembalilah ke ruangan anda. Pasien anda sudah menunggu." Ia berujar.
"Tapi Josh, Dokter Pinky butuh dukungan moral dan..."
"Biar aku yang tangani." Joshua membuka pintu, mendorong sosok Dokter Giska dengan halus, dan sebelum wanita itu protes, Joshua mengucap salam lalu menutup pintu.

"Huffft, wanita oh wanita..." Joshua berujar kesal, kemudian berbalik menatap Pinky lagi yang masih sibuk menekan pelipisnya dengan ekspresi lelah.

"Jadi kamu berencana menemui wanita itu? Icha?"

Menanggapi pertanyaan Joshua, Pinky mengangkat bahu pasrah.
"Sepertinya itu adalah pilihan yang terbaik. Aku harus menemui dia dan meminta maaf secara pribadi padanya. Lagian kalo dipikir-pikir, salahku juga sih. Harusnya aku nggak gegabah menyerangnya duluan," ucapnya.

Joshua berdiri di samping pintu dengan kikuk. "Ping..." panggilannya terdengar ragu. "Aku melihat usahamu mempertahankan suamimu. Perkelahian itu, rasa cemburumu, perasaan gak nyaman ketika Icha hadir di antara kamu dan suamimu, sepertinya... kamu bener-bener sudah jatuh hati pada Aming."

Tatapan keduanya beradu sejenak.
Joshua tersenyum kecut.
"Jadi... apa ini artinya aku bener-bener udah nggak punya kesempatan untuk ngedapetin kamu?"

"Josh..." Pinky mengerang. Ia bangkit dari kursinya lalu beranjak mendekati Joshua dan memeluk lelaki itu dengan erat.
"You're my bestfriend, Josh. Dan akan selamanya begitu. Bertemulah dengan perempuan lain, jatuh cintalah padanya dan... berbahagialah. Aku akan sangat senang jika kamu melakukannya," ucap Pinky lembut.

Joshua kembali tersenyum getir.
Jawaban itu lebih dari cukup untuk menegaskan hubungannya dengan Pinky. Bahwa mereka hanya akan menjadi sahabat, tak lebih.

°°°

Pinky yang berinisiatif untuk datang ke apartemen Icha terlebih dulu, tanpa janjian. Setelah bertanya ke sana kemari di kantor administrasi, akhirnya sampailah ia di sini, di tempat tinggal Icha.

Mengetahui kedatangannya, perempuan itu menyambutnya santai, seolah ia sudah mengira bahwa Pinky bakal datang kemari.

"Kalo kamu datang ke sini untuk minta maaf, lakukan saja secara tertulis, bermaterei. Kalo cuma minta maaf secara lisan, nggak bakal kuterima, titik." Icha berucap sambil bersedekap angkuh.

Pinky yang sedari awal memang tak berniat duduk, balas menatap Icha dengan angkuh.
"Lah, siapa yang mau minta maaf? Mungkin aku emang salah karena nyerang kamu duluan, tapi aku nggak bakal minta maaf sama kamu. Cih." Bibir Pinky berdecih.

Icha tercengang, tak menyangka kalau perempuan ini akan memberikan perlawanan.
"Berani-beraninya kamu...?"
"Kenapa? Mau nuntut? Tuntut aja, aku nggak takut." Pinky berjengit. Dan itu sempat membuat nyali Icha ciut. Ingat akan The Power of Jambak yang dilayangkan perempuan itu, Ia memilih mundur beberapa langkah.

"Aku ke sini cuma mau bilang, kalau mau bikin drama tuntut menuntut, lakuin aja, aku nggak takut. Kamu kira aku nggak punya duit buat sewa pengacara? Asal kamu tahu aja, papiku kaya raya, mamiku bersin aja keluar duit. Dih, kalo cuma ngabisin duit buat nyewa puluhan pengacara paling ternama di planet ini, gampang banget, Jeng... " Pinky mengibaskan rambut.
"Aku nggak takut dipecat. Malah aku berencana mengundurkan diri. Jadi kalo kamu berani ngedeketin Aming lagi..." Perempuan itu mengepalkan tangan hingga menimbulkan bunyi gemerutuk. "Mari kita sewa ring tinju." Dan ia berucap mantap.

Icha bergidik ngeri.
"Sakit kamu!" teriaknya.

Bibir Pinky kembali berdecih. "Coba aja kalo berani." Ia mengibaskan rambut, lalu beranjak meninggalkan apartemen Icha.

°°°

Pinky sampai di rumah nyaris jam 5 sore. Setelah itu ia akan berlarian di sepanjang rumah menuju kamar, lalu buru-buru mandi dan ganti baju, setelah itu akan keluar lagi hingga larut malam. Kadang ia sampai rumah hampir jam 12 malam.

Aming menatap istrinya dengan bingung. Sudah dua hari ini Pinky bertingkah aneh seperti itu.
Ia akan bangun pagi-pagi sekali lalu segera berangkat kerja, tanpa sarapan, tanpa pamitan pada suaminya.
Sorenya ketika ia pulang, ia akan buru-buru mandi dan ganti baju, lalu berangkat lagi. Dan ia akan pulang larut. Saat Aming sudah mulai lelah menunggunya.

Aming sudah mengecek ke Rumah Sakit secara diam-diam via telepon dan ia tahu Pinky tak pergi ke sana. Pernah juga Aming bertanya dan Pinky hanya menjawab pendek bahwa ia ada urusan.

Gerah mendapati kelakuan Pinky, akhirnya secara diam-diam, sore itu Aming memutuskan untuk mengikuti kemana istrinya pergi.

Dan apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi. Ia melihat Pinky pergi ke sebuah cafe yang privat untuk bertemu seorang laki-laki.

Laki-laki manly yang belum pernah ia temui.

°°°

Pinky sedang mengobrol hangat dengan lelaki itu di sebuah ruang vvip ketika Aming menyeruak masuk dan menimbulkan suasana tegang di antara mereka. Ia menatap ke arah Istrinya dan lelaki di hadapannya secara bergantian.

"Aming?" Pinky tampak syok. Tak menyangka bahwa ia akan bertemu suaminya di sini.

"Ayo pulang!" Dan tanpa basi-basi, tanpa menyapa lelaki lain di ruangan itu, Aming menarik tangan Pinky dan menyeretnya keluar.
"T-tapi, Ming..."
"Udah, nggak ada tapi-tapian. Pokoknya kita pulang." Kali ini Aming membentak tanpa melepaskan cengkeraman tangannya.

Lelaki yang tadi ditemui Pinky menatap adegan itu dengan bingung.
Dan tak ingin memperkeruh suasana, Pinky secara sembunyi-sembunyi menatap ke arahnya sambil komat-kamit : Nanti kuhubungi lagi. Thanks.

°°°

"Siapa lelaki itu?" semprot Aming sesaat setelah mereka sampai rumah. Pria itu bersedekap dan menatap Pinky dengan ekspresi kalap. Sementara Pinky yang berdiri tak jauh darinya menggaruk tengkuknya dengan bingung.

"Jadi lelaki tadi siapa?" Aming kembali bertanya.
"Teman," jawab Pinky lirih.
"Teman apa teman?"
"Teman, beneran deh. Teman kuliah, cuma beda jurusan."
"Lalu kenapa kau harus menemuinya secara diam-diam?"
"Err... karena..."
Pinky menggigit bibir.

"Ayo jawab, karena apa?" Aming makin kalap.
Pinky kembali menggaruk tengkuknya, makin bingung menjawab.

Aming nyaris saja mengumpat, sebelum akhirnya memutuskan untuk mondar mandir sejenak.

"Apa ini balas dendam? Apa kamu masih marah karena aku bertemu Icha beberapa waktu yang lalu dan akhirnya kamu sengaja bertemu pria lain?"
"Bukan gitu, Ming..."
"LALU APA?!"

Pinky menggigit bibir lagi.
"Aku menghubunginya dan bertemu dengannya karena pengen minta tolong, itu aja."
"Minta tolong apa?" Aming terdengar tak sabaran.

"Itu... anu..."
"Pinky..." Aming mengerang, meminta istrinya untuk bicara terus terang.

"Dia ahli komputer, dan juga... hacker. Jadi aku meminta tolong padanya untuk..."
"Untuk?"
"Untuk membobol akun fesbuk Icha dan menghapus foto-foto mesramu dengannya."

Jawaban Pinky sukses membuat Aming tersentak.

"Hah?!"

Pinky menyewa hacker untuk membobol akun Icha dan menghapus foto-fotonya?

What the....

°°°

Sementara itu di tempat yang berbeda...

Icha sedang asyik memainkan kursor komputer yang menampilkan akun fesbuknya ketika akhirnya ia menyadari ada yang tak beres di sana.
Beberapa kali kursor ia arahkan naik turun, naik lagi, turun lagi, begitu terus dan ia tak salah lihat.

Semua foto-foto mesranya bersama Aming amblas tak tersisa!

"Tidaaaaakkkkkk..... !!"

°°°

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro