14. Ruby (END)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Lima pasang mata itu saling tatap.
Layaknya ada sidang rahasia, lima sosok itu duduk melingkar di meja makan yang ada di rumah orang tua Aming.

Pertemuan ini tercipta atas prakarsa Mami Pinky.
Tadi pagi setelah mendengar Pinky berkeluh kesah perihal tawaran ke Afrika, perempuan itu segera menghubungi besannya dan menceritakan segalanya, sekalian mengajak ketemuan.

Papa dan Mama Aming pun akhirnya berinisiatif untuk meminta putranya ke rumah, sekalian bicara.

Dan di sinilah mereka sekarang. Orangtua Pinky, orangtua Aming, dan Aming sendiri.

"Bisa menjadi relawan ke Afrika emang udah jadi cita-cita Pinky sejak lama. Makanya dia antusias banget. Dia pengen berangkat ke sana, tapi dia nggak mau pisah sama Aming. Gimana dong ini? Aku kan ikut bingung." Mami Pinky menghapus air mata di pipinya dengan sapu tangan. Perempuan itu sudah nangis mulu sejak tadi.
Papi Pinky beringsut dan memeluk pundak perempuan tersebut.

"Tapi Afrika itu jauh, apalagi kontraknya dua tahun. Kalo Pinky bener-bener ke sana, kamu gimana, Ming?" Mama Aming ikut bersuara. Perempuan itu juga sudah bertangis-tangisan.
Papa Aming juga sudah berusaha menenangkannya.

Sementara Aming?
Dia hanya duduk membisu tanpa tahu harus berkata apa.
Sungguh, ia juga dilanda gundah.
Antara melarang atau merelakan Pinky pergi, entah mana yang akan ia pilih.

"Ini ada apaan sih kok tangis-tangisan gini?" Suara Sofia memecah keheningan.
Gadis itu muncul dari balik pintu tengah dengan ekspresi bingung.

Mami Pinky dan Mama Aming kompak menangis lagi, lebih kenceng.

"Ini ada apaan sih? Kasih tau dong, Ma. Tega banget sih aku nggak diajak-ajak ngerumpi, huaaa..." Tangis Sofia ikut pecah, merasa dikhianati.

Tiga pria di ruangan itu menarik napas lelah lalu mendesah. Hadeh, perempuan...

°°°

Aming masuk ke kamar dan mendapati istrinya duduk tertegun di pinggir ranjang.
Perempuan itu tampak bingung, tertekan. Menatap sekilas ke arah Aming yang berdiri kaku di depan pintu, lalu menunduk lagi.

Aming trenyuh. Betapa ia tak ingin berjauhan dengan sosok itu. Tapi...

"Jadi, ayo kita bicara soal keberangkatanmu ke Afrika." Aming membuka suara. Tak pelak, kedua mata Pinky langsung berkaca-kaca.

Aming bergerak pelan dan duduk di sisinya. Perlahan ia meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat. "Aku merelakanmu berangkat," ucapnya pelan.

Sontak air mata Pinky jatuh berderaian. Tapi ia tak menjawab ucapan Aming.

"Jujur, ini berat. Merelakanmu pergi ke sana selama dua tahun, rasanya aku nggak sanggup. Tapi---" Suara Aming serak.
"Itu impianmu, kan? Berada di tengah orang-orang yang membutuhkanmu, rasanya luar biasa. Walau aku juga butuh kamu di sisiku, tapi mereka lebih berhak mendapatkan kehadiranmu."
Pria itu menghapus air mata Pinky dengan jemarinya.

"Nggak apa-apa. Cuma dua tahun, kan? Aku akan berkunjung. Dua minggu sekali, aku akan terbang ke sana dan menemuimu." Aming memutuskan.

"Janji?" Pinky bersuara serak.

Aming tersenyum dan mengangguk.

Dan tangis Pinky pecah. Ia menghambur ke arah suaminya dan memeluknya erat.

"I love you..." bisiknya.

Aming mengangguk. Air matanya juga menitik. Lirih ia membalas, "I love you too."

Teramat sangat mencintaimu...

°°°

Hari keberangkatan ke Afrika, Pinky memutuskan untuk pergi ke bandara, sendirian.
Ia menolak diantarkan Aming. Entah, rasanya ia tak sanggup untuk menatap suaminya kemudian pergi jauh.
Atau ia akan goyah.
Atau ia akan menghambur ke arahnya, memeluknya, dan tak mau berpisah dengannya.

Nyatanya, tetap saja pikirannya berkecamuk.
Satu jam sebelum pesawat take-off, ia duduk termenung di ruang tunggu. Air matanya tak berhenti mengalir.
Hati dan logika bertarung hebat dalam dirinya.

Masih ada waktu dan ia tak berhenti untuk mencoba memutuskan hal terbaik. Karena sejatinya ia masih ragu. Antara berlari pulang ke pelukan Aming, ataukah melangkahkan kakinya menaiki pesawat.

°°°

Air mata Aming menitik menatap rumahnya yang sepi. Pinky sudah tak ada. Ia berangkat beberapa jam yang lalu dengan naik taksi.
Dan ia tak sanggup untuk mengantarkan perempuan itu ke bandara. Atau ia akan goyah dan berlutut di hadapannya agar ia tak pergi ke Afrika.

Menarik napas, lelaki itu menatap penjuru ruangan yang lengang.
Rasanya baru beberapa waktu lalu ia menyaksikan Pinky berceloteh riang. Menyaksikan perempuan itu berlarian ke sana kemari dengan hanya mengenakan kaos kedodoran tanpa daleman.
Betapa ia akan merindukan semua itu...

Aming melangkah gontai menyusuri ruang tamu. Ia baru menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua ketika ponsel di sakunya berbunyi.

Merogoh dan menatap layar, ia mengernyit, lalu buru-buru menerima panggilan.

"Pinky?" Ia menyapa khawatir.

"Jemput akuuuuuu!" Suara dari seberang sana meraung.

Aming tersentak. "Pinky? Ada apa?" Ia kembali bertanya cemas.

"Aku nggak jadi berangkat. Aku nggak jadi ke Afrika. Aku nggak mau pisah sama kamuuuu....!" Dan suara raungan dari seberang sana kian menjadi.

"Ming, satu tahun ada 365 hari. Dua tahun ada 730 hari. Kalo kamu berkunjung dua minggu sekali, maka kita hanya akan ketemu 48 kali. Aku nggak mauuu...!"

Perasaan Aming membuncah. Senyum haru menghiasi wajahnya yang dibarengi dengan tangis bahagia.

"Pergi ke Afrika emang impianku sejak lama. Tapi itu dulu, sebelum aku bertemu denganmu. Dan sekarang aku sadar, impianku yang sesungguhnya adalah bersamamu!" Pinky terus sesenggukan.

"Jemput akuuuu...! Aku mau pulaaaang...!" Dan raungan itu kembali terjadi.

Air mata Aming berjatuhan, dan ia tergelak bahagia.
"Akan kujemput!"

Dan lelaki itu melesat.
Membawa mobilnya ke bandara, membawa pulang kembali istri tercinta.

°°°

Ketika sampai di sana, ia menyaksikan Pinky duduk sendirian di ruang tunggu. Sesenggukan.

Dan ketika melihat kedatangan sang suami, perempuan itu yang menghambur terlebih dahulu ke arahnya. Memeluknya erat.

"Aku mau pulaaang... Aku nggak jadi ke Afrikaaaaa... "

Aming mengangguk haru. Ia balas memeluk istrinya lebih erat.
"Iya, kita akan pulang," bisiknya.
Dan keduanya bertangis-tangisan.

Aming mengangkat tubuh istrinya, menatapnya penuh cinta, lalu mempertemukan bibir mereka tanpa menghiraukan beberapa orang di ruang tunggu yang menatap mereka dengan tersipu.

°°°

Dalam perjalanan kembali ke rumah, Aming mengemukakan sebuh ide yang brilliant. "Tertarik punya Rumah Sakit sendiri?"

Pinky terbelalak. "Punya Rumah Sakit sendiri?!" Perempuan itu berteriak nyaris tak percaya.

Aming mengangguk enteng. "Rumah Sakit khusus untuk orang tidak mampu, anak-anak terlantar dan juga anak-anak jalanan. Jadi impian yang tidak bisa kamu lakukan di Afrika bisa kamu wujudkan di sini?"

Pinky menatap suaminya dengan takjub. Kedua matanya mengerjap dan sejurus kemudian ia bersorak girang, "AMING, AKU CINTA PADAMU!"

°°°

Dan Aming benar-benar membuatkan sebuah Rumah Sakit untuk Pinky.
Serius, sebuah Rumah Sakit!

Rumah Sakit yang berada sekitar 20 kilometer dari rumah dan dikhususkan untuk menerima pasien tidak mampu dan juga anak-anak terlantar.

Pria itu bahkan menjadi donatur tetap di Rumah Sakit tersebut. Ia juga tak segan mengajak rekan bisnisnya untuk ikut menjadi donatur di sana.

Pinky berperan sebagai kepala Rumah Sakit dan juga dokter tetap. Dokter Giska dan Joshua juga tak keberatan membantu jika sewaktu-waktu tempat tersebut membutuhkan dokter tambahan. Pasangan pengantin baru itu bahkan antusias merekomendasikan beberapa Dokter Spesialis lain dan juga perawat kompeten yang bisa diajak membantu di Rumah Sakit tersebut.

Oh iya, mereka baru saja menikah, dua minggu yang lalu.
Joshua dan Dokter Giska.

Pinky tak berhenti bersyukur dengan semua pencapaian yang ia dapat sekarang. Apa yang tidak bisa ia lakukan di Afrika, sekarang bisa terbalaskan di Rumah Sakit ini.

Sungguh, jika hidupmu bisa bermanfaat untuk orang lain, itu baru bisa dikatakan sempurna dan luar biasa.

°°°

Pinky pulang dari Rumah Sakit dengan raut muka suntuk.
Aming yang tengah membuatkan makan malam menatapnya dengan heran. Selelah apapun perempuan itu mengurusi pasien, ia tidak pernah menunjukkan wajah kesal seperti itu.

"Semua baik-baik saja?" tanya Aming.
"Enggak." Pinky menjawab ketus sembari melemparkan tasnya ke sofa. Ia melangkah menghampiri suaminya dan melepas apron yang menempel di pinggang pria tersebut.

"Wait, ada apakah ini?" Aming bergumam bingung menatap istrinya yang melepas apron dengan muka suntuk.

"Ayo bikin bayi." Pinky berujar enteng, kali ini ia berhasil melepas dua kancing kemeja suaminya. Dua kancing paling atas.

"Hah?" Aming melongo.

"Dokter Giska hamil dua minggu! Jadi aku nggak mau kalah! Ayo bikin anak!" Pinky berteriak senewen.

Ia menarik lengan suaminya dan mengajaknya ke kamar.

"Tapi, Ping. Makan malamnya?"
"Nanti aja," jawab Pinky.
"Nggak makan dulu?"
"Enggak, bikin anak aja dulu."
"Tapi aku lapar."
"Makan aku aja!" Pinky berujar sengit.

Aming terbahak.
Astaga, Pinky tetap saja Pinky. Makhluk paling ajaib yang pernah ia kenal.

"Ada syaratnya?"
"Apaan?" Langkah Pinky terhenti.
Aming menangkup wajahnya dengan gemas. "Senyum dulu dong," ucapnya. "Orang bilang, bikin bayi harus dengan hati bahagia, biar cepet jadi."

Dan luar biasa. Setelah mendengar kalimat itu, senyum cerah segera merekah di wajah Pinky.
"Sayang, bikin bayi, yuk," ucapnya riang.

Aming kembali terbahak. Setelahnya ia mendaratkan ciuman dalam di bibir perempuan tersebut. Ya Tuhan, betapa ia mencintai perempuan yang satu ini.

"I wanna bite you... And eat you..." Kali ini Aming berbisik menggoda di atas bibir Pinky sembari mengangkat tubuh perempuan tersebut. Keduanya berciuman panas.

Dan dalam perjalanan ke kamar, kancing kemeja Aming sudah terbuka seluruhnya.

°°°

"Batalkan saja." Aming berucap pada telepon yang ia apit antara bahu dan telinga. Tangannya sibuk memasukkan beberapa potong baju ke dalam koper.

"Iya, batalkan saja semuanya." Aming kembali berujar tegas pada sekretarisnya di seberang sama.
"Aku kan sudah bilang, kosongkan semua jadwalku di akhir pekan. Aku nggak peduli sepenting apapun orang itu, yang jelas, aku nggak mau melakukan pertemuan bisnis di akhir pekan," ucapnya lagi.

"Akhir pekan adalah waktu keluarga. Dan aku sedang berencana mengajak istri dan anakku liburan. Jadi, buat ulang saja jadwalnya untuk senin depan."

Aming belum sempat mengakhiri pembicaraan di telepon ketika terdengar derap kaki berkejar-kejaran.

Sesosok balita perempuan berumur sekitar tiga tahun menyeruak ke kamar dan berlarian dalam keadaan telanjang.

Sementara di belakangnya, Pinky yang menenteng handuk dan baju anak,  tampak kewalahan mengejar bocah tersebut.

"Ruby, pake baju dulu, Nak," teriaknya.

Bocah mungil yang dipanggil Ruby itu berlarian lagi di seluruh penjuru kamar. Naik ke ranjang, berlindung di belakang tubuh Papinya yang masih menelpon, lalu berlarian lagi menghindari tangkapan Maminya.

"Ruby, jangan lari-larian gitu dong," Aming berujar seraya menyudahi panggilan telponnya.

Pinky tampak kewalahan meladeni putrinya yang gesit.
"Habis mandi harus pake baju dulu, Sayang. Nanti kamu kedinginan." Pinky sudah ngos-ngosan.

"Ogah, Mamiiii... Panaasss.... Aku macih gelaaahhh..." Bocah itu menjawab.

#Gubrakk

Aming dan Pinky tercengang. Keduanya berpandangan, lalu tawa mereka pecah.

"Nah, kan? Coba tebak dia foto copy-annya siapa?" Aming tergelak lagi. Pinky juga.

"Biar aku yang urus. Kamu siap-siap aja sana." Aming beranjak, meraih handuk dan baju dari tangan Pinky. Ia tak sungkan untuk mengecup bibir istrinya, ringan.

Pinky tersenyum. "Yakin?"

Aming kembali tersenyum. "Dalam hal ini, aku sudah sangat berpengalaman." Ia terkikik.

Pinky mengerutkan bibir, tapi sejurus kemudian ia tersenyum. "Makasih, Sayang. Kalo gitu aku mandi dulu." Sebelum beranjak, ia sempat balas mengecup bibir suaminya.

Tatapan Aming beralih pada putrinya yang masih saja berlarian ke sana kemari.

"Ayo, Sayang. Pake baju dulu, yuk," ucapnya lembut. Ia mendekati putrinya dan bocah itu segera menghindar dengan gesit.
"Nggak mau pake bajuuu...!" Dan ia terus saja berlarian sambil terkikik.

Dan Aming pun mengejar bocah itu dengan tak kalah gesit. Pria itu tak berhenti tertawa ketika akhirnya ia malah kejar-kejaran dengan bocah mungil tersebut.

Sungguh, Ruby adalah duplikat Pinky. Tidak diragukan lagi.

Dan Aming sangat bersyukur, karena ada dua perempuan ajaib dalam hidupnya.

Pinky, dan putri kecil mereka, Ruby.

°°°

Selesai.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro