13. Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah membanting pintu dari dalam, Aming berdiri dengan perasaan campur aduk.
Satu tangan ia letakan di pinggang, sedang tangan yang lain menekan pangkal hidung dengan lelah.

Berharap bahwa Ia baru saja salah baca, nyatanya tidak.

Pinky akan ke Afrika.
Jadi relawan UNHCR di sana selama kurang lebih dua tahun.

Aming tahu semua itu adalah cita-cita istrinya.
Tapi, jika ia benar-benar pergi ke sana, bagaimana dengan rumah tangganya?
Bagaimana dengan dirinya?

Lelaki itu mendesis. Terhuyung, ia berjalan gontai ke ranjang dan menjatuhkan tubuhnya ke sana.

°°°

Makan malam yang biasanya dipenuhi celotehan Pinky, kini berlangsung senyap.
Aming asyik memasukkan makanan ke mulutnya dengan ekspresi datar.
Sementara Pinky yang duduk di hadapannya terlihat kikuk. Sesekali perempuan itu mencuri pandang ke arah suaminya dan jelas ia tahu, suasana hati pria itu sedang buruk.

"Ming..." panggil Pinky hati-hati. Ia memutuskan, mereka harus bicara.

"Hm?" Aming menjawab cuek. Masih fokus pada makanan di piring, menatap istrinya saja tidak.

Pinky menggigit bibir. Berusaha menahan diri agar pertengkaran di antara mereka tidak pecah.
"Soal surat pemberitahuan dari UNHCR, sebetulnya... surat permohonan untuk jadi relawan sudah lama kukirimkan jauh sebelum nikah. Jadi... "

"Jadi?" Kalimat Aming dingin.

"Kontraknya akan berlangsung selama dua tahun. Menurutmu, aku harus gimana?"

"Nggak gimana-gimana," jawab Aming ketus. Pinky menggigit bibir lagi sembari menatap suaminya dengan perasaan campur aduk.

Sebetulnya Aming juga tak tega memberikan jawaban ketus seperti itu. Tapi tetap saja, ingat bahwa istri kesayangannya akan berjauhan darinya selama dua tahun, tiba-tiba ia didera amarah nyaris ubun-ubun.

Betapa ia ingin melarang istrinya berangkat, betapa ia ingin menolak mentah-mentah keinginan istrinya ke sana, betapa ia tak rela berjauhan dengannya.

Tapi begitu ingat bagaimana Pinky bercita-cita untuk mengabdikan ilmunya pada orang-orang yang membutuhkan, Aming merasa tak berdaya.
Sudah lama Pinky memimpikan kesempatan ini. Kesempatan yang bisa saja takkan terjadi lagi dalam kurun waktu yang cukup lama.
Apakah ia akan tega menghancurkan impian perempuan itu?
Tentu tidak.

"Jadi menurutmu aku harus berangkat?"

"Berangkat ya berangkat aja, gak apa-apa."
Aming menjawab dengan enteng hingga membuat Pinky nyaris menghambur ke arah suaminya dan menarik-narik rambutnya.

"Ming, ini Afrika lho?"
"Lha terus?"
Kali ini keduanya bersitatap.

"Afrika itu belahan bumi yang lain, jauh. Terus kalo aku ke sana, kita bagaimana?"

"Tapi itu impianmu, kan? Dan kamu pengen berangkat, kan? Ya udah, berangkat aja sana." Aming bangkit lalu melenggang meninggalkan ruang makan. Pria itu menuju ruang kerjanya dan ia membanting pintu dari dalam.

Pinky mendesah, menatap seisi ruangan yang makin terasa hampa.
Dan perlahan air matanya menitik.

°°°

Keesokan paginya, Pinky datang ke Rumah Sakit dengan pikiran berkecamuk.
Matanya sembab, semalam ia banyak menangis.
Diskusi yang ia harapkan mampu mengurai keruwetan di kepalanya ternyata gagal total.

Aming mengurung diri di ruang kerja, sehingga ia harus tidur sendirian.

Baru memasuki ruang lobi, Pinky disambut oleh perempuan cantik tinggi semampai dengan kaca mata bertengger di atas kepala. Tas branded seharga nyaris 400 juta menggantung elegan di lengan tangan.  
Icha.

Mood Pinky yang sudah buruk sejak tadi malam, akhirnya makin tak karuan.
Jadi untuk apa wanita ini menemuinya lagi? Pengen adu jambak?

"Bisa bicara?" Perempuan itu berujar tanpa menyapa.
Pinky mendesah lelah. Dengan dagunya ia menunjuk salah satu kursi kosong di lobby.
Perempuan itu beranjak ke sana, Icha mengekor.

"Jadi, mau ngomongin apa lagi?" Pinky menegakkan punggung sembari bersedekap.
Icha melakukan hal yang sama.
Meletakkan tas di meja, menyibakkan rambut ala iklan shampoo, ia kemudian bersedekap.

"Aku udah ketemuan dengan Direktur Rumah Sakit. Dan aku udah mencabut tuntutan. Setelah dipikir-pikir, ternyata aku juga bersalah dengan insiden yang menimpa kita beberapa waktu lalu. Aku nggak mau disebut pelakor. Jadi, aku ingin minta maaf karena telah mengungkit masa lalu suamimu denganku."

Bibir Pinky berdecih menatap kelakuan perempuan di hadapannya. Minta maaf kok arogan gini? Cih.

"Aku sudah merenung. Dan putusnya hubungan kami dulu murni karena kesalahanku. Aku memilih mencampakkannya demi tawaran jadi model di luar negeri." Kali ini ia tertawa getir.
"Dan aku sadar itu keputusan paling bodoh yang pernah kuambil. Aku mengambil keputusan yang salah."

Entah hanya perasaannya saja, Pinky melihat kedua mata Icha berkaca-kaca.

"Maka dari itu, rasanya memang nggak pantes kalo aku mengemis cinta padanya sementara akulah yang bertanggung jawab atas kandasnya hubungan kami. Jadi, aku nggak akan menemuinya lagi, aku juga nggak akan mengganggu hubungan kalian lagi. Aku berencana ke Singapura dan mengambil pekerjaan di sana. So, anggap ini pamitan dariku."

Pinky tercenung. Ia terlalu bingung untuk memberikan reaksi apa setelah mendengar curhatan yang lumayan panjang dari mantan pacar suaminya.

"Intinya, kamu beruntung banget bisa ngedapetin Aming. Dia bener-bener pria yang baik. Dia sabar, dia penyanyang, dia... luar biasa. Akunya aja yang terlalu bodoh. Aku tega melepas pria sebaik Aming demi mengejar impian semu ke Paris." Perempuan itu tampak begitu menyesal.

Pinky tertegun. Impian semu?

"Aku pikir menjadi model internasional adalah suatu kebahagiaan hakiki yang telah kukejar. Nyatanya, semuanya semu. Aku nggak pernah bahagia seperti aku memiliki Aming di sisiku." Ia mengangkat bahu cuek.

"Baiklah, sepertinya itu saja yang ingin kusampaikan." Ia bangkit. "Tulus aku berdoa, semoga kalian langgeng dan bahagia."  Perempuan itu meraih tas.

"Oh iya, aku sudah bicara panjang lebar dengan atasanmu dan kamu nggak akan dipecat. Aku juga udah minta maaf secara pribadi karena telah membuat keributan---"

"Aku berniat mengundurkan diri," potong Pinky.
Icha tampak terkejut.
"Ada alasan pribadi." Buru-buru Pinky melanjutkan.

Icha manggut-manggut. "Baiklah, terserah kau saja," jawabnya. Ia beranjak.
Baru beberapa langkah, ia berbalik dan kembali menatap Pinky. 
"Soal foto-foto itu. Aku tahu kamu yang melakukannya. Gak apa-apa, mungkin memang sudah waktunya untuk Move On. Thanks karena kamu udah ikut membantuku melakukannya." Dan perempuan itu benar-benar melangkah pergi.

Sepeninggal Icha, Pinky duduk mematung.
Entah mengapa, pertemuannya pagi ini dengan Icha seolah memberikan ia kaca.
Ia seakan melihat dirinya sendiri.

Betapa ia ingin pergi ke Afrika karena itu adalah impiannya sejak dulu.
Tapi meninggalkan suami tercinta selama dua tahun, sanggupkah ia lakukan?

Afrika itu bagian bumi yang lain, jauh. Bagaimana mereka akan menjalani hubungan mereka?
Sementara orang menikah tidak hanya butuh komunikasi verbal dan... semua akan baik-baik saja? Tidak, tentu saja tidak demikian.

Mereka butuh bertatap muka, butuh bermesraan, butuh bercinta, butuh berbagi rasa, bertukar pikiran, bagaimana ia akan melakukannya?

Air mata Pinky nyaris tumpah mengingat kembali kegalauan yang ada di dirinya. Di tambah dengan semua kata-kata Icha, berjubel sesak.

Ia baru saja bangkit dari kursi ketika tiba-tiba Joshua menghambur ke arah dirinya dan memeluknya erat.

"Pinky, selamat! Aku dengar dari Giska kalo lamaranmu jadi relawan di Afrika diterima. Astaga, kamu pasti seneng banget. Itu adalah impianmu sejak lama... "

Mendengar kata impian, relawan, Afrika, jebol sudah pertahanan Pinky.
Tangisan perempuan itu pecah.

Joshua masih saja tersenyum semringah. "Astaga, saking senengnya kamu jadi nangis terharu gini? Selamat ya..."

Dan tangis Pinky makin menjadi.

°°°

Pinky batal mengurus surat pengunduran diri dan memilih untuk tancap gas ke rumah Maminya.
Sampai sana, tangisnya pecah lagi dan ia terus sesenggukan.

"Ini nangisin Joshua lagi? Joshua ciuman sama Dokter Giska lagi?" tanya Maminya sewot.
"Bukan, Mih..." jawab Pinky lirih.
"Lalu?"

Dengan terbata, Pinky menceritakan semua. Tentang panggilan jadi relawan UNHCR ke Afrika, tentang kegundahannya pada pernikahannya dengan Aming, tentang rasa sayangnya pada pria itu.
Dan Mami mendengarkan ceritanya dengan seksama.

"Afrika itu 'kan jauh, Ping. Dua tahun lagi. Kalo kamu ke sana, terus kapan Mami dapat cucu?" ujar Maminya dengan ekspresi nelangsa.

"Tapi jadi relawan ke sana itu impianku sejak dulu, Mih. Mami nggak tau sih betapa aku menunggu kesempatan ini datang." Pinky menjawab dengan sesenggukan.

"Jadi kamu berniat berangkat ke sana?"

"Tapi aku nggak mau pisah sama Aming, Mih..."

"Lha terus kamu maunya apa? Berangkat ke Afrika apa tetep di sini?" Maminya bertanya langsung dan Pinky langsung kicep.

Sungguh, ia tak tahu harus mengambil keputusan seperti apa.

°°°

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro