12. Hati-Hati Dengan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan mengendarai mobil ala-ala Fast Furious, Pinky dan Maminya meluncur ke rumah Aming. Maminya yang mengemudi.
“Mami udah ahli kalo soal ngebut. Sini, biar mami aja yang nyetir,” ucapnya.

Memanfaatkan pengalaman di kala muda dulu yang sering balapan mobil, dibarengi rasa gondok karena cita-citanya sebagai pembalap nggak tercapai, perempuan setengah baya itu mengemudi gila-gilaan. Lampu merah diterobos, salip kanan salip kiri, zig-zag, tancap gas, luar biasa pokoknya.

Sementara Pinky yang duduk di bangku penumpang jejeritan nggak ketulungan. Tubuhnya bahkan terlontar berkali-kali dari kursi penumpang manakala maminya menukik dan berbelok dengan membabi buta.

“MAMIIIIIH!!! PELAN-PELAN, MIIIIH!! AKU NGGAK MAU MATI DULU, MIHHHH!! AKU BELUM PUAS ENA-ENA SAMA AMING, MAMIIIHHH!! HUAAA!!” jeritnya.

Masih dalam posisi mengemudi, Mami menatapnya sekilas dengan sorot mata berkilat.

“INI KALO NGGAK CEPET-CEPET NYAMPEK SANA, BAKAL ADA PERTUMPAHAN DARAH, PING!” balasnya.

Glek, Pinky menelan ludah. Pertumpahan darah? Ou-em-ji!

Ia ingat dulu ketika dirinya masih duduk di bangku es-em-a, pernah ada beberapa cowok berandalan yang mengganggunya di Gang. Dan hari itu juga, Papinya menyisir seluruh komplek demi bisa menemukan siapa saja yang telah mengganggunya. Dan setelah itu, papi menghajar mereka sampai babak belur.
Duh.

Emang sih Papinya rada geje, tapi tak bisa dipungkiri kalau beliau sangat over protective padanya.

Berani menyakiti Pinky, babak belur sudah pasti.

“YA UDAH, MIHHH!! TANCAP GASSSSS!!” Dan akhirnya Pinky menyerah. Ya sudah, kebut-kebutan nggak apa-apa. Yang penting, mereka bisa segera sampai rumah dan mencegah pertumpahan darah antara Aming dan Papi.

Seolah mendapat suntikan energi, Mami Pinky menggila. Tancap gas, perempuan itu berteriak penuh semangat, “MERDEKAAA!!!!”

°°°

Rem berdecit dan mobil yang ditumpangi Pinky dan Maminya berhenti di halaman rumah layaknya mobil pembalap profesional. 
Dan ketika sampai sana, rumah dalam keadaan sepi. Lengang.

Pinky dan Maminya buru-buru keluar dari mobil lalu berpandangan. “Duh, gawat nih. Kok sepi gini? Jangan-jangan...” Mami menatap Pinky dengan was-was.

Dan segera dua perempuan berbeda generasi itu menghambur memasuki rumah.
“Amiiinnnggg!” teriak Pinky.
“Papiiiii!!” Mami juga ikut berteriak.

Menyusuri ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga di lantai satu, tak ada tanda-tanda peperangan. Lengang.

Pinky dan Maminya kembali berpandangan dengan was-was.
“Duh, jangan-jangan, mereka udah...”

“Amiing!!” Pinky berlari menaiki anak tangga dengan langkah panjang.
“Papiii!” Maminya mengekor.

Sampai di lantai dua, menyusuri tiap ruang dengan perasaan berkecamuk dan kalut, akhirnya mereka menemukan pemandangan luar biasa di sana, di ruang keluarga.

Papi dan Aming tengah duduk santai menonton... FILM INDIA?!!

Pinky dan Maminya cengo seketika.

“Aming?!”
“Papih?!”
Mereka memanggil bersamaan.

Yang dipanggil menoleh. Aming tampak sibuk mengunyah pop corn, sementara papinya baru saja memasukan sepotong kentang goreng ke mulutnya.

Mereka beradu pandang.

“Lah, kiraian Papi bakal menghajar Aming?!” Pinky menjerit.

Papi dan Aming berpandangan, lalu tergelak. Buru-buru dua lelaki tersebut beranjak. Papi menghampiri Mami, dan Aming menghampiri Pinky. Menggamit lengan mereka dan mengajaknya duduk di sofa santai.

“Kamu pikir Papi akan buru-buru menghajar Aming gara-gara info yang salah dari Mamimu, gitu?” Papi terkekeh.

Mami mengerutkan bibirnya sebal. “Pinky ceritanya geje gitu sih, makanya Mami salah paham.”

“Mami sih buru-buru ngambil kesimpulan.” Pinky tak mau kalah.

Alhasil, dua perempuan sedarah itu kini yang beradu argumen.

“Untungnya papi nggak buru-buru emosi. Lagipula, Aming ini menantu idaman. Udah lama papi mengawasi gerak-geriknya sebelum akhirnya papi merelakan ia menikah denganmu, Ping. Dan nggak mungkin dia bakal nyakitin putri kesayangan papi hanya karena hal sepele. Betul, kan, Ming?” Papi Pinky menatap Aming dengan bangga.

Dan ekspresi Aming pun tak jauh berbeda. Bangga luar biasa karena mendapat pujian dari mertua kesayangan.

“Jadi sebetulnya yang ciuman dengan sahabatmu itu siapa, Ping?” tanya Papi kemudian.

“Joshua, Pih,” jawab Pinky cepat. “Aku belum sempat selesai cerita ke Mami, eh, udah main lapor aja.”

“Kamu cerita sambil sesenggukan gitu, gimana Mami nggak kalang kabut,” Mami protes lagi.
Lagi-lagi, dua perempuan itu bersitegang.

Papi meremas bahu Mami dengan sabar. “Udah, Mamih. Yang penting sekarang kita bisa bicara dari hati ke hati biar semuanya clear,” ucapnya.

“Pinky, Papi nggak tahu kenapa kamu sampai nangis-nangis gara-gara Joshua. Tapi kayaknya, kamu berhutang penjelasan pada suamimu,” Papi melirik Aming. “Jadi setelah ini, Papi dan Mami akan pulang, dan kalian bisa berdiskusi dengan baik. Oke?”

Tatapan Pinky beradu dengan suaminya. Dan perempuan itu menelan ludah. Duh, makin gawat nih kayaknya, rutuknya.

“Ntar kalo kalian udah baikan, kita bikin jadwal untuk nonton film india lagi ya.” Papi berbisik di telinga Aming.

Kali ini ganti Pinky dan Maminya yang bersitatap.

Hoalah, mertua sama menantu kok spesiesnya sama!

Untung Papanya Aming penyuka hal-hal yang berbau korea. Coba kalo beliau juga suka india, duh, bisa dibayangin mereka semua akan ber-acha-acha-nehi-nehi.

°°°

Pinky duduk di pinggir ranjang dengan gugup. Sementara Aming berdiri di dekat kusen jendela sembari bersedekap. Setelah Papi dan Mami Pinky pulang, Aming mengajak istrinya ke kamar. Diskusi, dia bilang.

“Jadi sebenarnya, hubunganmu sama Joshua itu kayak apa sih?” Aming membuka suara.
“Cuma temen,” jawab Pinky cepat.

“Kalo cuma temen, kenapa kamu sampai nangis-nangis gitu dengan apa yang dilakuin Joshua ke Dokter Giska?” Lagi-lagi Aming bersuara serius.

Pinky mendesah dan memantapkan diri menatap suaminya.

“Aku dan Joshua teman baik, Ming. Sejak dulu, jauh sebelum kita menikah. Selama ini kami terbuka satu sama lain. Aku sering curhat ke dia, dia juga sering curhat ke aku. Joshua selalu terbuka padaku tentang banyak hal. Jadi ketika aku tahu ia melakukan hubungan diam-diam dengan dokter Giska, aku merasa dikhianati sebagai sahabat. Maksudku, kenapa nggak pernah cerita kalau mereka deket?”

Aming masih menyimak cerita istrinya dengan sabar.

“Dan jujur aku sakit hati, merasa dikhianati. Aku kayak nggak dipercaya lagi sebagai sahabat.”

Aming manggut-manggut.

“Ping...” Pria tersebut menggigit bibirnya sejenak. “Ngerasa nggak sih kalo kamu tuh sedikit lancang. Maksudku, walau kalian bersahabat baik, tetap saja ada batasan di mana ia tidak harus menceritakan semua kehidupannya, begitupula sebaliknya. Kamu juga nggak punya kewajiban menceritakan kehidupan pribadimu dengannya.”

“Tapi kenapa harus dengan dokter Giska?”

“Memang kenapa dengan dokter Giska?” Aming bertanya tegas.

“Joshua itu pria baik-baik. Dia polos, dia lugu, dia baik. Sementara dokter Giska, dia sering gonta ganti cowok. Aku takut Joshua terluka,” ucap Pinky sewot.

Aming menarik napas sejenak, lalu bergerak dan duduk di samping istrinya. 

“Ping, kita nggak tahu dengan kehidupan pribadi orang lain. Dokter Giska mungkin tipe perempuan easy-going yang sering gonti-ganti pria, tapi bisa jadi ia punya sisi tersendiri yang membuat Joshua jatuh hati dan merasa cocok dengannya. Dan sebaliknya, bisa juga Joshua adalah pria yang mampu menyudahi petualangan Dokter Giska.

“Yang perlu kamu lakukan adalah memberi mereka kesempatan. Memang kenapa kalo hubungan mereka pada akhirnya tidak berjalan dengan baik? Takut ada yang terluka? Mereka bukan anak-anak abege. Mereka pria dan wanita dewasa yang tahu mengatur hati mereka sendiri.”

Aming menatap Pinky yang masih saja tertunduk.

“Nggak ada yang tahu dengan masa depan. Seperti kita misalnya? Tiba-tiba saja harus menikah, dan pada akhirnya kita bisa saling jatuh cinta dengan mudah. Padahal kamu sendiri bilang bahwa kamu bukan tipe perempuan yang suka berkomitmen. Aku pun begitu. Aku bukan tipe pria yang bisa jatuh hati dengan mudah. Faktanya?”

Pinky mendongak dan memberanikan diri menatap suaminya.

“Jadi aku harus gimana?” Akhirnya ia bertanya.

“Beri kesempatan pada Joshua dan Dokter Giska untuk mengembangkan status hubungan mereka. Kamu nggak punya hak untuk mengatur,” jawab Aming. “Bicaralah baik-baik dengan mereka. Gimanapun juga, mereka temen-temen kamu.”

“Ntar kamu marah-marah lagi kalo aku ngobrol sama Joshua?” Pinky manyun.

“Asal kamu ngobrolnya nggak pake peluk-peluk aja. Kayak yang waktu itu.” Kali ini Aming terdengar sewot lagi.

“Kan cuma pelukan sebagai sahabat, Ming,” erang Pinky.

Kali ini Aming mendesah, “Iya deh, iya,” ucapnya. “Ngomong-ngomong, beneran tadi kamu berniat membawa Joshua kemari?” Pria itu kembali memastikan.

Dan Pinky mengangguk dengan pasrah. “Kamu yang minta supaya Joshua dibawa kemari agar ia bisa bantu ngejelasin kalo kami tuh serius cuma bersahabat. Nyatanya, dia lagi sibuk pacaran.”

Aming menatap istrinya dengan takjub. “Woa, aku tersanjung. Kamu jauh-jauh nyariin Joshua cuma mau ngajakin dia ke sini.” Ia terkikik.

“Demi kamu. Aku nggak mau kamu salah paham. Aku nggak suka kita bertengkar.” Pinky menjawab enteng.

Keduanya berpandangn. Dan Aming yang berinisiatif untuk mendaratkan kecupan lembut di bibir istrinya. “Sorry, itu tadi karena aku cemburu sama kamu,” bisiknya. “Sekarang enggak lagi.” Ia tersenyum, dan kembali mengecup istrinya lembut.

Dan tak butuh lama kecupan ringan itu menjadi lebih intim. Aming pandai menularkan gairah pada Pinky, begitupula sebaliknya.

Ciuman dan cumbuan yang mereka lakukan nyaris saja berakhir menjadi adegan percintaan jika saja Aming tak buru-buru menarik diri.

“Nggak ada persediaan kondom,” keluhnya. “So, let’s stop it.”

Aming hendak bangkit, tapi tangan Pinky dengan cekatan menarik kerah baju pria tersebut hingga ia kembali jatuh terduduk di pinggiran ranjang.

I don’t need it. Let’s do it.” Dan Pinky yang kali ini mencium Aming. Menyesap bibirnya dalam dan posesif.

Aming mengerang. Membalas ciuman istrinya tak kalah panas seraya mendorong tubuh perempuan itu ke ranjang. Dan dalam hitungan detik, mereka sudah saling melucuti pakaian masing-masing.

°°°

Pinky memutuskan menemui Joshua di ruangannya. Ia datang ke sana dengan ekspresi canggung. Pun begitu dengan Joshua yang nampak kikuk manakala melihat kedatangan sahabatnya.

“Hai.” Pinky menyapa kaku. Dan Joshua juga begitu. Menjawab sapaan Pinky dengan tubuh dan ekspresi wajah tak kalah kaku.
Keduanya bersitatap lama.

“Aku...”
“Aku...”

Mereka membuka suara bersamaan. Lalu hening lagi.

“Duduk dulu.” Joshua menyilakan Pinky duduk di sofa. Pinky manggut-manggut lalu segera duduk di sana.

“Jadi, bisakah kita bicara dari hati ke hati sekarang?” tanya Pinky kemudian. Joshua bangkit lalu bergerak untuk duduk di sisi Pinky, sedikit lebih jauh dari biasanya.
Ia mengangguk samar pada sahabatnya.

“Josh, aku minta maaf soal kemarin. Sepertinya aku bertingkah kelewatan dan sedikit ... kekanak-kanakan. Reaksiku ketika melihatmu berciuman dengan Dokter Giska sepertinya terlalu berlebihan dan---,”

“Aku juga minta maaf, Ping.” Joshua memotong. Menyebabkan mereka beradu pandang. Dan situasi itu membuat atmosfir di antara mereka sedikit lebih rileks.

“Kamu pasti berpikir kalo waktu itu aku ngegombal sama kamu. Kubilang aku masih sayang sama kamu, dan nyatanya aku malah pedekate sama dokter Giska. Sebenarnya bukan begitu. Aku hanya, apa ya, mencoba menjalani hubunganku dengan dokter Giska secara diam-diam karena awalnya aku sendiri belum yakin dengan perasaanku. Begitupula dengan dokter Giska sendiri. Maaf ya kalo aku nggak gentle dan terkesan manfaatin kamu.”

Joshua menggigit bibir. Terlihat lumayan menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan pada Pinky.

"Aku kecewa karena kamu nggak cerita jujur dari awal kalo kamu dekat dengan dokter Giska." Pinky menyahut.

"Aku tahu. Dan aku minta maaf. Aku hanya masih bingung dengan perasaanku sendiri."

"Lalu sekarang?"

Joshua tak segera menjawab.

"Dan kenapa harus Dokter Giska?"

Lagi-lagi Joshua tak segera menjawab. Perlahan pria itu hanya mengangkat bahu pasrah.
"Entah, tiba-tiba semua terjadi begitu saja," ucapnya.

Pinky menarik napas. "Josh, apa kamu bahagia bersama Dokter Giska?"

Segera Pinky lihat binar di kedua mata milik sahabatnya.
Pria itu menatap Pinky dengan ekspresi hangat. "Jujur, iya," ucapnya.

"Aku nggak nyangka kalo kami bakal nyambung kayak gini. Secara nggak sengaja kami ngobrol dan tiba-tiba aja kami cocok satu sama lain." Bibir Joshua tak berhenti tersenyum.

"Dokter Giska itu asyik. Orangnya rame, bikin nggak bete. Selain itu, dia lucu, dia ceplas-ceplos. Dia nyenengin, bikin gemes, pokoknya... "

Hanya dengan melihat Joshua berbicara, Pinky tahu bahwa pria itu bahagia.

Ya, ia bahagia dengan keberadaan Dokter Giska di sisinya. Dan jujur saja, Pinky ikut senang.

"Josh, kalo kamu bahagia kayak gini, aku juga ikut bahagia." Pinky berujar haru.
Ia sempat ragu untuk menghambur dan memeluk Joshua setelah ingat pesan Aming.
Tapi, masa bodo ah.
Joshua sahabat terbaik baginya. Aming pasti ngerti.

Dan akhirnya, perempuan itu beringsut dan memeluk Joshua.

"Berbahagialah, Josh. Semoga kamu dan Dokter Giska langgeng. Aku bener-bener ikut seneng," ucapnya.

"Thanks, Pink. You're my bestfriend," jawab Josh.

Keduanya berpelukan haru.

Setelah ini, Pinky berencana bicara dengan Dokter Giska.

°°°

Selepas dari ruang Josh, Pinky berniat ke ruangan Dokter Giska. Namun begitu, ia sempat mampir dulu ke ruangannya sendiri untuk mengambil ponsel yang tadi ketinggalan.

Ketika baru membuka pintu, ia sudah menemukan Dokter Giska di sana.

Duduk dengan kikuk di sofa di dalam ruangan.

Melihat kedatangan Pinky, Dokter Giska buru-buru bangkit.

"Dokter Pinky, aku sudah insaf," ucapnya lantang.

Eh?
Pinky cengo. Belum juga menyapa udah ditodong sama kata 'insaf'.
Dikira pengajian kali.

"Aku bener-bener udah insaf, Dokter Pinky," ceplos Dokter Giska lagi.

Pinky terkekeh. "Apaan sih, Dok? Geje banget." Ia berjalan melewati Dokter Giska dan duduk di kursinya.

"Soal Joshua," ceplos Dokter Giska lagi.

Pinky tertegun. Ia menjangkau tangan perempuan itu, menariknya pelan dan memintanya duduk di kursi yang ada di depannya.

"Duduk dulu deh," ucapnya.
Bagaimanapun juga, Dokter Giska adalah salah satu sahabat dan rekan sejawat yang baik.
Dan sepertinya mereka memang harus bicara dari hati ke hati.

"Dokter Giska, maaf karena kemarin aku sempat bertingkah kekanak-kanakan." Pinky berucap maaf terlebih dahulu. "Hanya aja, aku terlalu kaget dan---"

"Aku tahu kamu nggak nyaman dengan hubunganku bersama Joshua. Dia sahabat baikmu, dan wajar jika kamu khawatir. Tapi percayalah, aku nggak berniat mempermainkannya. Dulu aku memang kerap gonta ganti cowok, tapi sekarang enggak lagi. Aku udah insaf, Dok. Aku berniat menjalani hubungan serius dengan Joshua. Karena kami cocok satu sama lain, dan... dia membuatku bahagia. "

Dokter Giska berujar dengan gamblang, rinci dan percaya diri.

Sejenak Pinky merasa takjub.
Joshua benar.

Di luar masa lalunya yang dulu suka gonta ganti cowok, perempuan ini memang ceplas-ceplos, gemesin, dan menyenangkan.

Dan tak salah kalau akhirnya Joshua jatuh cinta padanya.

"Dokter Giska..." Pinky tersenyum sambil meraih tangan Dokter Giska dan menggenggamnya erat.

"Jika kamu bahagia, Joshua bahagia, maka nggak ada yang bisa kulakuin selain mendoakan kebahagiaan kalian. Aku harap, kalian langgeng, Dok." Pinky berujar tulus, menciptakan binar terang di kedua mata Dokter Giska yang bening indah.

"Sungguh?"

Pinky mengangguk.

"Kamu nggak akan menghalangi hubunganku dengan Joshua, kan?"

Pinky tergelak. "Enggak-lah. Malah bagus, jadi kamu nggak godain Aming lagi."

Dokter Giska ikut tergelak.
"Sekarang udah enggak lagi. Joshua udah yang paling cakep di hatiku."

Bibir Pinky mencebik.
Dan dua sahabat itu bangkit untuk saling memeluk dan memberi dukungan.

"Oh, iya. Aku juga punya berita baik untukmu." Dokter Giska bergegas meraih map di sofa yang kemungkinan ia bawa ketika masuk ke sini, lalu menyodorkan map itu pada Pinky.

"Surat Pemberitahuan dari UNHCR. Formulir pendaftaranmu untuk jadi Dokter Relawan di Afrika diterima. Kamu bisa berangkat ke sana bulan depan."

Pinky membelalak. Tubuhnya membeku seketika.

"Apa?" Ia mendesis lirih, tanpa sadar.

"Surat salinan pemberitahuan ini juga sudah dikirim ke alamat rumahmu."

Lagi-lagi Pinky membeku, bingung.

°°°

Pinky berlari memasuki rumah dengan buru-buru.

Berharap surat pemberitahuan dari UNHCR yang Dokter Giska maksud belum diketahui Aming.

Tapi telat.

Ketika ia sampai sana, ketika langkahnya baru saja sampai di ruang tamu, pria itu tengah berdiri kaku dengan lembaran kertas di tangan.

Lembaran kertas dengan logo UNHCR di sana.

Ia bahkan masih mengenakan jas, terlihat bahwa ia juga baru saja pulang.

"Ming..." panggil Pinky lirih.

Aming menoleh. Raut mukanya tampak campur aduk. Ada ekspresi syok, kesal, bingung, semua jadi satu. Tangannya sedikit gemetar.

"Jadi kamu mengajukan diri untuk jadi relawan di Afrika?" Suaranya serak.

Pinky terdiam sejenak. "Itu..."

"Selamat kalo gitu, kamu diterima. Akhirnya cita-citamu kesampaian, kan?" Suara Aming berubah ketus sekarang.
Ia meletakkan kertas-kertas itu ke meja lalu beranjak.

Meninggalkan Pinky dengan langkah panjang, tanpa menoleh kembali ke arahnya.

Sesaat kemudian terdengar suara pintu dibanting.

Dan tiba-tiba saja, ruangan yang baru saja ia tinggalkan terasa lengang.

Hampa.

°°°

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro