Cerita 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Daniel melajukan pelan kendaraannya menyusuri jalanan London yang sibuk. Musim panas kali ini benar-benar menyengat yang dimanfaatkan warga dengan maksimal. Taman-taman dipenuhi orang yang ingin mendinginkan suhu tubuh. Musim panas tahun ini memang tercatat memiliki suhu tertinggi dalam 70 tahun terakhir. Menggoda orang untuk menghabiskan waktu di luar rumah – alih-alih di dalam ruangan.

Jam di dashboard mobil menunjuk pukul delapan malam. Suasana di luar sudah mulai gelap. Seharusnya dia mengendarai mobilnya pulang ke apartemennya yang nyaman sambil menikmati makan malam ditemani pemandangan Menara London yang cantik. Seharusnya begitu karena tubuhnya sendiri sudah lelah hasil dari bekerja gila-gilaan selama musim panas ini. Nyatanya.... tidak!

Mobil Audi hitam metalik yang dikendarainya justru melaju ke arah Bloomsbury. Melewati taman-taman kota yang masih padat orang, melintasi bangunan-bangunan dengan arsitektur megah yang memanjakan mata, dan terus melaju dengan pikiran nyaris kosong, kecuali memikirkan sosok cantik yang terus mengganggu benaknya sejak makan siang tadi.

Natalie Graceline Brown.

Jujur saja hati Daniel terusik saat mengingat pemilik nama itu. Daniel mengumpamakan Nat bagai seekor anak anjing liar yang terlantar di tepi jalan, di tengah musim dingin yang membekukan tulang, tanpa rumah perlindungan dan makanan. Mengenaskan.

Oke, baiklah, itu hiperbola memang. Tapi perumpaan Daniel menggambarkan bagaimana dirinya sangat ingin memungut sang anak anjing dan memeliharanya di apartemen. Bukan berarti Nat sama dengan si anak anjing terlantar, namun sesuatu dalam diri gadis itu – yang baru dilihatnya siang tadi – telah membangkitkan naluri lelaki Daniel. Naluri untuk melindungi dan menyayangi.

Daniel memutar kemudi. Dia baru saja melewati Bloomsbury Square. Hatinya bertanya-tanya, apa kedatangannya ke distrik ini hanya karena kebetulan semata atau memang ada campur tangan mistis dari takdir untuk mempertemukannya dengan Nat?

Kini Audi yang dikendarainya mulai memasuki Willoughby Street. Suasana jalan mulai lengang. Mata Daniel mencari-cari tempat makan yang enak. Perutnya sudah tak bisa diajak kompromi. Dia kelaparan dan konser di perutnya benar-benar menuntut makanan yang lezat.

Saat itulah ekor matanya menangkap selintas bayangan yang seharian ini terasa familier dan terus mengganggu pikirannya. Dipelankannya laju mobil. Matanya memicing, mengamati sosok yang berjarak hanya dua puluh meter darinya dengan lebih jelas. Jantungnya seketika berdetak cepat.

Itu Nat!

Dengan seorang pria yang nampak berusaha menerobos masuk ke dalam rumah.

Daniel mencelos. Apa Nat sedang menghadapi seorang kriminal sekarang? Ya Tuhan, ini tak bisa dibiarkan! Dia harus menolong gadis itu!

~~oOo~~

Daniel sengaja memarkir mobilnya cukup jauh dari lokasi rumah Nat. Dia yakin bahwa itu adalah rumah Nat karena gadis itu memberitahunya dia berdomisili di Bloomsbury. Dari tempat mobilnya terparkir, Daniel meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dia tak ingin mengejutkan sang kriminal dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan beresiko kriminal itu kabur sebelum bisa ditangkapnya.

Jarak Daniel dengan rumah Nat sudah dekat. Dari tempatnya berdiri sekarang, Daniel bisa melihat lebih jelas sosok sang kriminal. Usia pria yang berdiri di teras rumah berkisar antara 42 sampai 46 tahun, tingginya pasti tidak kurang dari 180 sentimeter. Tubuh kurusnya terbungkus setelan jas perlente buatan tangan, menandakan bahwa pria itu memiliki kondisi finansial yang cukup bagus. Wajahnya pucat, bersih dari cambang, dengan beberapa keriput di tempat-tempat yang rawan penuaan. Daniel merenung sejenak, mulai meragukan hipotesanya bahwa pria di teras itu adalah seorang kriminal.

"Tidak, aku tak bohong. Pacarku sedang ke minimarket membeli makan malam. Sebentar lagi dia pulang."

Daniel mendengar suara Nat. Ada getaran di nada lembut itu. Semacam ketakutan terselubung. Daniel tak bisa mengamati mimik muka gadis itu karena tertutup bayangan kanopi rumah. Namun, dia yakin bahwa Nat sedang ketakutan. Daniel menelengkan kepala. Fakta bahwa gadis itu nampak ketakutan dan baru saja menggunakan alasan pacar sebagai kamuflase pertahanan dirinya membuat Daniel terenyuh. Atau itu memang alasan yang sebenarnya dan Nar benar-benar sudah memiliki pacar?

"Aku sudah ke minimarket di sana dan satu-satunya pengunjung hanyalah aku. Jangan bilang kamu berpacaran dengan kasir minimarket. Karena itu artinya, kamu akan menunggu kepulangannya sangat lama. Kurasa minimarket itu baru tutup tiga jam lagi."

Astaga, Nat berpacaran dengan kasir minimarket? Dan siang tadi, gadis itu menciumnya?! Sungguh karakter yang menarik. Daniel mendesah panjang. Mendadak diserang rasa kesal mengetahui sekeping informasi tentang pacar Nat.

Daniel melihat Nat mundur selangkah ke belakang. Seiring kakinya yang beranjak semakin masuk ke dalam rumah, pria di teras juga ikut merangsek maju. Membuat Daniel geram.

"Dia mungkin tak ke minimarket itu," suara Nat bergetar menangkis argumen pria di teras.

Gotcha! Sepertinya pacar Nat bukan si kasir minimarket. Daniel tanpa sadar tersenyum-senyum sendiri. Otaknya mungkin sudah gila tapi sekarang waktunya menjadi super hero. Jiwa pahlawannya memanggil-manggilnya saat melihat Nat yang mengerut di depan pintu rumah.

"Oh ya? Hemm... sepertinya dia juga akan lama pulang," pria di teras keras kepala.

"Dia sebentar lagi pulang," Nat masih berusaha menyergah.

"Kalau begitu, aku bisa menemanimu menunggu pacarmu," pria itu – Daniel mengamati – mulai berani melangkahkan kaki lebih dalam lagi masuk ke rumah.

Insting pahlawan Daniel berkobar-kobar. Kakinya spontan melangkah maju. Dia yakin ini hanya insting pahlawan yang ingin melindungi semata. Pahlawan yang welas asih harus melindungi anak anjing yang terlantar, kan?

"Sayang, maaf membuatmu menunggu. Aku sudah berkeliling mencari artichoke kalengan tapi tak kudapatkan."

Daniel berjalan santai menaiki undakan teras. Pria paruh baya itu menoleh. Sekarang Daniel bisa melihat dengan lebih jelas rupa asli sang pria di teras. Rambut pirang pasirnya memang tersisir rapi. Namun kerut-kerut di wajahnya yang sangat pucat lebih banyak dari perkiraan Daniel. Dan mata biru itu berkabut merah, membuat Daniel mengernyitkan dahi, apa pria di depannya ini seorang pecandu?

"Daniel?"

Telinga Daniel mendengar suara lembut itu merapal namanya. Bak mantra yang membius, hati Daniel seketika berdesir. Insting pahlawan kembali bekerja dalam wujud lengannya yang terulur begitu saja merangkul bahu mungil Nat masuk ke dalam pelukannya. Tambahkan adegan kecup puncak kepala di depan sang tamu tak diundang, pameran kemesraan sang pahlawan lengkap sudah. Daniel tak menyadari pipi Nat yang merona merah karena dia sendiri sedang sibuk menata debaran jantungnya yang berpacu liar. Perlahan detak jantungnya kembali normal saat merasakan kehangatan tubuh Nat.

Nyaman, seperti pulang ke rumah. Daniel membatin.

"Siapa kamu?" Pria di depannya menatap penuh selidik.

Ralat, sepasang mata merah itu memandang dengan sorot tak suka. Seolah Daniel baru saja mencuri hartanya yang paling berharga tepat di bawah hidungnya.

"Anda sendiri?" Daniel menolak memperkenalkan diri. Dia harus tahu posisi masing-masing sebelum memutuskan harus menjalin atau tidak sebuah keakraban.

"Aku Samuel, paman Nat," pria itu menjawab ketus.

Alis Daniel terangkat tinggi. Pria ini adalah paman Nat? Paman kandung atau paman gadungan? Lantas kenapa Nat terlihat ketakutan berhadapan dengan si pamannya ini? Rasa penasaran Daniel sekonyong-konyong muncul menyadari bahwa Nat sendiri tak terlihat aktif berperan memperkenalkan mereka berdua. Sepertinya hubungan gadis di pelukannya ini dan sang paman memang buruk.

Daniel berpura-pura melirik jam tangannya. Dia tahu persis sudah sangat terlambat untuk sebuah ajakan makan malam. Namun, demi kesopanan – apalagi dia baru saja memamerkan kemesraan dengan keponakan sang paman – Daniel akhirnya berkata pada Samuel.

"Nama saya Daniel Pozzi. Saya akan sangat senang berkenalan dengan anda. Well, Nat belum banyak bercerita tentang keluarganya pada saya. Tapi anda tahu sendiri, saya tak membawa bahan makanan yang cukup untuk kita bertiga makan malam. Benar kan, Sayang?"

Daniel menjawil lembut puncak bahu Nat. Mengisyaratkan secara tersamar agar gadis itu mengikuti sandiwaranya. Nat meringis kecut. Sebelah lengannya balas merangkul pinggang Daniel.

"Daniel benar, mungkin kami akan makan malam di luar saja karena, yah, aku sedang bosan dengan layanan pesan antar makanan. Maafkan kami, Paman."

Samuel menatap Daniel lekat-lekat. Menelaah situasi yang tengah terjadi. Daniel, lelaki berpostur tegap dengan wajah yang sama sekali tak memperlihatkan karakteristik British. Samuel sedikit ragu apakah Daniel asli penduduk lokal atau warga negara asing. Lagipula, lelaki ini sepertinya memiliki cukup keberanian untuk melawannya, Samuel berpikir cepat. Sorot tajam sepasang mata hijau Daniel seolah mengulitinya hidup-hidup, mengupas topeng manis yang tengah dikenakan Samuel. Membuat hati Samuel mendadak dilanda kegelisahan.

Samuel tak tahu mengapa tiba-tiba dia merasa gelisah. Tapi dia tahu persis sumber kegelisahannya. Adanya Daniel Pozzi yang muncul tiba-tiba merupakan variabel yang bisa merusak seluruh rencananya. Dia tak boleh gegabah, dia harus bertindak hati-hati jika tak ingin rencananya gagal total. Bersabar dan mengalah lebih baik untuknya sekarang.

Samuel berdehem, "Kapan-kapan kita bisa pergi ke bar untuk minum-minum."

Kalimat itu sekaligus sebuah penolakan halus dari Samuel untuk bergabung dengan pasangan itu menikmati makan malam. Ekor mata Samuel melirik lengan Daniel dan Nat yang saling merangkul satu sama lain. Posesitivitas. Samuel bisa merasakannya dengan sangat nyata.

"Saya tunggu undangan anda," Daniel mengangguk sopan.

Samuel segera balik badan. Langkahnya cepat menuruni undakan teras dan bergabung dengan malam yang mulai menggelap.

Daniel memastikan sosok sang paman telah benar-benar menghilang dari pandangan sebelum melepas pelukannya pada Nat. Sorot matanya santai – bahkan cenderung jenaka – saat berbalik menatap Nat.

"Jadi, kamu sudah punya pacar?"

Nat bengong sesaat sebelum menyadari bahwa Daniel menguping pembicaraannya dengan sang paman di teras.

"Dan kamu masih berani menciumku, eh?" Goda Daniel.

Wajah Nat memerah. Mulutnya sudah terbuka siap memberikan pembelaan diri.

"Aku belum punya pacar," Nat bersikeras, "Semua yang kamu dengar tadi kebohongan."

"Kamu berani berbohong pada pamanmu sendiri? Ckck... tak kusangka kamu adalah keponakan yang sangat nakal," Daniel berdecak menggoda.

"Aku tidak nakal. Aku benar-benar belum punya pacar dan aku punya alasan khusus kenapa harus berbohong pada pamanku," Nat tak sadar berkata.

"Sama sekali belum pernah?"

"Belum pernah!"

"Jadi tadi siang adalah ciuman pertamamu?"

"Tentu saja itu ciuman pertamaku! Aku bahkan belum pernah berkencan dengan satu lelakipun bagaimana aku bisa berci..."

Nat terbelalak dan langsung menutup mulut, sadar bahwa dia sudah keceplosan bicara. Pengakuan yang sangat memalukan bahwa di usianya yang sudah masuk dekade kedua tapi belum sekalipun dia mengenal dunia percintaan. Sementara Daniel justru tersenyum-senyum. Tak bisa ditutupinya rasa bahagia karena berhasil mendapatkan ciuman pertama Nat. Tapi Daniel mencoba menahan luapan kebahagiaannya. Ada hal lebih penting yang harus diketahuinya sekarang.

"Nah, kamu bisa bercerita sekarang."

"Cerita apa?" Nat melengos, mengalihkan tatapan dari Daniel.

"Kenapa kamu harus berbohong pada pamanmu sendiri."

Nat mengedikkan bahu acuh tak acuh, "Aku tak harus menceritakan apapun padamu."

"Ayolah, Nat?" Bujuk Daniel lembut.

"Tidak!" Nat masih menolak.

"Kenapa tidak?" Desak Daniel.

"Dan kenapa aku harus bercerita padamu?" Balik Nat.

Daniel menggelengkan kepala geli. Nat yang keras kepala dan defensif sangat menarik minatnya. Daniel Pozzi terkenal dengan kesabarannya mengorek informasi dari sang klien. Secara teknis Nat memang bukan kliennya tapi gadis itu membangkitkan rasa ingin tahunya sebesar dia menghadapi seorang klien yang butuh bantuan.

"Pertama," Daniel mengangkat jari telunjuknya, "Kamu sudah membuatku uring-uringan seharian ini."

"Aku membuatmu uring-uringan?" Fakta itu menggelitik hati Nat.

Daniel pilih mengabaikan nada suara penuh penasaran yang menghipnotis dari Nat. Jari tengahnya kemudian teracung bersanding dengan si jari telunjuk.

"Kedua, jelas-jelas wajahmu menunjukkan permohonan untuk diselamatkan..."

"Aku?" Nat menyela cepat, "Minta diselamatkan?" Jarinya menunjuk dadanya sendiri.

"Ya, kamu. Tolong-selamatkan-aku-dari-seorang-pria-mesum-penguntit," Daniel mengeja satu demi satu kata-katanya. Seolah Nat adalah bocah imbisil yang dianggap sulit memahami maksud sebuah perkataan.

"Dia bukan seorang pria mesum penguntit. Dia itu pamanku, Daniel."

"Tepat sekali! Nah, kenapa si keponakan ini harus merasa takut pada pamannya sendiri?" Daniel dengan halus mengarahkan topik pembicaraan untuk mendapatkan informasi yang dicarinya.

Dilihatnya Nat ternganga. Bibir mungil itu terbuka lebar, mengundang Daniel untuk mendaratkan ciuman di sana. Daniel mendesah keras. Dia tak tahu kapan pertahanannya bisa kuat jika terus-terusan berada di dekat Nat.

"Kamu menjebakku dengan pertanyaan," Nat terkekeh.

Daniel ikut tersenyum. Dia suka mendengar suara tawa Nat.

"Apa kamu seorang cenayang yang bisa membaca isi pikiran orang?" Celetuk Nat.

Daniel menggelengkan kepala, "Cenayang adalah orang yang memiliki kemampuan berhubungan dengan makhluk halus, Nona. Sementara terakhir kali aku mengenal diriku sendiri, kupastikan tak satupun makhluk halus yang pernah kuajak berkenalan."

"Hahaha... Lucu!" Nat tergelak.

Daniel mengulum senyum. Dia tak mengatakan pada Nat bahwa dirinya pernah mempelajari fisiognomi – ilmu membaca karakter seseorang lewat wajah – cukup mahir hingga bisa mengetahui bahwa gadis di depannya ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Boleh aku masuk?" Tanya Daniel.

Tawa Nat terhenti. Mata almonnya memandang Daniel penuh selidik. Lelaki itu mengangkat kedua tangan.

"Aku tak punya niat buruk apapun padamu, Nona," Daniel meyakinkan, "Lagipula aku adalah pacarmu yang sudah lama kamu tunggu kedatangannya, kan?"

Nat ternganga. Tak menyangka lelaki di depannya berani menggodanya terang-terangan. Nat langsung merasa tertimpa nasib sial sekarang. Kebohongannya untuk mempertahankan diri dari serbuan pamannya kini berubah jadi blunder manis untuknya. Manis karena Nat sebenarnya sangat berterima kasih atas kehadiran Daniel beberapa waktu lalu.

"Kamu mengupingku?" Tuduh Nat.

"Tidak juga. Suara kalian sangat keras untuk didengar hingga trotoar," Daniel kalem.

Nat gamang. Tangannya masih memegang kenop pintu namun dalam gestur yang lebih rileks, tidak setegang seperti saat berhadapan dengan pamannya. Nat terkejut, dia baru mengenal Daniel sehari dan sudah mengenal pamannya seumur hidup, tapi kenapa rasa tenang ini justru datang dari seorang Daniel?

Daniel masih menunggu keputusan Nat. Dia tak berniat memaksa, tapi dia juga tak berniat meninggalkan gadis itu sendirian, tidak saat dia tahu Samuel mungkin saja masih berkeliaran di sekitar sini dan menunggu waktu yang tepat untuk mendobrak masuk ke dalam rumah. Tak ada jaminannya Samuel tak akan kembali ke rumah setelah dia pergi meninggalkan Nat.

Keheningan di antara mereka mendadak dipecahkan oleh suara gemuruh yang sangat memalukan. Nat terbelalak untuk selanjutnya meledak tawanya begitu keras. Sementara Daniel menunduk malu.

"Astaga, katakan saja jika kamu ingin masuk karena kelaparan," ledek Nat.

"Aku tidak begitu," Daniel mengelak. Leher dan wajahnya terasa panas. Sumpah, baru kali ini – di depan seorang gadis – dia mengalami kejadian yang sangat memalukan seperti ini. Suara gemuruh perutnya yang kelaparan benar-benar menjatuhkan citra maskulinnya di hadapan Nat.

"Katakan itu pada perutmu," kali ini tangan Nat menarik pintu lebar-lebar. Dia bahkan menyingkir dari ambang pintu mempersilakan Daniel masuk, "Sepertinya kamu belum makan malam, eh?"

"Aku sedang mencari makan malamku sebelum tersasar ke sini," Daniel membela diri.

"Dari London ke Bloomsbury?" Alis indah Nat melengkung naik, "Apa London sudah kehabisan stok pangan hingga kamu harus jauh-jauh mencarinya ke sini?"

"Sudah kubilang, aku tersasar," Daniel sewot.

"Baiklah, baiklah, aku percaya," Nat tersenyum lebar, "Masuklah. Aku juga baru akan membuat makan malam."

Nat mendahului Daniel masuk ke dalam rumah. Begitu Daniel menjejakkan kaki di koridor sempit itu, mata Daniel langsung melotot maksimal.

"Astaga Nat, kamu sebenarnya siapa, sih?"

~~oOo~~

Halooo readers-ku sayang. Selamat berakhir pekan. Eniwei, aku mau kasih sedikit pengumuman tentang Amore Mio.

Untuk sementara ini, setiap part baru Amore Mio akan dipublish setiap hari Jumat saja. Karena ada banyak pekerjaan yang masih menunggu untuk kuselesaikan dan waktunya barengan dengan agenda publish Amore Mio.

Semoga pekerjaannya cepat kelar dan Amore Mio bisa publish dua hari sekali. Love you all...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro