Cerita 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu gila, Nat?!"

Gwen memekik histeris. Wajah cantiknya memucat disusul sepasang mata biru yang terbelalak lebar-lebar. Kepala Gwen menggeleng-geleng tak setuju, sebuah isyarat besar jika dia menganggap ide sahabatnya itu sudah di luar nalar dan logika, bahkan masuk kategori konyol mengingat dia teramat hafal karakter sahabatnya. Mulut Gwen terbuka, bersiap memuntahkan sederetan kalimat penolakan lagi saat kibasan tangan Nat menghentikannya.

"Aku tahu aku gila," Nat nyaris putus asa, "Tapi aku benar-benar menginginkannya, Gwen."

"Demi apa coba?" Gwen galak.

"Peramal itu bilang aku akan bertemu jodohku di kafe ini."

Gwen ternganga. Tak percaya bahwa sahabatnya akan percaya omongan penuh bualan dari seseorang yang menyewakan jasa murahan meramal masa depan.

"Nat, kita hidup di abad 21. Dan kamu masih percaya seluruh omong kosong tentang ramalan?" Gwen geleng-geleng kepala. Apa sahabatnya sudah tak bisa diselamatkan lagi? Kondisi mentalnya pasti sudah sangat parah hingga lebih mempercayai omongan peramal gadungan daripada fakta dan logika.

Nat sudah nyaris menangis. Pipinya memerah. Beruntung rest room kali ini dalam kondisi kosong. Mereka bisa jadi tontonan gratis jika ada satu orang saja yang menyelinap masuk.

"Aku nyaris putus asa, Gwen," Nat bergumam lirih.

Gwen tertegun. Hampir 16 tahun dia bersahabat dengan Nat, belum pernah dia melihat gadis itu begitu menyedihkan. Dan Gwen tahu persis alasannya. Level galaknya sontak menurun drastis. Diraihnya bahu sang sahabat dan merengkuhnya lembut. Kali ini intonasi suara Gwen lebih manusiawi dibanding beberapa detik sebelumnya.

"Tapi dia akan menganggapmu murahan," Gwen menasehati.

Nat mengangguk, "Aku tahu."

"Kenapa kamu yakin dia orang yang tepat? Kamu bahkan tak kenal dia."

Nat terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Karena hatiku mengatakan dia orangnya," Nat menyentuh dadanya.

Gwen menghembuskan napas panjang, "Nat, kamu tak tahu orang seperti apa dia. Kamu bahkan baru bertemu dia hari ini. Mungkin saja dia seorang pembunuh berantai yang bersembunyi di balik kedok pria tampan, atau juga seorang psikopat yang suka menyiksa pasangan, atau...."

Gwen menghentikan asumsinya saat mendapat lirikan tajam Nat. Tapi dia masih belum mau menyerah.

"Oke, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi, kamu juga harus memikirkan apakah dia masih lajang atau tidak, dia seorang player atau bukan. Bagaimana jika pasangannya marah karena melihatmu bersamanya?"

"Dia gay?" Nat mencoba melucu, mengingatkan fakta bahwa siang ini dia hanya bersama rekan lelakinya.

"Nat, aku serius," Gwen menegur.

Nat menghela napas panjang. Pandangannya menerawang menembus cermin rest room.

"Aku juga tak tahu, Gwen. Yang aku tahu hanyalah, dia orang yang kucari. Instingku mengatakan seperti itu."

Kali ini sang sahabat bungkam. Sepertinya Nat sudah kuat pendirian. Gwen harus mendukung keputusan Nat, apalagi saat kondisi makin genting seperti sekarang.

"Lalu bagaimana caramu mencari tahu tentang dia? Dia bahkan sudah pergi." Gwen mengingatkan fakta terpenting kali ini.

"Aku percaya dia akan kembali ke sini."

"Apa?!"

Nat menyunggingkan seulas senyum tipis. Sekedar cukup untuk mencerahkan wajahnya yang mulai letih.

"Dia pasti akan kembali ke sini," Nat optimis.

Gwen menggelengkan kepala takjub, "Kamu memang benar-benar gila, Brown."

Nat mengedikkan bahu, sekaligus isyarat bagi mereka untuk menyudahi obrolan para gadis. Gwen beringsut keluar rest room setelah memastikan penampilannya masih rapi. Namun, sampai di ambang pintu, dia tertegun. Sangat perlahan dia menolehkan kepala ke Nat.

"Nat?" Suara Gwen terdengar takjub.

"Ya?" Gadis itu menjawab tanpa menoleh. Dia masih sibuk merapikan rambutnya yang berantakan.

"Seberapa besar kamu percaya pada ramalan?" Gwen mulai merasakan mentalnya ikut terganggu.

"Jika itu menyangkut jodoh, aku sangat percaya," Nat akhirnya memilih menggerai rambut pirangnya setelah bingung dengan ikat rambut yang tak berhasil ditemukannya dalam tas.

"Apa itu benar-benar jodohmu?"

Kali ini Gwen mendapat perhatian penuh dari Nat. Dia melirik Gwen yang tengah berdiri dengan telunjuk teracung keluar ruangan. Gadis itu melangkahkan kaki ke ambang pintu dan melongok keluar. Mereka mematung di ambang pintu rest room.

"Oke, sepertinya omongan peramal itu benar-benar bisa dipercaya," Nat menarik napas panjang.

~~oOo~~

Daniel kembali mengusap bibirnya. Gerakan kecil yang tak sadar terus dilakukannya sejak satu jam terakhir. Meskipun matanya menatap laptop yang menyala tepat di hadapannya, namun sorot retinanya kosong. Nampak jelas bahwa pikiran Daniel tak sedang berada di tempatnya sekarang.

Duk!

"Aduh," Daniel meringis kesakitan. Seseorang dengan sengaja menendang tulang keringnya sangat keras. Sontak rasa nyeri di kaki membuyarkan lamunan Daniel.

"Stephan?!" Daniel membeliak kesal.

Stephan menunjuk dengan dagunya. Daniel mengikuti arah dagu Stephan tertuju dan langsung menelan ludah.

Mr. Wu – atasan di tempatnya bekerja – tengah menatapnya super tajam. Mata elangnya seolah siap menyambar dan membanting tubuhnya jadi berkeping-keping. Sepasang alis tebalnya bertaut, lengkap dengan kerutan dalam di dahi lebarnya. Tambahkan bibir setipis kertas yang mengatup rapat penuh kejengkelan.

Mental Daniel auto bersiap mengundurkan diri demi melihat ekspresi wajah atasannya.

"Pozzi, jika kamu lebih suka memulai kariermu di Edensor, aku dengan senang hati akan membuat surat mutasi untukmu."

Daniel tercengang. Pindah dari London ke Edensor? Jangan sampai terjadi!

Buru-buru dia menyempurnakan posisi duduknya. Jemari rampingnya membetulkan letak kacamata yang melorot dan dia kembali fokus pada rapat.

"Kurasa sudah sedikit terlambat untuk kembali ke rapat ini, Pozzi," Mr. Wu menyindir, "Tapi aku apresiasi kecerdasanmu. Kamu pasti bisa segera mengejar materi-materi yang barusan kamu tinggalkan demi entah apa."

Daniel meringis, "Saya minta maaf, Sir. Semalam saya kurang tidur..."

"Untuk apa?" Mr. Wu menyela cepat.

Beberapa koleganya yang ada di sekelilingnya terkikik geli. Ekspektasi mereka tentang fenomena kurang tidur Daniel pasti tak jauh-jauh dari aktivitas intim yang melibatkan kegiatan fisik sepasang pria dan wanita. Pria itu melirik koleganya dan tersenyum simpul. Lihat saja, dia akan memutar balikkan keadaan dengan amat-sangat-elegan.

"Kasus Mr. Dawson memiliki lubang yang sangat besar. Celah di surat kontraknya bisa merugikan Mr. Dawson bahkan tanpa pihak tergugat bersusah-payah membela diri. Yah, saya semalam suntuk mengumpulkan materi untuk menutup lubang tersebut."

Hening. Daniel menikmati bagaimana ekspresi koleganya berubah drastis. Dari menertawakan jadi ternganga. Kepuasan terbesar Daniel disempurnakan oleh tepuk tangan membahana Mr. Wu. Daniel menyeringai dalam hati.

Misi sukses!

"Bagus, bagus, kamu memang aset berharga firma ini, Pozzi," mata hitam Mr. Wu beredar mengelilingi ruangan rapat, "Kalian harus belajar dari Pozzi. Dedikasinya pada pekerjaan sungguh luar biasa."

Daniel mesem-mesem. Sangat puas melihat tampang masam para koleganya. Siapa suruh mereka berprasangka mesum padanya? Meskipun, well, Daniel juga pasti akan berpikir yang sama jika berada di posisi mereka. Lembur tengah malam melakukan aktivitas intim lebih mengasyikkan dibanding bekerja bersama setumpuk kertas.

Rapat yang tinggal setengah jam itu berlangsung dengan materi super padat. Kali ini Daniel tak ingin mendapat semprotan kejengkelan dari sang bos lagi. Tekun dia mempelajari file kasus yang dikirim ke surelnya. Sebuah kasus pelecehan seksual dengan tergugat seorang politikus tersohor.

"Oke, pertemuan ini selesai. Kalian harus memenangkan kasus ini bagaimanapun caranya." Mr. Wu mengedarkan pandangan ke sekeliling meja rapat.

Pria oriental keturunan Tiongkok-Inggris itu menaruh harapan besar pada delapan orang pengacara di depannya. Kasus yang mereka tangani kali ini termasuk kasus besar karena menyeret nama beberapa politikus elit Inggris. Dari seorang tersangka, bisa jadi akan merembet ke banyak tersangka di akhir gugatan.

Terdengar suara kursi didorong. Seiring orang-orang yang mengikuti Mr. Wu keluar dari ruang rapat. Kini hanya tinggal dua orang yang masih bertahan di ruangan yang sejuk oleh mesin pendingin udara. Stephan sengaja menunggu Daniel yang - sepertinya - sengaja berlama-lama membereskan peralatan rapatnya.

"Jadi, sesuatu yang menarik sudah terjadi, eh?" Mata Stephan berkilau licik.

"Apa maksudmu?" Daniel memasukkan laptop ke ransel.

"Ayolah, kamu sangat berubah setelah makan siang," Stephan menyeringai, "Tepatnya setelah kamu kembali ke kafe dan bertemu gadis itu."

"Tahu darimana aku bertemu gadis itu?" Daniel mengangkat ranselnya. Kombinasi laptop dan tumpukan berkas dalam tas sama sekali tak bagus untuk kesehatan otot bahunya.

"Ayolah Dan, aku tahu semua ekspresimu," Stephan terkekeh. Dia mengikuti langkah Daniel keluar ruangan.

Mereka berdua berjalan ke arah lift yang akan membawa mereka naik ke lantai sebelas. Sepanjang perjalanan belasan meter itu, para wanita dengan penuh keceriaan musim panas negara tropis menyapa Daniel dan Stephan. Yang disapa hanya membalasnya dengan anggukan sopan dan senyum tipis di bibir.

"Jadi bagaimana dengan gadis itu?" Stephan mengulang pertanyaannya.

"Dia menciumku."

Sret!

Daniel nyaris terjerembab. Dia menoleh sadis ke arah Stephan yang sudah menahan tangannya. Dipelototinya galak koleganya yang berekspresi super kaget. Akhirnya Stephan merasakan apa yang dirasakannya tadi siang.

"Dia menciummu?" Stephan nyaris memekik.

Buru-buru Daniel membekap mulut Stephan. Untung saja koridor sedang sepi. Mau ditaruh di mana muka Daniel jika Stephan membuat pengumuman cabul macam itu?

"Bicara keras lagi dan aku akan mencekikmu," ancam Daniel.

Stephan manggut-manggut cepat. Meminta - dengan isyarat matanya - agar Daniel melepas bekapan di mulut.

"Wah, dia benar-benar luar biasa," Stephan menyuarakan pikirannya setelah bebas dari bekapan tangan Daniel, "Di pertemuan pertama? Bahkan kalian tak saling kenal."

"Namanya Natalie Graceline Brown. Usianya 21 tahun. Dia mahasiswi seni di UCL dan tinggal sendiri di rumahnya di Bloomsbury."

Stephan ternganga, "Woaaa.... Jadi siapa di sini yang paling terobsesi, eh?"

Stephan tentu menyindir Daniel. Dia masih terkaget-kaget dengan perkembangan hubungan yang di luar logika karakter seorang Daniel Pozzi. Sahabat Italianya itu bukan tipikal pria yang gemar mendekati wanita di awal pertemuan. Berbeda dengan George - sahabatnya yang lain - yang akan gerak cepat merayu wanita di detik pertama perkenalan. Karena itu, dicium – atau mencium wanita, Stephan mulai tak yakin dengan kejujuran pernyataan Daniel tentang nona di kafe yang lebih dulu menciumnya – seorang wanita di awal perkenalan adalah kondisi langka seorang Daniel Pozzi.

Juga fakta yang mengundang rasa penasaran Stephan. Pengetahuan Daniel akan informasi pribadi gadis di kafe tadi mengusik benak Stephan. Mengetahui profil diri seseorang adalah tugas yang biasa dilakukan advokat seperti mereka. Tapi itu semua hanya untuk kepentingan pekerjaan. Sementara kondisi yang terjadi pada Daniel kali ini, well, Stephan yakin seribu persen jika tak ada urusannya sama sekali dengan pekerjaan.

Mereka memasuki kantor pribadi Daniel. Udara sejuk dari mesin pendingin udara langsung menyambut datangnya dua pria tampan itu. Daniel segera melepas ikatan dasinya dan melempar ikon fashion itu serampangan. Helaian kain yang semula bertengger di leher kokoh Daniel kini teronggok lemas di lantai berkarpet. Jemari Daniel lantas membuka tiga kancing teratas kemeja. Napasnya segera terasa longgar.

Bukan napas, Daniel merenung, tapi pikirannya. Sejak kembali dari istirahat makan siang benaknya hanya terisi sosok gadis cantik dengan rambut pirang emasnya yang berkilauan. Dan sepasang mata itu... Mata terindah yang pernah ditemui Daniel. Menggoda pria itu untuk menenggelamkan diri dalam kesejukan hazel yang lembut.

"Halo... Halo... Bumi memanggil Daniel.."

Daniel terbangun dari lamunan. Stephan melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Seringai lebar tercetak di wajah Stephan.

"Sepertinya dia sangat mempengaruhimu," Stephan menghempaskan tubuh di sofa.

Jemari Daniel kembali mengusap bibir. Tempat di mana beberapa jam sebelumnya Nat menempelkan bibirnya di sana. Astaga, itu bahkan tak layak disebut ciuman. Hanya sebuah sapuan lembut di bibir. Daniel yakin jika Nat sama sekali tak memiliki pengalaman dalam hal cium-mencium. Teknik gadis itu masih sangat mentah. Untuk hal ini, Daniel dengan senang hati bersedia menjadi relawan ciuman gadis itu.

Meskipun teknik berciumannya payah, tapi inisiatif bibir Nat menggetarkan hatinya. Getaran yang sangat lama tak dirasakannya. Seperti remaja ingusan yang tengah merasakan cinta monyet. Berdebar-debar, penasaran dengan apa yang selanjutnya akan terjadi, dan penuh euforia seolah-olah ratusan kembang api meledak di kepala.

"Ini aneh," Stephan berkomentar.

"Aneh kenapa?"

"Kamu belum pernah terlihat selinglung ini sebelumnya," Stephan menjelaskan setelah mengamati Daniel lebih seksama.

Daniel menghembuskan napas panjang. Mata hijaunya terpejam. Dia ingin mengistirahatkan sejenak pikirannya. Tapi, lagi-lagi bayangan cantik Nat menyelinap masuk. Hati Daniel was-was. Dia suka sensasi menyenangkan ini tapi dia tak suka pada hasil akhirnya.

Stephan - yang melihat kegalauan di wajah sahabatnya - menepuk bahu Daniel.

"Jangan bermain api, Sobat," Stephan mengingatkan, "Belenggumu terlalu kuat untuk diterobos."

Daniel diam. Dia tak bereaksi saat Stephan bangkit dan berjalan keluar kantor. Meninggalkannya seorang diri di ruangan yang sunyi. Jam pulang kantor sudah terlewati beberapa waktu lamanya, tapi Daniel tak berniat beranjak dari sofanya.

Perlahan dia merogoh sesuatu di balik kerah kemeja. Mengeluarkan seuntai kalung dari baliknya. Rantai tipis dari perak menjadi tempat tergantungnya sebentuk cincin emas polos tanpa hiasan. Tak ada yang menarik dari cincin itu. Sangat sederhana malah. Namun beban di pendan itu teramat berat untuknya.

Digulirnya cincin yang menjadi pendan kalung. Asal-asalan dia memasukkan cincin itu ke jari manisnya. Terpasang dengan sempurna karena memang cincin itu dibuat hanya untuknya. Daniel mendesah panjang. Dilepasnya lagi cincin itu dan memasukkannya ke rantai kalung. Kali ini dia tidak mengalungkannya di leher tapi memasukkannya di saku celana.

Matanya melirik arloji di pergelangan tangan. Pukul tujuh malam. Perutnya keroncongan. Memang sudah seharusnya dia kelaparan mengingat makan siangnya berjalan tak sempurna gara-gara ulah penuh kejutan seorang gadis kecil.

Gadis kecil. Daniel termangu. Usia gadis kecil itu sudah 21 tahun. Tak layak disebut kecil lagi. Pesonanya juga setara dengan wanita dewasa namun dalam versi yang lebih murni dan lugu. Daniel meremas dadanya. Getaran itu makin kuat terasa. Membuatnya jadi tak nyaman.

Dia harus melupakan gadis itu. Daniel tak pernah bertemu Nat... dan ciuman itu juga tak pernah ada.

~~oOo~~

Nat merogoh-rogoh tasnya. Mencari kunci rumah yang terselip di tote bag jumbo favoritnya. Gwen dan Paman Martin - Ayah Gwen - berkali-kali mendesaknya untuk mengganti kunci rumah dengan kuncian yang lebih modern. Kunci pintu elektronik dianggap cocok untuk Nat yang tinggal seorang diri. Lebih aman dari bobolan maling.

Nat menolak halus permintaan Gwen dan Paman Martin. Dia lebih suka kunci rumah konvensional. Mengingatkannya akan kenangan masa kecil yang indah bersama orang tuanya. Lagipula bukan maling yang dicemaskannya sekarang, melainkan sesuatu yang lebih intens dari itu.

Klik!

Pintu berbahan kayu keras itu terayun membuka. Suasana hening dan pengap langsung menyergap. Nat meringis. Sudah beberapa hari dia meninggalkan rumahnya kosong tanpa perawatan. Pantas saja jika rumahnya ngambek padanya.

Buru-buru Nat membuka seluruh jendela rumah. Hawa segar khas malam musim panas seketika menyeruak masuk. Semilir angin di luar menyejukkan kulit Nat yang gerah. Dia lalu menyalakan lampu-lampu dan membongkar isi kulkasnya.

Tak banyak persediaan di kulkas. Nat mendesah. Dia lupa berbelanja bahan makanan. Apa yang harus dimakannya sekarang?

"Apa aku telepon Gwen saja, ya? Nebeng makan?" Nat berpikir-pikir.

Dia bisa berbelanja di minimarket terdekat. Jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Tapi Nat sedang tak berminat berbelanja di sana. Persediaan sayurnya kurang bervariasi dan kualitas dagingnya tak terlalu bagus.

Ting... Tong...

Nat membeku.

Tubuhnya mendadak kaku. Alih-alih segera berlari ke arah pintu masuk, dia malah berdiri mematung di dapur. Refleks matanya melirik jam dinding. Delapan malam.

Ting.... Tong...

Jantungnya berpacu cepat. Ini pertengahan musim panas tapi keringat dingin mendadak menetesi punggungnya. Nat ingin tak bereaksi tapi dia tahu, orang di depan pintunya tahu dia ada di rumah.

Nat tak ingin memancing keributan dengan tetangga lagi. Tidak setelah peristiwa terakhir yang justru menimbulkan trauma amat besar di hatinya. Hembusan napas Nat terdengar panjang-panjang. Mata hazelnya terpejam rapat. Menetralisir detakan jantung yang terus maraton. Dia bisa menghadapi ini tanpa bantuan siapapun.

Akhirnya Nat berani melangkahkan kaki. Menyusuri lorong pendek penghubung antara dapur dan foyer, Nat akhirnya tiba di depan pintu rumahnya setelah delapan langkah kaki. Tanpa melihat lubang pengintip, dia membuka gerendel pintu.

"Selamat malam, Sayang."

Sungguh, Tuhan tahu betapa dia sangat tak ingin memberikan senyumnya saat ini. Dan itulah yang dilakukannya sekarang. Nat tak mempersilakan tamunya masuk dan berdiri di ambang pintu dengan gestur siap siaga. Wajah datarnya juga menegaskan perasaannya sekarang pada sang tamu.

"Kenapa Paman ke sini?" Tanya Nat pelan.

Pria itu terbahak keras. Tak ada aroma alkohol tercium dari napasnya. Pria di hadapannya dalam kondisi sangat waras. Tak sadar Nat melangkahkan kaki ke belakang. Tangannya menggenggam pegangan pintu begitu kencang hingga buku-buku jarinya memutih. Namun, Nat tak sadar telah melakukan itu.

"Oho, apa aku tak boleh mengunjungi keponakanku yang cantik?" Pria itu mengulurkan tangan.

Refleks Nat mundur sejauh mungkin dari jangkauan tangan pria itu. Wajah Nat memucat.

"Hei, hei, gadis kecilku, kenapa kamu takut padaku, eh?" Pria itu terkekeh panjang.

Nat menjilat bibir. Jantungnya kembali maraton. Dalam hati menyesal kenapa meninggalkan ponselnya di dapur. Sial, sial, sial! Dia tak bisa menghubungi siapapun sekarang.

Berpikir, Nat!

Nat memerintah dirinya sendiri. Dia tak boleh membiarkan pria ini masuk. Dia harus menahan pria ini selama mungkin di teras rumahnya hingga bosan. Dan akhirnya pria itu pulang tanpa hasil apapun. Seperti biasa.

"Aku sedang menunggu pacarku," Nat menelan ludah. Tenggorokannya terasa nyeri.

Mata pria itu menyipit. Dia mencondongkan tubuh ke depan. Tatapannya menyelidik mimik muka Nat sangat seksama.

"Kamu bohong," pria itu memutuskan, "Aku tak pernah melihatmu bersama seorang pacar sebelumnya."

Nat menggelengkan kepala kuat-kuat mencob meyakinkan orang di depannya dengan segenap usaha, "Tidak, aku tak bohong. Pacarku sedang ke minimarket membeli makan malam. Sebentar lagi dia pulang."

"Aku sudah ke minimarket di sana dan satu-satunya pengunjung hanyalah aku," pria itu berdecak kesal, "Jangan bilang kamu berpacaran dengan kasir minimarket. Karena itu artinya, kamu akan menunggu dia pulang sangat lama. Kurasa minimarket itu baru tutup tiga jam lagi."

Wajah Nat memucat. Apa-apaan orang ini? Bagaimana dia bisa mempercayai omongan bajingan brengsek ini jika memang benar-benar tak ada pengunjung lain di minimarket itu?

"Dia mungkin tak ke minimarket itu," Nat berkata berani. Namun, dia tahu kebohongannya sudah di ambang batas. Dia tak pandai mengarang sebuah kebohongan meskipun untuk menyelamatkan hidupnya.

"Oh ya? Hemm... Sepertinya dia juga akan lama pulang."

"Dia sebentar lagi pulang," sergah Nat.

"Kalau begitu, aku bisa menemanimu menunggu pacarmu," bibir pria itu menyeringai.

Perut Nat bergejolak. Tidak, dia tak boleh membiarkan pria ini masuk ke rumah. Kening Nat berkerut cemas. Butir keringat mulai bermunculan di keningnya.

"Sayang, maaf membuatmu menunggu. Aku sudah berkeliling mencari artichoke kalengan tapi tak kudapatkan."

Nat terperanjat. Matanya melirik liar siapapun yang baru saja berkata padanya. Pria di hadapannya juga menoleh. Mereka berdua tertegun.

"Daniel?" Nat merapal nama itu.

Lirih.

~~oOo~~

Halluuuu.... Selamat datang kembali di story aku. Maafkan karena cukup lama publish part baru. Duh, benar-benar maafkan ya...

Eniwei maafkan juga karena ada perubahan judul cerita. Yang semula I'm Yours aku ganti jadi Amore Mia. Hal ini berkaitan dengan plot cerita yang aku tulis nanti. Semoga kalian suka ya.

Setelah selesai dengan Aveolela di Jepang, kali ini kita akan jelajah Inggris di Amore Mia. So, happy reading readers. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro