Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata hazel Nat mengintip dari balik buku menu. Sengaja dia naikkan tinggi-tinggi buku berlapis kertas jasmine corak bunganya. Namun, tak cukup tinggi hingga menghalangi pandangan.

"Ssst.. Nat, Nat," Gwen menyenggol lengannya lembut.

Nat cuek, tak peduli pada sahabatnya. Manik matanya masih terus memelototi sesosok obyek yang berada kurang dari sepuluh meter jauhnya dari tempatnya duduk.

"Nat," kali ini senggolan Gwen sedikit lebih keras.

"Sssh... Diam Gwen, aku sedang dalam misi penting," Nat masih tak mempedulikan Gwen.

Gwen mulai tak sabar. Dia mengguncang-guncang lengan Nat. Sepertinya cukup keras karena gadis itu hampir terpelanting dari kursinya. Nat sontak melotot galak.

"Gwen, apa-apaan kamu?!" Nat mendesis kesal.

"Buku menumu terbalik," Gwen berbisik.

Nat cengo. Tatapannya langsung kosong. Hampa. Seolah masa depannya musnah sudah. Gwen diam-diam tersenyum prihatin. Apalagi saat telinganya mendengar suara terbahak dari meja yang ditarget Nat.

"Nat, sepertinya mereka tahu kamu ada," Gwen menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

Nat serasa ingin menjerit keras-keras. Aaaargh.... Kenapa harinya jadi sesial ini?! Seharusnya pengintaian ini berjalan lancar dan aman. Dasar buku menu sialan! Kenapa juga kamu pakai terbalik segala, sih?

~~oOo~~

"Astaga, dia lucu sekali," Stephan mengusap air matanya. Perutnya nyaris sakit saking kencangnya tertawa.

Astaga, bagaimana tidak lucu? Entah siapa yang diamati gadis itu, tapi 'mereka' semua tahu gadis itu mengamati mereka.

Sejak duduk di kursi kafe, mereka sudah menyadari kehadiran sosok gadis yang terus memelototi setiap gerak-gerik mereka. Pasalnya gadis itu begitu mencolok. Rambut pirang emasnya yang berkilauan tertimpa cahaya matahari begitu sayang untuk dilewatkan. Penampilannya juga super sembrono untuk seseorang yang tengah menyamar. Celana super pendek yang mempertontonkan kaki jenjangnya, tank top ketat yang membungkus tubuh langsingnya - Stephan berani bertaruh ukuran gadis itu adalah 170 cm / 50 kg / cup F.

Jadi, siapa yang bisa mengalihkan pandangan dari kesempurnaan tubuh macam malaikat tak bersayap itu? Belum lagi kecerobohannya yang membaca buku menu dengan terbalik dan sepasang mata hazel terindah yang pernah dilihat Stephan mengerling dari buku menu.

Sayangnya Daniel melarang keras mereka bertiga untuk tertawa. Alhasil trio Stephan, Daniel, dan George mati-matian menahan geli melihat tingkah konyol sang gadis.

"Jadi, siapa sebenarnya yang diamati gadis itu?" George menelengkan kepala. Mengamati wajah memerah padam sang gadis yang sudah tertangkap basah.

"Tak mungkin aku," Stephan menyeringai, "Aku sudah beristri dan jelas istriku bukan tipe cemburuan," dia terkekeh.

"Pasti kamu George," Daniel melirik koleganya, "Kamu player. Salah satu wanitamu pasti sedang mengutus gadis ceroboh itu untuk memata-mataimu."

"Tidak, tidak, pasti dia sedang memata-matai Daniel," George menolak keras, "Aku player yang baik. Aku memperlakukan para wanita dengan amat-sangat-baik."

"Tapi tak menghalangi para wanita itu saling cemburu satu sama lain," komentar Stephan.

Dia lalu menoleh pada Daniel, "Ada benarnya juga tebakan George. Mungkin itu orang suruhan Alexandra?"

Daniel terdiam. Merenungkan tebakan George. Siapa yang tak mengenal posesifnya Alexandra? Wanita itu bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan seluruh keinginannya. Tapi, Alexandra bukan tipikal wanita yang menggunakan trik murahan macam itu. Meminta seorang gadis ceroboh untuk memata-matai dirinya? Itu buka Alexandra sekali.

Kesimpulannya jelas sudah. Daniel mengulum senyum. Mata hijaunya bersinar jenaka. Sikap kalem yang tak ditutup-tutupi oleh sosok tampan berdarah campuran dua benua itu. Jemari rampingnya mengaduk kopi pahit di cangkir.

"Alexandra tak akan memilih orang seceroboh itu sebagai detektifnya. Dia punya cukup uang untuk menyewa tenaga profesional."

George dan Stephan tergelak. Daniel tersenyum tipis. Tanpa sadar matanya melirik meja tempat si gadis ceroboh. Saat itulah pandang mereka bertemu. Sepasang mata hijau bertatapan dengan sepasang mata hazel terindah yang pernah dilihat Daniel. Tiba-tiba Daniel merasa menyesal telah memandang ke arah sang gadis.

Daniel tersentak kaget dengan pemikirannya yang liar. Sesuatu dalam hatinya tiba-tiba bergetar. Dia tak mampu melepaskan diri dari jeratan mata hazel yang memabukkan. Mendadak Daniel ingin tenggelam dalam hangatnya mata itu. Mengeksplorasi isi hati pemiliknya. Menyentuh setiap sisi jiwanya. Membuka lapisan perasaannya. Memeluknya, merengkuhnya erat-erat...

"Yo Daniel, kita pergi sekarang?"

Stephan sialan!

Daniel memaki keras dalam hati. Suara koleganya itu sudah merusak fantasi indahnya akan sang gadis bermata hazel. Rasanya Daniel masih tak rela berpisah dengan mata hazel itu. Namun realita pekerjaan memaksanya bertindak sebaliknya. Berat hati dia berdiri. Kopinya sudah dibayar George jadi dia tinggal cabut. Namun, baru beberapa langkah Daniel kembali berbalik.

"Hei, mau ke mana?" Stephan berteriak melihat Daniel berlari kembali ke kafe.

"Tunggu aku di mobil," Daniel melambaikan tangan.

Matanya seksama memindai setiap penjuru kafe. Meja yang ditempati si mata hazel sudah kosong. Kepala Daniel tolah-toleh cepat. Meneliti seksama setiap meja dan setiap sudut kafe. Berharap gadis itu hanya sekedar berpindah meja atau sedang berjalan keluar rest room. Nihil.

Gadis itu benar-benar menghilang.

Helaan napas Daniel terdengar panjang. Entah mengapa, menyadari bahwa gadis itu sudah tak berada di tempatnya memunculkan sebersit kekecewaan dalam hati. Ini aneh. Mereka bahkan belum pernah berkenalan. Hanya saling bertukar tatapan dalam durasi beberapa menit saja. Tapi Daniel begitu ingin menjangkau gadis itu.

Mungkin memang belum takdirku.

Daniel berkata dalam hati. Gontai dia keluar kafe. Baru tiga langkah berjalan, Daniel merasakan lengannya digenggam erat oleh tangan ramping nan halus. Dia menoleh untuk melihat siapa yang telah menahannya dan jantungnya langsung mencelos.

Gadis itu. Gadis bermata hazel yang memabukkan. Gadisnya tengah berdiri tepat di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, Daniel bisa melihat kecantikan hakiki sang gadis. Wajah ovalnya tak tersapu pulasan make up. Bulu mata pirangnya sangat lebat, membingkai sepasang mata hazel yang bersinar hangat. Pipinya bersemu merah, efek dari cuaca musim panas yang menyenangkan. Dan bibir itu...

Daniel berdehem keras. Mengalihkan otaknya dari prospek fantasi mesum yang akan menghilangkan akal sehatnya selama meeting sore nanti. Namun, untuk terakhir kalinya dia ingin melihat bibir lembut itu. Bibir yang merona merah mudah. Sangat menggoda untuk dicium.

Damn, Daniel!

Daniel memaki dirinya sendiri. Sadarlah!

"Ehem... bisa lepaskan tanganku, Miss?" suara Daniel serak.

Gadis itu menelengkan kepala, "Kenapa aku harus?"

"Kamu tak mengenalku," Daniel tersenyum tipis. Tangannya bergerak melepaskan diri dari genggaman tangan ramping si gadis saat suara merdu itu menyapa telinganya.

"Namaku Natalie Graceline Brown. Umurku 21 tahun dan aku tinggal di apartemen dekat sini."

"Eh, yah, Miss Brown, bisa lepaskan tanganku?"

"Aku tahu kamu kembali karena menginginkanku."

Tubuh Daniel membeku. Nanar dipelototinya gadis itu. Nat tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. Daniel mengerang dalam hati. Tuhan, maafkan aku karena berani bermimpi untuk mencium bibir ranum itu.

"Panggil aku Nat. Jadi, siapa namamu?"

"Daniel," Daniel spontan menjawab tanpa berpikir.

"Kalau begitu kita sudah saling kenal," senyum Nat kian lebar.

Daniel ternganga takjub. Tak percaya pada pola pendekatan penuh percaya diri yang dilakukan gadis asing ini. Keterkejutannya tak berhenti sampai di situ karena Nat mendadak berjinjit, menarik dasinya mendekat, dan mendaratkan ciuman di bibirnya.

"Senang berkenalan denganmu, Daniel."

~~oOo~~

Halllooooo.... Kembali lagi dengan cerita baruku. Kali ini kita akan berjumpa dengan kisah Nat dan Daniel yang kuharap bisa bikin baper readers semua.

Eniwei, kasih komentar dong gimana prolog kali ini. Semoga kalian suka ya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro