14.Fakta yang Terucap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ucapan Dafa masih terngiang di telinga Analisa sepanjang kantor TU Fakultas Hukum hingga kantin yang berada di belakang gedung berlantai enam tersebut. Kata tangis yang menjadi perhatiannya. Analisa melirik Firas yang berjalan di sampingnya. Raut pemuda itu tampak berbinar, tidak ada gurat kesedihan. Gadis itu mulai menerka sosok yang akan dipertemukan dengannya.

Firas meminta Analisa menunggu di meja pojok dekat pintu masuk kantin. Ia lalu melangkah menuju kasir untuk memesan minuman. Analisa hanya ingin es jeruk saat ditawari untuk pesan makanan.

"Kita mau ketemu siapa, Mas?" tanya Analisa begitu Firas kembali ke meja.

"Ada seseorang, dia pingin jadi teman Ana."

Senyum yang mengembang dari wajah Firas membuat Analisa semakin penasaran. Calon sarjana pendidikan itu menatap Firas penuh selidik. Anehnya, degup jantung yang biasanya berpacu cepat saat menatap laki-laki yang dikaguminya mendadak normal.

Firas tertawa kecil mendapati tatapan Analisa. Ia lalu menegakkan punggungnya. Sekarang, ia harus siap untuk bercerita tentang apa yang sudah dipendamnya selama ini.

"Ana, aku belum pernah cerita ini. Teman-teman dekatku pun gak tahu masalah ini. Terlalu berat untuk mengungkapkan semua."

Ana mengerjap cepat. Ia bingung dengan nada bicara Firas yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi sedikit serius. Tanpa mengucap satu kata untuk sebuah respon, Analisa memilih menunggu Firas menyelesaikan ceritanya.

"Teman-teman kuliah taunya aku ini anak tunggal. Padahal sebenarnya dua bersaudara. Hanya saja ...."

Firas menggantung kalimatnya. Ucapannya tentang saudara membuat Analisa teringat bahwa sosok pemuda di hadapannya sering merasa kesepian jika di rumah.

"Waktu itu aku masih SMA, menjelang Ujian Nasional. Fina, adikku yang paling aku sayang harus kembali ke pemilikNya," tutur Firas dengan helaan napas berat.

Analisa tercengang. Ia menegakkan punggungnya.

"Maksudnya, Mas punya adik dan dia sudah meninggal?"

Firas pun menceritakan semuanya. Tentang penyakit jantung bawaan yang diidap adik perempuan satu-satunya yang masih berusia 15 tahun. Hatinya hancur karena tidak siap kehilangan orang yang disayangi. Begitu pun dengan nilai ujian padahal dirinya termasuk siswa berprestasi. Saat mencoba ujian masuk perguruan tinggi negeri pun sama, gagal. Akhirnya, Firas memilih mendaftar di Universitas Surya Gemilang. Ia mencoba mengalihkan kesedihan dengan ikut organisasi dakwah kampus. Perlahan takdir menyesakkan itu bisa diterima. Namun, rasa kehilangan masih belum sepenuhnya pergi.

Analisa menyimak cerita Firas tanpa menyela. Ia bisa merasakan kesedihan yang dialami kakak tingkatnya itu.

"Sampai akhirnya, aku bisa di situasi ini. Ikhlas melepas kepergiannya. Itu karena ketemu Analisa."

Analisa tersentak. Mulutnya mengaga sambil jemari menunjuk dirinya sendiri. "A-aku?"

Firas membuka tas, lalu mengambil sebuah buku. Ia membuka dan menyerahkan sebiah foto yang terselip di tengahnya.

"Ini almarhumah."

Mata Analisa membulat dan sontak menutup bibir begitu melihat sosok yang ada di foto. Gadis itu begitu mirip dengan dirinya. Hanya saja bagian alis mata tidak setebal miliknya, juga terdapat tahi lalat di bawah bibir sebelah kiri.

"Kok, bisa mirip gini, Mas?"

"Iya, kuasa Allah. Aku juga kaget. Kupikir saat pertama ketemu, kamu itu Fina. Bersyukur sekali rasanya pas kita jadi satu tim di pesantren mahasiswa. Aku seolah menemukan kembali adikku yang sudah tidak ada di dunia ini."

Analisa terkesiap. Ia mulai bisa mencerna semua.

"Makanya aku bersikap protektif sama Ana. Seolah Ana itu memang adikku. Rasa itu sektika muncul. Maaf, kalau membuat Ana tidak nyaman dengan apa yang aku berikan."

Analisa memejamkan mata seraya menagangguk angguk. Ia sudah salah menduga. Semua sikap yang ia tangkap ternyata hanya dianggap sebagai adik.

"Gak papa, Mas. Aku bersyukur ada yang selalu mengingatkan dalam kebaikan."

Firas tersenyum lega. Ia akhirnya bisa mengungkapkan hal yang terpendam selama ini. Bayangannya, analisa akan murka dengan semua sikapnya. Ia sudah menyadari kalau gadis itu salah sangka dengan perasaannya.

"Oh itu, yang mau kenalan sama Ana sudah datang."

Firas melambaikan tangan ke arah belakang Analisa. Gadis di hadapannya itu sontak ikut menoleh. Seorang perempuan dengan gaya berbusana mirip Salwa menghampiri meja mereka. Wajahnya terlihat imut dengan badan yang terlihat ramping walauun mengenakan gamis yang cukup longgar.

"Assalammualiakum, Analisa," ujar perempuan itu menyapa dengan ramah. Ia menjabat tangan kemudian memberikan pelukan sekejap.

Analisa menjawab salam dengan canggung. Ia menatap Firas dengan pandangan penuh tanya.

"Ini Mbak Safira. Calon istriku," ungkap Firas hati-hati.

Analisa terkejut, tetapi senyuman langsung terlukis di wajahnya. Apa yang dirasakannya saat ini berbeda ketika mendengar kabar Firas dari Dafa dulu. Kali ini, hatinya seperti baik-baik saja. Entah karena cerita Firas dari awal yang sudah menyentuh hatinya atau karena memang ia sudah menganalisa perasaaannya pada sosok pemuda itu.

"Alhamdulillah. Salam kenal, Mbak."

Safira dan Analisa mulai berbincang ringan. Saling bertanya tentang jurusan, kuliah, dan hal kecil lainnya. Suasana masih terlihat canggung.
Tidak lama kemudian, Firas dan Safira izin undur diri setelah menyerahkan sepucuk kertas pada Analisa. Mereka berpisah untuk tujuan yang berbeda.

Analisa menatap undangan sederhana berwarna coklat muda yang tertera nama Safira dan Firas.

"Jodoh, nama mereka saja hampir sama."

***

Ketukan pada pintu kamar terdengar. Kafin yang sedang memasukkan kancing kemeja menghentikan aktivitasnya.

"Kenapa, Ma?"

Bu Arum tersenyum seraya merapikan kemeja Kafin yang belum rampung tadi. Single mother itu masih terdiam tanpa kata. Kerutan pada sudut mata terlukis samar. Bibir dengan lipstik marun itu masih mengurai senyuman.

Kafin paham dengan ekspresi itu. Selalu ada hal yang ingin diungkapkan oleh sang ibu.

"Mau ngomong apa mamaku sayang?"

"Abang tau aja. Em ... gini. Mama udah pingin punya mantu, Bang," jelas Bu Arum seraya memperlihatkan deretan giginya.

Kafin tersenyum seraya merengkuh sang ibu dalam pelukan.

"Insyaallah sebentar lagi calon mantu Mama pulang."

Bu Arum melepas pelukan Kafin. Wajahnya berubah datar. Ada sorot menyelidik.

"Alma maksudnya?" tanya Bu Arum ketus yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Kafin. Perempuan itu memilih meninggalkan sang putra yang menghela napas pendek.

Kafin menyususl Bu Arum yang tengah duduk di sofa ruang TV. "Mama masih gak suka sama Alma?"

Bu Arum menarik napas sejenak. "Bukan gak suka, Bang. Mama gak sreg aja sama gaya hidup sosialita dia. Apalagi tinggal di luar negeri sekarang."

Inilah yang membuatnya masih bertahan dengan satu nama di hati. Keengganan Bu Arum menerima Alma yang dicintainya sekalipun ia juga belum memiliki status yang jelas. Kafin ingin membuktikan bahwa kesetiaannya pada Alma bisa menyadarkan sang ibu jika hanya wanita itu yang diinginkannya untuk jadi istri.

"Mama kenalin lagi sama anak temen mama, ya? Orangnya sederhana, cantik, pintar masak juga. Abang pasti bisa move on dari Alma."

"Kalau ternyata sepulang dari luar negeri Alma berubah lebih baik gimana?" tanya Kafin tanpa merespon soal perjodohan yang dimaksud Bu Arum.

"Ya sudahlah, sebagai orang tua mama cuma bisa mendoakan. Berharap Abang segera bertemu dengan jodoh yang terbaik dan sayang sama keluarga."

Bu Arum bangkit dari duduknya. Ia sedikit kesal dengan putra sulungnya. Usia hampir kepala tiga tapi masih belum mau memutuskan menikah. Setiap ada pertemuan di salah satu organisasi kemasyarakatan yang diikuti, temen-temannya bukan bercerita tentang diri mereka sendiri tapi sudah berubah menjadi lomba mengunggulkan cucu masing-masing.

Kafin menggaruk kepala yang tidak gatal. Ramput yang tadi sudah rapi dengan pomade menjadi berantakan. Sekalipun sikap Bu Arum baik saat bertemu Alma, tetapi Kafin paham jika ibunya itu tidak mengharapkan wanita itu jadi menantunya.

Andai saja saat di bandara dulu Alma memberi jawaban pasti sekalipun penolakan, ia akan bisa bersikap. Pernyataan cinta yang baru berani diutarakan setelah memendam rasa selama bertahun-tahun, tidak kunjung membuahkan hasil. Kafin terombang-ambing tanpa kejelasan selama Alma di luar negeri.

***

Analisa berjalan pelan menuju TU dengan pikiran yang berkecamuk. Tidak ada air mata lagi atau pun sesak di dada. Ia hanya tidak menyangka bahwa ada kisah memilukan yang dialami Firas dalam hidupnya. Analisa menarik kedua ujung bibirnya begitu memasuki ruangan. Ia tidak mau terlihat rapuh di hadapan Dafa yang ia pastikan sudah tahu tentang rencana pernikahan Firas.

"Nduk, kamu gak papa, kan?" tanya Dafa khawatrir begitu Analisa duduk di kursi.

Analisa menggelengkan kepalam sambil tersenyum. "I am okay. Maaf ya, Mas. Aku pernah berpikiran buruk sama kamu."

"Yang dulu itu?"

Analisa mengangguk. Hingga sebelum Firas memberikan undangan itu, ia selalu menganggap Dafa pembohong.

"Aku gak pernah bohong sama kamu, Nduk."

Analisa manggut-mangugut sambil tersenyum menatap Dafa. "Aku sekarang percaya."

Dafa lega, apa yang sebenarnya terjadi sudah diungkap Firas. Ia melirik Analisa sekilas, lalu beralih menatap keyboard komputer tanpa kedip. Harapan yang tersemai dalam hati belum juga terwujud. Dirinya ingin bisa menjadi penyembuh luka Analisa.

Undangan Firas sudah tersebar di TU dan juga kantor jurusan. Para penghuninya mulai membicarakan rencana datang ke pernikahan mantan tenaga paruh waktu mereka itu.

"Ana, kamu gak papa, kan?" tanya Bu Lidia khawatir. Rasa tidak enak hati pada Analisa menguasai. Dirinya kerap sekali menjodohkan mahasiswi paruh waktu itu dengan Firas.

Analisa terbahak. Ia mengusap lengan Bu Lidia. "Gak pap, Bu. Saya masih bisa tertawa ini."

Bu Lidia tersenyum seraya mengusap dada. Ia dan Dafa lalu pamit pulang karena jam kerja mereka sudah berakhir. Tinggal Analisa, Pak Bambang dan dua karyawan lain. Analisa mengambil berkas yang disiapkan untuk ia selesaikan pengecekannya hari ini. Saat menatap kertas, pandangannya berubah kosong. Ia teringat Safira dan Firas. Sungguh membahagiakan menjadi mereka berdua. Satu minggu lagi mereka akan sah menjai pasangan halal. Impian terpendam Analisa setelah wisuda nanti.

Notifikasi Whatsapp pada ponsel Analisa berbunyi. Nama Salwa tertera di layar.

[Assalamualaikum, nanti tidur di kos aku, yuk?]

Pesan Salwa membuatnya bahagia. Ia tidak sabar ingin berbagi berita mengejutkan itu.

[Siap, habis kerja, ya]

***

Sepulang dari kantor, rintik hujan mulai membasahi bumi. Kos Salwa masih 500 meter lagi dari kampus. Analisa pun berbelok  ke swalayan depan gerbang untuk berteduh. Jilbab yang dikenakannya basah, begitupun dengan wajahnya. Analisa memegang perut yang keroncongan. Ia bergegas masuk untuk membeli roti dan sari kacang hijau kesukaannya. Setelah membayar, begitu membuka pintu kaca, frekuensi air yang turun dari langit semakin lebat. Analisa termenung menatap derasnya hujan.

"Hanya di drama Korea, pas hujan ada yang datang bawa payung," gumam Analisa seraya menghela napas pendek. Bagaimana bisa datang sosok laki-laki yang menghampiri? Satu nama yang ada di hati saja sudah selangkah lebih dulu menemukan jodohnya.

"Gak baik ngelamun pas hujan deres gini."

Analisa tergemap. Ia menoleh ke arah suara. Matanya mengerjap mendapati sosok yang sudah berdiri di sampingnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro