15. Jaket

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Haduh, kirain siapa tadi, Pak."

Analisa bertanya-tanya dari arah mana Kafin muncul hingga sudah berdiri di sampingnya. Ia tadi berdiri di depan pintu masuk cukup lama tetapi tidak mendapati dosennya itu masuk ke swalayan. Analisa baru paham saat Kafin bilang jika dirinya tadi lebih dulu datang.

"Biar hangat," ujar Kafin seraya menyerahkan kopi yang baru diseduh. Ia lalu menggeser kursi plastik tanpa sandaran yang ada di halaman swalayan. "Masih deras, duduk sini saja dulu."

Analisa mengangguk dan mengikuti Kafin yang sudah duduk. Ia tidak jadi menikmati minuman yang sudah dibelinya tadi. Harum Capuccino panas lebih menggoda indera penciumannya. Apalagi di luar semakin dingin. Derasnya air yang turun berpadu dengan embusan angin yanng cukup kencang. Kedua tangan Analisa saling menyilang dengan memegang lengan. Ia lupa tidak membawa jaket.

"Kamu baik-baik saja, kan?"

Analisa mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Kafin. "Saya? Baik-baik saja, Pak."

Kafin mengacungkan kedua ibu jarinya. Ia ingin bertanya tentang undangan Firas yang diterimanya tadi siang. Namun, dirinya sulit mengatur kata untuk memulai.

Analisa kembali menyeruput kopi. Suasana yang dingin, terasa canggung. Ia dan Kafin hanya diam dan fokus pada minuman masing-masing.

"Minggu depan ke nikahan Firas bareng saya saja."

Analisa tercenung sejenak. Kalimat yang keluar dari bibir Kafin tidak seperti tawaran tapi perintah. Sejak menerima undangan tadi, ia tidak kepikiran untuk datang. Meskipun tidak ada air mata lagi, tetapi ia masih belum yakin bahwa hatinya akan siap melihat Firas bersanding dengan Safira.

"Apa kamu kecewa?" tanya Kafin hati-hati.

Analisa terkesiap. Ia melepas gelas yang sedari tadi dipegang. Kedua telapak tangan ia gosokkan. Pertanyaan Kafin cukup sulit dijawab. Analisa menghela napas panjang.

"Menjadi seorang wanita itu cuma ada dua pilihan, Pak. Menunggu yang dicintai datang melamar, atau menerima yang siap datang melamar," jelas Anlisa, lalu tertawa kecil.

Analisa heran pada dirinya sendiri. Kalimat bijak seperti itu bisa keluar dari bibirnya saat ini. Padahal, ia masih ingat betul saat kabar Firas melamar cewek dulu. Air mata terkuras hanya menangisi laki-laki yang belum tentu menjadi jodohnya tersebut.

Kafin manggit-manggut mendengar ucapan Gadis di hadapannya. Ia mulai mencerna kalimat itu dari sudut pandang laki-laki. Hanya ada satu pilihan untuk makhluk adam. Melamar yang dicintai. Kafin tersenyum mantap, dirinya sudah membulatkan tekad satu bulan lagi akan melamar Alma begitu sahabatnya itu tiba di tanah air.

Hujan sudah mulai reda. Kafin segera menyesap hingga tandas kopi miliknya. Ia menatap Analisa yang sedang menggengam gelas dengan kedua tangan. Gadis itu tampak kedinginan.

"Saya antar pulang."

Kafin beranjak dari kursinya. Tangannya meraih kunci mobil di saku jaket berwarna hitam yang dikenakannya.

"Saya masih nunggu Salwa,Pak," ucap Analisa berbohong. Ia hanya masih ingin di sini sendirian, sebelum berangkat ke indekos Salwa.

Kafin terdiam. Ia terus menatap Analisa. Bibir gadis itu sedikit berwarna ungu. Baju dan kerudung pun basah. Dosen muda itu melepas jaketnya.

"Pakai ini," titah Kafin seraya menyerahkan jaket.

Namun, Analisa bersikeras menolak. "Tidak, Pak. Terima kasih."

"Sudah pakai saja." Kafin memakaikan jaket miliknya ke punggung Analisa. Gadis itu tergemap dengan sikap tiba-tiba dosennya itu.

Lanjut Kafin, "Kalau kamu sampai sakit, kasihan Bu Lidia gak ada teman bergosip nanti."

Analisa terkekeh pelan. Di kantor, ia memang kerap dijuluki sebagai partner in crime Bu Lidia.

"Saya duluan, ya." Kafin pun pamit. Ia lalu melangkah menuju mobilnya.

"Pak!"

Langkah Kafin terhenti begitu mendengar panggilan Analisa.

"Makasih," ujar Analisa seraya menangkupkan kedua tangan.

"Oke," respon Kafin seraya mengacungkan ibu jari.

Senyuman terbetik di wajah Analisa. Sikap-sikap manis Kafin perlahan membuatnya kagum. Gadis itu melepas jaket yang menggantung di bahunya. Aroma parfum menguar hingga tercium dengan jelas oleh hidung. Analisa mengerjap lalu memegang dada sebelah kiri. Detak jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.

"Aduh, apalagi ini?" Analisa meringis seraya menempelkan kepala di meja. Ia mendekap erat baju tebal yang sering dipakai Kafin saat ke kampus.

***

Derasnya hujan sudah berkahir. Sekarang hanya tinggal rintik-rintik. Kondisi baju yang basah membuat Analisa tidak punya pilihan selain mengenakan jaket milik Kafin. Ia berjalan santai menuju tempat Salwa sembari menikmati lengangnya jalanan.

Di depan gerbang, Salwa sudah menyambut. Mahasiswi itu menghambur ke arah Analisa. Ia sudah lama merindukan sahabat barunya itu. Setiap merencanakan pertemuan sejak urusan KKN berakhir, selalu saja gagal terwujud. Baru kali ini mereka bisa berjumpa kembali.

"Kamu baik-baik saja, kan, An?"

Analisa menautkan kedua alis mata. Sejurus kemudian, ia terkekeh seraya memukul lengan Salwa pelan.

"Aku tahu maksud kamu nyuruh nginep di sini, loh."

Salwa mengangguk sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya. Ia seolah bisa merasakan suasana hati Analisa ketika menerima undangan.

"Aku baik-baik aja, Wa. Malahan, tadi aku dikenalin sama calon istrinya. Penampilannya mirip sama kamu. Cantik, imut. Serasi mereka itu. Yah, namanya juga jodoh, ya, Wa."

Salwa terkesiap. Tidak menyangka Analisa setegar itu. Ia pun segera mengajak tamunya untuk masuk ke kamar.

"Kamu masih ingat gak pas aku cerita kalau dulu pernah dilamar?"

Analisa manggut-manggut. "Kenapa?"

"Laki-laki itu Firas."

Mata Analisa membulat. Bibir yang sedang mencecap roti ikut terbuka. "Dan, dia kamu tolak?"

"Namanya juga bukan jodoh, An. Percayalah, insya Allah akan datang jodoh yang terbaik untuk kita. Bukan berdasar kaca mata kita. Tapi terbaik pilihan Allah."

Analisa merasa mendapat kejutan yang menggelegar. Ternyata benar apa yang dikatakan Dafa bahwa Firas saat itu memang telah mengkitbah seorang gadis. Dia bukan Safira, tapi Salwa yang kini tengah duduk di hadapannya.

"Aku mau jujur tapi syaratnya gak boleh ketawa."

Salwa mendekatkan posisinya ke hadapan Analisa. "Ngomong dulu baru aku tahu bisa nahan tawa apa gak."

Analisa menarik salah satu ujung bibirnya. Ekspresinya itu direspon dengan gelak tawa oleh Salwa.

"Iya janji gak bakal ketawa."

Analisa mengacungkan ibu jarinya. "Jadi, pas Dafa bilang Firas udah kitbah seorang mahasiswi, tau gak responku? Nangis terus selama beberapa hari."

Mata Salawa membeliak. "Yang bener, An?"

Analisa mengangguk mantap. "Maaf ya, aku pernah benci banget sama cewek yang dikitbah. Ternyata itu kamu. Ha ha ha ha."

Salwa memukul lengan Analisa sambil ikut terbahak. Janji untuk tidak tertawa otomatis dilanggar bahkan oleh sang pembuat syarat. Mereka kembali berbincang, tapi bukan membicarakan Firas.

"Jangan bersedih lagi, An. Kita harus menyambut masa depan dengan memaksimalkan kesempatan yang ada sekarang."

"Dih, siapa yang sedih? Lihat saja mataku. Bengkak, gak?"

Analisa tidak terima jika Salwa menganggapnya tengah patah hati. Ia sendiri heran, kenapa bisa hatinya begitu tegar saat berkenalan dengan Safira. Tidak ada rasa sesak yang menghujam hati. Hanya rasa kecewa karena dirinya sendiri salah menafsirkan tentang perasaan Firas.

"Masya Allah, sahabatku keren! Kegagalan cinta tentu bukan sebuah akhir dari segalanya."

"Pasti! Mencintai tapi tidak bisa menikahi juga bukan sebuah kehancuran. Eh, kenapa aku jadi ikut bijak gini, Wa?"

Analisa dan Salwa kembali terbahak. Mereka membuat suasana di ruangan yang perabotnya tertata rapi terasa samakin ceria. Dua sahabat itu melanjutkan obrolan membahas tentang masa depan, khususnya jodoh. Salwa begitu bersemangat memberi nasihat tentang cinta setelah menikah. Mereka larut dalam perbincangan hingga jarum pendek menunjuk angka sepuluh.

"Ganti dulu bajumu, An." Salwa menyerahkan piyama berwarna biru muda kepada Analisa. "Eh, jaketmu kayanya basah tadi. Aku gantung dulu di luar."

Analisa memberikan jaket berwarna hitam itu ke Salwa. Ia bersiap menuju kamar mandi. Namun, langkah kaki terhenti begitu ingat kecerobohannya sendiri. Pada jaket itu tertulis nama Kafin dan lambang Fakultas Hukum pada sisi kiri depan. Saat berbalik, semua sudah terlambat.

"Kafin Imadudin?" Salwa menyipitkan mata penuh tanya ke arah Analisa. "Ini DPL kita, kan?"

Analisa segera merebut jaket dari tangan Salwa.

"Ana, kamu ada hubungan apa sama Pak Kafin?" tanya Salwa penuh selidik.

Analisa menggeleng cepat. Bibirnya tertutup rapat.

"Pipimu merah, loh." Salwa tidak tahan untuk terus menggoda sahabatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro