16.Hati yang Tak Patah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Besok adalah hari pernikahan Firas. Analisa menjadi bimbang antara datang atau tidak. Bukan masalah hati yang tidak sanggup melihat orang yang disayangi bersanding dengan perempuan lain. Bukan lagi tentang itu, tetapi tidak lain karena tawaran Kafin untuk datang bersama.

"Ana, saya nitip kamu saja." Bu Lidia memberikan amplop putih dengan tulisan namanya di bagian depan. "Sampaikan maaf ke Firas karena harinya barengan nikahan ponakan saya."

Analisa tergemap melihat amplop yang sudah ada di depannya. Mau tidak mau ia harus datang. Ia lalu memasukkan amplop berisi uang itu ke tas.

"Kamu yakin datang?" tanya Dafa yng sedang duduk di sampingnya.

"Kenapa harus tidak yakin?' Analisa tersenyum mantap. "Selama ini aku hanya salah sangka. Tidak semua rasa yang berbeda bisa dianggap cinta. Iya, kan?"

Dafa terkesiap mendapati tatapan Analisa. Pemuda itu mengangguk canggung. "I-iya benar. Sekarang cukup fokus saja sama skripsimu. Kalau sudah waktunya, jodoh pasti datang."

Analisa mengacungkan kedua ibu jari degan senyum yang mengembang. Ia kembali fokus dengan lembaran kertas di hadapannya. Namun, pikirannya seolah terpecah. Ia tidak bisa konsentrasi saat memasukkan data mahasiswa ke komputer. Gadis dengan tunik motif bunga itu sedang berpikir tentang cara mengembalikan jaket milik Kafin. Analisa mengambil tas yang terletak di laci bawah meja. Tangannya mengusap lembut baju tebal berwarna hitam itu. Lamunan membawanya pada kejadian saat dosen muda tersebut menaruh jaket di punggungnya. Analisa menyentuh pipinya, terasa hangat. Gadis itu tengah senyum-senyum sendiri.

Dering telepon membuyarkan lamunan Analisa. Ada panggilan dari kakak sulungnya yang sedang pulang kampung. Ia segera menggeser ke atas tombol berwarna hijau pada layar. Setelah mengucap salam, kakak Analisa langsung menyampaikan inti pembicaraan. Raut muka gadis itu berubah. Matanya menyiratkan akan berita tidak baik.

Analisa beranjak dari tempatnya. Ia berjalan cepat ke arah luar. Dafa yang sedari tadi mengamati gadis itu menjadi penasaran.

"Kak, aku pingin di samping ayah." Analisa melanjutkan perbincangan dengan saudaranya.

Kondisi sang ayah mulai kritis. Sejak semalam sudah tidak sadarkan diri. Analisa ngotot ke kakaknya untuk bisa pulang. Namun, ia tidak diizinkan meninggalkan Malang karena wisuda tinggal sebentar lagi. Analisa menutup ponsel dengan kecewa. Tatapannya kosong ke arah orang yang sedang lalu-lalang di lantai dasar.

"Kamu yakin sedang baik-baik saja?"

Analisa sontak menoleh karena terkejut mendengar suara yang yang tidak asing. Kafin sudah di sampingnya. Laki-laki itu menjadi sering muncul secara tiba-tiba di sebelahnya. Ia menggeleng lemah dengan pandangan kembali lurus ke arah bawah.

"Apa lebih baik gak usah datang ke nikahan?"

Kening Analisa berkerut. Ia menduga jika Kafin telah salah sangka tentang kondisinya.

"Bukan masalah pernikahan itu, Pak."

"Oh, maaf. Saya pikir tentang acara besok itu."

Analisa menggeleng seraya tersenyum. Ia lalu mengikuti langkah Kafin menuju kantor. Laki-laki itu berjalan cepat ke ruangannya. Ia sudah tidak sabar menanti panggilan telepon dari Alma. Bisa dibilang, sejak pindah ke London, sahabat yang dicintainya itu semakin sulit dihubungi. Kafin harus menunggu Alma dahulu yang memberi kabar walaupun lewat chat. Namun,hari ini secara tiba-tiba Alma berinisiatif untuk mengajak teman dekatnya itu melakukan video call.

Analisa bergegas masuk, lalu mengambil jaket dan membawanya ke tempat Kafin. Namun, saat akan mengetuk pintu yang terbuat dari kaca, gadis itu terdiam. Ia sedang melihat laki-laki dengan jaket denim berwarna cokelat tengah bersenda gurau sambil menatap layar ponsel.

"Analisa! Ada yang bisa dibantu?!" seru Kafin saat Analisa ingin berbalik arah.

Analisa tersenyum canggung. "Mau ngembalikan jaket saja, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama. Jangan lupa besok jam delapan saya jemput."

Analisa mengangguk pelan. Matanya melirik ke arah ponsel dalam genggaman Kafin.Tampak seorang perempuan berambut sebahu dalam layar itu. Analisa menghela napas sejenak. Ia pun segera berlalu dari ruangan sekretaris jurusan itu.

"Mau ke mana, Fin?" tanya Alma dari layar ponsel.

"Ke nikahan mahasiswaku."

"Waduh, udah diduluin yang muda ini. Cepetan deh, dikondangin," goda Alma sambil tertawa renyah. Lawan bicaranya hanya tersenyum tipis. "Fin, aku gak mau kepulanganku nanti malah membuatmu berharap lebih."

Kafin terdiam. Ia paham maksud ucapan Alma.

"Aku hanya ingin dengar langsung, apa pun keputusanmu," ungkap Kafin seraya tersenyum dengan wajah penuh kepasrahan.

***

Pernikahan Firas akan dilaksanakan pagi ini sekitar pukul sepuluh pagi. Analisa yang baru selesai mandi, dihadang oleh Balqis di depan pintu kamar.

"Aku gak mau tahu. Pokoknya sahabatku harus tampil cantik di nikahan playboy terselubung itu."

Balqis masih saja merutuki Firas. Ia tidak terima dengan sikap pemuda itu pada Analisa sekalipun sahabatnya sudah menceritakan tentang penjelasan Firas.

"Udah, Qis. Kamu gak lihat aku baik-baik saja gini? Gak ada air mata netes, kan?"

Analisa melepas tangan Balqis yang membentang di depan pintu. Ia lalu membuka almari untuk mengamil gamis berwarna biru muda yang sudah disiapkan.

"Di depanku sih, iya. Entah kalau pas aku lagi gak sama kamu."

Balqis tetap saja merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya itu. Analisa yang ia kenal pandai menyembunyikan suasana hati. Hanya saat kabar lamaran Firas, gadis itu terlihat terpuruk. Ia pun memakluminya karena Analisa memang baru kali itu merasakan jatuh cinta.

Setelah selesai memakai baju. Analisa duduk diranjang. Ia gak bisa berkutik jika Balqis sudah memiliki keinginan.

"Aku cuma mau pakai bedak tabur. Gak mau yang two way cake."

Balqis mengacungkan ibu jari. Ia tentu saja tidak akan membuat wajah cantik sahabatnya memudar dengan riasan tebal. Gadis itu sangat suka dengan wajah Analisa yang alami tanpa pernah tersentuh make up itu. Balqis hanya memakaikan sunblock dan bedak tabur tipis. Ia lalu merapikan alis tebal Analisa dengan sisir. Untuk riasan mata, hanya menggunakan eye pencil pada garis kelopak mata atas bawah. Tidak lupa maskara bening untuk membuat bulu mata semakin lentik. Terakhir, olesan lip cream berwarna pink semakin menyempurnakan riasan natural itu.

"Kayanya pengantinnya bakal kalah cantik sama kamu."

Analisa mencebik mendengar pujian dari make up artistik-nya. Ia lalu mematut diri di depan cermin. Matanya membelalak, terpesona dengan wajahnya sendiri.

"Ini aku, Qis?" tanya Analisa dengan kedua tangan menempel pada pipi. Ia masih tidak percaya dengan perubahan wajahnya setelah Balqis melakukan make over. Ia menjadi terlihat lebih segar.

"Bukan, ini orang yang patah hati tapi kelihatan jatuh cinta," jawab Balqis sambil tergelak. "Kamu gak lagi jatuh cinta, kan, sekarang?"

Analisa pura-pura tidak mendengar pertanyaan Balqis. Ia membuka almari dan mengambil kerudung.

"Aku masih penasaran, kenapa saat ditinggal nikah kamu malah masih bisa senyum?" Balqis masih saja berceloteh. "Aneh, kan, An? Kamu ngerasa gak, sih?"

Analisa mengangkat bahu. "Udah dibilang tidak semua rasa berbeda bisa dianggap cinta, kok."

Balqis menimpuk Analisa dengan Bantal. Ia menertawakan ucapan sahabatnya yang mulai puitis.

"Aku ngerasa gitu, An. Kamu ingat gak sih, petuahku dulu. Obat patah hati yang mujarab adalah jatuh cinta pada sosok baru."

Analisa terkesiap. Perasaan sahabatnya itu cukup peka terhadapnya. Ia pun mengalihkan pembicaraan dengan bergegas keluar kamar.

"Woi, cantik gitu masa naik ojek online?" teriak Balqis.

Analisa menggeleng sembari tertawa. "Enggak, dong. Aku kan, dijemput seseorang."

Balqis sontak berlari menyusul Analisa. Mereka malah kejar-kejaran. Gadis dengan rambut diikat menyerupai ekor kuda itu, menahan lengan Analisa yang sedang memakai sepatu.

"Jangan bikin kepo. Dijemput siapa?"

"Mantan DPL-ku," jawab Analisa sambil berlari keluar rumah. Ia tidak sanggup menahan tawa melihat wajah terkejut Balqis. Ia yakin, sahabatnya itu sedang histeris karena nama yang menggeser kanan akunnya di Madam Rose akan menemani menghadiri pernikahan Firas.

Analisa sudah sampai di depan gang. Ia mengedarkan pandang mencari mobil Kafin. Namun, belum tampak kendaraan berwarna hitam itu. Analisa melihat jam pada ponsel. Masih pukul delapan kurang lima menit.

Tin ... tin.

Suara klakson dari arah sebelah kanan mengangetkan Analisa. Tampak Kafin melambaikan tangan dari dalam. Gadis itu segera berjalan menghampiri dosen muda itu.

Kafin termangu. Bibirnya sontak berdecak kagum melihat penampilan Analisa pagi ini. Gadis sederhana itu semakin terihat ayu di matanya.

"Pak ...." Analisa mengetuk kaca mobil.

Kafin segera sadar dari lamunan. Ia lalu membukakan pintu dan mempersilakan Analisa masuk. Mereka pun segera berangkat menuju rumah mempelai wanita yang terletak di pinggir kota Malang.
Baru beberapa meter dari tempat berhenti tadi, ponsel Kafin berdering.

"Iya, Ma. Kenapa?"

" ... "

Dahi Kafin berkerut mendengar perintah Bu Arum.

"Iya, abang balik ke rumah sekarang," ucap Kafin mengakhiri sambungan telepon.

Analisa penasaran saat mendengar kata balik ke rumah. "Ada apa, Pak?"

Kafin pun menjelaskan bahwa ibunya akan menggunakan mobil ini untuk takziah di luar kota sehingga dirinya harus kembali ke rumah. Ia akan menukarnya dengan motor.

Analisa berdecak lirih seraya menutup mulutnya. Ia lalu menoleh ke arah kiri jalan. Kata motor seketika membuatnya kesal. Gadis itu teringat saat dibonceng oleh dosennya itu. Ia harus mengkondisikan punggung tetap tegak. Hal tersebut membuatnya capek. Apalagi sekarang jarak yang ditempuh cukup jauh. Analisa mengusap pelan pinggangnya.

Tidak lama kemudian, mobil berbelok memasuki kawasan perumahan di tengah Kota Malang. Kafin menghentikan kendaraannya di depan rumah dengan pagar berwara hitam.

"Ayo, turun dulu, An."

Analisa mengangguk, lalu membuka pintu mobil. Ia menunggu di depan pagar sementara Kafin masuk ke rumah.

"Ana, masuk sini saja." Kafin muncul dari balik pagar.

Analisa berjalan pelan melewati pagar setinggi dua meter itu. Ia dibuat terpesona saat mendapati taman depan rumah yang dipenuhi aneka buah dalam pot. Rumah Kafin terlihat sangat asri. Analisa memilih duduk di kursi besi bercat putih yang ada di teras.

"Mahasisiwinya Kafin, ya?"

Analisa melonjak kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakangnya. Ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Lalu, segera menyalami Bu Arum dengan menempelkan ujung hidung pada punggung tangan wanita paruh baya itu.

"Maaf, ya. Jadi pakai motor ke nikahannya," ucap Bu Arum ramah. Senyuman terus tersungging di wajah sejak menyalami Analisa.

"Iya, Bu. Tidak apa-apa."

Bu Arum ikut duduk di samping Analisa. Ibu Kafin itu pun mulai bertanya tentang diri Analisa. Dari asal daerah hingga jurusan. Wajah perempuan yang begitu mendambakan kehadiran cucu itu berseri saat Analisa menyebutkan PGSD.

"Masya Allah jadi guru SD kan, nanti? Udah pasti jiwa pendidik di tingkat dasar itu penuh dengan kelembutan."

Analisa tersenyum canggung. Bukan hanya Bu Arum saja yang berasumsi seperti itu. Tidak sedikit orang-orang berpendapat bahwa menjadi guru di sekolah dasar itu butuh persediaan sikap sabar yang melimpah.

Obrolan mereka terpakasa terhenti karena Kafin sudah siap dengan helm di tangan.

"Gak papa pakai rok naik motor, An?" tanya Kafin dengan tatapan ke arah gamis Analisa. "Bisa duduk hadap depan?"

Analisa mengangguk dengan kening berkerut. Ia tidak paham maksud Kafin.

"Udah, aman, Bang. Analisa pakai celana dalaman gamis, kok. Iya kan, An?" Bu Arum paham tentang pertanyaan Kafin. Ia yakin putranya itu canggung saat bertanya tentang hal itu.

"Mama sok tahu, nih."

"Iya, sudah, Pak." Analisa meyakinkan Kafin. Raut wajahnya berubah tersipu.

Mereka pun berpamitan pada Bu Arum. Wanita paruh baya itu bahkan mengecup kedua pipi Analisa. Hal itu sontak membuat gadis itu terkejut. Terlebih Kafin, ia masih ingat bahwa ibunya itu tidak pernah melakukan hal itu pada Alma.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro