17.Kehilangan Cinta Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Analisa dan Kafin sudah sampai di rumah mempelai wanita. Gadis itu turun dari motor seraya memegang punggung dengan kedua tangan. Empat puluh lima menit perjalanan dengan posisi duduk tegak di atas motor sport terasa efeknya sekarang, melelahkan.

"Kenapa? Capek?"

"Kaku punggung saya, Pak."

"Capek mana sama saya yang nyetir?" Kafin tersenyum sekilas. Ia lalu berjalan mendahului Analisa.

Analisa terdiam di tempatnya. Ia menatap punggung dengan bahu lebar itu seraya mencebik. Gadis itu seolah dejavu, sikap menjengkelkan dosennya saat di KKN kembali terasa.

"Cepet, An!" panggil Kafin sambil melambaikan tangan. Mahasiswinya itu segera mendekat ke arahnya.

Analisa dan Kafin sudah sampai di rumah dengan tenda yang terpasang di jalan depan rumah. Benar saja, acara sakral itu sebentar lagi akan dimulai. Analisa merasakan keharuan yang menyelimuti momen tersebut. Ia pun tidak hentinya berdecak kagum saat melihat kedua mempelai. Safira tampil cantik dengan mengenakan baju pengantin berupa gamis berwarna putih bertabur hiasan payet di bagian bawah. Kerudungnya tentu saja menutup dada. Pengantin wanita itu terlihat anggun dengan riasan wajah yang natural.

Akad nikah pun dimulai. Prosesnya berjalan dengan lancar. Firas mengucap kabul dengan satu kali tarikan napas. Ia lalu menghadiahkan istrinya bacaan surat Ar-Rahman.
Tenggorokan Analisa tercekat. Ia terbawa suasana yang romantis itu. Hatinya seolah seperti pelangi. Beraneka warna yang menjelaskan perasaannya. Ada rasa iri saat mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dari bibir kakak tingkatnya tersebut. Ia masih memiliki impian mendapat hadiah bacaan Ar-Rahman dari suaminya nanti. Namun, dirinya juga senang saat melihat orang yang disayanginya mendapat kebahagiaan.

Dafa menyerahkan selembar tisu pada Analisa yang duduk di dekatnya. Sedari tadi ia memperhatikan gadis yang hari ini terlihat lebih cantik di matanya.

"Makasih, Mas. Tahu saja nih, aku mau mewek," kelakar Analisa yang ditanggapi dengan kekehan oleh Dafa. "Manis banget ya, dapat hadiah Ar-Rahman dari suami."

Dafa sontak menatap Analisa saat mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari bibir gadis di sebelahnya. "Mau nanti kaya gitu?"

Analisa menghela napas pendek. Pertanyaan Dafa cukup menggelitik. "Harus dapat jodoh aktivis dakwah kali, ya."

Dafa dan Analisa tertawa pelan. Laki-laki yang mempunyai impian melanjutkan ke jenjang pasca sarjana setelah lulus nanti, tersenyum penuh arti. Ia menatap pelaminan tempat berlangsungnya ijab kabul. Dafa membayangkan jika sosok yang menjabat tangan penghulu adalah dirinya sedangkan mempelai wanita, gadis yang duduk di sampingnya saat ini.

"Hei, ngelamun." Analisa menyenggol lengan Dafa dengan ponsel. "Udah pingin kaya Mas Firas, ya?"

"Hah, apa, sih, An?" Dafa menjadi salah tingkah. "Kamu bareng Pak Kafin ke sini?"

"Iya, lumayan dapat gratisan."

"Kenapa gak bilang sama aku?" Nada bicara Dafa berubah serius.

Analisa menautkan kedua alis. Ia menatap bingung laki-laki yang mengenakan kemeja polos berwarna coklat tua itu. "Emangnya Mas mau booncengin aku?"

Dafa terdiam mendapati pertanyaan menohok Analisa. Ia tidak mungkin berboncengan dengan lawan jenisnya. Laki-laki itu hanya tersenyum dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya.

***

Setelah prosesi ijab kabul, acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Analisa menunggu saat ini. Tidak munafik juga, sebagai anak indekos yang sedang berhemat, makan dengan penyajian secara prasmanan tentu sudah sangat mewah baginya.

"Makan yang banyak, biar kuat nyelesaikan skripsi," celetuk Kafin yang baru datang mengambil makanan. Ia pun duduk di samping Analisa.

"Jangan khawatir, Pak. Ini masih ronde pertama."

Kafin tertawa mendengar perkataan mahasiswinya itu. "Jangan terlalu kenyang. Habis ini ikut saya."

Analisa yang sedang menggigit paha ayam menghentikan aktivitasnya. "Mau ke mana?"

"Makan bakso. Kamu suka, kan?"

Analisa mengangguk cepat. Mendengar makanan berupa gilingan daging berbentuk menyerupai bola bekel itu, ruang pada lambungnya terasa kosong kembali. Padahal nasi di piringnya belum juga habis.

Setelah menyelesaikan makan, Analisa dan Kafin berpamitan pada kedua pengantin. Sebelum meninggalkan tempat pesta, mereka menyempatkan mengambil foto bersama.

"Terima kasih banyak atas waktunya, Pak. Kapan mau nyusul?" tanya Firas saat Kafin menjabat tangannya.

"Nanti pas sudah nyebar undangan," jawab Kafin asal. Ia sudah kebal dengan pertanyaan semacam itu saat datang ke pernikahan teman atau keluarga.

"Sama mahasiswi sendiri juga boleh, kok, Pak." Firas berkelakar dengan sorot mata melirik gadis yang berdiri di samping dosennya itu. Kafin hanya tergelak menanggapi perkataan mantan mahasiswanya itu.

Analisa memandang Firas dan Kafin bergantian. Ia tadi tidak mendengar dengan jelas percakapan dua laki-laki itu. Hanya tatapan sekilas Firas yang ditangkapnya. Analisa menangkupkan kedua tangan.

"Selamat ya, Mas dan Mbakku. Semoga segera dikaruniai momongan."

"Aamiin yaa Allah," jawab Safira. Ia lalu memeluk Analisa. "Terima kasih ya, Dek. Ingat, kalau sudah siap nikah dan ada laki-laki baik yang datang melamar, jangan ditunda."

Analisa manggut-manggut dengan senyum manis menghiasi wajahnya. Ia segera meninggalkan tempat pesta bersama Kafin. Saat akan menuju tempat parkir, ponselnya berdering. Panggilan dari kakak sulungnya. Perasaan Analisa berubah tidak enak. Ia menghentikan langkahnya.

"Pak, saya angkat telepon dulu." Analisa bergegas mengangkat telepon. "Assalammualaikum, ada apa, Kak?"

Suara di seberang terdengar parau. Kakak Analisa membawa kabar duka. Sang ayah baru saja berpulang ke pangkuan Allah. Analisa menutup bibirnya dengan tangan kiri. Matanya membeliak. Ia pun menundukkan kepala dan menjauhkan ponsel dari telinganya. Analisa ingin tidak memercayai berita tersebut tetapi kondisi ayahnya memang sudah kritis sebelumnya.

Kafin yang tengah memperhatikan Analisa heran dengan sikap mahasisiwinya itu. Ia curiga ada hal tidak baik dengan adanya telepon tersebut. Laki-laki itu ingin mendekat tetapi takut jika mengganggu obrolan mereka.

Analisa melanjutkan obrolan di telepon. Suaranya mulai  parau. "Aku mau pulang, Kak."

Tanggapan sang kakak atas keinginan untuk melihat wajah ayahnya untuk terakhir kali membuat hati Analisa semakin gerimis. Ia masih bisa menahan air matanya. Tidak mungkin jika harus ditumpahkan di tengah jalan seperti ini. Analisa mengakhiri sambungan telepon. Ia melangkah gontai menuju motor di mana Kafin tengah menunggunya.

"Ada apa Analisa?" tanya Kafin khawatir. Mata mahasiswinya itu berkaca-kaca.

Analisa menarik napas panjang. Pertahanannya untuk tidak menangis saat ini runtuh. Ia mulai terisak sambil menatap Kafin.

Kafin sontak kebingungan mendapati seorang gadis tengah berurai air mata di hadapannya. "Kenapa, Ana? Coba cerita dulu."

Tidak ada jawaban dari bibir Analisa. Ia masih terus terisak sambil menundukkan kepala. Tangan kanannya terus membekap mulut.
Hal tersebut membuat Kafin menjadi kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana bersikap saat ada wanita menangis tanpa tahu sebabnya. Tangan kanannya terangkat ke arah Analisa. Ia ingin mengusap lengan gadis yang sedang bersedih itu. Namun, urung karena lawan bicaranya menengadahkan kepala.

"A-ayah saya, meninggal dunia, Pak."

Kafin mengerjap kaget. "Innalillahi wa innailaihi rojiun."

"Langsung pulang gak papa, kan, Pak?"

Kafin menganggukkan kepala. Ia lalu menyalakan motor saat Analisa sudah duduk di belakangnya. Kendaraan roda dua itu mulai melaju. Kafin masih khawatir dengan kondisi mahasiswinya itu. Ia menepikan motor di bahu jalan.

"Ana, mau saya bantu pesankan tiket pesawat?" tanya Kafin sambil menoleh ke belakang.

Analisa menggeleng pelan. "Tidak perlu, Pak. Saya dilarang pulang sama keluarga."

Kafin tercengang mendengar pernyataan Analisa. Tentu saja ia heran. Kabar duka bahkan datang dari orang terdekat. "Kenapa?"

Analisa pun menjelaskan jika kampung halamannya sulit dijangkau dengan pesawat. Ia butuh dua kali ganti pesawat yaitu di Makassar dan Luwuk, Sulawesi Tengah. Tidak sampai di situ, perjalanan kembali dilanjutkan menggunakan kapal feri menuju Kabupaten Taliabu, kampung halamannya.

"Berapa lama naik kapalnya?"

"Kalau naik siang ini, besok sore baru sampai."

Analisa kembali menjelaskan jika keputusan itu juga diambil melihat waktu sidang skripsinya yang tinggal tiga hari. Pilihan yang sulit mengingat sewaktu kecil ia cukup dekat dengan sang ayah. Bahkan, saat merantau ke Malang, mereka masih sering berkomunikasi lewat telepon.

Kafin memahami kekalutan Analisa. Ia juga pernah mengalami kondisi sulit seperti itu saat kepergian ayahnya. Tentu lebih tidak mudah jika melalui keadaan tengah beduka di tanah rantau yang jauh dari keluarga.

"Jangan pulang ke kos. Ikut ke rumah saya saja."

Bersambung ...

What???Apaaa???? Diajak ke rumah Kafin lagi? Kayanya bakal seneng nih,Bu Arum

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro