18.Rasa yang Berbeda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tawaran Kafin sontak membuat Analisa tercengang. Ia pun menolak niat baik dosennya itu. Dirinya tidak ingin merepotkan orang lain. Analisa berkilah jika ada sahabat satu kamar yang akan menemaninya.

"Telepon dulu Balqis. Dia ada di kos atau tidak," titah Kafin yang duduk di atas motor dengan menyilangkan kedua tangan.

Analisa turun dari motor. Ia lalu mengambil ponsel di tas. Muncul rasa ingin menuruti perintah Kafin kali ini. Namun, untuk permintaan menginap tidak berani langsung menyetujui. Harga diri sebagai seorang wanita harus dijaganya. Bayangan sosok sang ayah kembali muncul. Almarhum selalu mewanti putrinya untuk bisa menjaga marwah.

Telepon tersambung ke nomor Balqis. Tidak lama, terdengar jawaban dari seberang. Analisa menghela napas pendek. Dirinya lupa jika sahabatnya itu sempat berujar semalam bahwa akan menginap di rumah salah satu temannya yang ada di Kota Batu. Analisa mengucap salam sebelum menutup sambungan telepon. Ia melirik Kafin yang tengah mengawasi pembicaraannya dengan Balqis.

"Ada di kos?"

Analisa menggeleng pelan. Ia tetap meminta untuk di pulangkan ke indekos. Namun, laki-laki di hadapannya tetap diam dan menatapnya lekat. Analisa mengalihkan pandangan karena merasa canggung melihat sorot mata Kafin.

Kafin pun meminta mahasisiwinya itu untuk naik kembali ke motor. Ia masih tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Laki-laki itu segera melajukan motor. Kecepatannya lebih tinggi, 80 kilometer per jam. Beruntung jalan yang dilalui bebas hambatan karena bukan di tengah kota.

Analisa kaget dengan laju kendaraan yang ditumpanginya. Ia takut jika Kafin sedang marah karena permintaannya tidak dituruti. Telapak tangannya hampir menyentuh punggung dosennya. Analisa ingin meralat ucapan. Namun, urung karena dirasa motor yang ditumpanginya semakin melaju kencang hingga membuat helm yang dikenakannya hampir lepas. Ia pun tidak punya pilihan lain, dengan terpaksa menggenggam bagian samping jaket kulit Kafin.

Orang lagi berduka gini diajak ngebut, rutuk Analisa dalam hati. Ia terus berzikir saat Kafin mencoba mendahului pengendara di depannya.

Analisa menoleh ke kanan dan kiri saat kecepatan sudah menurun. Ia bingung dengan jalan yang dipilih Kafin. Arah ke indekos bukan lewat jalur tersebut. Analisa ingat jika tadi saat berangkat sempat melewati jalan yang sama. Ia pun menjadi curiga.

Benar saja tebakan Analisa. Kafin melajukan motor ke arah rumahnya. Gadis itu menepuk punggung dosennya. Ia tidak mau terlihat sebagai gadis yang mudah diajak ke rumah laki-laki. "Pak, saya mau pulang ke kos saja."

Kafin menggelengkan kepala cepat. Ia tetap fokus melihat jalanan di hadapannya. Baginya sekarang yang terpenting Analisa sampai di rumah dan istirahat. Kafin menghentikan motor di depan rumahnya. Ia melihat ke arah garasi. Mobil masih terparkir pertanda sang ibu masih di rumah.

"Tolong buka pagarnya, An."

"Pak, saya sungkan sama Bu Arum," ungkap Analisa yang masih mengingat nama ibu Kafin.

"Kamu lagi berduka. Lebih baik ada teman untuk menghibur," jelas Kafin sambil mengarahkan dagunya ke pagar.

Analisa mengangguk pelan. Apa yang disampaikan Kafin ada benarnya juga. Teman paling dekat di indekos hanya Balqis sedangkan sahabatnya itu tidak pulang ke kos malam ini. Gadis itu pun pasrah, lalu bergegas membuka pagar.

Kafin mempersilakan Analisa masuk ke rumah. Ia masuk ke ruang tengah mencari ibunya. Laki-laki itu pun meminggalkan mahasiswi di ruang tamu sendirian.

Analisa mengedarkan padang. Rumah Kafin relatif bersih dan rapi. Di setiap sudut terdapat hiasan beraneka warna bunga. Berbeda dengan tanaman hias yang ada di teras, di ruangan ini hanya terlihat bunga plastik. Namun, hal itu tidak mengurangi keasrian hunian satu lantai tersebut.

"Analisa," sapa Bu Arum yang muncul dari ruang tengah. Panggilan tersebut membuat Analisa segera mendekati orang tua Kafin dan mengecup tangan. "Saya turut berduka cita. Yang kuat, ya. Doakan ayah selalu."

Bu arum memeluk Analisa sembari memberi sedikit nasihat yang menguatkan. Wanita itu kembali mempersilakan gadis di depannya untuk duduk kembali.

"Gak papa, menginap di sini saja. Kafin juga sudah cerita kalau tiga hari lagi mau ujian skripsi, kan?"
Analisa mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak menyangka jika Kafin memperhatikan ucapannya tadi.

"Di kos kadang tidak bisa fokus belajar. Di sini kan, bisa tanya kafin. Tapi jurusannya berbeda, ya," saran Bu Arum sambil tertawa kecil seraya menutup bibirnya dengan tangan.

Analisa pun ikut terkekeh pelan. Wanita paruh baya di hadapannya itu ternyata menyenangkan diajak bercengkerama. Baginya, Bu Arum terlihat seperti sosok yang mudah berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Analisa baru menyadari bahwa dirinya tengah tersenyum lebar. Benar ucapan Kafin jika sedang berduka itu membutuhkan teman yang menghibur bukan hanya menguatkan.

Bu Arum lantas mengajak Analisa masuk ke dalam dan mempersilakannya salat Zuhur di musala. Ia lalu menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Pagi tadi dirinya sudah membuat Soto Ayam Kampung.

"Gak jadi takziah, Ma?" tanya Kafin yang sudah berganti pakaian dengan atasan koko berwarna putih dan sarung tanpa motif berwarna coklat tua.

"Bu Darmanto gak bisa hari ini jadi ditunda. Coba lihat Analisa, kalau sudah selesai salat ajak ke meja makan."

Kafin berlalu dari dapur menuju ruangan kecil di dekat kamar mandi. Saat akan masuk ke musala, ia menghentikan langkah tiba-tiba karena Analisa muncul dari balik dinding sehingga hampir menabraknya.

"Maaf, Pak," ucap Analisa singkat. Ia terpukau dengan penampilan tidak biasa Kafin. Laki-laki di hadapannya itu terlihat semakin tampan dan religius.

"Gak papa. Mama nyuruh kamu makan dulu," kata Kafin seraya menunjuk Bu Arum yang sudah duduk di meja makan.

Analisa berjalan di belakang Kafin. Ia masih mengamati Kafin dan cara berpakaiannya kali ini. Apalagi dengan rambut yang basah, kharisma dosennya itu semakin terpancar di matanya. Tanpa disadari, ada sepasang mata tengah mengamatinya sambil tersenyum.

Makan siang pun dimulai. Analisa duduk bersebelahan dengan Kafin sedangkan Bu Arum berada di hadapannya. Ia hanya mengambil sedikit nasi karena masih terasa kenyang. Gadis itu merasa tidak nyaman karena Bu Arum beberapa kali bergantian menatap dirinya dan Kafin sambil tersenyum.

Setelah makan, Analisa berniat membereskan piring kotor. Namun, ia dihalangi oleh Bu Arum. Wanita paruh baya itu menarik tangannya menuju kamar Jihana yang sudah kosong karena ditinggal pemiliknya kuliah di Jogja. Bu Arum membuka almari lalu mengambil piyama milik putri bungsunya untuk dipinjamkan pada Analisa.

"Saya tidak mau merepotkan keluarga Ibu. Nanti setelah maghrib, saya pulang saja pakai ojek online," tutur Analisa dengan ramah.

Bu Arum menggerakkan telunjuk dan menggelengkan kepalanya bersamaan. Ia tetap meminta Analisa untuk bermalam di rumahnya. Seraya bercanda, Bu Arum mengancam akan mengunci gadis itu di kamar jika nekat pulang ke rumah. Ibu dua anak itu meminta Ana untuk istirahat.

"Mau nunggu salat Ashar dulu, Bu. Sudah mau azan sepertinya."

***

Selepas salat Ashar, Analisa berbaring di kamar. Ia mengambil ponsel dan membuka galeri. Foto bersama ayahnya enam tahun yang lalu saat akan berangkat ke Malang menjadi kenangan terakhir. Ia masih memiliki impian untuk bisa dinikahkan langsung oleh sang ayah sebagai walinya. Namun, keinginan itu sirna sudah. Cinta pertamanya itu tidak akan pernah berada di sampingnya saat ia melepas masa lajang nanti. Air mata tidak sadar kembali membasahi pipi. Analisa terisak hingga membuatnya terlelap.

Analisa terbangun dan melihat jam di ponsel. Ia tersentak karena sekarang sudah pukul delapan malam. Ia bergegas bangkit dari tidurnya dan memakai kerudung. Analisa membuka pintu kamar untuk mencari Kafin. Ternyata, laki-laki itu sedang bercengkerama di ruang tengah bersama Bu Arum.

"Sudah baikan, Ana?"

"Sudah, Bu. Saya mau izin pamit pulang ke kos."

Bu Arum berdiri mendekati Analisa. Ia kembali mencegah gadis itu untuk meninggalkan rumah nya. "Sudah malam. Besok saja, ya."

Analisa bingung menjawab. Ia melirik ke arah Kafin yang memberi isyarat dengan anggukan kepala. Gadis itu pun mengiyakan permintaan Bu Arum. Ia lalu izin ke musala untuk salat jamak takhir karena terlewat salat Maghrib.

Sudah setengah jam berlalu, tetapi Analisa belum muncul juga. Bu Arum memutuskan untuk melihat ke musala. Ternyata gadis itu sedang membaca Al-Qur'an. Wanita yang mengenakan daster motif batik itu kembali ke ruang tengah. Ia berpesan ke Kafin untuk menunggu Analisa dan menemaninya makan. Bu Arum sudah tidak bisa menahan rasa kantuk karena tidak sempat istirahat siang tadi.

Jarum pendek pada jam dinding mengarah ke angka sepuluh. Namun, Analisa belum juga muncul kembali ke kamar atau pun ruang keluarga. Kafin bangkit dari duduknya dan menuju musala. Suasana hening, tidak terdengar lantunan ayat suci Al-Qur'an. Ia melihat ke dalam tempat salat itu. Terlihat Analisa sedang meringkuk dengan tangan sebagai tumpuan. Mata gadis itu terpejam. Kafin memanggil nama gadis itu tetapi tidak ada respon. Ia menjadi bingung untuk membangunkan atau memindahkannya ke kamar. Wajah mahasiswinya itu lelap sekali. Tidak mungkin juga kalau harus mengangkat dan membawanya ke kamar. Kafin pun berlalu dan meninggalkan Analisa di musala.

Tidak lama kemudian, Kafin kembali. Sudah ada bantal dan selimut di tangan. Ia lalu mengangkat kepala Analisa dan menaruh bantal di bawahnya. Gadis itu hanya menggeliat pelan saat selimut tebal membungkus tubuhnya. Kafin mengamati Analisa yang masih memejamkan mata. Baru kali ini ia bisa menatap dari dekat wajah yang pernah dijahilinya saat KKN. Ia pun tersenyum. Tangannya reflek terangkat mendekati pipi sosok yang masih mengenakan mukena itu.

"Astagfirullah, ada apa ini?"

Kafin melihat jemarinya, lalu mengepalkan tangan kuat. Ada debar berbeda yang baru pertama kali dirasakannya. Degupnya tidak sama dengan saat ia berada di dekat Alma. Kafin menyandarkan punggung di dinding. Matanya tidak beranjak sedikit pun dari wajah yang sedang pulas tersebut. Tangan pun melingkar memeluk lutut. Senyuman terukir dari bibir saat menatap Analisa. Tiba-tiba mata dengan alis tebal itu terbuka. Kafin sontak mengubah posisi duduknya.

"Bapak, kenapa di kamar?" tanya Anlisa kaget seraya mengusap bibir dengan tangan. Ia merutuki diri karena tertidur di hadapan Kafin. Berharap laki-laki itu tidak melihat air liur yang menetes dari sudut bibirnya saat terpejam tadi.

"Ini musala, An. Kamu ketiduran habis salat," jelas Kafin sambil keluar musala.

Analisa memperhatikan sekeliling. Ia segera bangun dari posisinya. Bergegas melepas mukena dan melipatnya. Tadi, saat usai membaca surat Yaasin yang ditujukan pada almarhum, Analisa kembali berurai air mata. Hal itu yang membuatnya tertidur di musala.

Saat akan membereskan alas buat salat, Analisa mengernyitkan kening. Ada bantal dan selimut di dekatnya.

"Tadi ini gak ada di musala." Analisa mulai bingung kenapa benda yang membuatnya berpikir bahwa dirinya tengah berada di kamar ada di tempat untuk salat. "Masa Pak Kafin?"

Bersambung .....

Wah wah wah! Ada apa ini dengan Kafin?

Masa iya dia sudah mulai ada rasa sama Analisa?

Nantikan part terakhir untuk versi wattpad, di part 19 yaaa

Akankah masih semanis ini atau akan ada yang menyesakkan?

Eh, iya. Pasti si Analisa kelaparan itu. Kira-kira ditemani Kafin makan gak ya 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro