4. Kejutan Madam Rose

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ibu jari Kafin mulai sibuk membersikan cache pada beberapa aplikasi di ponselnya. Layar utama sudah selesai. Ia lalu menggeser ke kiri, tempat di mana aplikasi yang jarang digunakannya tersimpan. Baru akan memulai pengecekkan, pandangannya tertuju pada lambang berwarna merah muda yang terletak di pojok kanan atas.

"Madam Rose?"

Kafin mencoba mengingat kapan tepatnya mengunduh aplikasi tersebut. Ia lalu menggelengkan kepala karena tidak menemukan memori tentang waktu tersebut. Rasa penasaran muncul. Dosen muda di Universitas Surya Gemilang yang baru menerima SK pengangkatan sebagai dosen tetap itu mulai membuka aplikasi asing tersebut.

"Hah? Kencan online?" Kafin manggut-manggut seraya menyeringai. "Adek! Sini cepat!"

Kafin menarik napas kesal. Jihana, adik satu-satunya yang ia miliki itu memang kerap sekali menjahilinya. Pemuda dengan tinggi 175 sentimeter itu segera keluar setelah lima menit tidak mendapati Jihana masuk ke kamarnya.

Dengan bersedekap, Kafin menatap Jihana yang tengah bersembunyi di balik selimut bermotif kucing cantik asal Jepang tersebut. Seringai jahil kembali tampak di wajahnya. Sejurus kemudian, pemuda itu sudah mendarat manis di ranjang sang adik.

"Abang! Ampun, Bang. Stop, please stop!"

"Gak akan berhenti sampai ada yang ngaku siapa yang instal aplikasi kencan gak jelas itu."

Kafin terus menggelitik pinggang Jihana. Gadis itu tertawa keras sambil beberapa kali berteriak memanggil mamanya.

"Abang, gak lega kayanya kalau satu hari aja gak godain Adek."

Suara Bu Arum muncul di pintu kamar. Namun, Kafin masih tetap melanjutkan aksinya. Jihana sudah mulai terengah dalam tawa dan rasa geli.

"Iya, adek ngaku. Itu yang instal adek."

Kafin menghentikan aksinya. Ia lalu menyerahkan ponselnya ke Jihana.

"Bersihkan akun itu dari identitasku."

Jihana mengangguk patuh sambil memasang tampang manyun.

"Kalian ini kenapa, sih? Gak bosen berantem terus. Malu sama umur." Bu Arum mendekat ke arah dua buah hati kesayangannya. "Adek bikin ulah apa di ponsel Abang?"

"Ulahnya kali ini udah keterlaluan, Ma. Awas aja sam—"

Ucapan Kafin terhenti saat tangan Bu Arum terangkat ke depan wajahnya.

"Adek coba jelasin dulu."

"Eum ... cuma unduh Madam Rose aja, Ma."

"Apa itu?"

"Aplikasi kencan online."

Mata Bu Arum membulat. Wanita paruh baya yang masih terlihat jelas gurat kecantikannya itu terbahak. Kafin dan Jihana heran dengan ekspresi sang mama.

"Lanjutin, Dek. Mama udah pingin nimang cucu," ujar Bu Arum sambil berlalu dari hadapan kedua anaknya. "Awas kalau sampai gagal, Bang."

Kafin membeliak dengan mulut menganga. Ia lalu berkacak pinggang seraya berjalan mendekati Jihana.

"Udah dong, Bang. Adek udah ngaku, loh. Mama aja setuju," pinta Jihana dengan kedua telapak tangan tertangkup. Wajah mahasiswi baru itu terlihat memelas.

Kafin menghela napas panjang. Ia lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Sebagai Kakak, semarah apapun, saat melihat wajah sang adik yang dicintainya menyiratkan penyelasan, ia akan seketika luluh dan melupakan amarahnya.

"Adek tuh, sayang banget sama Abang. Sayang juga sama Mama dan Papa. Gak tega aja, di usia mereka yang teman-temannya udah pada punya cucu, belum punya juga."

Kafin menautkan kedua alis mata mendengar penjelasan Jihana.

"Terus, hubungannnya sama aplikasi itu apa?"

"Ya ... aku mau cari kakak ipar."

Kafin tergelak mendengar jawaban polos Jihana. Ia lalu bangkit dari posisinya, kemudian mengacak gemas rambut ikal sang adik.

"Emangnya Abang gak bisa cari jodoh sendiri? Sampai dicarikan teman kencan online gitu."

Jihana menggeleng pelan dengan sorot mata sedih. Kafin kembali tergelak.

"Abang masih mau nunggu Kak Alma?" Tawa Kafin seketika terhenti begitu mendengar nama yang disebut Jihana. "Status kalian aja cuma bersahabat. Abang sih, kenapa gak nyatakan cinta sebelum Kak Alma ke London?"

Kafin tersenyum samar.

"Abang mau lihat Madam Rose tadi. Sudah ada yang match belum?"

Jihana tercengang dengan perubahan sikap Kafin. "Gak jadi dihapus?"

"Jangan dulu. Kamu gak dengar tadi Mama pingin cepat punya cucu?"

Jihana tersenyum semringah. Ia mulai berselancar di aplikasi dating tersebut.

"Jadi, aplikasi ini aman dari hubungan mesum, Bang. Identitas asli yang dicantumkan. Tapi, kita gak bisa tanya nomor ponsel di sini. Privasi terjagalah. Terus, Adek pilih yang near by. Dekat-dekat sini aja, biar kopi daratnya enak."

Jihana terus menjelaskan semua yang dijalankannya pada Madam Rose dengan identitas sang kakak. Tatapan Kafin memang tertuju ke ponsel. Namun, pikirannya tersita oleh nama sang sahabat yang tadi sempat di bahas Jihana.

"Ini ada satu yang satu kampus sama Abang. Siapa tahu mahasiswi Abang."

"Hah? Kenapa?"

Jihana berdecak kesal. "Gak fokus, pasti mikirin Kak Alma ini."

"Apa-an, sih? Lanjut, ada mahasiswiku?"

Jihana mengangkat bahu. Ia lalu menyerahkan ponsel ke Kafin.

"Analisa Kamea? Bagus juga namanya. Jurusannya PGSD, Dek. Bukanlah."

Jihana terkekeh pelan. Ia lalu berlari keluar kamar meninggalkan Kafin yang masih fokus dengan ponsel.

"Wow, pingin hubungan serius. Keren juga masih kuliah udah pingin nikah. Dari fotonya kelihatan kalem dan sederhana."

Kafin pun menggeser layar ke kanan tanda menyukai foto Analisa. Tidak lama kemudian Jihana datang.

"Liat sini ponselnya, Bang." Jihana mengamati akun Analisa. "Loh, Abang udah geser foto Analisa ini?"

Kafin mengangguk.

"Wah ... dia juga geser foto Abang. Match ini. Lanjut kencan buta, Bang. Adek aja yang nulis chatnya."

Kafin mendelik tidak percaya dengan ucapan Jihana. Kencan buta? Sama mahasiswi di kampus tempatnya mengajar pula. Kafin menepuk dahinya berulang kali.

***

Analisa tengah berada di depan kantor Lembaga Pengabdian Masyarakat yang mengurusi KKN di kampusnya. Gadis itu kembali mencermati nama-nama teman kelompoknya.

"Ada anak kedokteran gak, An?" tanya Balqis yang berdiri di sampingnya.

"Gak ada. Emang kenapa?"

"Siapa tahu bisa jadi vaksin patah hatimu."

Wajah Analisa berubah muram. Ia berpikir tidak akan semudah itu jatuh cinta lagi. Dirinya masih merasa trauma dengan rasa patah hati.

"Udah, lupakan playboy terselubung itu."

"Aku masih gak percaya sama ucapan Dafa, Qis."

"Gak usah mikir berita itu lagi, An. Lihat saja sekarang sikap Firas ke kamu. Apa masih hubungi?"

Analisa menggeleng lemah. Dua minggu sejak pertemuan terakhir mereka, Firas tidak sekalipun menanyakan kabarnya lewat ponsel. Laki-laki itu hanya beberapa kali meninggalkan jejak dengan menyukai unggahan pada Instagram Analisa.

"Aku memang yang salah, Qis. Bukan dia yang menyebabkan patah hati. Tapi diriku sendiri."

"Gimana maksudnya?"

"Firas gak pernah menyakitiku. Hanya ekspektasiku yang terlalu tinggi atas sikap dia."

Balqis terperanjat dengan kalimat bijak yang meluncur dari bibir sahabatnya. Ia lalu bertepuk tangan.

"Super Analisa. Analisa yang super," ujar Balqis mantap.

Analisa menatap sahabatnya.

"Aku tadi emangnya ngomong apa, Qis?"

"Kebiasaan," kata Balqis jengkel. "Udahlah, lupakan yang buruk. Sekarang kita fokus sama KKN. Saatnya senang-senang. DPL cowok apa cewek?"

"Cowok. Punyamu apa?"

"Cewek. Aduh, jangan sampai dapat yang cerewet. Enakan cowok katanya kalau DPL itu."

"Seperti itu? Nama DPL-ku keren, loh. Kayanya sih, masih muda."

"Siapa?"

"Kafin Imaduddin. Keren kan, Qis. Dosen muda kayanya, ya?"

"Siapa? Kaf-kafin?" tanya Balqis memperjelas nama yang disebut Analisa. Wajahnya seketika pias saat Analisa mengangguk.

"Kamu kenal beliau?"

Balqis menggeleng pelan. Ia terus menggigit bibir.

"Wajahmu kenapa kelihatan pucat gitu? Ayo cepat balik ke kos."

Balqis mengangguk cepat. Mereka pun segera meninggalkan kampus. Sepanjang perjalanan pulang, mahasiswi bertubuh langsing itu hanya terdiam sambil terus memikirkan reaksi Analisa jika nanti tahu apa yang sudah diperbuatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro