7. Dia Datang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Analisa mengerjap melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Tangan kirinya beberapa kali mengucek mata. Ia semakin tersadar jika penelepon itu adalah sosok yang dirindukannya. Sudah hampir satu bulan sejak kepergiannya dari sekretariat, mereka tidak menjalin komunikasi sama sekali baik di telepon maupun sosial media. Akhirnya, apa yang diharapkannya terwujud. Firas menghubunginya sekarang. Analisa menarik napas sejenak, berusaha meredakan degup di dada. Ia lalu menekan tombol hijau.

"Assalammualaikum, Mas," ucap Analisa dengan nada yang lembut.

"Waalaikumsalam. Ana udah di tempat KKN, ya?"

Analisa memejamkan mata kuat seraya menahan rasa haru begitu mendengar suara laki-laki pujaannya itu. Dadanya semakin berdetak lebih cepat. Ia lalu menghela napas pendek.

"Iya," jawab Analisa singkat. Kecanggungan semakin merayapi. Pikirannya pun perlahan menerka tujuan Firas meneleponnya.

"Mau nitip apa dari Malang?"

Gadis yang bercita-cita sebagai guru sekolah dasar itu sejenak tertegun. Tidak lama kemudian, Analisa tersenyum.

"Nitip dari Malang?"

"Aku mau pulang kampung. Kan, ngelewatin Ngawi. Jadi sekalian mau mampir. Nitip apa?"

Analisa terbelalak. Ia seketika menutup bibirnya sambil memekik tertahan karena bahagia.

"Ana ... kamu masih di situ?"

"Eh, iya, Mas."

"Mau dibawakan apa?"

"Apa, ya?" Analisa tampak berpikir. "Bakso sama cilok aja, deh. Udah kangen berat sama makanan itu."

Suara tawa terdengar dari seberang telepon begitu mendengar permintaan Analisa.

"Belum pada buka, An. Aku berangkat habis subuh."

"Oh, maaf. Gak usah repot-repot deh, Mas."

"Oke. Nanti kirim alamatnya, ya."

"Siap."

Firas mengakhiri perbincangan. Sikap laki-laki itu membuat Analisa kembali terbawa perasaan. Harapan yang masih tersimpan di hatinya, perlahan mulai muncul kembali.

"Ehem, senyum-senyum sendiri."

Analisa membalas ucapan Salwa dengan senyum termanis. Hatinya sekarang sedang diliputi kebahagiaan. Ruangan yang cukup temaram dengan pencahayaan bola lampu berwarna keemasan sekitar sepuluh watt menjelma menjadi kebun bunga di siang hari yang cerah.

"Pacar mau ke sini?"

"Pacar? Aku gak punya pacar, Wa."

Salwa mengangguk sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia mengunyah hingga lembut nasi berpadu sayur lodeh dan bakwan sayur.

"Baguslah, jangan pacaran. Ntar langsung nikah aja."

Analisa menoleh kaget mendengar ucapan Salwa. Tema yang menarik untuk dibahas bersama teman barunya itu.

"Pinginnya, Wa. Aku gak mau salah jatuh cinta. Tapi aku bukan aktivis dakwah kaya kamu. Apa bisa?"

Salwa merangkul bahu Analisa dan menepuknya pelan. Ia merasa menemukan sahabat baru. Seseorang yang berpikiran terbuka dan sangat perhatian padanya.

"Nanti kalau sudah siap, kabari aku saja. Aku bantu buat taaruf."

Analisa menatap Salwa dengan penuh haru. Ia sangat bersyukur bisa mengenal gadis saliha itu. Kata-kata gadis itu membuatnya semakin bersemangat. Ia sudah kapok jatuh cinta lagi walaupun menghilangkan rasa untuk Firas adalah sebuah keniscayaan yang bisa diwujudkan dalam waktu dekat.

"Wawa, kamu baik banget," ujar Analisa seraya memeluk Salwa. Gadis itu tersenyum semringah.

Seharusnya Balqis ngasih saran kaya Salwa. Bukan malah masukin di Madam Rose.

***

Tidak terasa sudah dua pekan KKN berjalan. Kelompok 33 tidak mengalami hambatan berarti untuk melaksanan program kerja yang sudah disusun walaupun sesekali ada perbedaan pendapat antar anggota. Namun, semua permasalahan yang muncul tidak dibiarkan berlarut. Beruntung pengurus inti dan ketua bidang mampu mengarahkan anggota dengan baik.

Selepas makan malam, anggota kelompok sudah terbebas dari aktivitas KKN. Mereka dapat dengan leluasa untuk melakukan apa saja asalkan tetap memerhatikan norma dan adab yang berlaku.

"Ar, DPL udah kasih kabar belum kapan ke sini?" tanya Analisa yang malam ini memilih untuk mengerjakan laporan di posko. Di ruangan itu hanya ada delapan orang. Dua cewek, dirinya dan Salwa. 22 anggota yang lain sibuk di kamar, teras, dan daerah di sekitar posko.

"Belum. Emang kenapa?"

"Malas aja ketemu orangnya. Songong banget."

Ardigo menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Analisa dengan kening berkerut.

"Songong? Yang benar saja, An. Dia tuh DPL paling asik. Jiwa mudanya cocok sama kita-kita."

"Pokoknya aku gak suka sama Pak Kafin. Awas aja sampai nilaiku gak A."

Ardigo terkekeh sambil menggelengkan kepala mendengar penuturan Analisa.

"Udah, gak boleh ngomongin orang tua. Gimana, persiapan administrasi buat lomba besok?

Analisa mengacungkan ibu jarinya. Ia sedang merampungkan daftar penilaian untuk festival anak salih di balai desa besok. Jikalau boleh meminta, dirinya tidak ingin bertemu lagi dengan DPL. Mengingat orang itu sama saja menambah rasa malu karena ulah usil Balqis.

Notifikasi pada aplikasi whatsapp pada ponsel Analisa berbunyi. Gadis itu segera membukanya. Ia harap-harap cemas dengan kedatangan Firas. Setelah menelepon, pemuda itu belum juga mengabarinya kembali.

"Huh, dari Balqis," ucap Analisa dengan nada kecewa. Ia pun segera membuka chat tersebut.

[Kangeeeen, aku telepon, ya]

Bibir Analisa mengerucut membaca pesan dari sahabat kesayangannya itu.

[Ogah, pasti kamu mau bahas DPL]

Tidak lama balasan dari Balqis datang.

[Tau aja. Aku masih merasa bersalah, nih]

Analisa mencebik kesal. Ia tidak menjawab pesan terakhir sahabatnya. Gadis itu malah mematikan data internet pada ponselnya. Ia ingin sedikit mengerjai balik Balqis. Teman terdekatnya itu mudah panik jika dirinya bersikap cuek walaupun sebentar saja.

Esok harinya ....

Semua anggota kelompok 33 sudah mulai beraktivitas selepas subuh. Mereka mulai mempersiapkan lomba yang akan dimulai pukul sembilan pagi. Acara yang digadang-gadang sebagai program utama terdiri dari berbagai macam perlombaan untuk anak-anak di desa. Dari lomba azan, hafalan juz amma, hingga pildacil.

Selepas sarapan, seluruh anggota pergi menuju balai desa yang terletak 500 meter dari posko. Mereka kompak mengenakan jas almamter kampus tercinta. Sehari-hari jika berada di luar posko, para mahasiswa wajib mengenakan jaket hitam berlambang kampus dan logo KKN. Untuk acara spesial ini, mereka memilih pakaian kebanggaan universitas.

"Juri sudah dapat form penilaian semua belum?" tanya Salwa selaku ketua pelaksana pada Analisa yang duduk depan meja pendaftaran.

"Udah, oke semua."

Salwa kembali ke dalam ruangan setelah memastikan semua beres. Setengah jam lagi perlombaan akan segera dimulai.

"Ana, masih ada form penilaian lomba azan, gak?" tanya Anita, mahasiswi jurusan Bahasa Arab.

"Udah aku kasih, kan, tadi?"

"Basah, ketumpahan air mineral," ungkap Anita dengan wajah memelas.

"Aku ambilkan dulu, ya, di posko."

Anita manggut-manggut sambil tersenyum. Ia lalu masuk lagi ke gedung sedangkan Analisa bergegas menuju posko dengan motor.

Sesampainya di lokasi, gadis itu segera menyalakan laptop dan printer. Tidak lama kemudian, ia mulai mencetak form penilaian.
Suara deru mesin mobil terdengar berhenti di depan posko. Analisa membuka tirai jendela yang tepat berada di sampingnya. Dadanya menahan debar, berharap Firas yang datang. Ia mulai mengamati kendaraan yang terparkir. Dirinya merasa tidak asing dengan mobil berwarna hitam tersebut. Analisa tercengang begitu melihat sosok dengan kemeja berwarna navy yang turun dari mobil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro