8(bukan) Tamu Impian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Analisa mulai panik. Ia masih mengintip dari jendela. Sosok itu mulai berjalan menuju posko. Ia dengan cepat menutup tirai. Gadis itu lalu memejamkan mata dengan geram. Ia khawatir jika posisinya yang sendirian di posko, akan dengan mudah kembali dirundung.

"Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh, Bapak." Analisa memasang wajah ramah padahal dalam hatinya ia begitu kesal karena melihat Kafin lagi. "Kok, ke sini, Pak?"

Kafin membuka kacamata hitamnya. Tangannya menyibak rambut depan yang sedikit mengganggu pandangannya. Ia lalu menatap Analisa dengan heran.

"Oh, saya mau ngapelin kamu."

Mulut Analisa terbuka. Bisa-bisanya dosen itu masih terus mengajaknya bercanda.

"Ya mau ngecek mahasiswa saya, apa lagi?"

Alis Analisa turun bersamaan dengan bibir yang tertarik ke bawah. Ia merasa pertanyaan darinya dan jawaban Kafin membuatnya berada di posisi canggung.

Kafin mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Kenapa kok, sepi di sini?"

"Kan, lagi ada lomba di balai desa, Pak."

"Oh, begitu. Ya sudah saya ke sana dulu."

Analisa mengangguk untuk mempersilakan Kafin. Ia pun menghela napas lega. Dosennya itu sudah berlalu dari hadapannya. Ia pun segera menyelesaikan urusannya kembali.

"Kamu gak ke sana?"

Analisa yang sedang fokus mematikan laptop terperanjat. Suara Kafin masih terdengar di belakangnya. Gadis yang mengenakan almamater marun itu mengembuskan napas pelan.

"Ke sana, Pak."

"Ya sudah, ayo bareng."

Analisa mengangguk lemah lalu beranjak dari posisinya. Ia menatap punggung Kafin dengan raut wajah kesal. Gadis dengan bentuk wajah oval itu segera mengunci pintu posko.

"Kamu jalan kaki?" tanya Kafin yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Analisa seraya menunjuk motor matic berwarna hitam di depannya. "Sini kuncinya. Saya saja yang bawa."

Tanpa bersuara, Analisa memberikan kunci kendaraan roda dua tersebut. Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di atas motor. Analisa menjulurkan lidah ke arah belakang kepala dosennya. Ia dengan puas mengejek Kafin dengan ekspresi wajah sebal.

"Gimana KKN separuh jalan ini? Apa ada masalah di kelompok? Cuma di 33 yang gak ada kabar punya masalah. Apa kalian menyembunyikan sesuatu dari DPL?" cecar Kafin sembari mengendarai motor.

"Enggak ada, Bapak," jawab Analisa dengan senyum terpaksa. Ia heran, teman-temannya masih menyangka bahwa dosen mereka ini sungguh berwibawa.

"Serangan cinlok gimana?"

Analisa memicingkan matanya. Ia tidak begitu jelas saat mendengar pertanyaan Kafin barusan.

"Serangan apa, Pak?"

"Cinlok alias cinta lokasi."

Analisa tergelak mendengar penuturan Kafin. Sempat-sempatnya seorang dosen membahas masalah cinta lokasi. Ia menggelengkan kepala sambil berdecak.

"Maaf, ya, Pak. Saya ini bingung. Apa tugas DPL itu ngurusin masalah pribadi mahasiswanya?"

Kafin memandang Analisa melalui spion sebelah kiri. Ia tersenyum seraya manggut-manggut.

"Lebih baik terjerat cinlok. Itu lebih realistis dan pasti. Bukan mencari di aplikasi kencan. Beruntung kamu ketemu akun saya. Bahaya kalau sampai ketemu bapak-bapak yang sudah beristri."

Ucapan Kafin membuat salah satu ujung bibir Analisa terangkat, heran sekaligus muak. Dosennya itu masih saja membahas perihal Madam Rose. Jika saja belum sampai di balai desa, ia ingin sekali bersilat lidah dengan laki-laki bergelar Magister Hukum itu.

"Saya ini heran sama Bapak. Kayanya sinis sekali sama saya. Apa karena saya tahu jejak digital anda yang punya akun Madam Rose?" tanya Analisa begitu turun dari motor. Ia harus mengatur emosinya saat berbicara. Rasanya luapan amarah di dada sudah ingin meledak.

Kafin tertawa kecil. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Analisa. Dirinya malah sibuk menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku.

"Gak ada salahnya dosen mengingatkan mahasiswanya."

Analisa terdiam setelah mendengarkan kata-kata terakhir yang keluar dari Kafin sebelum laki-laki dengan rambut lurus terpangkas rapi itu masuk ke gedung.

"Aaargghh, nyebelin pokoknya. Semua gara-gara Madam Rose!" pekik Analisa tertahan. Ia akan berusaha menjaga jarak dari dosennya tersebut. Sebisa mungkin selama Kafin di sini, Analisa akan terus menghindar. "Aduh, nilaiku kaya gimana nanti?"

***

Acara perlombaan untuk anak-anak sekolah dasar berlangsung dengan lancar. Wajah semringah dari generasi masa depan desa terpancar dari awal acara hingga akhir. Mereka tidak sabar menanti pengumuman yang akan dibacakan saat malam perpisahan tepat satu bulan KKN berjalan nanti.

"Mereka menggemaskan sekali."

Analisa memegang kedua pipinya menyaksikan gerombolan bocah mengelilingi Salwa dan Ardigo. Anak-anak itu mulai merajuk pada panitia untuk sedikit saja mendapat bocoran pemenang.

"Perlombaan sederhana dengan hadiah yang tidak seberapa, tapi mereka menikmati dan begitu terhibur. Aku terharu," ucap Naima yang berdiri di samping Analisa. Mata mahasiswi jurusan ilmu komunikasi itu terlihat berkaca-kaca.

Pemandangan yang terjadi hari ini sangat berbeda dengan apa yang ditemukan di kota. Analisa memang berasal dari pulau kecil. Namun, ia sudah berada di Malang sejak kelas satu SMA. Melihat anak-anak itu, seakan mengulang memori masa kecilnya. Sepercik rindu akan kampung halaman hadir.Tinggal satu tahun lagi untuk bisa bertemu keluarga di Taliabu.

"Naima, kamu berbakat jadi MC."

Kafin berdiri di sebelah Naima. Ia mengungkap jika mahasiswi itu bertalenta dalam dunia broadcast. Ia pun merekomendasikan Naima untuk mengambil spesialisasi public speaking dalam semester akhir nanti.

"Wah, terima kasih banyak masukannya, Pak."

Naima terlihat semringah. Gadis berambut ikal itu pun berbagi cerita dengan Kafin. Tentang impian dan harapannya dalam karir di masa depan.

Analisa yang hanya jadi pendengar memilih menjauh dari dosen dan temannya tersebut. Ia menghindari kesempatan berada dekat dengan Kafin. Rasa kesalnya, masih belum juga lenyap. Namun, informasi yang diumumkan Ardigo membuatnya sedikit bersemangat. Seluruh anggota kelompok 33 sudah diperbolehkan balik ke posko untuk beristirahat hingga waktu makan malam tiba.

Menuju posko, Analisa berjalan cepat. Ia memilih jalan kaki karena motor digunakan untuk membawa perlengkapan yang digunakan saat lomba. Dengan kekuatan penuh, ia seolah berlari kecil. Hal itu membuat teman-temannya heran.

"Analisa! Kamu kenapa?" teriak Salwa yang hanya dijawab dengan lambaian tangan oleh gadis yang sudah jauh dari hadapannya itu.

"Pokoknya gak lihat dosen songong itu lagi," gerutu Analisa dengan napas terengah. Ia ingin segera sampai kamar. Bersembunyi di dalam ruangan dengan ranjang yang dilapisi kasur kapuk hingga makan malam tiba.

***

Malam ini, hidangan untuk makan malam terlihat menggugah selera. Berbeda dari sebelumnya yang hanya menyajikan sayur, tahu, tempe bahkan terkadang bakwan sayur atau biasa disebut weci oleh orang Malang. Di atas tikar sudah berjajar dengan rapi ayam goreng, telur dadar, tahu dan tempe goreng, sambal, juga sayur sop dan urap.

"Wih, dana konsumsi apa bisa sampai akhir bulan, Wa?"

Analisa berkacak pinggang dengan tatapan tidak lepas dari makanan di hadapannya. Walaupun bertugas sebagai sekretaris, ia juga paham masalah keuangan. Di awal koordinasi KKN, semua telah menyepakati bahwa makanan cukup sederhana saja karena dana yang diperoleh dari kampus dan sponsor terbatas.

"Cukup, Kok. Malah bagian konsumsi malam ini gak ngeluarin uang sepeser pun."

"Kok bisa? Ibu kos lagi ulang tahun, ya?"

Salwa menggeleng pelan. Ia lalu menunjuk ke arah pintu ruang makan.

"Kita ditraktir. Baik banget kan, DPL kita."

Analisa menunduk tidak bersemangat. Sosok yang ia harapkan sudah tidak ada di posko, nyatanya sekarang malah duduk di seberangnya dengan wajah semringah.

Kafin mulai bercengkerama dengan para mahasiswanya sembari menikmati hidangan. Ia mampu membuka perbincangan yang membuat generasi enam tahun di bawahnya itu bergantian mengeluarkan pikiran masing-masing. Obrolan santai yang perlahan mampu membuat hubungan antar angoota lebih erat.

"Pak, balik ke Malang bareng kami saja sepuluh hari lagi," ucap salah satu mahasiswi yang mendapat dukungan dari teman-temannya, kecuali Analisa tentunya.

"Janganlah, cukup satu kali saja saya KKN."

Kafin pun mulai bercerita tentang pengalaan KKN dulu. Ia menceritakan beberapa cerita lucu yang dialaminya. Hampir semua mahasiswi tergelak. Namun, satu mahasiswi terus saja menatapnya dengan pandangan sinis.

Ganteng, sih. Sayang nyebelin.

Beneran ganteng gak Pak Dosen?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro