Anestesi Versi Terbaru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekarang, Gil!

Sentuh bibirnya dengan bibirmu, tularkan segala rasa yang sudah kamu pendam selama ini. Bukankah sangat menarik kalau bisa membuatnya mendesahkan namamu?

Buat dia jadi milikmu. Jangan sampai Ian memproklamasikan status baru di antara mereka kelak! Bagaimana rasanya ketika Ian tadi menggodanya? Sesak? Ayo...sebelum terlambat! Sekarang, Agil!

Sekarang atau tidak sama sekali!

Dalam satu menit yang mendebarkan bagiku, saat pertama kali aku dan Ghea bertatapan tanpa terganggu, isi otakku berhamburan keluar dari tempatnya dan aku sampai menahan kedip supaya isi pikiranku tidak terlaksana.

Kali ini aku tahu, statement Al dan Revan salah. Salah besar. Delapan puluh persen otak laki-laki pindah ke selangkangan setelah menikah? Bullshit!

Bahkan dengan status single dan track record yang bersih sama sekali ini pun aku justru merasa sekarang seluruh otakku sudah turun ke tempat di antara kedua kakiku itu. Apalagi nanti setelah menikah? Akan di mana lagi letak otakku? Berapa persen yang tersisa di tempat semestinya? Tuhan...

Tapi Gil, pilih otak di selangkangan apa di dengkul?

Lalu mengapa otakku bisa pindah dalam sekejap hanya karena berhadapan dengan seorang gadis seperti dia? Hanya, Gil? Hanya seorang gadis yang setiap malam menghantui mimpi-mimpimu dan sanggup membuatmu terbangun dengan jeritan keras namanya yang menggema di seantero kamar apartemen. Parahnya, disertai ceceran cairan dengan warna dan bau khas yang menuntut seprai harus diganti setiap pagi. Sial! Menyusahkan laundry saja.

Akhirnya yang aku bisa hanyalah menutupi rasa grogi dengan senyum dan dengusan tawa yang kutahan. Efeknya seperti menahan BAB! Sialan!

"Pesankan aku dua porsi, Ghea!" akhirnya hanya itu yang mampu kuucapkan setelah setan di kepalaku memikirkan setidaknya sepuluh cara untuk memagut bibirnya yang menggoda itu. Fix, aku sudah gila!

Aku duduk di hadapannya dalam diam. Tapi, tak bisa kuingkari kalau ekor mataku tetap memandanginya. Untunglah manusia dianugerahi kekuatan supernatural bernama lapang pandang seratus delapan puluh derajat. Hal ini memungkinkan aku melirik objek di sisi kiri dan kanan sebesar sudut seratus delapan puluh derajat tanpa menggerakkan bola mata ke kiri atau ke kanan.

"Bubur ayam tiga porsi. Air mineral dan es batu satu gelas," katanya ke arah pelayan yang siap mencatat pesanan kami.

"Pak Agil minumnya apa?"

"Teh hangat saja. Dan Agil saja," sahutku menatap matanya. Kali ini tidak lagi menggunakan ekor mata.

"Tambah teh hangat," katanya kembali ke arah pelayan tadi.

"Kamu minum es?" tanyaku sedikit bingung. Pagi-pagi begini?

Ghea menganggukkan kepalanya, "Iya, Pak. Saya suka sekali ngunyah es batu."

Oh, suka mengunyah es batu? Kenapa tidak mengunyah bibirku saja?

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Hmm...gak tau, cuma suka aja," katanya lagi dengan pandangan menerawang.

Beginilah, aku susah sekali mencari topik pembicaraan. Ghea juga tampaknya tidak tertarik untuk mencari topik. Apakah kejadian tadi tidak berpengaruh sama sekali buatnya?

"Kamu gak sakit perut kalo minum es pagi-pagi?"

Ghea hanya menggeleng.

Shit! Setahuku anak ini adalah petasan mercon. Dari mulutnya itu bisa keluar berbagai macam semburan dan teriakan. Terus kenapa sekarang seperti makhluk gagu begini?

"Kamu bisa nyetir?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang tiba-tiba terlintas di benakku.

"Bisa, Pak. Dulu."

"Agil, Ghea! Bukan Pak!" gerutuku tak sabar. "Sekarang?" lanjutku.

"Mobilnya yang gak ada," katanya kali ini sambil terkekeh. Akhirnya dia tertawa, jelas jauh lebih enak dilihat.

"Oh, gitu," kataku bingung melanjutkan apa lagi. "Tumben pendiem?" tanyaku lagi.

"Ngimbangin Bapak," sahutnya tenang.

Apa? Mengimbangiku? Apakah aku sependiam itu? Tidak juga sepertinya.

"Perasaan aku gak begitu banget," kataku lagi.

"Jangan pake perasaan, Pak. Pakenya fakta, biar valid," sambarnya lagi.

"Terus?"

"Kan yang nilai yang denger, Pak?"

Aku mengangguk.

"Tuh kan, Bapak cuma ngangguk doang," tunjuknya.

"Lah, terus?"

"Kan bisa ngomong, iya...ya. Atau apa kek!" cerocosnya.

Nah begini malah lebih baik.

Aku terdiam melihat reaksinya. Bingung. Tidak tahu harus bicara apa lagi. Biasanya aku tak peduli dengan ruang senyap yang tercipta antara aku dan lawan bicaraku. Tapi kali ini beda, rasanya tak rela kalau dia diam tak berkicau. Untungnya notifikasi ponselku menyelamatkan dari kesenyapan menunggu pesanan kami datang. Notifikasi grup keluargaku.

Aku mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi grup yang khusus diinstall oleh Revan hanya untuk kami. Generasi muda keluarga Bachtiar. Bukan aplikasi komersil atau gratis seperti yang bisa didapatkan di playstore ataupun tempat sejenisnya. Ini aplikasi ekslusif, khusus untuk kami.

Alina_Mahardhika : Di mana???

Revan_Gamers : Di hatimu, Sayang. :* :*

Huh...Dasar berlebihan!

Alina_Mahardhika : Yang lain maksudnya, Ayah! #kissbaliksampeayahlemes

Revan_Gamers : Ouh...Gak kangen Ayah?

Al_Cardiologist : Lagi beribadah. Don't disturb me!

Alina_Mahardhika : Beribadah? Beribadah apaan jam segini? Lo Jum'atnya geser ya, Al? Lila mana?

Al_Cardiologist : Lagi beribadah di atas Kalila nih :p

Alina_Mahardhika : Maksudnya?

Al_Cardiologist : Iya, dia lagi sama gue nih. Olahraga cari keringet. Oyeaaah... #emoticonorgasme

Alina_Mahardhika : Kampreeeeeeeeeeettttttt... Dasar otak selangkangan! Musnah aja spesies kayak lo. Gue harap otak kayak lo yang terakhir di antara keturunan keluarga Bachtiar!!!

Aby_Kalila : Boong dia, Teh Alin. Ayah ih, malu-maluin!

Kata orang waktu akan mengubah segalanya. Tapi, mengapa justru kedua sepupuku ini tidak mengalami erosi otak ke arah yang lebih baik maksudku?

Alina menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan. Lehernya kaku sepertinya. Pasti gara-gara peraturan ospek yang mengharuskan murid baru dikuncir dua dengan ikatan kencang dan tali rafia berwarna hijau dan merah untuk tiap sisinya.

Mau bersandar tak bisa, kunciran itu akan membentur kursi, pasti akan membuat bentuknya berubah menjadi jelek. Mau dilepas dulu saja juga tak mungkin. Karena tak ada seorang pun yang sedang berada di mobil ini mampu menguncirnya serapi kunciran bundanya. Mengandalkan seisi penumpang mobil ini untuk menguncirnya tentu saja adalah daftar terakhir yang akan dilakukan oleh ratu fashion seperti Alina. Dan akhirnya, opsi terakhir adalah duduk tegak seperti patung, yang tentu saja membuat lehernya terasa pegal-pegal.

Atas isyaratku, mobil berhenti kira-kira seratus meter dari gerbang sekolah. Sang pengemudi sudah menarik rem tangan dan aku memalingkan wajah ke belakang, menatap Alina dan makhluk di sebelahnya dengan tatapan tajam.

"Apa? Apa? Apa? Apalagi?" kata makhluk di sebelah Alina sambil bernyanyi sumbang, mengeluarkan ketengilannya.

"Kalian berdua. Cobalah untuk melewati hari ini tanpa masalah, oke?" pintaku.

"Eits, gue gak pernah nyari masalah, tapi..." kata makhluk di sebelah Alina.

"Tapi masalahlah yang biasanya menemukan kami," sahut Alina sambil cekikikan.

"Toss?"

Alina menyambar tangan makhluk di sampingnya, "Toss, Al."

"Oke. Gue perjelas. Al, cobalah untuk tidak memikat perhatian siapa pun paling tidak selama masa ospek yang tinggal sehari ini."

"Astaga, menghilangkan pesona yang emang melekat di diri gue ? Itu sama artinya lo nyuruh bokap ngoperasi wajah gue, Bro!" kata Al tengil. Khas Al sekali.

Aku mengacuhkan jawaban makhluk di sebelah Alina yang kadar kewarasannya di bawah rata-rata, meskipun aku tahu kadar kepintarannya jauh di atas Alina dan bahkan aku, "Dan lo Alin, cobalah untuk tidak menantang gadis-gadis mana pun untuk berkelahi!"

"Mereka yang salah, Gil! Mukanya nunjukkin pengen dijambak-jambak," gerutunya.

"Tolong Alina, lo baru kelas satu. Dan yang perlu kalian ingat, selain gue kakak sepupu kalian, gue juga kakak kelas kalian di sini!" kataku tajam. Bermaksud mengancam kedua spesies yang bisa merusakkan imageku sebagai ketua OSIS sekaligus ketua panitia penyambutan murid baru di sekolah ini.

"Kakak? Hello? Baiklah Kakak Agil yang terhormat. Mari kita mulai hari ini dengan mencoba menaati peraturan sekolah," sahut Alina manis.

Dan perkataan itu menjadi butiran debu selang tiga jam kemudian. Terdengar kabar bahwa Alina baru saja menggampar kakak kelasnya yang menjadi pembimbing kelompok murid barunya. Hanya karena si pembimbing menolak memberikan tanda tangan setelah menyuruh Alina melakukan berbagai hal konyol lainnya.

Berbeda dengan Al, tersiar gosip bahwa sepupu tengilku itu sedang digiring ke ruang BK/BP gara-gara kedapatan sedang melakukan sesi grepe sana dan grepe sini kepada pembimbing kelompoknya di taman belakang sekolah.

Nah...itulah kenapa dulu aku tak pernah menyetujui mereka masuk sekolah yang sama denganku. Menghancurkan imageku sebagai lelaki baik-baik.

Khayalanku masih berada di masa lalu ketika notifikasi di ponselku yang kuacuhkan dari tadi terus berbunyi mengganggu.

Al_Cardiologist : Ngapain malu ama Alinevil? Rugi kali, Ay. Btw, yang tadi puas kan? #kedip-kedip

Aby_Kalila : Ayah ih! Norak!

Alina_Mahardhika : Asli norak banget suamimu, La. Ayah...ayah...

Revan_Gamers : Ya, Sayang? Ayah sambil meeting ya? Kenapa?

Alina_Mahardhika : Bisa gak dikeluarin aja si mesum ini dari grup? Rusuh!

Revan_Gamers : Hahahaha...ya biarin aja, Sayang. Normalnya Al ya kayak gitu. Tar kalo dia gak mesum lagi Kalila yang bingung. Merana, ya gak La?

Aby_Kalila : Ih, apaan sih A'Revan? Gak tau ah! Bodo! Bodo!

Revan_Gamers : Halah...pura-pura gak tau! Pura-pura bodo! Padahal doyan kan? #evilsmirk

Aby_Kalila : Aduuh...aduh. Udah ah, jadi tadi Teh Alin manggil kenapa?

Alina_Mahardhika : Oh, aku mau dinas ke Bali, La. Ninjau renovasi The Raikan's bareng Revan.

Aby_Kalila : Trus?

Alina_Mahardhika : Mau nitip anak-anak, La. Oma dan Opanya Reval n Gaza lagi ke Jerman.

Al_Cardiologist : Eh, bilang aja lo mau hanimun lagi ? Trus nitip dua bocah ke kita ? KAGAK!!!

Alina_Mahardhika : Yah, Al! Kok gitu sih #emoticonberkaca-kaca. Terus anak-anak diapain? Gak mungkin dibawa ke Bali. Dua hari doang #kedip-kedip

Al_Cardiologist : KAGAK pokoknya. Alesan lo aja mantau The Raikan's. Gue udah apal akal bulus lo!

Aby_Kalila : Ayah, gak papa kali Reval ama Gaza nginap di rumah.

Al_Cardiologist : Kamu itu mudah dikadalin, Ay! Itu alesan dia doang. Pokoknya kagak. Yang bener aja, lo punya anak yang hobinya ngetokin kamar orang tengah malam. Teriak-teriak ampe dibukain. Kagak mau gue!

Alina_Mahardhika : Terus gimana dong? Ponakan lo gue jual nih!

Revan_Gamers : Berani jual anak-anak, Bunda yang Ayah gantung!

Al_Cardiologist : Hihihi...gantung aja, Van. Lagian kalo urusan The Raikan's suruh Agil aja yang jaga. Agil mana Agil?

Raikan_Agil : Y?

Al_Cardiologist : Lo punya keypad lain gak sih, Gil ? Selain huruf Y, N, dan tanda tanya?

Raikan_Agil : Ada

Al_Cardiologist : Tuh, jagain anak-anaknya Alina. Dia mau dinas untuk urusan The Raikan's!

Raikan_Agil : Gue?

Aby_Kalila : Iya tuh, ide bagus, Gil. Itung-itung latihan kalo tar udah jadi Ayah beneran #ehem.

Alina_Mahardhika : Latihan ? Wew...gue mencium sesuatu yang mencurigakan nih. Apaan La?

Raikan_Agil just leave the group.

Cara paling aman untuk saat ini. Tapi itu takkan bertahan lama, Revan pasti akan meng-invite ulang ke dalam grup neraka ini lagi.

Huh...gara-gara notifikasi di grup, gadis di depanku ini jadi teracuhkan.

"Sori, sampai di mana kita tadi?" tanyaku.

"Gak nyampe mana-mana," sahutnya santai sambil menyeruput air esnya sampai habis. Benar-benar penggemar es batu? Tidak sakit perut kah?

Raikan_Agil has joined The Bachtiar's Family group.

Benar kan, Revan langsung menambahkan lagi aku sebagai member sejati grup neraka ini.

Kami menghabiskan sarapan dalam diam setelah semua pesanan kami datang. Kuperhatikan kebiasaanya yang unik. Dia suka sekali mengunyah es batu. Bunyinya krauk...krauk... Bahkan, tanpa jaim dia melemparkan potongan kecil es batu ke udara dan mulutnya terbuka, sigap menangkap es batu tersebut dengan mulutnya kembali. Astaga, kelakuanmu, Ghea!

Ponselku kembali berbunyi, kali ini ternyata bukan notifikasi grup keluargaku, tapi...

IGD RS AlMedika Jaya Calling...

"Ya, halo?" sahutku cepat.

"Dokter Agil?"

"Ya. Ada apa?"

"IGD Dok. Ini ada pasien perlu anestesi."

"Kasus apa?"

"Ekstraksi kuku, Dok, tapi..." kata suara di seberang sana memelan.

"Kok? Perlu saya?"

"Iya, pasien gak mau dibius selain sama dokter Agil," jelasnya takut-takut.

Mungkin dia tidak enak, karena ekstraksi kuku termasuk tindakan minor. Tak perlu anestesiologis harusnya. Tapi tentu saja, permintaan pasien adalah sabda bagi AlMedika.

"Oke. Saya ke sana," kataku sambil menutup telepon.

Aku memperhatikan Ghea yang sedari tadi masih asyik mengunyah es batunya. Bibirnya sampai harus dimonyong-monyongkan agar mengikuti kontur es batu. Astaga, semakin ke sini bibirnya semakin menantang saja. Grrr..bagaimana caranya aku bisa tidur nanti malam tanpa membuat kasur basah lagi. God!

"Ghea, aku harus ke rumah sakit. Kamu mau langsung ke hotel bawa mobilku aja?"

Dia mendongak, "Bawa mobil Bapak? Ogah!" sungutnya.

"Loh, kenapa? Katanya kamu bisa nyetir?" tanyaku lagi.

"Saya takut khilaf, Pak. Tar mobil Bapak lagi yang beset. Dih...alamat gak nyampe ngerasain gaji pertama kali, Pak!" gerutunya.

Aku menahan senyum. Gadis ini memang lain daripada yang lain. Dia bersikap terus terang tanpa harus menutupi. Tanpa harus menjaga sikap, tapi masih tetap dalam batas kesopanan. Setidaknya dalam kacamataku dia sopan. Terserah orang lain menilainya agak barbar dan berantakan. Selain itu, sepertinya otakku pun mengarah ke ketidaksopanan saat bersamanya. Lamunan dan fantasi bisa tersaji seketika hanya dengan menatap bibir belahnya.

"Jadi, kalo gitu gimana?"

"Saya naik taksi aja deh, Pak! Tapi, kasih uang taksinya ya," katanya sambil menjulurkan lidah. Astaga.

"Gak, aku gak yakin sama taksi zaman sekarang," balasku. Alasan, Gil!

"Lha, terus? Masa saya jalan kaki, Pak?" katanya mengerucutkan bibir. Siap mendemo. Sebentar lagi bakal mengaum.

"Kalo kaki saya patah gara-gara jalan ke hotel, Bapak mau nanggung biaya operasinya," katanya lagi. Dengan nada beberapa oktaf lebih tinggi.

"Gak, ikut aku aja ke rumah sakit. Setelahnya baru aku anter ke hotel," kataku kalem. Walaupun sebenarnya tak sabar. "Sebentar aja di rumah sakitnya."

"Gak mau!"

"Kamu bisa bedain mana penawaran dan perintah kan, Ghea?" tanyaku.

"Oh ya, situ bos saya ya," katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Baiklah...baiklah," katanya sambil memutar matanya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.

"Ayo...," kataku mengulurkan tangan setelah membayar pesanan. Dia justru melenggang tak peduli. Mendahuluiku berdiri di sisi pintu penumpang. Uluran tanganku untuk menggandeng tak digubrisnya. Sialan, Ghea!

Aku melajukan mobilku menuju AlMedika, sementara gadis di sebelahku ini menatap ke luar jendela. Beberapa kendaraan mulai padat merayap.

"Yang nelepon tadi siapa, Pak?" tanyanya.

"IGD."

"Kalo IGD kan gawat?"

"Lalu?" sahutku.

"Kok Bapak nyantai sih? Ngebut dong, Pak!" katanya.

Untuk apa mengebut? Semakin cepat sampai, maka semakin cepat berakhir kebersamaan kami. Meski hanya terkurung di dalam mobil ini. Pasiennya tidak mendesak juga.

"Gak juga."

"Ish...masa mobil bagus beginian, jalannya kayak keong," gerutunya.

Sialan. Aku pun menambah laju mobilku. Sengaja menginjak gasnya agak dalam.

Kami meliuk-liuk di antara kendaraan lainnya. Untungnya jam tanggung sebelum makan siang seperti ini tidak terkena macet parah.

Tapi, bukannya menyumpah atau ketakutan seperti Kalila. Gadis ini justru berteriak-teriak, bersorak dengan aku membanting setir mengisi ruang kosong di sela kemacetan. Bahkan, ia berperan layaknya navigator.

"Kiri kosong, Pak!"

Aku membanting setir ke kiri. Badan kami pun terhuyung ke kiri. Dia tertawa lepas. Bahkan, membuka kaca mobil dan memberikan jempol terbalik untuk pengemudi mobil di sisi kiri yang berhasil kami pepet sehingga mundur dari tempatnya.

"Kanan!" serunya lagi. Refleks aku membanting setir ke kanan lagi.

Begitu terus sampai kami tiba di parkiran AlMedika. Baru kali ini aku bisa tertawa bersama gadis yang menumpangi mobilku. Memang, bisa dihitung gadis-gadis yang pernah menumpang di mobil ini. Meskipun mereka tidak termasuk spesies penyuka ngebut di jalanan seperti Kalila dan Mami Destyana, yang seharusnya tidak bisa disebut 'gadis' lagi.

"Mau ikut ke IGD?" tanyaku begitu kami sampai.

"Mau sih kalau dibolehin," katanya sambil memandangi pintu gerbang utama RS AlMedika Jaya. Masih sambil menggenggam gelas besar plastik berisi es batu yang mulai dikunyahnya.

"Besar?" tanyaku melihat reaksi kepalanya yang berputar-putar dari tadi saat kami menuju pintu samping. Akses cepat menuju IGD.

"Banget, yang punya pasti kaya ya, Pak?"

"Punya suaminya Kalila," sahutku.

"Wow...pantesan Mbak Kalila keliatan bahagia mulu!"

"Maksudnya?"

"Kemaren saya pikir Bapak suaminya Mbak Kalila. Eh, tadi pagi datang suami aslinya yang penampakannya aja bikin nelen ludah, Pak!" cerocosnya sambil mengunyah es batu.

"Apa iya?"

"Iya, mana kaya banget lagi ternyata. Punya rumah sakit kayak gini mah gak khawatir sakit mulu," sambungnya.

"Emang kamu mau sakit mulu?"

"Enggak sih. Tapi sekali-kali kan perlu."

"Buat?"

"Bolos kuliah. Hehehehe...," katanya terkekeh lucu saat kami masuk ke IGD.

"Dokter Agil," panggil salah seorang perawat.

"Ya, di mana pasiennya?" tanyaku.

"Di bed delapan, Dok!"

"Oke."

Aku menuju bed delapan, dengan posisi Ghea masih membuntutiku.

Hmm...ternyata pasienku si gadis muda genit yang pernah dioperasi sama Al waktu itu. Kacau. Mentang-mentang orang kaya, lalu semena-mena minta anestesiologis untuk kasus kecil. Sialan! Dan aku tak bisa menolak. Dobel Sialan!!

"Mas Dokter?" katanya semringah.

"Ya, sakit apa?" tanyaku datar.

"Ini, Mas," katanya sambil menunjukkan kuku kakinya yang menghitam. Sebelah-sebelahnya kuku kakinya dicat warna-warni. "Ketimpa botol parfum waktu buru-buru mau kontrol jantung ke sini."

Astaga, aktivis pelangikah dia? Tapi, melihat kelakuannya aku yakin gadis muda ini penganut God create Adam and Eve, not Adam and Steve.

"Kontrolnya sama dokter Aldebaran, ya," lanjutku menanggapinya.

"Tapi, aku pengennya sama Mas Dokter aja," katanya bawel. "Psst...istri dokter Al galak banget!" gerutunya lagi. Akhirnya aku ingat, gadis muda ini yang pernah disemprot Kalila waktu dia sedang hamil muda. Pasien lama Al.

"Iya, kalo kontrol kondisi jantung sama dokter jantung. Bukan sama saya," tegasku.

"Iya deh. Tapi, temenin ya," pintanya manja. "Atut...ama istri Dokter Al," lanjutnya lagi.

"Sekarang udah gak galak lagi kok," kataku mencoba sabar dan lebih ramah. "Kita angkat kukunya ya," kataku memotong rayuan tak bermutunya.

Dia mengangguk.

"Saya akan kasih sedikit bius lokal di area deket kukunya. Nanti begitu efeknya terasa baru kita ekstraksi," terangku.

"Disuntik di sekitar kukunya?" tanyanya lagi.

"Iya."

"Sakit?"

"Sedikit."

"Oh...sakitnya banyak juga gak papa, Mas Dokter. Kalo perlu dirawat juga boleh. Yang penting Mas Dokter yang jagain," katanya sambil tersenyum genit.

"Gak perlu dirawat," sahutku. "Mbak, tolong ambilkan lidocain sama syringe 1 ml," lanjutku kepada perawat.

"Baik, Dok!" kata perawat itu sambil menuju ke apotek mini. Persediaan obat khusus IGD.

"Mau diapain?" tanya Ghea tiba-tiba. Kelihatannya dia begitu tertarik dengan pekerjaanku. Dari tadi dia cuma diam memperhatikan.

"Dibius lokal, terus baru kukunya dicabut," terangku.

"Oh, pake suntikan?"

"Iya. Terus pakai apa kalo bukan suntik?" tanyaku. Senang bahwa ternyata dia tertarik dengan pekerjaanku.

Dan si gadis muda mengernyit tak suka melihat Ghea yang berdiri persis di sisiku. Mereka berdua bertatapan. Kening si gadis muda berkerut, sementara bibir Ghea mengembang sempurna.

"Pak, ada cara lain buat ngebius," katanya sambil mendekati si gadis muda.

Aku belum sempat mencerna apa maksud perkataannya saat Ghea tanpa sempat kucegah bergerak mendekati si gadis muda dan mengeluarkan es batu dari dalam mulutnya. Lalu dengan cepat menempelkannya ke kuku si gadis muda yang menghitam. Si gadis muda mengernyit tertahan. Mulutnya terbuka, siap untuk mengeluarkan meriam.

"Ini namanya bius alami," kata Ghea santai. "Biasanya dikasihkan untuk pasien yang gak tau diri," katanya sambil menekan kuat-kuat es batu di atas kuku si gadis.

Dan IGD pun langsung heboh dengan jeritan panjang si gadis dan tawa menggelegar seorang Ghea Aluna Gadrie.

Astaga,Ghea!    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro