Tuan Eskimo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinta itu sakti.

Gak percaya? Liat aja bos baruku.

Bos baru? Yep, bos baruku yang kurang dari dua puluh empat jam yang lalu kumaki dengan suara membahana. Nekat? Jelas, tapi kan aku gak tau kalo dia lah bos besarku. Siapa suruh kalo ngomong kayak orang ngajak ribut. Datar dan dingin banget. Jadi, kan aku bawaannya pengen nimpuk. Ah...tapi dia tetap bos, Ghea. Sementara aku cuman kucing kurap belaka.

Keberuntungan atau otaknya yang udah gak bener kali jadi aku masih tetep bisa kerja di sini setelah memakinya. Tapi, karena sikapnya gak mudah ditebak maka aku harus bersiap diri seandainya dia mendepakku dengan mudah sewaktu-waktu. Balik lagi jadi mahasiswi yang menyediakan kepalanya cuma buat dikemplang dan ditoyor Pak Ali Busro, bukannya makai otaknya untuk berdiskusi di meeting tim marketing pagi ini.

Saat ini, kami bertujuh sedang berdiskusi seru mengenai proyek bulan 'musim kawin' di depan mata. Sepuluh jika bocah-bocah hiperaktif di dalam sini juga dihitung.

Ada Ian, atasan langsungku yang baik hati. Pernah kusebut kan kalau dia ini tipe pria sejati, cakep, gagah dan sekaligus ramah dalam satu paket. Lalu ada Vania, mimpi buruk setiap gadis namun menjadi mimpi indah setiap pria. Berjalan dengan Vania yang cantiknya bagai boneka Barbie 3D membuat gadis mana pun bakal berpikir bahwa dipandang sebelah mata aja udah syukur. Berikutnya ada Erick, usil jelas, berkacamata tebal, rambut kribo. Jago di bidang desain dan hobinya menggoda wanita. Lain lagi dengan Ell, single parent yang dekat banget sama anak semata wayangnya. Kontak telepon dengan putranya itu udah kayak orang kentut. Tiga puluh menit sekali paling tidak. I bet she's a great Mom.

Meet Kalila, kayaknya sih dia ini otaknya tim marketing. Penuh inovasi dan kreatifitas level tertinggi. Mungil, seksi, agak montok, dan terlihat sangat sangat sangat bersemangat. Terbukti dari caranya menggelontorkan ide saat presentasi. Berapi-api. Nah, Kalila inilah saksi hidup bahwa cinta itu sakti yang mau kubahas tadi.

Dan tentu saja, bos besar yang selama seminggu ke belakang ini menjadi tumpahan teriakan ketika aku mengabsen penghuni kebun binatang—bagian ini dalam hati sih, Si Papa Pestisida. Bertambah julukan jadi Tuan Eskimo sekarang, spesialisasi nada datar dan dingin, irit ngomong, terkesan cuek, dan tidak peduli. Namanya jadi panjang kalo ditambah julukan dariku. Padahal nick namenya cuma empat huruf: Agil.

Kata Ian, Si Tuan Eskimo ini profesinya dokter anestesi alias tukang bius, tapi kayaknya gak perlu obat bius juga kalo ada dia sih. Dikasih nada datar dan dinginnya aja mungkin pasien lebih memilih pingsan. Yah, meskipun ada saja yang pasti memilih sadar karena tampilan fisiknya yang di atas rata-rata. Tapi, yang jelas bukan aku salah satunya. Kayaknya.

Di dalam otakku, dia itu masih terlabeli dengan embel-embel datar, dingin, irit ngomong, buta nada berbahasa dan lain sebagainya. Oh ya, tambahin dia itu suka mengungkit bahwa aku punya kesalahan besar kepada motor gedenya. Padahal berapa sih harga motornya itu? Paling juga aku...tetap gak sanggup beli. Hidih!

Nah, masalahnya adalah... dia ini akan seketika berubah seratus delapan puluh derajat saat menghadapi Kalila. Gak ada nada datar dan dingin, bahkan gak ada lo-gue atau pun saya-Anda seperti cara Agil bicara sama anggota tim lainnya. Yang ada adalah aku-kamu. Cieee...so sweet. Lah jelas, Kalila kan istrinya!

Aku memandangi Kalila, yang masih terlihat muda banget untuk ukuran ibu-ibu yang punya tiga anak. Dua puluh lima tahun umurnya kata Ell. Begitu lihat yang dua kembar, dan si Princess Aluna yang setidaknya berumur lima tahun, berarti paling tidak Kalila nikahnya di kisaran umur dua puluh tahun. Seperti impian dan rencana aku dulu. Bikin ngiri ngeliatnya. Cantik, punya anak-anak yang oke, plus suami yang kaya raya. Aw...ini harta tujuh turunan juga gak bakal abis kali, bisa jadi malah berkembang pesat kalo ngeliat manajemennya sebagus ini.

Lalu, sikap Agil sama ketiga anaknya juga membuat iri. Sangat hangat dan friendly banget. Sangat sabar dan kupikir hanya Agil yang mampu mengatur dua bocah lelaki kembar identik yang kerjaannya menginvasi seluruh sudut ruangan. Tegurannya pun dengan kasih sayang. Agil lebih memilih memangku keduanya agar mereka berhenti berlarian daripada menjewer atau pun meneriaki mereka untuk berhenti. Wah... tipe ayah idaman sepanjang masa.

Daripada ditinggal di rumah, pasangan suami-istri ini bahkan memilih untuk membawa anak-anaknya ke tempat kerja. Ya jelas, wong hotel ini milik mereka. Kalau aku yang bawa ponakan belum tentu bakal dibiarin kayak gini. Ponakanku lari-lari di lobi bisa jadi malah diculik dan nemunya di dalem mesin cuci. Mana lama lagi ketemunya karena kelelep sama laundry-an selimut hotel.

Eh, ngapain juga dari tadi aku ngebahas si bos besar yang jelas-jelas punya istri seksi, mungil, montok, dan cerdas ini? Buntutnya udah tiga pula. Stop, Ghea. Dilarang memikirkan suami orang lain. Saat ini yang harus dilakukan adalah menjadi anak baik yang mendengarkan pembicaraan dalam meeting.

Untungnya walaupun banyak melamun, otakku gak ketinggalan di dunia khayalan. Meeting berjalan lancar, bahkan pendapatku sebagai anak baru pun cukup didengar. Ian mengapresiasi dengan tepuk tangan yang cukup keras dan Kalila memelukku sambil melonjak-lonjak kesenangan. Tipe team work yang oke punya. Hanya Agil yang tak berkomentar pada akhirnya, dasar si pelit kata-kata. Itulah makanya kubilang, esnya hanya mencair jika berhadapan dengan Kalila. Anggota tim lainnya, tetep aja dikasih suhu kutub utara! Dasar Tuan Eskimo, tinggal di kutub aja sana!

Walaupun tadi ada sedikit kejadian yang bikin mataku basah, tapi sekarang−di ruang kerja tim marketing−di kubikel baruku aku sudah bisa tertawa ngakak dengerin olokan Erick ke Vania.

Kubikel ini hanya terdiri dari empat meja yang membentuk 'letter U'. Aku di sisi kiri, berseberangan dengan Vania. Sementara di tengah jatah kursinya Ell dan Erick. Lalu ada dua ruangan persis di belakang kursi Vania. Ruangannya Ian dan Agil. Cuma Kalila yang gak punya meja khusus, karena dia akan ngantor jika dibutuhkan saja. Oho...enak banget ya. Gaji full, kerja kalo perlu aja. Yah, ngapain jadi iri, dia yang punya hotel. Ahiks...

"Pan, malem minggu hang out yuk," kata Erick.

"Pan pan, lo kira gue panci," dengus Vania. Aku terkikik geli.

"Ya elah, Pan. Gitu aja dibahas. Lo mau gak jalan ma gue?"

"Gue? Jalan ma lo?"

Erick mengangguk.

"Ampe di dunia ini sisa stok cowo cuma lo doang nih, gue mending bunuh diri deh," sahut Vania cuek dari kubikelnya.

"Etdah...gitu amat sih, Pan. Tar lo naksir lagi ma gue."

"Mbak Ell," panggil Vania mengacuhkan ucapan Mas Erick.

"Ya, Van?"

"Tar kalo gue keliatan kayak cacing blingsatan naksir makhluk kribo itu, tolong Mbak Ell bawa gue ke dukun terdekat ya. Biar gue disembur!"

"Bentar, gue gugling dukun terdekat dulu," sahut Mbak Ell gak kalah tengilnya. Kali ini aku gak bisa terkikik lagi. Aku bahkan tertawa terbahak-bahak.

"Eh, Ghea," kata Erick.

"Yep, Mas?"

"Kalo lo malam mingguan ngapain aja? Jalan sama gue yuk!"

Vania seketika ngasih kode dengan jari tangan di pelipis. Bergerak miring maju-mundur.

"Malem Minggu gue udah ada acara rutin, Mas. Dan terakhir kali gue cek, gak ada Mas Erick di dunia malem Minggu gue," sahutku dengan nada sepolos anak TK.

"Anjriiiiiiiit...," seru Erick yang membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal.

"Kalo gue, bisa ada di dunia malam minggunya Ghea?" kali ini Ian yang berbicara dengan santai, keliatan baru keluar dari ruangannya sambil meletakkan setumpuk berkas di meja Vania. Ian menatapku sambil tersenyum miring. Duilee...ni orang bikin salting aja. Hadooh...

"Ecieee....," kata Vania dan Ell kompakan.

"Waduuuh, kalo saingan sama Pak Ian sih, Beta nyerah aja," kata Erick sambil geleng-geleng kepala. Mukanya ngenes banget. Aku hanya bisa tertawa.

"Loh, kok putus asa? Jodoh tuh gak mungkin ketuker, Rick," sambung Ian lagi.

"Eh, iya Pak ya? Gak boleh pesimis dong ya," sahut Erick kemudian mengalihkan pandangan ke arahku dan Vania. Mengangkat-angkat alisnya sebagai kode kepada kami bahwa dia akan tetap terus berusaha.

"Rame ya, Ghe?" tanya Kalila yang baru masuk bareng ketiga anaknya.

Aku mengangguk, "Seru banget, Mbak!"

"Iya, jodoh gak mungkin ketuker. Tapi...kesalip mungkin, ketikung mungkin, dilamar orang mungkin, ditinggal nikah juga mungkin," lanjut Pak Ian sambil tertawa. Erick langsung maju bibirnya.

"Makanya usaha, kalo gak dipepet ya kesalip terus. Iya gak, Ghe?" kata Kalila menimpali.

Aku tertawa. Walaupun kudengar Kalila jarang ngantor, tapi tetap nyambung sama mereka ternyata.

"Yah...kesalip Bapak nih ceritanya," kata Erick sambil garuk-garuk kepala. Eh...tepatnya menggaruk rambutnya yang tebel kribo itu.

"Bisa jadi, Rick," sahut Pak Ian. "Kalo mau, kita berlomba dapetin Ghea! Siapa yang berdiri di puncak, dia yang menang!"sambung Ian tak lupa mengedipkan mata padaku.

"Woy..woy...," potongku. "Dikata gue hadiah lomba panjat pinang, siapa yang nyampe di puncak dia yang dapet," gerutuku. Ian dan Erick ganti tertawa.

"Kalo disuruh manjatin pinang buat dapetin hati Neng Ghea, Abang mau kok," sambar Erick. "Kasi cuti buat latian manjat pinang ya, Pak Ian?" tambahnya.

"Kalian semua belum sarapan, kan?" Suara Agil yang datar tiba-tiba menginterupsi. "Sudah disiapkan di bawah," lanjut Agil sambil ngeloyor masuk ke ruangan di sebelah kiri ruangan Ian. Menghentikan momen ketawa dan diskusi absurd soal pengejaran jodoh tadi. Ruangan langsung kosong dalam beberapa detik. Semua penghuni ruangan bernafsu begitu denger kata sarapan. Kecuali kami, Agil, Kalila, aku, dan ketiga bocah yang masih di ruangan ini.

"Ayo, Ghe. Bareng aja!" kata Kalila begitu Agil keluar dari ruangan. Aku jadi gak enak harus berjalan bareng keluarga mesra dan bahagia. Menolak gak mungkin. Lebih baik aku berjalan agak sedikit di belakang. Apa untungnya coba, berjalan dalam radius tiga meter dari Tuan Eskimo yang cuma bisa meleleh sama istrinya itu. Ikut beku iya, lah...apa kabar hatiku yang harusnya kesetel panas gini.

"Kamu langsung pulang abis ini, La?" tanya Agil yang sedang menggendong Aluna, sementara si kembar dipegang di kiri dan kanan tangan Kalila. Gak bermaksud nguping, tapi dengan jarak sedekat ini gak perlu kuping Sun Go Kong juga kali buat dengerin obrolan mereka.

"Iya, Gil. Kamu juga langsung ke rumah sakit?"

Kulihat Agil menganggukkan kepala, "Aku mesti jauh-jauh dari Al. Kamu sih!" kata Agil menggerutu. Eh, Tuan Eskimo ini bisa menggerutu? Baru tau aku.

Kalila hanya tertawa, "Take it easy, Gil. Ya sudah, ayo kita makan. Lapar banget aku!"

"Sama, kayaknya aku bisa makan naga nih," sambung Agil lagi. Nadanya ramah sekali. Ugh...aku jadi iri melihatnya. Coba ada Zeid, pasti pemandangan begini gak akan bikin aku iri. Malah bisa berkata, kalian ngiri kan sama aku? Eat that!

Soal makan, Zeid bisa nongol tengah malam di kost-kostanku hanya untuk nganterin seporsi nasi goreng.

"Mau apa, Abang?"tanyaku kasar. Memang lima jam yang lalu kami berantem berat hanya karena aku mendengar suara gadis yang menggodanya, 'Zeid, kamu perkasa banget, puas deh akunya!'

Dia hanya tersenyum menatap mulutku yang manyun dan terkatup.

"Bawain kamu nasi goreng, Sayang. Tiap kali berantem kamu pasti gak mau makan, kan?" katanya sambil menyuapiku.

Aku tetap menahan mulutku yang terkatup rapat, menunjukkan kalo aku belum bisa makan sebelum dia meminta maaf.

Zeid hanya menghela napas, "Lagian kamu kayak gak tau temen-temen Abang aja. Kamu tuh dikerjain sama mereka, Sayang. Mereka ngiri liat kita. Makanya ngegodain kamu kayak gitu. Eh, kamunya malah ngambek gak keruan. Habislah Abang diledek kalo gak dipercaya sama pacar sendiri. Ya nasib...udah cape-cape habis landing terus buru-buru ke sini, dicuekin pula. Padahal dah bawa sesajen," katanya sambil menggaruk-garuk kepala.

Ya Tuhan, kenapa ada makhluk sesempurna ini sih. Bahkan, dalam kondisi manyun aja cakepnya minta ampun.

Aku menarik-narik bajunya, "Bang, Ghea laper!" kataku sambil membuka mulut.

Dia tertawa dan mulai menyuapiku, "Makanya percaya ama Abang! Sakit tau gak dipercaya ama pacar sendiri, gitu!"

"Ya deh, Ghea minta maaf ya, Bang!"

"Cium dulu!"

Lift yang mengantar kami ke lobi utama terbuka. Gak terasa perjalanan dari lantai delapan belas kuhabiskan dalam diam. Lagi-lagi karena memikirkan duniaku, Zeid.

Aku melangkah sambil menunduk, masih memikirkan Zeid ketika kepalaku terantuk punggung tegap yang tiba-tiba berhenti. Punggung Agil ternyata. Refleks pipiku memerah.

"Eh, so...sorry, Pak," ujarku gugup. Tapi Agil tak menoleh ke belakang, kulihat pandangannya tetap lurus ke depan. Memandang datar seorang lelaki yang berdiri bersedekap kurang lebih lima meter di depannya.

Yang mengagetkanku, Kalila justru berbalik dan menyembunyikan tubuh mungilnya di belakang badanku. Ngumpet? Kayak badanku bisa nutupin seluruh badannya aja! Ada apa sih? Posisi kami sekarang bertumpuk tiga dengan Agil sebagai kepala sukunya di posisi terdepan.

Si lelaki tadi berjalan mendekat. Astaga, ini namanya rezeki mata pagi-pagi. Hanya dua kata. Luar biasa. Kata cakep saja tak mampu menggambarkan makhluk ini. Tinggi, gagah, kekar, tampan, sekaligus punya aura menakjubkan. Pokoknya luar biasa. Titik.

Tapi satu hal yang mencengangkanku, lelaki ini secara spesifik sangat mirip dengan kedua bocah kembar identik yang saat ini berlari mengejarnya dan bisa diraihnya langsung di kiri-kanan tangannya. Beuh...perkasa. Ini gila! Siapa dia? Jangan bilang mantan suaminya Kalila. Harus dicuci nih otaknya Kalila kalo lebih milih Tuan Eskimo ketimbang Hercules satu ini.

"Kaka, Dede udah maem?" tanyanya kepada dua bocah lelaki yang digendongnya. Aku hampir ketawa waktu mendengar lelaki perkasa ini make kata 'maem'. Untung perkasa banget, jadi kesannya kebapakan dan seksi. Kalo engga, dih...melambai jijay. Kedua bocah itu mengangguk semangat, "Cudah, Yah!"

"Gak usah sembunyi kayak gitu, Ay!" kali ini lelaki itu membuka suara ke arahku. Eh ke arahku?

Kalila beringsut keluar dari belakang badanku sambil cengengesan. Sementara Agil masih memasang mukanya yang datar. Tenang sekali. Bahkan, tersenyum penuh kemenangan.

"Maafin aku, A'," kata Kalila akhirnya gantian buka suara. Mendekati si lelaki yang kemudian membungkuk untuk mencium kening Kalila. Wew? Apa-apaan nih? Agil cuman diem aja gitu ngebiarin istrinya dicium sama lelaki lain? Hah...laki-laki apaan nih? Melempem begini? Gak berani ? Payah!

Apa perlu aku yang meneriaki si Hercules ini, eh? Serahkan padaku! Aku jagonya.

Tak terasa aku sudah mulai menarik napas, dan melangkah mendekat. Namun lenganku ditarik mendadak dan kuat oleh Agil. Membuatku agak oleng dan menoleh kepadanya dengan pandangan bertanya.

"Jangan melibatkan diri di dalam masalah yang tak perlu, Ghea!" kata Agil dengan nada datarnya, seolah tahu apa yang akan aku lakukan.

"Gue udah bilang kan sama lo jangan suruh Lila masuk pagi-pagi," kata lelaki itu ke arah Agil. Suaranya dingin dan menakutkan. Tapi, ekspresi itu gak bertahan lama gara-gara cubitan Kalila di pinggang. Si lelaki perkasa meringis, sedikit.

Agil hanya mengangkat tangannya, "Dia sendiri yang datang kok!"

"Mestinya lo suruh dia langsung pulang begitu ngeliat idungnya, Bro!" kata si lelaki tadi masih ngotot dan gelisah.

"Ya sudah bawa pulang, tapi ajak makan dulu!"

Eh? Kok gak nyambung sih? Kok Agil membiarkan si lelaki gagah ini main culik Kalila?

"Hmm...gue gak tertarik bawa pulang kok! Lo harus ngebayar semua yang terjadi pagi ini!" kata lelaki perkasa itu sambil menggeram.

"Gue lapar!" sahut Agil cuek. Lagi-lagi gak nyambung.

"Bukain gue kamar VVIP, dan lo anterin anak-anak gue selama gue sibuk ama Bundanya!" gerutu si lelaki itu sambil berbisik.

Maklum, di depannya ada tiga bocah yang merasa heran melihat perdebatan dua manusia dewasa ini.

Baru Agil bereaksi, "Kalila kelaparan, Al! Kasi makan dulu baru lo apa-apain," balas Agil tak kalah pelan sambil menyerahkan sebuah kartu yang mungkin merupakan guest card VVIP room.

"Gue makan di kamar ajah, pesenin sekalian!" katanya dengan nada memerintah. Agil yang terlihat menyerah hanya mengangkat bahu pelan dan menghela napas.

"Princess, Kaka, Dede, ikut pulang Papa Agil ya. Nanti Ayah nyusul sama Bunda," lanjut si Hercules tampan.

Agil kembali menghela napas dan memberi kode ke Selena—resepsionis—untuk mendekat dan menginstruksikan agar mengantarkan makanan secepatnya ke kamar 2202. Sementara itu si lelaki perkasa sudah menyeret Kalila ke dalam lift sambil tertawa-tawa yang terkesan mesum. Tinggal aku yang terbengong-bengong melihatnya. Istrinya diajak indehoy kok Agil diem aja.

"Kita anter anak-anak ke rumahnya Omanya dulu, baru kita makan!" kata Agil dengan nada memerintah kepadaku yang mematung sedari tadi di sisinya.

Akhirnya aku bisa bersuara, "Pak Agil gimana sih? Kok Mbak Kalila dibiarin diseret gitu aja sama laki-laki itu?" protesku.

Agil malah mengangkat alisnya, "Laki-laki itu?"

Aku mendelik. Jangan bilang cuma aku yang bego di sini.

"Yang kamu maksud laki-laki itu namanya Al, Ghea. Dia sepupuku sekaligus suami Kalila," sahutnya sambil menahan tawa. Wew...untung saja aku gak jadi teriakin dia tadi. Anjriiit...kalo kejadian bisa malu banget.

"Lah terus? Pak Agil bukan suaminya Mbak Kalila?" tanyaku bego. Belum sarapan emang bisa bikin begoku naik ke level tertinggi.

"Emang cewek boleh poliandri, Ghe?" Agil malah balik bertanya sambil tersenyum. Hah...kalo tersenyum kayak gini, ternyata Tuan Eskimo cakep juga. Ekspresinya priceless. Harusnya tadi aku bawa cuka keras buat nyiram dia gitu. Biar beku. Kapan lagi liat Agil bisa senyum. Harus diabadikan. Dimuseumkan.

"Kaka, Dede, Princess, ayo ke tempat Oma," katanya berpaling sambil berteriak memanggil ketiga bocah itu untuk mengikuti kami ke mobil sport-nya yang sudah siap di depan pintu utama. Aku sampai terkejut karena dia menggandeng tanganku dengan tiba-tiba. Saking kagetnya, aku bahkan tak bisa menyuarakan protes.

"Oke, Papa Agil," koor ketiganya di belakang kami.

Dia membuka pintu penumpang dan menutupnya dengan perlahan begitu aku sudah duduk di sana. Kemudian memastikan ketiga bocah sudah rapi di bangku belakang. Baru masuk ke belakang kemudi.

"Papa Agil? Kok saya jadi bingung sih, Pak?" tanyaku akhirnya. Setelah berhasil pulih dari keterkejutan dan mendapati diriku terduduk manis dengan seat belt terikat yang bahkan gak kusadari kapan aku memasangnya. Earth to Ghea! Earth to Ghea!

"Ada yang salah dengan panggilan Papa Agil?" tanyanya kali ini. Masih konsentrasi menatap ke depan. Menyalip-nyalip untuk menghindari kemacetan yang bakal semakin parah sejam lagi.

"Enggak sih, tapi...."

"Membuat semua orang yang gak tau salah paham, kan?" katanya menggerutu. Wih...hari ini cukup beragam ekspresi yang bisa kulihat dari seorang Agil. "Jadinya aku terlihat seperti ayah dari tiga orang anak ya?"

Aku cuma bisa mengangguk. Kaget akan fakta yang dibeberkannya. Sejak kapan Tuan Eskimo pake aku-kamu? Trus, situ jadinya single? Hampir saja mulutku mengeluarkan pertanyaan itu.

"Sejak kecil, Kalila mengajarkan mereka memanggilku Papa," lanjutnya kembali dengan nada datar sambil memegang dahi. "Jadi, ya gini! Kita sampai," katanya menghentikan mobil di sebuah pekarangan rumah yang sangat besar dan mewah.

Ketiga bocah itu langsung berlarian menuju rumah ketika Agil membukakan pintu mobil. Ketiganya berteriak Oma...Oma. Kami hanya mengekori di belakangnya.

"Lho, Agil? Kenapa?" kali ini seorang wanita separuh baya yang membukakan pintu.

"Nganterin mereka, Tante!"

"Lho, Al sama Lila ke mana emang?"

"Ngamar, Tante," kata Agil to the point. Hah?

Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala, "Dasar. Pasti Al itu! Trus ini siapa?" kata wanita itu ke arahku. Aku mencoba tersenyum ramah.

"Pegawai hotel yang baru," kata Agil.

Wanita itu mengulurkan tangannya, "Lailani. Tantenya Agil. Kamu ketemu sama menantu saya juga? Kalila?"

"Ghea, Tante. Tadi di hotel sama Mbak Kalila meetingnya," sahutku.

"Oh, meeting pagi-pagi ya, Gil? Pantes aja Al begitu," kata Tante Lailani mengangguk-angguk. "Trus, kamu, Gil, kapan ngamarnya?" kata Tante Lailani sambil mengerling ke arahku.

Aku sampai tersedak mendengar pertanyaan beliau. Astaga!!

"Tante apaan sih?" protes Agil.

"Agil ini gak pernah bawa cewek ke sini lho, Ghea. Tunggu waktu aja sampai kamu diajakin ngamar, hihihi.... Eh, maksud Tante dilamar," kata Tante Lailani sambil cekikikan. Nah, justru aku yang salah tingkah. Aku garuk kepalaku yang gak gatal.

"Gak usah salah tingkah gitu, Ghea," sergap Tante Lailani lagi. Refleks aku menghentikan garukan di kepalaku. Duh!

"Udah ah, Tante. Agil permisi dulu," kata Agil meraih dan mencium tangan Tantenya tanda pamitan. Lalu ngeloyor pergi ke mobil.

"Kalian cocok," kata Tante Lailani begitu aku yang pamit menyusul Agil. Cocok? Sama Tuan Eskimo? Cocok buat berantem, Tan?

Agil kembali melajukan mobilnya setelah aku duduk manis di kursi penumpang, "Bubur ayam mau?"

Aku manggut-manggut, "Boleh, Pak," kataku. Agil segera membelokkan mobilnya ke arah restoran yang terkenal dengan bubur ayamnya, cukup dekat dengan rumah tantenya tadi.

Aku melepaskan sabuk pengaman ketika mobil sudah berhenti dengan sempurna. Kemudian meraih handle untuk membuka pintu mobil.

Namun handle pintu tertahan, tak bisa terbuka. Tangan Agil yang menahannya tepat bertumpu di atas tanganku, badannya sudah menjorok ke arahku. Kemudian matanya terarah tepat ke mataku. Apa-apaan nih? Kok jadi sedekat ini? Aku bahkan menahan napas saking kagetnya dengan tindakannya.

"Agil, Ghea!" katanya singkat. Hah?

"Pa...pak?" tanyaku terbata.

"Cukup A-gil, Ghea!" katanya mengeja. Sekarang mata kami hanya berjarak sepuluh senti. Bahkan, aku bisa mencium wangi mint dari mulutnya yang terlalu dekat dengan bibirku. Posisinya mengintimidasiku. Mengacaukan pikiranku. Jantungku yang dari tadi adem ayem tiba-tiba saja berdetak bertalu-talu. Saking kencangnya, kupikir Agil bisa mendengarnya. Pipiku memanas, keringat mulai terbentuk di sudut dahiku. Apa-apaan ini?

"Pak!" protesku dengan nada segalak biasanya saat berhadapan dengannya.

Kali ini tanganku yang kembali memegang handle pintu diremasnya pelan. Matanya menatap mataku tanpa berkedip. Mata itu...Jangan luluh, Ghea. Tampar pipinya, dorong kepalanya, keluar dari mobil segera!

"A...A...Ag...Agil...," kataku akhirnya dalam bisikan lirih dan terbata. Dasar Ghea korslet!

Selama semenit kami hanya diam dan saling memandang. Lambat laun, akhirnya mulai terukir senyum kecil di wajahnya. Ia memundurkan wajahnya sekaligus membuka pintu dan menyadarkanku yang membeku di tempat. Terdengar ia menahan tawa dan menyamarkannya menjadi dengusan, otomatis aku langsung beringsut keluar.

Mengakulah Ghea, senang dapat perlakuan beginian kan? Dan senang saat mengetahui si Papa Pestisida ternyata belum menjadi seorang 'Papa'?

Tapi,dia tetap saja Tuan Eskimo!Ȣ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro