Kenangan Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dahi Mami berkerut.

Gadis itu terlihat kesusahan menelan ludah. Mulutnya menganga dan acungan jarinya yang tadi terlihat gagah turun dengan cepat. Dia membeku, dan aku hanya diam menunggu reaksi selanjutnya.

"Kakak Plinses cantik," Suara Aluna-lah yang mengembalikan kami ke alam sadar.

"Kamu yang kemaren minjemin anak saya boneka, ya?" kata Kalila mengambil alih keadaan. Seperti biasa, jika Kalila mengambil alih situasi, artinya kehidupan di sekitarku bisa terkendali.

"Nginap atau ada acara di sini?"

Gadis itu memandangku, tetap memasang ekspresi perang, menutupi ekspresi kaget sepertinya. Walau agak melunak. Sedikit.

"Baru...keterima...kerja," cicitnya pelan ke Kalila yang tersenyum lebar. Seolah adegan kurang sopan tadi tak terjadi. Kerja di The Raikan's? What?

"Kamu kenal Ghea, La?" tanya Mami.

"Kenal, Mi. Kemaren ketemu pas Lila lagi ada acara di mall gitu. Dia ngebujukin Aluna yang mau nangis pake minjemin boneka. Dia baik banget deh, Mi," kata Kalila berpromosi sambil memutar matanya ke arahku. Mengedip satu kali dan beralih menatap Mami.

"Oh...," kata Mami. "Dia pegawai Mami yang baru, La."

"Wow...selamat datang di keluarga besar The Raikan's," kata Kalila heboh, mengalihkan fokus Mami.

Aku yakin, Mami punya sejuta pertanyaan di benaknya saat ini. Pertanyaan mengenai sikap kurang ajar si gadis kepadaku yang setahunya tidak pernah berurusan dengan gadis-gadis. Apalagi membuat emosi seorang gadis dengan sikapku sampai membuatku layak untuk dimaki dan diacungi jari. Aku bukan lelaki seperti itu.

"Mi, Agil. Ayo...nanti ketinggalan pesawat," suara Ayah yang sudah berada di depan pintu masuk utama The Raikan's membuat kami semua mengalihkan pandangan.

Kalila mengembuskan napas lega. Sementara tatapanku kembali terfokus kepada Ghea.

"Udah ah, Mi. Tar telat," kata Kalila sambil berlalu menggandeng putrinya dan Mami. "Kita naik mobil hotel aja."

"Loh, Agil gak bawa mobil, Nak?" tanya Mami padaku.

"Bawa."

"Agil masih banyak urusan, Mi!" sahut Kalila sambil menahan tawa. Menatap mataku dan mengisyaratkan 'Kamu harus bisa bikin dia tetap di sini. Dia pasti malu karena kejadian tadi'.

Meskipun berkerut, Mami memelukku erat dan berbisik, "Udah kepikiran buat megang hotel secara profesional?"

Aku hanya tersenyum kecil. Mengecup pipi Mami dan menghampiri Ayah sekaligus mencium tangan beliau.

"Darah kemenangan mengalir di keluarga Bachtiar, Gil!" kata Ayahku penuh makna sebelum masuk ke mobil hotel yang sudah diisi Kalila dan anak-anaknya. Rupanya beliau juga sempat melihat kelakuan Ghea padaku tadi.

Enjoy the game, Ghea! Mulai sekarang sepertinya aku akan mengambil sedikit porsi kepemimpinan di hotel ini.

Aku kembali ke arah lift di mana Ian sedang berbincang akrab dengan Ghea.

"Agil," sapa Ian sambil mengulurkan tangan yang kujabat dengan erat.

"Ini Ghea, staf baru gue," lanjutnya. Kami terbiasa menggunakan bahasa non formal, karena Ian adalah salah satu sahabatku sejak SMA. Tak berubah meski sekarang dia bekerja di hotel milik keluargaku.

Oh ? Jadi masuk departemen marketing? Pas sekali!

"Oke, gue tunggu kalian di atas," sahutku sambil berlalu meninggalkan mereka ke dalam lift dan segera memencet tombol dua puluh dua.

Aku perlu menghirup udara segar dan menenangkan jantungku yang detakannya sudah tidak keruan dari tadi. Kemudian mengumpulkan amunisi sebelum memulai permainan yang menarik ini.

Mataku teralih pada seberkas surat yang baru terbuka di atas meja. Isinya surat rekomendasi Ghea dari dosen dan CV dirinya. Di situ jelas tertera bahwa Ghea adalah mahasiswi berprestasi, recommended untuk bekerja di hotel ini, walaupun belum menyelesaikan kuliahnya yang hanya tinggal karya tulis akhir saja. Dan itu belum seberapa, CV yang dibuat Ghea membuatku langsung memijit pelipis.

Bagaimana bisa seorang mahasiswi dengan IPK nyaris sempurna, tapi tak bisa menggarap karya tulis akhirnya? Jangan katakan hasil IPK itu adalah 'bantuan gaib' dari kiri-kanan penjuru?

Atau, jika memang itu adalah hasil kerja kerasnya, maka apa saja yang dilakukan Ghea selama dua tahun belakangan ini, di mana dia seharusnya bisa menyelesaikan karya tulisnya?

Pintu ruangan terdengar diketuk.

"Masuk!" kataku tegas.

Ian dan di belakangnya agak menyembunyikan diri, Ghea terlihat mengekori.

"Silakan duduk," kataku menunjuk sofa.

"Jadi, tadi Bu Desty ngomong sampai mana, Ian?" tanyaku. "Soal pegawai baru kita."

"Bu Desty bilang kalo Ghea direkomendasiin sama dosennya buat kerja di The Raikan's, Gil. Ya, gue seneng lah dapet tambahan tenaga baru yang fresh," kata Ian sambil tersenyum miring.

Entah mengapa saat ini rasanya aku ingin menggunakan kekuasaanku buat memutasikan Ian ke The Raikan's Lombok.

"Hmm...lalu kontrak kerjanya?"

Ghea menyodorkan amplop kepadaku yang kubaca dengan cepat, "Belum ditandatangani?"

"Eh...be...belum," katanya tergagap.

Kata pertama yang keluar dari mulutnya. Aku mengangkat alis tanda bertanya.

"Kata Bu Desty, saya harus mempelajari dulu sebelum menandatanganinya," sambungnya lagi. Kali ini dengan nada segalak sebelumnya.

"Oh, oke!" sahutku.

"Staf lo kurang, Ian?" tanyaku berbalik ke arah Ian.

"Kurang sih enggak, Gil. Ngepas-lah. Kan lo tau sendiri, kita punya Kalila yang oke punya dan lo," sahut Ian. "Dari segi pemikiran dan inovasi, belum ada yang bisa nandingin duet kalian di sini. Cuma kalo minta Kalila fokus di sini, gue ngeri aja dicincang ama lakinya. Kan lo tau sendiri galaknya Al kalo Lila ngantor di sini sampai tiga hari berturut-turut," jelas Ian. "Dan lo? Sibuk ngebius orang, kan?"

Secara posisi, aku dan Kalila lebih tinggi daripada Ian. Namun kami berdua tetap menganggap Ian setara, karena hanya dialah yang bisa all out di sini. Sementara kami, masih mempunyai dunia lain di luar dari tetek-bengek bisnis perhotelan ini.

Aku terkekeh dalam hati. Siapa yang berani menyuruh Kalila kerja full di sini pasti akan pulang tanpa jantung di dada. Siapa yang mau berhadapan dengan dokter jantung mesum yang tak segan mengancam jika istrinya bekerja full dalam satu minggu. Apalagi aku tahu persis kalau Al itu sebenarnya tak suka Kalila bekerja, maunya dia Kalila di rumah saja. Cuma sebagai selingan akhirnya Al mengizinkan Kalila bekerja di sini dua kali seminggu dengan syarat ketiga bocah itu harus tetap dibawa.

"Oke, gue ke HRD dulu bentar, lo boleh balik ke ruangan lo," kataku ke Ian sambil mengisyaratkan agar hanya Ghea yang menungguku.

Ada pasal di kontrak kerja ini yang harus 'sedikit' direvisi.

Sepuluh menit kemudian, aku datang dengan kontrak baru di tanganku. We'll start the game, Ghea!

"Silakan tanda tangan di sini!" kataku datar. Menyodorkan kontrak baru ke hadapan Ghea.

"Eh, apaan? Saya belum baca!"

"Nanti saya kasih salinannya!" sahutku dingin. "Anda meragukan kredibilitas The Raikan's dalam menyejahterakan hak-hak pegawainya?"

Tapi, Ghea memang tak mudah diintimidasi, "Saya harus pelajari dulu!"

"Kesempatan Anda untuk bekerja di sini saya tunggu sekarang juga," sahutku tak kalah sengit. "Atau mungkin Anda lebih memilih agar saya bicara langsung kepada dosen anda?"

Ghea menyadari arti tersirat yang kusampaikan. Bahwa aku tahu statusnya masih mahasiswi, belum alumni akademi perhotelan ternama itu. Mempertaruhkan nama dosen yang merekomendasikannya untuk bekerja di sini, tentu saja bukan tindakan bijak untuk saat ini. Surat drop out pasti membayang di pelupuk matanya.

Strategi ini berhasil, dia melunak. Meskipun raut wajahnya masih memendam kekesalan tingkat tinggi, akhirnya dia menandatangani juga kontrak kerja itu.

Tanpa menyadari bahwa ada satu pasal di dalamnya yang tertulis 'Pihak kedua hanya akan bisa mengundurkan diri dengan izin dari pihak pertama'.

See, darah kemenangan memang mengalir di keluarga kami, Ghea.

"Saya tunggu kehadiran Anda di tim marketing besok untuk monthly meeting, tepat jam tujuh pagi. Saya tidak menolerir keterlambatan," kataku sambil menekankan kalimat terakhir.

"Baiklah, Pak Agil!" katanya dengan nada galak andalannya.

"Sebagai garda depan tim marketing, saya harap sikap anda kepada pelanggan kita tidak se'ramah' ini," sindirku lagi.

"Seharusnya Bapak cek dulu cara bicara Bapak sebelum menyindir keramahan saya," katanya ketus sambil membalikkan badan. "Permisi!"

Hah?

Meskipun tahu statusku adalah pemilik hotel, tapi tetap saja tak mempan untuk mengubah sikapnya. Poin plusnya, gadis ini tidak cari muka seperti kebanyakan orang lainnya. Kita lihat saja hasil kerjanya apakah berbanding lurus dengan prestasi akademiknya?

Aku meraih ponselku dan menekan lama angka lima.

"Halo. Yep, Brother?" terdengar suara Al di ujung sana.

"Seingat gue, besok gak ada jadwal operasi kan? Ada monthly meeting pagi-pagi di The Raikan's soalnya!"

"Wow? Tumben?"

"Gue anggap lo ngomong oke," sahutku.

Dari dulu caraku dan Al berbicara memang tak pernah sinkron. A bagiku, Z baginya. Begitu pula sebaliknya.

"Boleh aja, selama Bundanya anak-anak gue gak lo minta masuk pagi-pagi ke sana!"

"Gak bisa, justru Kalila-lah otak event tahunan The Raikan's, Al!"

Event tahunan yang kumaksud itu jatuh tempo enam bulan lagi. Bulan di mana banyak pasangan kekasih berniat meresmikan hubungan dalam ikatan pernikahan. Bulan baik untuk menikah menurut mereka. Pesanan ballroom hotel The Raikan's meningkat drastis pada bulan itu. Inovasi harus dilakukan karena agar tahun depan jumlah pesanan melebihi tahun ini. Begitu seterusnya. Event yang selama ini tidak pernah kucampuri pelaksanaannya.

"Oh ya, dan gue tinggal setting lo buat operasi pagi-pagi," tantangnya. "Buat lo, nyawa orang lebih berharga daripada meeting The Raikan's kan?"

"Oke. Kasih tau Kalila kalo gue tunggu idenya buat event ini paling lambat besok dini hari dan dia boleh gak ikut meeting," tetap tak sinkron dan tetap keras kepala. Kepala batu wajib hukumnya dalam menghadapi seorang Aldebaran Bachtiar.

"Dan begadang sepanjang malam mikirin konsep aneh buat event musim kawin itu? Go to hell, Gil! Mending juga gue ajakin dia olahraga dan olahraba sepanjang malam," sambar Al dengan kapasitas khusus otak mesumnya.

"Sip, tapi berarti gue malam ini yang ke rumah lo buat diskusi bentar sama Kalila kalo gitu!" kataku tak mau kalah.

"Ogah, gue gak bakal percaya lagi definisi bentar versi lo, Gil. Yang ada gue meluk guling sampe subuh!"

"Al! Please."

"Makanya nikah, Gil. Jadi, lo ngerti perasaan gue saat melukin guling sepanjang malam hanya karena Kalila lo ajak diskusi soal kerjaan mulu!"

Kalau sudah tentang perasaan setelah menikah yang sering dibahas Al dan Revan di depanku, aku hanya bisa diam. Kata mereka aku tak akan mengerti rasanya sebelum mengalami.

"Pokoknya sepulang visit pasien malam ini gue ke sana."

"Dua jam, Gil!" kata Al akhirnya. "Jam sepuluh lo wajib angkat kaki dari rumah gue. Dan gue gak peduli kalo lo mau nyoret nama gue dari daftar sepupu lo, kalo akhirnya gue mesti ngusir lo!" katanya keras kepala.

"Oke!" akhirnya aku yang mengalah.

-oo0oo-

Gadis itu lebih banyak diam di monthly meeting pagi ini. Sesekali mengerutkan dahinya atas ide yang ditawarkan oleh tim. Dia hanya berkomentar beberapa kali.

Tim Marketing ada enam orang. Aku selaku general manager sekaligus decision maker. Kalila si penyumbang ide dan inovasi dengan jabatan vice general manager. Ian, manager yang juga merupakan eksekutor terdepan untuk detail kegiatan. Staf lainnya, yaitu Ell, Vania, dan Erick, ditambah dengan Ghea jadi tujuh sekarang.

Kehadiran Kalila pagi ini yang tak kuprediksi, mampu menjadi alarm tersendiri bahwa di rumah sakit nanti sebisa mungkin aku harus menghindari Al dan amukannya. Setelah kami begadang sampai jam dua pagi untuk menyelesaikan presentasi Kalila yang rencananya akan kubawakan sendiri namun nyatanya Kalila memilih hadir dan menyajikannya sendiri.

Semoga saja aku masih bisa menukar jadwal operasiku dengan anestesiologis yang lain untuk mendampingi Al. Salah-salah, jantungku yang akan dikeluarkan Al.

"Jadi, Ghea. Ada komentar?" tanya Kalila.

Semua mata mengarah ke si anak baru sekarang. Dia hanya menambah-nambahi sedikit dari tadi saat Kalila memaparkan ide-idenya.

Dia menghela napas sebentar, "Ide Mbak Lila oke, tapi untuk eksekusinya agak susah," katanya pelan.

Kalila menyarankan agar acara pernikahan salah satu putri petinggi negara yang akan diadakan di The Raikan's dijadikan sebagai pilot project sekaligus ajang promosi untuk event bulan 'musim kawin' tahun ini. Kami harus mampu memberikan sentuhan khusus The Raikan's yang mampu menyedot perhatian seluruh pasangan yang sedang memiliki niat untuk menikah. Satu paket acara perkawinan komplit yang bahkan dimulai dari hal-hal sepele seperti layanan desain kartu undangan, percetakan, pengantaran undangan, souvenir. Bahkan, layanan perawatan tubuh dan konsultasi psikologi untuk bride-groom yang cenderung kena pre-wedding syndrome. Ditutup dengan paket honeymoon tak terlupakan. What a great idea!

Kalila membayangkan untuk beriklan di media televisi dan cetak agar orang tertarik dengan konsep acara yang kami buat. Kalau perlu bekerjasama dengan stasiun televisi tertentu untuk dijadikan sebagai reality show yang menjual, tapi tidak didramatisasi seperti kebanyakan reality show lainnya. Agar perbedaan konsep dan value yang ditawarkan oleh The Raikan's mampu diserap oleh seluruh aspek masyarakat. Tapi, tentu saja budget yang diperlukan untuk iklan sedetail itu jelas lebih besar.

"Lalu, konsep apa yang bisa kamu tawarkan?" tanyaku. Tak menyangka si anak baru bisa menyatakan keberatan atas paparan ide dari pendahulunya.

Kali ini aku mengontrol nada suaraku agar tidak jatuh sedingin es. Suatu hal yang tak pernah kupedulikan sebelumnya. Karena jika nada suaraku jatuh ke titik nol derajat Celsius, bisa jadi Perang Badar yang bakal berkibar di ruangan ini.

Kuperhatikan sejak awal, Ghea akan menanggapi dengan bersemangat jika lawan bicaranya menggebu-gebu. "Menurut Ghea, karena sasaran kita kan para calon bride-groom yang berada di usia pekerja aktif yang maha sibuk. Mengiklankan konsep penikahan lewat televisi tidak terlalu efektif karena mungkin hanya sekian persen dari mereka yang menyaksikan televisi," lanjutnya.

"Oke. Lalu idenya?" tanyaku mencoba memancingnya.

"Sasaran kita kan para kawula muda yang lebih memilih browsing internet untuk mendapatkan segala informasi yang mereka butuhkan daripada menonton televisi. Nah, lalu kenapa kita tidak bikin blog pernikahan saja?"

"Blog seperti apa, Ghe?" tanya Erick.

"Blog yang bisa diupdate dua arah oleh the bride-groom dan juga pihak hotel. Pihak hotel bisa mengupload keseluruhan step by step planning yang ditawarkan, sekaligus progress untuk permintaan the bride-groom sebelumnya."

Dia mengambil jeda. "Kemudian the bride-groom juga kita berikan ruang untuk meluapkan seluruh isi hati, perasaan, dan sekaligus testimoni tentang step by step yang sudah kita kerjakan tadi."

Ghea melanjutkan, "Jika kebanyakan hotel memilih untuk merahasiakan konsep acara, kita justru membukanya agar bisa mendapatkan ide-ide fresh gratisan dari pengguna internet di luar sana. Biasanya untuk hal-hal baru, mereka akan antusias untuk mengomentari. Nah...komentar mereka inilah yang kita jadikan bahan evaluasi untuk event berikutnya. Gitu."

"Apa gak ngebingungin kalo terlalu banyak ide yang masuk?" kali ini Vania buka suara.

"Kita serahkan kembali keputusan kepada calon pengantin. Sambil kita dampingi dan berikan pendapat, juga pandangan tentang ide yang mana yang paling dia impikan. Kita tinggal eksekusi aja. Jadi semua jalan, proyek jalan, promosi jalan, low budget pula," kata Ghea memaparkan idenya.

"Kalo semisal ada yang nyolong ide ini gimana?" kata Ell yang sedari tadi tersenyum melihat tingkah Ghea yang menerangkan dengan sangat antusias. Rambutnya yang panjang sampai bergerak-gerak ke kiri dan kanan.

Aku membayangkan jika aku membelai rambut panjangnya itu. Pasti cukup waktu untuk membelainya sampai ke ujung sambil membisikkan beberapa kata manis di telinganya. Astaga, kenapa aku sampai berpikir untuk merayu Ghea? Kenapa aku harus menahan kuat dorongan untuk menyentuh rambutnya. Shit. Konsentrasi, Agil!

"Yang pertama selalu lebih diingat. Itu yang harus kita pegang," jawab Ghea. "Sebisa apa pun mereka nyolong idenya dan semirip apa pun konsepnya, tetap saja The Raikan's sebagai penggagas pertamalah yang akan diingat. Justru sentuhan The Raikan's yang unik dan khas-lah yang membedakannya dari penyolong ide maupun konsep lainnya. Hasil kloningan tak selalu sebagus pionir. Dan menurut Ghea, yang pertama selalu akan menjadi lebih baik. Lebih dikenang!"

Yang pertama selalu akan menjadi lebih baik. Lebih dikenang. Entah kenapa kalimat ini cukup mengganggu telingaku. Aku bahkan sampai harus mengorek-ngorek telinga dan diakhiri dengan lemparan bolpoin Kalila yang melayang ke arahku.

Aku mengangguk-angguk dalam diam, tak menyangka bahwa gadis ini bisa begitu hidup saat memaparkan ide-ide di kepalanya, dan sanggup melupakan sikap juteknya untuk beberapa saat.

"Semua harus kita update. Misalnya dari konsep pemilihan desain undangan, konsumsi, pelaminan. Bahkan, kalau perlu sampai profil make up artist dan fotografer yang digunakan kita masukin juga. Setiap step-nya wajib dikomentari oleh calon pengantin. Dari segi calon pengantin, mereka bisa menumpahkan segala konsep pernikahan impian yang mereka bayangkan, termasuk di dalamnya juga rasa senang, galau, dan berbagai rasa yang bercampur aduk jadi satu. Jika diperlukan, kita sediakan sesi konsultasi dengan psikolog, karena tidak sedikit calon pengantin yang stres menghadapi hari H-nya."

"Wow, brilliant idea, itu intinya. Kita kembangkan lagi idenya," kata Ian bersorak. Bisa kulihat mukanya yang bersinar-sinar dan Kalila yang menari-nari memutari ruangan sebelum akhirnya memeluk erat Ghea.

"Ghea, pengalaman banget soal beginian?"

"Ghea pernah tau rasa bingungnya soalnya, Mbak. Dan informasi seperti apa yang Ghea butuhkan saat itu," sahut Ghea.

"Ghea udah nikah?" tanya Kalila. Suaranya berubah khawatir. Dan telingaku pun tegak berdiri.

Ghea hanya tersenyum dan mengangguk. Entah kenapa aku merasa nyeri di ulu hati melihat anggukannya.

"Dulu, Mbak. Sempet nyiapin," katanya sambil menunduk. Ruangan hening. Sempat?

"Calonku lebih disayang Allah, Mbak," lanjutnya dengan nada sedih lagi.

Setetes air mata yang lolos dari mata kanannya diusapnya perlahan. Kemudian tersenyum ke arah Kalila. Ruangan menjadi sunyi senyap begitu mendengar kata-kata terakhir yang sebenarnya hanya dibisikkan oleh Ghea. Namun, karena perhatian tim sepenuhnya terarah padanya, jadi kami semua mampu mendengar kata-katanya. Kalila pun langsung merangkul Ghea dengan tubuhnya yang sebenarnya lebih mungil. Mengusap punggungnya beberapa kali, sebelum akhirnya Ghea menegakkan diri.

Akhirnya benang merahnya terlihat juga. Ternyata foto sang pilot yang kemarin ditangisinya, kemungkinan besar adalah calon suaminya yang telah lebih dulu berpulang. Meninggalkan dia yang mungkin tengah excited menyiapkan acaranya.

Tentu saja, rasa pedihnya mungkin berkali-kali lipat dibanding kehilanganku akan seorang Kania Prameswari. Tiba-tiba aku justru sangat berempati padanya, berjanji untuk mengubah sikapku agar tidak terkesan mengintimidasi dan dingin terhadapnya.

Seluruh tim marketing meninggalkan ruangan meeting satu jam kemudian. Menyisakan aku dan Kalila yang menunduk sambil mencoret-coret buku agendanya.

"What's wrong, Sister?"

Kalila menatapku dan menghela napas panjang,

"Tau gak, Gil. Hal terberat untuk mendapatkan hati seorang gadis?"

"Orangtuanya?"

Kalila menggeleng, "Masa lalu, Gil. Apalagi masa lalu yang berakhir baik seperti itu. Di mana cinta calon suaminya Ghea dibawa sampai mati. Saingan sama orang yang udah meninggal itu paling berat sedunia. Jarang menangnya," lanjutnya lagi. "Apalagi kalo yang dilawan bener-bener orang baik yang begitu menancapkan kenangan sedalam palung seperti calon suaminya Ghea!"

Aku mengerutkan kening tanda tak paham.

"Kamu harus belajar banyak dari Mami, bagaimana caranya meraih hati Ayah tanpa menyingkirkan posisi khusus Bunda dari hatinya, Gil!"

"Lalu, ada alasan khusus aku harus belajar hal itu dari Mami? Dan apa kaitannya yang kamu bicarakan ini dengan aku dan calon suaminya Ghea? Dan Ghea sendiri? Kamu aneh, La!"

"Kamu yang aneh! Semua udah jelas terbaca di matamu, Gil. Tinggal tunggu waktu kamu untuk menyadarinya," sambung Kalila sambil memeluk laptopnya.

"Eh bukan, untuk mengakuinya. Karena sebenarnya kamu sudah menyadarinya," katanya pelan. "Atau mungkin kamu cukup kuat untuk bertahan ketika seseorang yang kamu sadari adalah 'the one' justru jatuh ke tangan Ian?" tambahnya sebelum keluar dari ruangan meeting dan menutup pintunya perlahan.

Aku langsung tersedak dalam diam. 

Note

Pas saya yang publish ulang, pas saya yang baper. Elaaah   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro