Sang Pemilik Hotel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga tahun yang lalu...

Shit! Semua ini terjadi karena harus aku mendengarkan ocehan manager hotel tempat aku akan menjalani magang. Dia ngomongin materi customer relationship melebihi waktu yang disediakan. Padahal dua pertiga dari bacotannya cuman nemplok di kupingku, kemudian keluar lagi tak bersisa. Aku sampai mikir kalo dia itu alien, bahasanya susah dimengerti. Tapi, bisa jadi karena pikiranku sudah gak fokus ke situ lagi, tapi fokusnya ke tiket pesawat di dompetku. Rencananya, aku mau mudik dulu sebelum memulai perjuangan magang di salah satu hotel mitra kampusku.

Aku berlari di sepanjang koridor Bandara Soekarno-Hatta. Mencoba merapal mantra agar pesawat dari Jakarta menuju tanah kelahiranku—Palembang—masih belum berangkat. Terserahlah mau mogok kek, mau abis avtur kek, pokoknya belum terbang aja. Saking telatnya, aku belum sempat mampir ke kost untuk ganti pakaian.

Jadilah aku terdampar kehabisan napas di pintu pemeriksaan tiket dengan pakaian standar anak magang dari jurusan manajemen perhotelan. Higheels dengan hak dua belas senti, rok hitam ketat beberapa senti di atas lutut, dan baju kemeja dengan aksen gelombang bunga di bagian kancingnya yang tentu saja sudah tak jelas saking kusutnya.

Oke, gak ada hari yang lebih apes dari hari ini mungkin.

Aku melirik sekilas layar besar yang berisi informasi keberangkatan. CGK-PLM 13.35 WIB. Sepuluh menit lagi. Gak telat. Tekor beli tiket kalo sampai telat. Baiklah, tarik napas Ghea.

Ruang tunggu dipenuhi oleh kaumku. Ha...kaumku. Terbukti dari logat dan cara ngomong mereka yang khas. Bahasa kampung halamanku. Hampir semua huruf vokal di akhir kata berubah menjadi 'o'.

Ah...Thanks God, delay. Delay sepuluh sampai lima belas menit dari jadwal itu biasa. Mungkin mbak-mbak pramugari lagi beraksi dengan kemoceng. Membersihkan debu yang menempel di kursi pesawat pikirku geli.

Aku melangkah perlahan, berusaha mengacuhkan tatapan nakal beberapa kaum Adam yang jelas-jelas mengarah ke rokku yang pendek dan super ketat. Apalagi bunyi hak sepatu yang berbunyi tak tuk tak tuk tajam. Kampret, sepatu ini. Makin memancing lirikan mereka padaku.

Tapi tiba-tiba badanku menegang, kulihat juluran tangan persis di samping pahaku. Bahkan, salah satu jarinya tadi sempat agak kena ke kulitku. No!...jangan coba-coba melecehkan saya, Tuan!

Aku berbalik tiba-tiba, sudah siap dengan kuda-kuda. Tanpa pikir panjang aku mendaratkan dengkulku tepat di selangkangan lelaki yang sedang bangkit dari posisi membungkuknya. Rasakan!

"Ugh...aduuuh!" serunya sambil meringis. Berbarengan dengan suara beberapa gadis yang berteriak, "Captaiiiiiiin......"

"Flashdisk Anda jatuh tadi, saya cuma mau ngambil," katanya sengit ke arahku sambil membuka tangan satunya yang sedari tadi tergenggam. Otakku langsung out dari tempatnya.

Aku menggigit bibir. Memandangi si lelaki yang menjadi korban tendanganku. Lelaki dengan seragam putih yang biasanya bikin pemakainya terlihat gagah, sekarang kelihatan meringis-ringis tak keruan sambil memegangi selangkangannya. Matanya merem melek menahan sakit dan mungkin amarah sekaligus.

"Ma..maaf," ujarku terbata."Saya gak tau ka...kalau...,"

"Len, tolong hubungi petugas darat. Minta seseorang menggantikan saya," katanya kepada salah satu pramugari yang tadi ikut berteriak gara-gara kelakuanku.

"Oke, Capt," sahut si pramugari sambil melangkah dan memandang ke arahku dengan tatapan membunuh. Astaga Mbak, kalau boleh memilih lebih baik saat ini daku kau cincang dan lempar ke piranha. Malunya gak ketahan lagi.

Aku menatap takut-takut ke arah pilot yang masih meringis kesakitan di hadapanku. Kedua alisnya yang tebal sampai bertaut menahan marah. Layaknya para pilot, lelaki ini tentu saja masuk kategori 'foto dompet'ku. Alisnya yang tebal, kulitnya yang putih bersih disertai sedikit rambut-rambut halus di area rahang, sampai bibirnya yang memerah seperti dikasih lipstick. Cukup dilihat sekilas, pasti ada percikan keturunan Arab di tubuhnya. Lelaki apes, karena bertemu orang yang salah dengan tindakan yang salah juga.

"Ikut saya!!!" katanya dingin. Memangnya aku punya pilihan lain?

Otakku yang sudah jauh meninggalkan tempatnya membuatku mirip kebo yang dicucuk hidungnya. Mengekori dia yang berjalan tertatih di depanku. Kami berlalu diiringi tatapan penuh kasihan untuknya dan tatapan membunuh untukku dari para calon penumpang di ruang tunggu.

Tuhan, ampuni Ghea! Selamatkan Ghea! Angus tiket Ghea! Tekor duit Ghea!

Kami memasuki ruangan putih bersih yang kupikir adalah salah satu fasilitas kesehatan di bandara ini. Tebakanku tepat, karena pada akhirnya muncullah seorang laki-laki dengan jas putih. Ciri khas kaum dokter.

"Kenapa lo, Bro?" tanyanya menghampiri si kapten apes bin sial tadi. Mengacuhkan keberadaanku yang mematung di sudut ruangan.

Si kapten apes bin sial tadi segera menyeret sang dokter ke arah ruangan yang satunya sambil berbisik pelan, "Properti gue kena tendangan, Bro! Buruan periksa sebelum gue gila!"

Seandainya situasinya gak kayak gini dan aku bukan penyebab sang kapten meringis kesakitan, mungkin yang akan kulakukan di ruangan ini adalah tertawa ngakak sambil memegangi perut. Ekspresinya merana banget. Kalau sekarang jangan ditanya, jangankan ketawa, untuk bernapas aja aku bahkan perlu mikir. Jangan sampai gara-gara bunyi tarikan napasku, sang kapten menyadari kehadiranku dan mulai melancarkan serangan balasan. Oh God!

Lima belas menit kemudian, kedua lelaki itu keluar dengan sang dokter yang menepuk-nepuk bahu sang kapten. Aduh...mampus aku. Sekarang si dokter terkekeh geli dan si kapten mendekatiku yang gak mengubah posisi layaknya patung di sudut ruangan sejak tadi menunggunya. Merapal mantra bunglon, biar dia gak nyadar akan kehadiranku. Meski tau itu bakal sia-sia belaka.

Tatapannya penuh amarah semacam ingin menerkamku. Bodohnya aku, kenapa tadi gak kabur aja selama dia diperiksa di dalam. Hell no!!, aku ini manusia yang bertanggung jawab.

"Perlu Anda ketahui," bisiknya tepat di telingaku. "Banyak wanita di luar sana yang rela mohon-mohon untuk saya sentuh, kalau saya mau! Kelakuan bejat sejenis membelai paha seorang gadis yang dengan sengaja menggoda para pria dengan pakaian yang dikenakannya bukanlah sifat saya," sambungnya sambil menjejalkan flashdisk ke tanganku. Kemudian memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki berulang-ulang.

Aku terkesiap mendengar ucapannya, mendongakkan kepala untuk menantangnya. Hancur sudah bahasa formal saya-anda yang kugunakan dari tadi.

"Apa lo bilang? Gue berpakaian begini karena pengen menggoda pria?"

"Apa lagi?" tuntutnya tak kalah keras. Aku menggeram, dia mengaum.

"Gue ngejar pesawat dari tempat magang gue karena jadwal pembekalan pra-magang gue molor sejam tauk! Gue gak sempat balik ke kost buat ganti baju," jawabku. Persetan dengan tata bahasa dan kesopanan. Lo jual gue beli. Walaupun saat ini, emang dia lebih berhak marah dibanding aku, tapi bukan berarti dia bisa menuduhku cewek sembarangan.

"Oh ya?" tanyanya licik. "Gue tau hukuman apa yang pantes buat lo. Jujur aja kesalahan lo kali ini harus mendapatkan balasan setimpal!" balasnya ikut menggunakan lo-gue.

Aku tahu, aku salah. Menerima hukumannya memang tak bisa dihindari. Tapi awas, begitu hukumannya selesai, aku akan membalasnya seribu kali lebih parah.

"Lo ngebales gue? Gue bales lo juga yang udah ngatain gue cewek penggoda," bentakku.

"Boleh. Dengan balasan yang setimpal oke?"

"Oke."

"Lo harus jadi cewek gue, dan seperti lo bilang lo bakal ngebalasnya dengan balasan yang setimpal. Jadi lo harus menerima gue sebagai cowok lo."

Otakku yang sudah keluar dari tempatnya tambah melambaikan tangan. Menyerah dan tak bisa mengerti.

"Hah? Ke...kenapa? Kok bisa ke situ? Gak ada hubungannya kali!"

"Jelas! Lo udah hampir memusnahkan properti gue yang paling berharga selain otak gue. Gue gak mungkin membuat wanita lain menderita cuma karena suatu saat properti gue gak bisa 'bangun' atau gue gak bisa menghasilkan keturunan gara-gara kelakuan sadis lo tadi!"

"Eh?" Tanpa disadari mataku malah melirik ke arah yang tidak seharusnya.

"Bohong, celana ketat lo menggembung kayak gitu! Gak bisa bangun apanya?" tuduhku. Keceplosan. Lagi. Euhmph...

"Oh, benar juga," katanya sambil memandangi tempat tatapan mataku tadi mendarat.

"Mari kita buktikan, dia masih bisa bekerja layak atau engga? Gimana kalo lo yang jadi objek pertama," katanya kemudian dengan seenaknya memepet badanku sampai menempel di dinding.

"Ogah! Minggir lo!"

"Nama?"

"Hah?"

"Hah huh hah huh, nama lo siapa?"

"Buat apa?"

"Buat manggil pacar gue lah, Neng!"katanya. Sekarang nadanya berubah geli.

"Ghe...Ghea," kataku terbata.

"Oke, Ghea. Gue Zeid! Dan sekarang lo resmi jadi pacar gue," katanya sambil mengulurkan kain yang dari tadi dipegangnya di tangan.

"Apaan nih?"

"Kalo otak lo gak nyampe, itu namanya celana," katanya sambil bersiul santai.

"Ganti rok sialan lo itu! Gue gak mau mata para lelaki ikut menikmati kaki lo yang jenjang itu. Wanita yang berharga, menyembunyikan kemolekan tubuhnya," katanya sambil mendorong tubuhku ke dalam ruangan tempat pemeriksaan tadi.

-oo0oo-

"Mbak Ghea, lagi gak ada kuliah ya?" tanya Ratri, teman sekostku, melongokkan kepala ke kamar kostku.

"Iya, Rat. Kenapa?" tanyaku sambil melanjutkan mengulet-ngulet di tempat tidur. Jadwal kuliah kosong pagi-pagi enaknya mah ngedekam di kamar ampe siang.

"Ditungguin ama Abang pilot di depan," kata Ratri jenaka.

"Eh? Yang bener, Rat?" kataku buru-buru ke depan. Menendang selimut yang sedari tadi setia membalut badanku.

"Eh, Bang?" kataku sambil nyengir.

Dia memandangiku dari ujung kepala sampai ujung rambut. Kelakuannya yang dulu membuatku risih, tapi sekarang mah biasa. Terlalu capek buat diprotes.

"Kok eh Bang?" gerutunya sambil berjalan mendekatiku.

"Bilang Assalamualaikum Abang Sayang, gitu," katanya sambil mengulurkan tangan.

"Hehehe...," aku tertawa geli. Tak urung menyambut uluran tangannya dan kemudian membawanya ke dahiku.

"Assalamualaikum, Abang Sayang..."

"Waalaikumsalam, Calon Istri," sahutnya sambil mencium keningku. Lama.

Delapan bulan berlalu sejak peristiwa memalukan di bandara itu. Ucapan yang mulanya kuanggap iseng belaka, namun menurut si lelaki ini serius ternyata. Keseriusannya bahkan dibuktikan dengan dia cari tahu segala informasi tentangku. Sampai akhirnya dia nongol di kost-kostanku dengan sebuket bunga. Resmi memintaku jadi pasangannya.

Bahkan, sampai detik ini pun aku belum percaya bahwa ada seorang lelaki sesempurna dia, berdiri di hadapanku, dan mengesahkan diri sebagai calon suamiku.

Tentu saja semua gak berjalan indah, Cinderella aja ketemu pangerannya kudu menderita dulu kan. Menjalin hubungan dengan seorang pilot kayak dia otomatis banyak konsekuensi yang harus aku maklumi. Jangan berharap ada waktu buat ngobrol ngalur-ngidul semalam suntuk, ponselnya aktif aja udah syukur Alhamdulillah.

Pesan singkat yang dikirimkannya juga mengandung sejuta makna. Pesan yang hanya berisi 'Sayang, Abang mau take-off. Doain ya. Love u' biasanya menjadi awal diskonya jantungku dan rapalan sejumlah doa-doa yang sekarang kuhapal mati, doa keselamatan. Jantungku akan berdetak kencang tak keruan sampai akhirnya pesan singkat berikutnya beberapa waktu kemudian datang 'Sayang, alhamdulillah landing nih. Jangan lupa makan dan sholat. Abang kangen!'.

Lagu dangdut yang liriknya 'gak ada malam mingguan, malam apa pun sama' udah jelas jadi gambaran hubungan kami. Sayangnya lanjutannya bukan 'pacarku memang dekat, lima langkah dari rumah'. Tapi, 'Bang Toyib...Bang Toyib, kenapa gak pulang-pulang?' Hahaha...

Sarapan di Palembang, makan siang di Jakarta, dan menghabiskan malam di Banjarmasin sudah biasa baginya. Bahkan, kadang ketika kami sedang menikmati kencan kilat ala Ghea-Zeid tapi ponselnya berbunyi tanda panggilan dari maskapai, maka saat itulah kencan kilat kami harus berakhir. Intinya, semua waktu luang begitu berharga.

"Abang off?"

"Nih...," katanya sambil mengulurkan tas kertas yang tadi dipegangnya. "Flight malam."

"Apa nih?"

"Baju olah raga, udah si Mbak cuci. Buat Neng pake hari ini. Jogging sama Abang!"

"Ih, Abang...kan mumpung libur."

"Ih Abang...Ih Abang. Abang tau, kamu gak pernah olahraga sama sekali. Kamu mau pas kita udah umur empat puluhan gitu, Abang masih gagah perkasa dan kamunya kendor? Kan kamu tau Abang makan paha kencang bin gratisan tiap hari, mana doyan liat yang kendor-kendor," serunya jahil sambil mengucek rambutku. Kemudian mendaratkan kecupan di kepalaku.

"Ih, Abang mah gitu!" kataku sambil menghentak-hentakkan kaki menuju kamar.

Biar kata sebel, tetep aja kutukar pakaian daster kumal kebangsaan dengan baju olahraga yang dibawakannya. Biar pun tau dia cuma becanda soal 'gak doyan liat yang kendor'. Karena seorang Zeid yang kutahu gak pernah jelalatan, dia begitu menjaga pandangannya, kecuali padaku. Suka khilaf dia bilang. Manusiawi kalo suka ngeliatin pacar sendiri. Aww...Hehehe...

"Ntar siang Abang ajakin nonton deh," katanya melihat bibirku yang maju tiga senti. "Filmnya Paul Walker yang baru udah rilis!"

"Eh, yang bener Bang?"

"Iya, makanya. Tapi harus jogging dulu pagi ini!"

"Oke sip!"

"Tapi ingat, liatin Paul jangan sampai ngeces yak! Kamu milik Abang, Paul Walker miliknya Mia Toretto!"

"Iya Abang jelek cemburuan!!

"Ghe, dicariin Pak Ali Busro. Disuruh ke ruangannya," kata Eka memutus segala kenangan yang kulamunkan sejak aku berangkat dari kost menuju kampus untuk mengembalikan buku ke perpustakaan.

"Lagi?" Dahiku mengernyit.

"Iya, lo buat perkara apa sih sama beliau jadi dicariin mulu?"

"Hahaha...gue cuma gak ngerjain tugas akhir. Itu doang kok," jawabku sambil ngeloyor menuju ruangannya Pak Ali Busro. Lagi....

Anjrit...dalam seminggu udah dua kali aku dipanggil sama dosen tua ini. Aduh, mana gak bawa buku lagi buat mengamankan kepalaku. Ah...sudahlah...siapa tahu kalo dikemplang sekali bukan otakku yang geser ke arah kebenaran, tapi malah hatiku yang kesetel panas. Hehehe...

Tok..tok...

"Masuk," suaranya dalam dan berwibawa.

"Siang Pak, nyari Ghea lagi? Demen amat?"

"Oh, datang pulo akhirnyo Si Budak Nakal," katanya sambil menunjuk kursi di depannya.

"Lah, kan perjanjiannyo sebulan lagi, Pak. Bapak mau nagih proposalku ya?"

"Proposal kepalamu, Geya. Bapak idak cayo bakal kau kerjoi, makanyo Bapak panggil kau ke sini."

"Terus, ngapo Pak? Aku di-DO?"

"Mauku begitu," sahutnya pendek. Yah...jangan dong, gak gini juga kali caranya Pak. Ampun Pak!

"Tugas akher kau aku ganti sama Laporan Praktik Lapangan! Nanti hasil praktik itu yang kau jadike karya tulis."

"Eh, magang lagi Pak? Kok gitu?"

"Serah aku la. Aku dosennyo apo kau?" katanya sambil mengangkat map dan mendaratkannya dengan mulus di atas kepalaku. Tuh kan!

"Saketnyo, Pak!"

"Otak kau la bebal buat ngerasoi saket, Geya! Ni tempat praktik kau," katanya sambil menyerahkan map yang tadi digunakan untuk mengemplang kepalaku.

"Besok kau kesano eh, jangan telat. Pake-lah baju yang pantes cak mahasiswi manajemen perhotelan lainnyo. Jangan baju seperti kaleng rombeng ini," tunjuknya ke arah pakaianku. Yee...namanya gak masuk ruang kuliah, suka-suka aku dong. Masih untung aku datang gak pake daster kebangsaan.

"Iyo, Pak," jawabku akhirnya. Mendebat beliau sama aja nyuruh beliau ngetikin surat DO-ku.

"Jangan pulo bikin malu aku!" ancamnya sambil mengibaskan tangannya tanda menyuruhku keluar.

Aku membuka map yang tadi diberikan Pak Ali Busro. The Raikan's Hotel? Eh.

-oo0oo-

Wow...Hebat juga koneksinya si dosen tua, bisa bikin aku magang di tempat sebesar ini.

Yep, sekarang aku dengan noraknya berdiri di depan sebuah hotel ternama di Ibukota negeri ini. Hotel yang mendengar namanya saja orang-orang akan mengasumsikan bahwa mereka sedang menginap di surga. Bweeh...kayak pernah ke surga aja. Coba aja mati dulu, paling transit di neraka tar. Hehe... Beda kasus kalo Zeidku mah, dia pasti masuk surga dengan langkah tegap.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya si mbak resepsionis ramah. Kubaca name tag yang tersemat di dadanya. Selena. Hah...saking kayanya hotel ini mempekerjakan Selena Gomez?

Tentu saja bukan, tapi manis dan caemnya mirip lah.

"Hmm...ini, saya punya surat pengantar dari dosen saya buat ke sini," kataku sambil menyerahkan amplop yang masih tertutup rapi.

"Saya buka ya?"

Aku mengangguk. Selena grade KW segera membuka amplop tersebut dengan gunting. Membacanya sejenak dan kemudian mengangkat telepon untuk membuat panggilan telepon yang gak terlalu kuperhatikan.

"Mbak Ghea?"

"Iya, saya?"

"Ditunggu Bu Desty di ruangannya. Lantai dua puluh dua."

"Oh, oke!" kataku sambil menerima amplop yang kembali dia sodorkan. "Makasih, Mbak Selena."

"Semoga betah," katanya sambil tersenyum tulus.

Aku masuk ke dalam lift sambil berpikir. Betah? Ah...paling gak lama juga. Toh aku sudah biasa dengan kesakitan dan kelelahan. Kalo gak cocok paling magangku bakal diakhiri dalam waktu satu bulan. Peduli amat!

Aku merapikan bajuku yang sudah lama gak kupakai saking malasnya ngampus. Lanjut mengecek penampilan terakhirku sebelum keluar dari lift dan melambai norak ke CCTV di dalam lift sambil menjulurkan lidah. Ritualku jika sedang sendirian di dalam lift.

Selanjutnya aku mengetuk pintu besar di hadapanku yang bertuliskan CEO. Terdengar suara wanita dari dalam, "Masuk!"

Perlahan aku mendorong daun pintu dan memberikan senyum terbaikku pada si wanita yang kuduga menyuruhku masuk tadi.

"Selamat pagi," sapaku.

"Pagi! Ghea?" tanyanya.

"Iya, Bu..."

"Destyana Hayukuswinda. Panggil saja Bu Desty!"

"Oh, ya. Bu Desty," sapaku mencoba ramah. Menghilangkan sifat pemberontak dan gokilku untuk sementara.

"Silakan duduk, Ghe! Sebentar ya!"

Bu Desty kemudian mengangkat telepon dan berbicara pelan dengan seseorang di ujung sana. Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki yang termasuk kategori 'foto dompet'ku. Tinggi, cakep, bersih kelihatan ramah tapi tetap berwibawa.

"Ya, Bu?" katanya setelah duduk di samping Bu Desty yang menghadapku.

"Ian, ini staf kamu yang baru. Direkomendasikan sama mantan dosen saya dulu. Tolong kamu bimbing ya," kata Bu Desty.

"Oh, baik Bu!"

Keningku mengernyit. Staf ?

"Ehm...maaf sebelumnya, Bu. Saya hanya magang di sini," sahutku pelan.

"Magang? Siapa yang magang?" tanya Bu Desty bahkan dengan kening yang jauh lebih berkerut.

"Eh, saya di suruh magang sama dosen saya, Bu!" jelasku.

"Oh, masih suka guyon ya Pak Ali Busro itu," sahut Bu Desty. "Jelas-jelas kamu direkomendasikan sama beliau sebagai mahasiswi terbaiknya untuk bekerja di sini, Ghea," sambung Bu Desty lagi.

"Loh?" kataku dengan mulut terbuka.

"Hmm...kapan mulai siap bekerja?" tanya si lelaki yang dari tadi menyimak percakapanku dengan Bu Desty. Dia menatapku sambil tersenyum manis. Namanya kedengaran seksi, Ian.

"Eh, ka-pan-pan...," kataku tergagap. Duh...grogi.

"Mulai besok bisa ya?" tanyanya lagi. "Panggil saya Ian."

"Eh, iya Pak Ian."

"Ian, anterin dulu Ghea ke HRD untuk kontrak kerjanya ya," kata Bu Desty sambil mengangkat ponselnya yang berdering dari tadi.

"Ya, anakku sayang? Kamu di mana sih? Mami telponin gak diangkat juga?"

"___________"

"Oh, buruan kalo gitu. Ntar Mami ketinggalan pesawat. Ayah udah check in via web!"

"___________"

"Ati-ati, Gil!"

Telepon di tutup dan Ian pamit untuk keluar dari ruangan.

"Panggil Ian aja, ya?" pintanya sambil menggiringku ke dalam lift.

"Ih, gak sopan kali Pak!"

"Gak papa, ayo aku anterin ke HRD."

Kami memasuki lift dan Ian memencet angka delapan belas. Ting!

Pintu lift terbuka dan kami langsung masuk ke satu koridor yang ramai dengan pegawai yang lain. Mereka menyapa Ian dengan ramah.

"Yang tadi, ehm...Bu Desty mau ke mana?" tanyaku membuka pembicaraan.

"Oh, Bu Desty gak stay di sini. Beliau tinggal di Pontianak sama Pak Rehan suaminya. Ke sini cuma sesekali aja. Manajemen di sini udah berjalan lancar jadi beliau cukup memantau saja."

"Oh, begitu ya?" tanyaku sambil mengangguk-anggukan kepala. "Berarti Pak Ian tangan kanannya ya?"

"Hahahaha...tangan kiri mungkin!" kata Pak Ian tertawa. "Ada anak beliau yang tinggal di Jakarta kok. Jadi, anaknya-lah si pengambil keputusan!"

"Oh, yang mana orangnya?" kan aku harus tau biar gak bersikap kurang ajar. Nanti karirku bisa macet di sini. Berada di sini bisa dihitung sebagai salah satu keberuntungan untuk mahasiswi nangggung lulus kayak aku.

"Gak sering ke hotel, cuma kadang-kadang aja kalo kita lagi perlu approval untuk keputusan yang strategis. Pak Agil—anaknya Bu Desty lebih memilih berkarir sebagai dokter anestesi di salah satu rumah sakit besar di Jakarta juga." kata Ian. "Kalo keputusan yang masih bisa ditangani sama kita ya gak perlu sampe Pak Agil turun tangan," jelas Ian lagi.

Oh, jadi anaknya Bu Desty ini dokter anestesi? Tukang bius gitu?

Aku menganggukkan kepala setelah menerima berkas kontrak kerja yang harus kupelajari di rumah sebelum kutandatangani. Ian bilang agar pegawai yang bergabung di sini memahami ketentuan dan peraturan yang berlaku di hotel ini.

Kami kembali ke lift dan turun ke lantai satu. Selama di dalam lift kami membicarakan hal remeh-temeh seputar hotel. Bisa kulihat dari isi komunikasinya, Ian adalah salah satu orang dengan jabatan tinggi di sini. Marketing Manager tepatnya.

Pintu lift terbuka dan aku kaget karena mendapati sosok yang sedang mematung di depan kami.

"Ngapain lo disini?" kataku jutek. Dasar penguntit.

"Gue?" tanyanya sambil menunjuk dirinya. Dengan nada yang sama seperti sebelumnya. Datar. Tanpa ekspresi.

"Lo gak usah ngebuntutin gue ampe ke sini kalo emang motor lo kenapa-napa. Ish!" semburku keras. Tak kupedulikan lagi sosok Ian yang terpana melihat kami berdua.

"Lo kan udah tau kost-kostan gue. Lo cukup datang ke sana dan bawa nota perbaikan motor lo yang beset. Gak usah sampe ngebuntutin gue ke tempat kerja," desisku lagi. "Lo stalker!" kataku sambil mengacungkan jari telunjukku tepat di depan hidungnya.

Lift di sebelah kami terbuka, kulihat Bu Desty keluar dari dalamnya dan memandang kami heran. Aku dengan jari teracung dan muka merah menahan kesal. Sementara di depanku, Si Papa Pestisida bersedekap dengan raut muka datar tapi matanya menatapku tajam.

"Agil, Nak?" panggil Bu Desty.

Otomatis kepalaku menoleh ke arah Bu Desty. Tak percaya dengan panggilan yang keluar dari mulut beliau.

Apa? Nak?

Mati, hanya itu satu kata yang kutahu. 


Note;

Ada beberapa kata dan bagian yang seharusnya italic, terus tiba2 jadi tegak sendiri. Bisa juga sebaliknya -____- semoga masih bisa dinikmati deh ya    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro