Titah Sang Ratu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia terkesiap kaget, aku mengenali reaksi tubuhnya yang menegang membelakangiku. Pelan-pelan dia berdiri dari duduknya. Kuhitung sekian detik, dia tetap tak berbalik, tetap membelakangiku.

Aku mendekat mencoba untuk menyampirkan jaketku di bahunya, tetap memegang bahunya untuk menunggu reaksinya. Dia terdiam tak juga melawan atau pun mengibaskan jaket dan tanganku.

Akhirnya aku lah yang bergerak memutari dia, berdiri di hadapannya. Dia mendongakkan matanya yang bengkak dan merah, menatapku tajam mengisyaratkan bahwa kehadiranku mengganggunya. Tapi...sekaligus bisa kutangkap bahwa mata itu menyimpan kesedihan yang dalam. Hanya satu kata, merana.

Kami berpandangan dalam diam. Diamnya dia seperti bertanya, untuk apa aku di sini?

"Hm...sorry, tapi ini motor gue," kataku pelan. Akhirnya.

"Sorry," ucapnya lirih sambil menunduk.

Dia lalu mengangkat sebelah tangannya yang bertumpu di motorku.

"Lo kedinginan," kataku. Ini pernyataan bukan pertanyaan.

Dia mengangguk sambil merapatkan jaketku di badannya.

Keheningan lagi-lagi melanda kami, sampai akhirnya mulutku berucap tanpa kuduga, "Jangan berpikir untuk melawan rasanya, hadapi saja lalu kemudian...terima."

Dia masih membisu. Menatapku nyalang.

"Aku tahu rasanya kehilangan," tambahku. Entah mengapa, apa pun yang dirasakannya tapi aku rasa aku tahu persis rasanya. Kalimat terakhirku mengakibatkan keluarnya isakan kepiluan dari mulutnya yang terbekap tangannya sendiri.

Kubiarkan saja selama lima belas menit dia terisak dan sesekali agak keras. Menunggu sampai guncangan di bahunya berangsur-angsur menghilang.

Selama hal itu terjadi, yang aku bisa hanya mematung kaku sambil bersedekap di hadapannya. Tak tahu persis apa yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini. Kesimpulanku, gadis ini belum bisa menerima kehilangan. Kehilangan lelaki yang fotonya tersimpan di dompetnya dan diajaknya bicara tadi.

Apa harus aku mengirim pesan singkat pada Kalila? Bertanya tentang apa yang harus lelaki baik-baik lakukan saat menemukan 'dia'. Dia yang akhir-akhir ini ikut menyelinap dalam mimpiku. Dan sekarang dia sedang tergugu dalam tangisan. Kupastikan Kalila akan langsung menelepon untuk menginterogasiku. Tidak, nanti saja, La.

"Udah lega?" tanyaku saat dia kelihatan lebih tenang.

"Makasih ya," katanya mencoba tersenyum sambil mengusap kedua matanya setelah dia tenang.

Aku pun berinisiatif menawarkan sapu tanganku,"Di situ," tunjukku ke sisi kiri pipinya.

Ia mengusapnya sambil menunduk.

"Sekali lagi, makasih ya," katanya sambil beranjak dari motor dan meletakkan jaketku di atasnya.

Aku panik, dia akan pergi begitu saja kali ini.

Lagi. Setelah Tuhan berbaik hati mempertemukan kami kembali. No way!

"KTP?" tanyaku.

Dia mendongak kaget, menatapku bingung.

"Buat apa?"

"Siapa tau motor gue lecet, jadi gue tau pelakunya," kataku pelan sambil menggigit lidah. Alasan yang tak masuk akal, aku tahu. Tapi hanya itu yang sempat melintas di otakku.

Meski ragu, dia mengulurkan selembar kartu identitas juga padaku,"Tapi, gue gak ngapa-ngapain motor lo," semburnya dengan nada judes.

"Siapa tahu air mata lo udah ngegores body motor gue," tegasku sambil meraih identitas diri yang diulurkannya.

Matanya kelihatan khawatir kalau aku menuntutnya. Padahal jelas bukan itu tujuanku meminta KTP-nya.

Hmm...Ghea Aluna Gadrie. Dia tak bohong ternyata sewaktu dia berkata namanya Princess Aluna. Kupikir hanya bercanda.

Lahir 2 Mei 1993. Astaga...dua puluh dua tahun? Al dan Revan dengan senang hati akan mengejekku jika tahu aku bisa bicara lebih dari sepuluh kata dengan seorang gadis yang ternyata masih begitu belia dibanding umurku! Apalagi kali ini sama sekali tidak menyangkut urusan pekerjaan. Lebih parah, mereka pasti akan menyebutku pedofil. Mengenaskan!

Agamanya sama denganku. Alamat Palembang, Sumatera Selatan?

Wah...terus sedang apa dia di Jakarta? Kuliah? Kerja? Tersesat? Astaga...semakin banyak informasi yang kudapat, semakin penasaran malah akhirnya. Argh...

Aku mengembalikan KTP-nya dan dia menyentak kemudian memasukkannya secara paksa ke dompetnya. Sempat kulihat sebuah foto di dompetnya. Apa foto itu tadi yang diajaknya bicara? Mataku menyipit. Meski redup, foto lelaki berseragam pilot itu memang terlihat err...oke. Tapi, jujur saja aku pun pasti tak kalah oke dengan jas putih kebanggaanku. Boleh diadu kalo mau! Kenapa aku malah berpikir membanding-bandingkan diriku dengan foto lelaki di dompetnya itu? Aku sudah kehilangan kewarasan sepertinya.

"Udah urusan KTP-nya? Kalo udah, gue mau pulang!"

"Nomor ponsel!"

"Apa?"

"Gue harus hubungin ke mana kalo motor gue kenapa-napa?" tanyaku sambil mengulurkan ponselku padanya.

Dia mengetikkan sederetan angka dengan cepat sambil menggerutu.

"Nih!" katanya sambil mengembalikan ponselku. Gotcha!

Aku langsung menekan tombol Calling dan menghembuskan napas lega saat terdengar bunyi ponsel dari dalam tasnya. Oke, sip. Berarti dia tidak memberi sembarang nomor.

"Nomor gue. Simpan," kataku.

Dia mengernyit. Mungkin mendengar kalimatku yang terdengar seperti perintah. Dengan kesal mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menemukan panggilan tak terjawab. Tubuhku yang menjulang tinggi memudahkanku untuk mengintip apa yang dilakukannya. Dia menyimpan nomorku dengan nama, tunggu...apa...Papa Pestisida? Apa maksudnya?

Saat aku masih kebingungan dengan nama kontaknya, dia berjalan melewatiku dan menghentikan taksi pertama yang melintas di depannya. Aku terkesiap, segera kuhidupkan Si Biru—motorku—kemudian melesat mengejar taksi yang ditumpanginya. Membelah kegelapan malam kota Jakarta.

Baiklah, Gil. Apa yang kau lakukan saat ini hanyalah untuk memastikan dia sampai di rumah dengan selamat kan? Sama sekali bukan kepo soal tempat tinggalnya, kataku membujuk hatiku.

Aku melajukan Si Biru sambil tetap menjaga jarak di belakang taksi yang akhirnya berbelok ke kawasan rumah-rumah berukuran kecil. Taksi itu kemudian berhenti, si penumpang yang beberapa saat lalu baru kuketahui namanya keluar dari dalamnya. Kemudian melangkah masuk ke dalam gang sempit. Gang yang letaknya berdampingan dengan sebuah kampus perhotelan ternama.

Aku memutuskan meninggalkan Si Biru di ujung gang dan membuntutinya dengan perlahan. Astaga, Gil. Apa yang kau lakukan?

Sebelum akhirnya dia memasuki sebuah bangunan rumah yang cukup besar dengan pagar tinggi di ujung gang, dia berbalik. Matanya melebar, terkejut menemukan bahwa akulah yang ada di belakangnya. Aku pun kaget ketika dia berbalik tiba-tiba, tapi memilih diam menunggu reaksinya.

"Mau lo apa?" tuntutnya. "Lo takut kalo gue kabur pas suatu saat harus nyari gue gara-gara motor sialan lo itu?"

Ternyata dia menyadari bahwa dia sedang diikuti,

"Ya dan tidak," jawabku pendek sambil berbalik. Tak tahu harus menjawab apa.

"Suara bagus, tapi pelit ngomong. Gak guna!" teriaknya sebelum menarik pagar terbuka.

Masih kudengar suara besi beradu dengan keras persis di belakangku. Princess Aluna senior sedang membanting pagar karena kesal dengan ulahku sepertinya.

Dasar anak kecil, aku ke sini untuk memastikan keselamatanmu, gumamku dalam hati sambil menahan debaran yang terasa tak biasa di jantungku.

-oo0oo-

"Ceritakan detailnya!" tuntut Kalila sejak pertama kali aku tiba di rumah om-ku sekaligus mertuanya ini. Padahal aku baru sampai dan belum mengatakan apa-apa sama sekali. Tentu saja dia curiga karena aku datang terlambat hampir dua jam dari jadwal biasanya.

Beralasan kurang tidur karena operasi? Dia pasti akan segera memastikan jadwalku ke Al. Kemudian, jika aku ketahuan berbohong padanya—suatu hal yang mustahil dilakukan sebenarnya, mengingat koneksi telepati kami yang ajaib itu—maka dia memiliki kemampuan untuk mendiamku selama berminggu-minggu.

Kalau kukatakan aku melamun memikirkan seseorang semalaman dan sepanjang hari ini, maka dipastikan kami tak akan menikmati waktu berkumpul bersama. Tapi, berubah menjadi ajang persidangan dan interogasi dengan jaksa penuntut umum bernama Kalila.

Inilah susahnya menghadapi Kalila, tak ada sesuatu pun yang bisa aku rahasiakan darinya. Kalau kata Al, kami itu 'kembar kepisah rahim'. Meskipun jengkel, terpaksa aku harus mengakui bahwa kami adalah pembaca pikiran terbaik satu sama lain.

"Nanti," sahutku sambil melempar jaketku ke sofa. "Mana yang lain?"

"Di belakang, lagi pada masak, sebagian di ruang keluarga," sahutnya langsung berlalu ke dalam. Dia tahu pasti bahwa aku akan bercerita.Tapi, tidak sekarang.

Aku mengekorinya ke belakang, persisnya ke taman samping yang lengkap dengan air terjun artifisial desain Alina, sepupuku yang berprofesi sebagai arsitek.

Hari Minggu kedua dalam setiap bulan adalah waktunya keluarga besar Bachtiar berkumpul. Bahkan, Ayah dan Mami sengaja terbang dari Pontianak untuk datang ke Jakarta.

"Si kembar dan Aluna mana, La?"

"Lagi sama Ayah dan Bunda. Biasalah kalo ke sini mereka pasti dimonopoli," keluhnya sambil celingak-celinguk.

"Biarin aja, La. Itu artinya dikasih kesempatan buat berduaan lagi. Bikin dedek bayi buat si kembar lagi mungkin....," sahut Revan.

"Jangaaaan...," teriak Al. "Bisa tutup praktik gue, Van," celetuk Al yang membuat kami tertawa terbahak-bahak.

Sewaktu hamil si kembar, rasa cemburu Kalila terhadap pasien-pasien Al sangat mengerikan. Setiap kali Al menyuruh pasiennya membuka baju dan menampakkan dada, maka Kalila mulai merepet menyebut si pasien genit dan kegatelan. Akhirnya Al mengalah dengan menutup praktiknya untuk sementara waktu saking risihnya dengan kelakuan Kalila. Segampang itu, tentu saja. Rumah sakit dia yang punya.

"O.... Jadi, lebih sayang praktik nih daripada istrinya," gerutu Kalila tajam. Sewot.

"Eh...," Al melemparkan kipas pada Revan yang masih tertawa. Mengejar istri tercintanya dan memerangkap Kalila dalam pelukan.

"Jangan marah donk, Ay! Kan becanda doang," bujuk Al sambil menciumi pipi Kalila yang berlesung pipi dan agak montok sekarang dibanding saat pertama kali aku mengenalnya.

"Lepasin...ah. Malu kali sama yang lain," sembur Kalila seraya mencoba melepaskan diri yang tentu saja sia-sia. Lengan kekar Al itu mengurungnya dengan ketat.

"Bunda...," teriakan Aluna-lah yang akhirnya mampu membuat Al melepaskan dekapannya seketika.

"Iya, Sayang?" kata Kalila sambil membungkuk. Menyejajarkan badannya dengan Aluna.

"Aluna sayang sama Bunda," katanya setelah mengecup pipi Kalila. "Tapi, Ayah punya Aluna!" sambungnya sambil berlari ke arah Al yang meraupnya ke dalam gendongan.

Aluna memeluk leher Al protektif, memandangi Kalila seolah perebut lelakinya. Cengiran kami otomatis tercipta melihat perilaku Aluna. Walaupun sebenarnya status Aluna adalah putri angkat Al dan Kalila, namun perlakuan kami sekeluarga kepadanya tidak berbeda. Selain Aluna, Al dan Kalila memiliki dua putra kembar berusia tiga tahun yang kami panggil Kaka dan Dede. Sementara Alina dan Revan memiliki Reval dan Gaza. Empat-empatnya lelaki. Jadilah Aluna sebagai Princess kesayangan kami sekeluarga.

Ayahku dan para orangtua lain yang berjalan menuju taman belakang ikut tertawa melihatnya, diikuti Om Riyad—orangtua Al sekaligus mertua Kalila—yang menggendong salah satu si kembar dan Mami yang menggendong yang satunya. Entah yang mana, mereka terlalu identik. Aku pun tak bisa membedakan kalau tidak berinteraksi langsung.

"Agil!" leherku otomatis menoleh karena dipanggil Sang Ratu. Beliau sudah menyerahkan salah satu si kembar pada Tante Lailani, Bundanya Al.

"Yes, Mami?" kataku sambil berjalan ke arahnya. Meraih tangan dan kemudian mengecupnya.

"Apa yang kamu lakukan pada kencan terakhirmu?" tanyanya, straight to the point. Dingin. Nadanya mematikan.

"Ugh...anu Mi, itu...ah," sahutku grogi.

Menghadapi Mami yang sedang bertanduk dan menanyakan soal kencan buta adalah kombinasi yang buruk dalam melewati weekend.

"Gak oke, payah banget, Mi," sahut Kalila sambil menowel-nowel pipi si kembar di gendongan ayah mertuanya.

"Oh...pantes. Jadi, ini konspirasi kalian berdua?" kata Mami balik menatap Kalila. "Dan kamu, La. Kalo kamu terus 'menyelamatkan' Agil dari kencannya seperti ini, maka kamu akan membuat Kakakmu itu jadi perjaka tua," tambah Mami sambil menyeringai ke arah Kalila.

Kalila pun mengkeret, bersembunyi di belakang badan Om Riyad.

"Masa kamu gak ngiri liat Al dan Alina, Gil? Coba liat betapa bahagianya mereka setelah menikah," kata Mami lagi sambil menatapku judes.

"Tapi, Mi..."

"Gak ada tapi-tapian, kalo bulan depan kamu belum bisa ngenalin seorang gadis ke kami, Mami pastikan Om Riyad untuk mendeportasimu dari AlMedika," kata Mami menyebutkan nama rumah sakit milik Om Riyad tempat aku dan Al bekerja saat ini. "Balik aja kamu ke Pontianak, Mami carikan di sana," katanya tegas.

Aku memandang ayahku yang hanya bisa mengangkat kedua tangannya tanda mengibarkan bendera putih. Tak mampu menolongku dari titah Mami. Sementara Al dan Revan sudah tertawa terbahak-bahak.

Shit!    

Note:

Saya lupa seberapa banyak perubahannya. Yang jelas di versi cetaknya nanti pun ada bedanya :) Tapi, nggak juga Agil akhirnya berjodoh dengan salah satu pembaca, hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro