Foto di Dompet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ghe, lo dipanggil Pak Ali Busro ke ruangannya," kata Eka, salah satu adik tingkat di kampus menyapa.

"Sekarang, Ka?"

"Heeh. Dosen tua itu bilang kalo gue ngeliat idung lo aja harus langsung suruh lo ke sana. Apalagi kalo keliatan satu badan," kelakarnya lagi.

"Oke," sahutku sambil berjalan malas-malasan menuju ruangan Pak Ali Busro. Ugh...

Tok...tok...

"Masuk!" terdengar suara berat dan seram dengan logatnya yang khas itu.

"Pak, nyari Ghea?"

"Iyo. Kau duduk situ dulu!" tunjuknya ke arah kursi. Heyaa...kalau bahasanya sudah berubah begini alamat bakal jadi santapan pagi hari nih.

"Ngapo, Pak?" tanyaku langsung. To the point saja kalau menghadapi dia mah. Biar dibaik-baikin pula, tetep aja bakal disemprot.

"Kau kan yang bikinke tugas kuliahnyo si Yunia, adik tingkat kau?"

Aku mengernyit. Dari mana bapak tua ini tahu. "Aku, Pak?"

"Iyo, aku idak biso kau kolai. Tugas dengan kualitas cak itu cuman kau bae yang pacak ngaweke. Dak mungkin Si Nyunyun itu. Jujur bae la atau Si Nyunyun dak ku luluske?"

"Ay...jangan cak itu pulo, Pak. Aku cuma nak bantu dio bae."

"Bantu apodio? Segalonyo kau yang ngaweke! Kalo kau ado waktu untuk ngerjoi gawean kawan kau, lemak la kau ngerjoi karya tulis akher kau dewek bae, Geya!"

"Ay, Bapak ni. Jangan tinggi igo nian nyanjung tu. Tesandung gek aku, Pak!"

"Baah...kau tu mahasiswi diploma, payah berarti otak kau men la tigo taun belum tamat jugo, Geya!"

Aku manggut-manggut sok ngerti,"Memang cak itu nian kalu, Pak. Galak macet," sahutku lagi.

"Geya, cubo jelasi ke Bapak! Makmano ceritanyo pacak belum tamat tu, awak tinggal karya tulis bae? Dak malu apo samo kawan?Adek tingkat kau bae la ado yang wisuda. Makmano, Geya? Maluan aku sekampung samo kau. Jelasi apo aku sama wong tuo kau men ditanyoi?" Pak Ali Busro, dosen pembimbing akademik sekaligus orang satu kampungku sedang menyanyi riang di hadapanku sejak setengah jam yang lalu. Dengan aku yang nyengir kuda di hadapannya tentu saja. Seperti voltase listrik, cengiranku berefek makin meninggikan voltasenya.

"Sumputan bae, Bapak tu. Men ketemu jugo omongke bae takdir. Katek manusia pacak ngindari," sahutku ngawur. Pilihan yang salah. Kayak nekan tuts untuk nada tinggi di piano, nyanyiannya semakin melengking. Entahlah naik berapa oktaf.

"Geya Aluna Gadrie! Oy kau ni! Wong tuo kau omongi cak itu. Apo kato dunio, Pak Ali Busro dak pacak ngajari budak kecik macam kau ni. Awak betino tapi cak lanang nakal. Nak jadi preman apo kau? Haaah...Dua taun kau idak ngapo-ngapoi di sini," katanya masih menyanyi.

"Pak oy Pak, jangan la mara-mara cak itu. Agek tensi Bapak naik, putus kuping aku, Pak!

"Serah kau bae lah, Ge! Cak betah nian kau di Jakarta ni? Idak kangen kau sama Plembang?"

"Kangen lah, Pak! Kangen kemplangnya bae maksudnyo," sahutku sambil mengangkat buku tebal ke atas kepala. Kalo dugaanku benar, maka...

Praaaaak...Pak Ali Busro sudah mendaratkan penggaris kayu keramatnya di atas kepalaku. Mataku mengedip-ngedip jahil, pertanda bahwa aku menang satu kosong lagi hari ini.

Untunglah aku sigap melindungi propertiku yang berharga ini. Dasar dosen tua produk zaman penjajahan, masih saja suka mengemplang kepala murid kayak gini. Tapi kalau di nalar sih, kayaknya gak salah beliau juga. Mungkin perlu hukuman beginian untuk mahasiswi semacam aku.

"Keluar lah bae kau ni, Geya! Pening palaku, gancang mati agek aku."

"Iyo lah, permisi Pak. Jangan lupo minum obat dara tinggi. Gek dak pacak datang pulo aku wisuda oleh la dalam kubur, hahaha."

"Dasar nian kau nih. Bulan depan dak nyerahke proposal, kuaduke ke Bapak kau!'

"Ay...jangan, Pak. Bulan depan ku serahke proposalnyo, Pak. Serah Bapak nak dicoret apo nak digambari gunung duo apo Matahari di tengah," sahutku sambil memeleletkan lidah, berlalu dari ruangannya.

"Geyaaaaaaaaaaaa......," teriaknya murka. Ah...Maafkanlah aku, Pak. Sudah membuat dirimu lelah sekali hari ini tampaknya.

"Ghe, ngapain di dalem tadi? Diceramahin Pak Ali Busro lagi?" tanya Mas Dirga, dosen termuda di kampusku sekaligus rekan kerjaku di radio begitu melihat aku keluar dari ruangan si dosen tua.

"Ah, enggak. Gue cuman bikin dia nyanyi-nyanyi dikit, Mas. Biasalah orang tua, kalo gak monyong-monyongin mulutnya tar kaku lagi. Terus stroke deh. Kan bahaya, Mas." Mas Dirga cuma geleng-geleng kepala mendengar jawabanku,

"Ghe, nanti malam Mas jemput aja yah. Biar kamu gak telat lagi siaran. Pegel kuping Mas denger Cahyo merepet-repet nyindirin soal disiplinnya kamu."

"Hahaha...gak usah lah repot-repot, Mas. Gue berangkat sendiri aja. Kalo pun telat, nanti Mas puterin lagu dulu aja kayak biasa. Hehehe..."

"Dasar," katanya sambil mengucek kepalaku. "Kamu naik taksi aja, ya. Pulangnya kita nongkrong dulu di kafe. Nanti Mas yang traktir. Gimana?"

"Selalu ada kata 'Ya' untuk yang gratisan, Mas! Yeeeaayyy...."

"Okelah.... Sampai jumpa nanti malam ya, ati-ati naik motornya."

-oo0oo-

Show A More FM, 20.05

"Pembodohan publik!"

Mataku mengerjap setelah meneriakkan dua kata tadi dari corong mikrofon siaran radioku. Kebiasaan sih Ghea. Menyiarkan setiap tweet yang masuk tanpa dicerna dulu.

"Oke yang tadi dari @rendirendian. Apa pula maksudnya itu dia ngatain pembodohan publik? Ngatain gue?" kataku terkekeh menyamarkan gemas.

Tak menunggu lama, tweet baru dari @rendirendian masuk lagi.

"@gheagadrie, lo itu pembodohan publik! Jomblo juga sok-sok ngasi tau tips-tips buat meninggalkan kejombloan, masih dari @rendirendian," bacaku lagi.

"Ish...sirik ya lo? Padahal lo juga jomblo kan makanya mantengin acara gue. Dih!" ocehku dari corong mikrofon radio.

Aku menatap kembali ponselku, "Oke...tweet baru dari @aligna_saphira, alaaah...itu orang cuman pengen minta perhatian kak @gheagadrieaja #askgheagadrie!"

"Nah bener! Minta perhatian ya lo, Ren? Sok ngatain gue pembodohan publik. Dih, sekali lagi gue tekankan, gini-gini gue jomblo tapi bermartabat kali. Makanya lo-lo pada meski gue jomblo tetep aja curhatnya ke gue, iya gak?"

Tang...tung...tang...tung, notifikasi twitterku ribut tak keruan.

"Dari @chiara_natasha, Iya ih. Rese tuh si @rendirendian! Ngiri aja kali sama @gheagadrie. Ayo...lejitkan hastag #ayobullyrendi di #askgheagadrie!"

"Hahaha...tengkyuuu Chiara," kataku. "Gak usahlah kita ngebully Si Rendi ini. Dari nama aja udah keliatan noh! Rendirendian? Nama apaan tuh? Kalo gak siluman ya berarti cabe-cabean. Ya gak? Ya gak?" gurauku sambil tertawa.

"Sowwry, Ren. Bukan gue ga hormatin nama yang udah dikasih emak-bapak lo. Tapi, lo duluan sih. Kalo cinta sama Ghea mah ngaku aja." Kali ini aku kembali terkikik, setelah sesaat merasa sedikit kelewatan membalas perlakuan si bocah labil. Sekaligus biar dia ga makin dibully. Belum tau dia fansnya Ghea Gadrie tuh banyak, setia, dan militan. Hahaha...

"Dan untuk mengenang arwah para lelaki yang telah memutuskan untuk melepas masa lajangnya bulan ini, request dari @alana_thaib, satu nomor lagu dari T2 dengan Tak Jodoh! Judul lagu kok gini amat, ngenes!" kataku lagi sambil memberi instruksi pada Mas Dirga, sang operator untuk menaikkan volume.

Aku melepaskan earmuff berbulu warna tosca dari telinga saat Resty, rekan kerjaku di radio masuk ke ruang siaran.

"Telat lagi lo? Potong marebu!" kata Resty.

"Ish...macet, Res! Perhitungan amat!"

Selain sebagai penyiar, Resty juga merangkap sebagai admin payroll di Show A More FM ini. Radio tempat aku mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian.

"Macet Mbahmu! Alesannya itu mulu, ga kreatif! Ikut nongkrong kan ntar pulang?"

"Enggak ah! Gue mau pulang cepet. Mau tidur, mau mimpi indah! Weeek...," kataku sambil menjulurkan lidah.

"Coba aja gak ikut, Mas Dirga bilang lo udah setuju buat ngikut! Gue input absen lo telat lima belas menit biar nyaho," balas Resty lalu berbalik keluar bersamaan Mas Dirga memberi aba-aba untuk siap-siap ngoceh lagi. Sial! Kenapa Resty berubah jadi siluman tukang paksa begini sih?

"Oke, sodara sependeritaan alias pendengar siaran Show A More FM, balik lagi dengan gue, Ghea, yang bakal menemani malam minggu kalian, para jones yang kurang beruntung di malam yang cerah ini," kicauku dalam satu tarikan napas.

"So, langsung saja kita liat siapa lagi yang mention gue kali ini? Siapa yang punya masalah yang menarik untuk kita bina? Alias binasakan?"

Aku pun meraih ponsel yang kuletakkan di meja, membuka aplikasi twitter yang dari tadi berisik tak keruan.

"@Gebby_XtinKak @gheagadrie bisa gak lagunya diskip aja? Dengerin Kakak ngoceh lebih seru! #askgheagadrie."

Aku mesam-mesem. "Hahaha...terima kasih, Neng Gebby."

"Lalu dari @Al_Cardiologist, Hei @gheagadrie, berhubung bini gue tercinta doyan dengerin lo ngoceh jadi tolong sampein ke @Aby_Kalila: Aku padamu, Ay! Bentar lagi aku pulang, gimana kalo kamu nyambut di depan rumah pake lingerie?"

"Hei...yang suami-istri dilarang masuk area ini ya wahai spesialis jantung entah siapa pun engkau! It's jones zone. Dan ngomongin mesra-mesraan di antara para jones itu seperti mengiris pembuluh darah di jantung kami, Dok. Hahaha...becanda kali," gurauku.

"Terakhir ada dari @Nu_13821789 mana si rendirendian tadi kak. Sini maju sama gue kalo berani!! #askgheagadrie."

Aku mengernyit membaca namanya. "Duh Dek, itu nomor togel segala lo pasang. Untung lidah gue ga keserimpet bacanya. Seinget gue, ini masih #askgheagadrie ya, Dek. Bukan #ayobullyrendi. Tapi, makasih lo udah bela gue yang lemah tak berdaya ini di mata haters. Aku Ra Popo kok. Karena buat gue haters itu lovers yang tertunda."

Aku melirik jam dinding di ruang siaran. Sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Saatnya aku mengakhiri siaran curhat tak jelas dengan solusi yang tak kalah ngawur ini. Aku mengucapkan beberapa kata penutup dan mengingatkan mereka untuk jadwal dan tema siaran minggu depan.

Walaupun sebenarnya apa yang aku sampaikan sama sekali bukan solusi, entah kenapa banyak aja remaja ababil galau yang kirim mention buat minta solusi. Meskipun gak masuk akal, kadang masih didengerin juga. Atau bisa jadi, seperti aku, mereka mencari hiburan dari acara konyol semacam ini. Yang lebih mengedepankan komedi dibanding solusi. Hahaha...

-oo0oo-

Suasana kafe hening sekali, sebenarnya aku sama sekali gak suka nongkrong di tempat beginian. Suasana temaram yang buat orang mungkin terasa romantis, buatku malah bikin ngantuk. Belum lagi minumannya yang kadang rasanya aneh, tapi harganya selangit. Mau pesan makanan pun sayang, porsi nasinya gak manusiawi, tapi harganya ngalahin lima porsi nasi Padang. Cemilan sih ada, tapi kebanyakan kue-kue apa itu yang jenisnya gak aku tau. Nyebut namanya susah lagi. Bikin lidah keserimpet kalo mau pesen. Mana kenyang, Men!

"Ghe, malam ini tuh spesial," kata Resty. "Lo sih gak pernah mau ikut malem mingguan di sini."

"Apanya yang spesial?"

"Tar juga lo tau, mudah-mudahan aja dia main malam ini, Ghe."

"Dia siapa? Main apaan? Gundu?"

"Shit. Otak lo ya, Ghe. Mainan di kampung mah tinggalin dulu kalo lo masuk ke sini. Dia yang ngisi live music kalo malem minggu dan...dia itulah yang layak buat 'foto dompet' gue," katanya saat tinggal kami berdua. Mas Dirga sedang permisi ke toilet.

Waktu baru menunjukkan pukul setengah sebelas malam.Waktu yang sebenarnya bagi warga Jakarta adalah waktu dimulainya kehidupan malam mereka, tapi tidak bagiku. Jam segini adalah jamnya larut ke mimpi indah lalu ketemu Aqlin Zeid Ilyasa—pangeranku. Kalau tidak menghargai ajakan Mas Dirga yang udah ngajakin sejak tiga minggu yang lalu dan desakan Resty agar aku lebih membuka diri, mungkin aku akan lebih memilih ngadem di kamar.

"Lo tau dispenser, Ghe?" kata Resty.

"Tau lah, lo kira gue udik banget apa?" gerutuku sambil menjitak Resty.

"Bukan itu, lo tau kan sistemnya dispenser? Panasnya otomatis. Begitu udah mencapai suhu puncaknya, lampunya bakal mati sendiri kan, Ghe?"

"Trus?"

"Begitu agak dingin lagi, lampunya bakal nyala lagi."

"Ya ampun, gituan mah gue juga tau kali. Biar gue bukan mahasiswi teknik kayak lo, tapi soal dispenser gue juga paham kali," sahutku.

"Nah, itu. Lo harusnya kayak dispenser, Ghe!"

"Apaan? Maksud lo, gue panas dingin gitu? Meriang donk!"

"Bukan," sahutnya tak sabar. "Lo harusnya kayak dispenser. Hati lo maksud gue, Ghe. Harusnya kalo lo udah kelewat dingin kayak gini, lo sendiri yang harus setel ke panas, Ghe. Gak bisa orang lain yang nyetelin. Gak bisa lo biarin hati lo dalam posisi cool melulu, Ghe."

Aku terhenyak. Topik yang sama sekali tidak aku sukai. "Hmmm...."

"Gak hmmm..., Ghe! Coba ya kalo lo ada colokannya, udah gue colokin dari kapan kali biar lo panas, paling engga angetan lah. Daripada kayak gini mulu! Udah harusnya lo panas lagi kayak dulu, Ghe! Udah dua taun lo kayak gini. Kalau bukan lo yang nyetel hati lo sendiri jadi panas, gak ada seorang pun yang bisa!"

"Gue juga mau kayak gitu, Res. Tapi...," belum selesai aku bicara, Resty menyambar.

"Tapi...gak ada seorang pun yang lo izinin buat jadi katalisator panas hati lo. Itu masalahnya, Ghe!"

Aku hanya mampu menundukkan kepala di atas meja. Berharap Resty tak lagi membahasnya lebih panjang. Ah Zeid, apa kabar di sana, Bang? Ghea kangen Abang. Banget!

"Melamun, Ghe?" tepuk Mas Dirga di bahuku.

Aku mengerjap kaget.

"Mikirin apa, sih?"

"Mikirin mau ditraktir apa sama Mas Dirga, tapi yang bikin kenyang," sahutku ngeles.

Mas Dirga tersenyum, "Kalo di sini kurang kenyang, nanti Mas traktir di warung seafood depan. Mau?"

"Mau banget. Hidup gratisan!" teriakku yang dicibir Resty. Peduli amat, selama uang saku di kantongku gak terpakai dan aku bisa makan tanpa harus jual diri. Aman. Hahaha...

"Eh, beneran dia. Ghe, coba liat! Seksi kan?" kata Resty tiba-tiba sambil menunjuk ke depan. Tempat band pengisi live music di kafe ini kayaknya.

Aku mengedarkan mataku ke tempat yang ditunjuk Resty. Eh? Lelaki itu? Si lelaki pestisida? Yup, aku yakin gak salah. Rambut kehitaman yang dipotong pendek dan rapi, nyaris licin—lalat bakal tergelincir kalo nekat nemplok di situ. Hidungnya mancung, matanya tajam disertai sorot mata yang susah diterka. Tinggi, tegap, dan tak banyak bicara, kesan pertama ketika aku melihatnya di foodcourt waktu itu.

Dia si lelaki tipe pestisida yang sekali semprot—maksudnya diliatin sama dia aja—maka semua serangga terbang bakal berjatuhan di sisinya. Apalagi semut dan serangga yang berjalan disekitarnya. Pasti bakal membanjiri kakinya. Persis semut yang ketemu gula. Tipe laki-laki yang menjadi magnet bagi wanita. Sayang aja, udah ada yang punya.

"Papa Pestisida," gumamku.

"Hah? Apa, Ghe?"

"Eh, enggak. Kayaknya gue pernah ketemu dia."

"Di mana, Ghe? Kok lo gak cerita?" tuntut Resty. "Dia kan termasuk pria 'foto dompet' kita, Ghe!"

'Foto dompet' adalah istilahku dan Resty untuk cowok yang mukanya layak masuk di dompet kami sebagai suami yang oke buat ditaruh di space foto dengan pose mesra. Entahlah jika di sebelahnya ada foto aku atau Resty yang merusak keindahannya, tetap aja kami gak peduli. Yang penting, dia sebagai suami dan aku sebagai istri. Parah? Emang!

"Di foodcourt Mall Indonesia tempat gue ngeliput si bintang Korea waktu itu. Dia lagi nenangin anaknya yang kelamaan nunggu mamanya gitu deh."

"Hah? Dia udah punya anak, Ghe? Yah...lo yakin?" Dari nada bicaranya, aku sadar balon kebahagiaan Resty bocor seketika.

"Iya lah, kan seperti lo bilang. Dia tipe 'foto dompet' kita. Makanya gue ingat, yang gue cerita nampar cowok Barbie berengsek waktu liputan sama Anye di mall itu lah gue ketemu dia."

"Oh, lo mah cerita bagian nonjoknya doang, Ghe!"

"Yee...ngapain juga gue cerita. Lah, jelas-jelas dia punya anak. Si bocah cewek itu jelas-jelas manggil dia Papa."

"Huh...iya sih. Dia masuk di syarat pertama dan kedua. Tapi, sayangnya enggak di syarat ketiga," kata Resty dengan suara memelas.

"Apaan emang syaratnya?" tanya Mas Dirga ikutan nimbrung.

"Pertama, dia harus seagama," kata Resty mengacungkan jari.

"Kedua, dia harus baik, sopan, ada chemistry, dan tentu saja masuk kriteria foto dompet kami," sambungku.

"Tiga, dia mesti single. Gak terikat ikatan dengan wanita mana pun," lirih Resty. "Dan si lelaki ini gak lulus di syarat ketiga," tambahnya lesu.

"Kalo gitu Mas Dirga masuk gak, Ghe?" todongnya.

"Eumm...hahaha, Mas Dirga sih masuk. Tapi, guenya yang gak tega masukin Mas Dirga di dunia dompet kami," sahutku.

Mas Dirga ketawa pelan dan terdiam saat si lelaki di depan sana mulai memainkan keyboard-nya...Mulai melantunkan nada-nada riang, tapi sekaligus melankolis. Membuat suasana kafe yang tadinya hening menjadi tambah senyap, larut dalam permainan keyboard-nya yang harmonis.

Dentingan nada pembuka lagu yang sedang ngetop akhir-akhir ini mulai mengalun. Tapi, nyatanya bagiku justru menoreh hati.

It's been a long day without you my friend

And I'll tell you all about it when I

We've come a long way from where we began

Oh I'll tell you all about it when I see you again

When I see you again...

(Wiz Khalifa Ft. Charlie- See You Again)

Suara bassnya membius semua pengunjung kafe. Sementara aku lebih sibuk menahan air mataku yang hampir turun. Tetap menahannya karena aku sangat menikmati suaranya, tapi tidak untuk lagunya.

Ketika dia membisikkan lirik terakhirnya dalam lirihan, aku gak sanggup lagi bertahan. "Gue duluan!" Aku menyentak kursi yang kududuki. Membuat Resty dan Mas Dirga yang sedang larut dalam suasana magis lagu itu kaget bukan kepalang. Aku lari keluar dari pintu samping kafe. Berpikir untuk menyetop kendaraan umum yang pertama kali kutemui.

Tapi kakiku berkhianat, gak sanggup melangkah lebih jauh sementara mataku sudah mengembun. Siluet lampu-lampu kota juga terlihat buram. Akhirnya aku hanya bisa terduduk dan bersandar di sini, di samping sebuah motor gede yang parkir di ujung kafe.

Air mata yang sudah menggunung keluar dari seluruh sudut mataku. Aku merogoh dompet dari dalam tasku dan membukanya. Memandangi fotonya yang sampai saat ini setia menghuni space foto di dompetku. Foto tunanganku yang gagah dengan seragam pilotnya. Sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kali melihatnya, dan mata ini masih setia menangisinya. Menangisi Zeid.

"Hei Abang Zeid, udah ketemu Paul Walker kan?" gumamku seorang diri. "Gimana dia? Masih tetap gagah kayak dulu? Tapi, pasti Abang bilang kalo Abang jauh lebih gagah," kataku mengoceh tak keruan.

"Bang, Ghea pengen ketemu Abang lagi malam ini, please! Jangan selingkuh aja di sana. Abang kan tahu, kalo Ghea gak bisa dibohongin kan?"

"By the way, pencarian puing pesawat Abang udah dihentikan lama sekali. Dan Abang mungkin masih setia di kedalaman laut jadi gak pengen ditemuin ya? Bermain sama Putri Duyung, ya? Ah...Ghea cemburu, Bang. Jangan macam-macam!" nada suaraku berubah mengancam.

"Hmm...Ghea percaya, you never let me alone, you never die, Bang. You just fly higher. Kan Abang pilot paling bertanggungjawab yang pernah Ghea temui. Abang pasti udah mengusahakan yang terbaik untuk selamat kan?" desahku lelah.

Aku menarik napas dalam.

"Bang, sekarang Abang pasti sedang tertawa karena bisa duluan ketemu Paul Walker dibanding Ghea. Baiklah, Ghea mengaku kalah," isakku pelan.

Aku kembali menundukkan kepala di antara kedua lututku. Kedinginan.

"Are you oke, Princess Aluna?" kata sebuahsuara yang terdengar familier dari belakangku. Tanpa berbalik pun aku tahusiapa dia. Dia, si pemilik suara yang baru saja menyanyikan sebuah lagu yangmembuatku lari ke tempat ini.


Footnote

Kamu kan yang mengerjakan tugas kuliahnya si Tania, adik tingkatmu itu?

Iya, aku tak bisa kamu bohongi.

Tugas dengan kualitas seperti itu cuma kamu yang bisa mengerjakan.

Lebih baik kamu mengerjakan tugas akhirmu sendiri

Janganlah menyanjungku sedemikian tinggi. Tersandung jadinya aku, Pak!

Memang seperti itu kayaknya. Sering mampet otakku.

Ghea, coba jelaskan ke Bapak. Bagaimana ceritanya belum tamat juga, padahal tinggal karya tulis akhir saja? Tidak mau kah sama kawan? Adik tingkatmu saja ada yang sudah wisuda. Gimana Ghea? Malu aku jadi orang sekampung denganmu. Kalau bertemu orang tuamu apa yang harus kujelaskan?

Sembunyi aja, Pak. Kalau bertemu juga bilang saja ini takdir. Sebagai manusia, kita tidak bisa menghindarinya.

Ah, kamu ini. Orang tua kamu omongi seperti itu. Apa kata dunia jika Pak Ali Busro tidak bisa mengajari anak kecil sepertimu. Perempuan tapi seperti lelaki nakal. Mau jadi preman kamu? Dua tahun gak ngapa-ngapain di sini!

Pak, jangan marah-marah seperti itu. Nanti tensi darah Bapak naik, putus juga kupingku.

Terserah kau saja lah, Ghea. Betah sekalinya sepertinya di Jakarta. Tidak kangen Palembang?

Sejenis kerupuk khas dari daerah Palembang.

Sakit kepalaku. Membuatku cepat mati saja!

Iyalah, Pak. Jangan lupa minum obat darah tingginya. Nanti gak bisa datang pula saat aku wisuda karena sudah di dalam kubur.

Dasar kamu ini. Bulan depan tak menyerahkan proposal, kuadukan ke Bapakmu!

Ah...Jangan, Pak! Bulan depan kuserahkan proposalnya. Terserah Bapak mau dicoret, apa mau digambari gunung dua dengan matahari ditengahnya.


Note:

Saya belum atur footnotenya, hehe. Pokoknya terjemahannya yang di atas itu adalah begini :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro