Binar Mata Kalila

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

RS AlMedika Jaya, 20.30 WIB

"Jadi, mulai puasa dari jam dua belas malam, ya," pintaku kepada seorang gadis. Gadis muda berstatus pasien yang sedari tadi berusaha mengedip-ngedipkan matanya ke arahku. Sudah setengah jam aku di sini menerangkan efek yang mungkin terjadi akibat pembiusan dalam proses operasi yang dia hadapi besok. Apesnya, dia berusaha menahanku dengan menanyakan berbagai hal. Dari yang penting sampai yang tak penting sama sekali!

"Kenapa harus puasa, Mas? Kan aku gak tahan," sahutnya sambil membentur-benturkan telunjuknya satu sama lain. Berharap kelihatan...menarik?

Mas?

"Untuk menghindari terjadinya aspirasi. Makanan yang Anda makan bisa masuk ke saluran napas yang berakibat fatal," sahutku.

"Aku gak pernah tersedak kok, Mas. Aku bisa makan dengan baik kok. Aku juga ngerti tata cara makan yang baik. Mau ngajakin aku makan malam di luar, Mas? Sebelum puasa?" katanya sambil mengerling genit.

"Karena selama masa pembiusan, kerja organ di tubuh Anda turun ke level terendah. Jadi, akan susah untuk mengendalikan jalannya makanan kemana seperti saat Anda sadar," sahutku datar. Mengabaikan kode yang diberikannya.

"Kalo aku gak sadar, nanti bisa dong dikasih napas buatan sama Mas Dokter?"

"Selamat malam, selamat berpuasa dan istirahat yang nyenyak!" jawabku sambil meninggalkan bed pasiennya.

Kupikir satu hari yang berat telah terlewati begitu aku keluar dari ruang rawat inapnya. Namun ternyata, cobaan tak berhenti begitu saja setelah kulirik ponselku yang meraung minta perhatian. Tidak biasanya, wanita ini menelepon pada jam segini.

Queen Of My Heart Calling...

"Hallo, Mi?"

"Hai, anakku yang paling baik, soleh, dan penurut sama Mami ini. Lagi ngapain kamu?"

Aku langsung mengendus ada yang tidak beres dari kata-kata surgawi Mami.

"Kenapa Mi? Agil baru selesai visit pasien malam ini."

"Agilku tersayang, mau kan memenuhi permintaan Mami? Udah baca email yang Mami forward ke kamu, Nak?"

"Belum."

"Baca dan laksanakan!" Dengar...nadanya berubah jadi titah yang tak bisa ditolak.

3 New Email Received

From : [email protected]

To : tresnokarokowe.com

CC : [email protected]

1 attachment

Dear tresnokarokowe.com,

Saya ingin mendaftarkan putra saya untuk mengikuti program di tresnokarokowe.com. CV terlampir.

Warm regards,

Destyana H. Bachtiar

The Raikan's Hotel

Open attachment :

Mataku hampir keluar dari tempatnya ketika attachment terbuka. Foto close up-ku dari segala sisi ditambah deskripsi yang kueja perlahan.

Name : dr. Agil Raikan Bachtiar, Sp.An

Age : 32 tahun

Address : Jakarta, Indonesia

Description : Pria idaman yang mampu membuat wanita tak bisa mengalihkan pandangan, tenang, penyayang, dan luar biasa berbakat dalam bidang musik...

Searching for : Mendambakan seorang istri solehah, pintar masak, keibuan, membuat betah di rumah, dan mampu menghasilkan keturunan...

Aku memejamkan mata dan menghela napas, tak sanggup membacanya sampai selesai. Mengerikan. Curriculum vitae versi paling memalukan yang pernah aku baca. Sayang, penulis dan pengirim CV memalukan ini tak bisa kuperkarakan di meja hukum. Keadaan yang terjadi bisa sebaliknya, aku yang lebih dulu mendekam di penjara daripada Mami, si pengirim CV yang menghancurkan kredibilitasku jika dibaca oleh rekan sejawat lainnya. Sial!

From : tresnokarokowe.com

To : [email protected]

CC : [email protected]

Selamat siang Bapak Agil Raikan Bachtiar,

Kami informasikan untuk jadwal kencan buta Anda adalah :

Hari/ tanggal : Sabtu, 17 Februari 2015

Waktu : 14.00 WIB

Tempat : Magnolia Secret Café, Jl. Sudirman 34 Jakarta, table 4.

Demikian kami informasikan, harap konfirmasi kehadiran anda dengan membalas email ini. Terima kasih telah menggunakan layanan ini. Hope you will find your 'treasure'JJ

Love,

Painem Emily

tresnokarokowe.com

From : [email protected]

To : tresnokarokowe.com

CC : [email protected]

Selamat siang tresnokarokowe.com,

Saya pastikan, Agil Raikan Bachtiar akan berada di tempat satu jam sebelumnya. Terima kasih atas kerjasamanya.

Warm regards,

Destyana H. Bachtiar

The Raikan's Hotel

Andai memajang Mami di sebuah situs jual beli yang sedang marak di dunia maya itu tidak membuatku menyandang gelar sebagai anak durhaka, dengan senang hati akan kulakukan. Jika melelang Mami juga tidak termasuk tindakan kriminal terhadap orang tua, maka aku akan setia mengikuti proses pelelangan dari tawaran terendah sampai mencapai kesepakatan. Andai...

Ini bukan kali pertama Mami melakukan penganiayaan terhadap status lajangku. Learn from experience, belajarlah dari pengalaman. Diam namun siapkan rencana penyelamatan. Puluhan tahun menghadapi Mami, maka yang perlu kulakukan hanyalah menghubungi bala bantuan bernama Kalila Abyrianti, wanita terdekatku selain Mami, yang kini menjadi istri sepupuku.

Magnolia Secret Café, 14.28 WIB

Sengaja datang telat setengah jam dari waktu perjanjian. Bukan karena aku sibuk mempersiapkan diri untuk pertemuan ini, tapi justru karena aku...perlu menyiapkan rencana penyelamatan diri dari segala hal buruk yang mungkin terjadi.

Kuedarkan pandangan ke meja nomor empat seperti yang tertera di email. Meja yang terletak di sudut ruangan, sangat ideal untuk berkenalan dan melakukan sedikit tindakan nakal ala remaja zaman sekarang. Di sana, terlihat siluet seorang wanita yang sedang mengaduk-aduk minuman. Kelihatan bosan dan sepertinya menunggu seseorang. Diakah blind date-ku kali ini?

Aku melangkah mendekati meja tempat pertemuan terkutuk dan menemukan sosok belakang dua orang yang sudah kuhapal mati. Satu wanita dewasa bertubuh mungil dan satu lagi gadis kecil dengan dua kuncir di rambutnya. Mereka berada di meja nomor dua. Wanita itu sedang menunjukkan video di ipad-nya kepada gadis kecilnya. Keduanya duduk membelakangi sang wanita meja nomor empat. Aku tersenyum, setidaknya jika semuanya tidak berjalan seperti seharusnya maka rencana lain bisa dijalankan segera.

"Maaf, saya telat," ucapku kepada si wanita meja nomor empat.

Dia mendongak dan mulutnya membentuk bulatan. Terpana. Terpesona. Selalu begitu. "Gak papa, aku yang datangnya kecepetan kayaknya," serunya heboh. "Gak kena macet kan ?

Di depanku tampak sesosok wanita dengan dandanan kurang bahan, terlalu berpengetahuan tinggi dalam penggunaan warna-warna. Rok mini hitam ketat, dengan atasan kuning cerah, dipadu blazer hijau lemon. Sebenarnya parasnya tidak terlalu bermasalah, hanya saja mungkin terlalu semangat dalam mengoleskan perona pipi sehingga tampak seperti...ondel-ondel.

Aku menggelengkan kepala. Demi kesopanan aku mengulurkan tanganku duluan, "Agil," kataku memperkenalkan diri.

"Debriana Rahayuningtyas Atmodjo. Panggilanku Debby, Ayu, atau mungkin kamu bisa menciptakan panggilan khusus untukku? Sayang atau Honey mungkin?" katanya sedikit kencang dan bersemangat.

Bisa kubayangkan wanita di meja nomor dua saat ini pasti sedang tersenyum dalam diam sambil tetap memegangi ipad-nya.

"Oh, oke."

"Mau pesan atau ngobrol dulu?"

"Up to you," gumamku mulai menunjukkan tanda-tanda tak nyaman.

Debby segera melambaikan tangannya untuk memanggil waiter.

"Boleh aku pesankan?" tanyanya berinisiatif. "Orang kayak kamu pasti suka makanan yang praktis dan tidak mengotori tangan dan bajumu," katanya sok tahu.

Sekarang, wanita di meja nomor dua itu berusaha menyamarkan kikikannya sebagai reaksi dari video yang ikut ditontonnya. Padahal aku tahu persis apa yang sedang dia pikirkan saat ini.

Aku mendengus pelan, bingung dengan jalan pikiran para wanita yang merasa selalu pintar menebak-nebak laki-laki. Kalian ini kaum hawa atau dukun?

"Salad saja dan air mineral dua," katanya.

Salad? Jam dua siang seperti ini yang aku butuhkan adalah nasi yang komplit dengan lauk pauknya. Bahkan, lengkap dengan sambal super pedas untuk menggantikan energiku yang terpakai di ruang operasi sepanjang pagi ini. Argh...Aku menyesal sudah membiarkannya memesankan untukku.

Aku melirik sevenfriday di tanganku. Oke, kuberi waktu setengah jam untuk wanita ini mengocehkan apapun dan setelah itu aku harus segera mencari PKI—pemadam kelaparan instan—terdekat.

Wanita di meja nomor dua kini mengubah kikikannya menjadi tawa kecil-kecil.

"Oke, kamu kerja di mana, Say?"

Say? Sayton? Sayap? Sayur?

Berulangkali kusampaikan kepada Mami bahwa pencarian jodoh melalui cara seperti ini memiliki tingkat keberhasilan yang kecil. Jika tidak bisa dibilang mustahil. Ini salah satunya.

"Rumah sakit," jawabku singkat.

"Oh? Dokter ya? Wow...how lucky I am?" cerocosnya. "Aku kerja di toko furnitur rumah tangga," sambungnya tanpa kutanya. "Umurnya berapa?"

"32 tahun."

"Mantap. Hot-hotnya seorang lelaki. Matang dan menggiurkan," katanya tanpa jeda. Bisa kubayangkan lelehan air tak kasat mata di sudut bibirnya. Terlalu kelihatan bernafsu.

"Penghasilan kamu berapa perbulan?"

WHAT?

Apakah wajar menanyakan hal seperti ini di saat pertemuan pertama. Aku tak habis pikir kenapa hari ini bertemu wanita yang amat sangat tidak sesuai ekspektasi. Oke Nona, waktumu aku pangkas menjadi lima belas menit.

"Cukup untuk makan," jawabku diplomatis.

"Euuuh...masih cukup untuk memberi satu perut lagi makan, kan? Aku gak keberatan kok gak kerja lagi demi kamu, dan siap menunggumu di rumah. Untuk menghangatkan ranjangmu sepulang bekerja," katanya dengan nada menggoda.

Wanita di meja nomor dua saat ini sudah tidak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Dia terbahak-bahak di atas penderitaanku. Enough Nona, waktumu kudiskon sampai habis. Ini detik terakhirmu.

Aku mengetukkan jariku di meja tiga kali. Kode 'Save My Soul' yang pasti dipahami oleh si wanita meja nomor dua.

Tanpa melihat pun aku tahu, saat ini wanita di meja nomor dua pasti sedang mematikan ipad dan memasukkannya ke tas karena terdengar suara gadis kecilnya, "Kok dimatiin, Nda?"

Kemudian dia berbisik pelan, tapi masih bisa kudengar, "Kita harus menyelamatkan Papa, Princess!"

Gadis kecilnya bertanya, "Di mana?"

"Di belakangmu."

Nah, ini dia. It's show time, Baby!!

Kudengar suara kursi yang digeser ke belakang, gadis kecil dari meja nomor dua berlari menghampiri meja kami dan menongolkan wajahnya yang lucu disertai rambutnya yang dikuncir dua.

"Papa Agiiiiil," teriaknya kemudian melesak naik ke pangkuanku. "Aluna kangen Papa Agil. Papa Agil ke mana aja, gak pelnah datang ke yumah lagi?" berondongnya.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Si Bocah bernama Aluna ini, di belakangnya si wanita yang dari tadi tertawa terbahak-bahak sudah mengubah ekspresi wajahnya. Wajahnya kini menampakkan air mata. Air mata buaya.

"Papa, Papa ke mana aja selama ini gak mampir ke rumah? Lihat Aluna kangen banget ama kamu, Pa," tunjuknya kepada gadis kecil yang berada di pangkuanku. "Papa bilang Papa akan mengurus surat-surat pernikahan kita, supaya terdaftar resmi di catatan sipil dan KUA kan? Aluna perlu data itu untuk sekolah, Pa!" katanya dalam suara yang kini naik lima oktaf. Gadis kecil di pangkuanku sekarang terlihat bingung memandang bundanya yang kini berurai air mata.

"Papa Agil, Bunda kenapa?" tanyanya. Aku menutup mulut kecil Aluna, tak membiarkannya merusak panggung sandiwara siang ini.

"Papa malah enak-enakan makan sama wanita lain. Makan daun pula! Mana kenyang, Pa. Emang Papa kambing apa?" cerocosnya yang membuatku hampir tak tahan untuk tertawa.

Debby segera meraih tasnya, menggebrak meja dengan garang, "Saya tak mau berurusan dengan tua-tua keladi yang ternyata menelantarkan istri sirinya seperti Anda. Selamat siang!"

Tiga puluh detik kemudian, begitu siluet Debby keluar dari pintu Magnolia Secret Café kami tertawa terbahak-bahak bersama. Ah...apa yang bisa aku lakukan untuk bertahan hidup tanpa adanya kamu, Kalila?

-oo0oo-

"Buruan...," gerutu Kalila sambil berlari dari parkiran mall besar yang baru kami datangi. Sebagai kompensasi atas 'pertolongannya' siang ini, Kalila memintaku mengantarnya ke mall tempat diadakannya Meet n Greet bintang drama Korea favoritnya yang kebetulan sedang mampir di Indonesia.

"Aku nunggu di foodcourt aja, La. Lapar berat!"

"Oke! Aluna?" tanyanya pada gadis kecil yang dari tadi berada dalam gendonganku.

"Ikut Papa Agil ajah, bial bisa mam esklim," katanya lucu.

"Oke. Jangan banyak-banyak, Gil. Tar Aluna sakit perut."

Aku mengacungkan ibu jari dan telunjuk yang sudah membentuk bulatan. Kalila terlihat setengah berlari menuju tempat berlangsungnya acara, satu lantai di atas foodcourt tempat aku dan Aluna melepas dahaga.

Tak terasa sudah hampir satu setengah jam aku dan Aluna duduk di sini. Tingkah Aluna sudah mulai membuat kepalaku pusing. Dia sudah mulai gelisah dan rewel mencari Kalila.

"Papa Agil, kok Bunda lama?" katanya sambil jungkir balik di kursinya entah untuk ke berapa kalinya. Terlalu lama menunggu.

"Bentar lagi palingan," kataku. Kata 'bentar' yang sudah berpuluh-puluh kali kuucapkan sejak satu jam yang lalu. Berbagai variasi 'bentar', 'bentar lagi', 'tunggu bentar', 'bentaran', dan yang terakhir 'bentar lagi palingan' sudah aku utarakan.

Segera kuketikkan sms ke ponsel Kalila untuk menanyakan perkiraan waktu berakhirnya acara. Jawabannya dua puluh menit lagi. Kata sebentar versi seperti apa lagi yang mesti aku sampaikan pada Aluna?

Aluna mulai meringis-ringis tak keruan, tampaknya dia sudah kelelahan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Aldebaran Bachtiar—sepupuku sekaligus suami dari Kalila—menghadapi kelakuan rewel anak-anaknya, atau Revan—suami dari Alina Bachtiar, sepupuku juga—dalam menangani balita yang berulah macam-macam dan membuat migrain seketika.

Bukannya aku tak suka anak kecil, hanya saja aku belum terlatih untuk menangani balita rewel. Baaaah...harusnya aku belajar cara menggombali wanita dari kedua lelaki itu, setidaknya saat ini aku bisa merayu dan menenangkan Aluna yang berubah menjerit-jerit tak keruan. Sayangnya aku bukan mereka. Entah keberuntungan atau kesialan karena Aluna harus berhadapan denganku, manusia yang kaku dan irit kata-kata.

"Luna, sabar ya, Sayang. Bentar lagi. Tadi Papa Agil udah sms Bunda," kataku berusaha membujuknya.

Butiran air mata sudah mulai tampak di sudut matanya, membulat, siap membesar dan menjadi bencana saat dia membuka mulutnya lebar.

"Aaaaaaa...Huahuahuahua...," jeritnya.

Mati aku!! Aku kebingungan bagaimana cara mendiamkannya, sekaligus menjaga agar seisi pengunjung foodcourt tidak melirik ke arah kami.

"Hei...Gadis manis, gak boleh nangis. Nih, coba liat Kakak punya apa?"

Aku mendongakkan kepala, seorang gadis yang menurutku sangat cantik dengan penampilan ajaib terlihat berdiri di sebelah Aluna. Menyodorkan boneka Barbie.

Wajahnya berbentuk oval, berkulit putih bersih dan kemerah-merahan di area pipi. Merona. Rambut sepunggung bergelombang yang diikat asal dengan karet gelang, tulang pipi tinggi diimbangi dengan hidung yang tidak mancung, tapi juga tak pesek. Seimbang. Bibir bawahnya memiliki belahan yang cukup terlihat ketika dia bicara. Kacamata besar jernih yang membingkai mata bulatnya bahkan tak mampu menyembunyikan kecantikannya. Baju kemejanya yang terlihat kebesaran digulung tak beraturan, celana jeans yang robek di bagian dengkul, serta sepatu kets yang sudah tak jelas warnanya. Tapi justru tak mengurangi daya tariknya. Jenis pakaian yang takkan mungkin masuk untuk dandanan wanita-wanita di keluarga Bachtiar.

"Gadis manis jangan nangis, nih Kakak kasih boneka. Kamu namanya siapa?" tanyanya.

"Plinses Aluna cantik," kata Aluna dalam isakannya yang tertahan. Tangan mungilnya meraih boneka yang disodorkan oleh gadis itu.

"Nah...gitu donk. Coba liat boneka Barbienya aja gak nangis biar cantik. Jadi, Princess Aluna juga gak boleh nangis, kan mau jadi Princess cantik," katanya sambil mengusap rambut Aluna. Berangsur-angsur tangisan Aluna mereda dengan sendirinya. Hebat!

"Aaa...Aluna suka Kakak cantik," kata Aluna sambil memeluk leher si gadis yang sekarang berjongkok menyetarakan tingginya dengan Aluna. "Kakak cantik namanya siapa?"

"Princess Aluna juga," katanya. "Udah ya, jangan nangis lagi. Kesian ama Papanya," katanya sambil menganggukkan kepala ke arahku yang kubalas dengan sopan. Mata kami bertatapan. Aku menelan ludah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan jantungku berdetak lebih kencang, otakku seakan blank dan ujung tanganku mendadak menjadi dingin.

Ia melanjutkan langkahnya ke arah temannya yang sudah duduk di sudut foodcourt. Terpisah satu set meja dengan yang sekarang kami duduki. Ada dorongan aneh untuk menahannya tetap di sini. Siapa namanya? Princess Aluna Senior, eh?

Tiba-tiba pintu foodcourt terbuka, ibu-ibu yang suka lupa diri jika bertemu bintang drama Korea itu akhirnya muncul juga. Huft...

"Maaf, Bunda lama ya Sayang? Maafin ya," katanya memeluk Aluna yang sudah tenang.

"Iya, liat Bunda, Aluna dapet apa?" kata Aluna menunjukkan boneka Barbie.

"Eh, sapa yang ngasi? Bunda juga bawa nih," kata Kalila juga mengangsurkan bonekanya.

Kulihat kotaknya sekilas, merchandise dari acara Meet n Greet ternyata. Pantas saja, rasanya tak mungkin gadis dengan penampilan seperti dia membawa boneka Barbie ke mana-mana.

Aluna sibuk memainkan boneka Barbie yang dibawa Kalila. Sementara Kalila terlihat bermaksud mengembalikan boneka Barbie ke gadis tadi. Ia menuju ke tempat si gadis duduk setelah ditunjuk oleh Aluna siapa si pemberi boneka Barbie.

"Makasih ya, udah nenangin anak saya. Nih bonekanya, sapa tau anak atau adiknya nungguin bonekanya," kata Kalila.

"Eh, enggak kok Mbak. Buat anaknya aja. Lagian saya gak punya anak, hehehe...," sahutnya menolak halus. "Ini juga datang ke sini untuk urusan materi kerjaan, Mbak. Bukan buat ngejar si Barbie," sambungnya tersenyum ramah. Ternyata teman duduknya itu adalah rekan kerjanya.

"Eh jangan, siapa tau berguna buat siapa gitu. Anak saya kan udah dapet juga dari saya tadi," kata Kalila berkeras meletakkan si boneka Barbie di atas meja.

"Oke deh, Mbak," katanya sambil mengacungkan jempol.

Kalila berlalu dan kembali ke meja kami. Memesan menu dan mengajak Aluna bicara yang tak terlalu kudengarkan. Pandanganku terkunci pada satu objek.

Pintu foodcourt terbuka lagi, seorang gadis masuk dan terlihat mengejar seorang lelaki. Berteriak-teriak seperti meminta penjelasan. Apa-apaan gadis zaman sekarang? Adegan yang biasanya hanya ada di sinetron bisa menjelma di kenyataan?

"Kenapa kamu selingkuh, Yo? Jelasin!" teriak si gadis. Tentu saja semua kepala menoleh ke arah mereka sekarang. Termasuk aku yang terpaksa mengalihkan pandangan.

"Berisik! Udah kubilang jangan ngejar-ngejar gue!" teriak si lelaki. "Serah gue kan? Udah gue bilang gue cuman pengen seneng-seneng ama lo!" katanya sambil menyentakkan tangannya yang digenggam si gadis. What the hell?

"Tapi Yo, aku beneran cinta ama kamu," kata si gadis sambil tersedu-sedu. Tak dipedulikannya lagi pandangan seisi foodcourt kepadanya. Astaga, kenapa para gadis bisa terlihat sangat murahan seperti itu? Kalau aku jadi si gadis maka aku akan...

Belum sempat menyelesaikan pikiranku, tiba-tiba Si Princess Aluna senior berdiri, datang menghampiri pasangan yang membuat keributan. Plaaaaaaaak....tangannya mengayun sekuat tenaga ke pipi si lelaki. Seisi foodcourt terbelalak melihatnya.

Si lelaki tersadar, raut wajahnya mengeras. Aku hampir berdiri ingin membentengi. Tak menutup kemungkinan jika Princess Aluna senior ini bakal ditampar balik, setidaknya begitu skenario adegan berikutnya di otakku.

But, wait....

"Nih...," katanya sambil menyodorkan boneka Barbie yang tadi diletakkan Kalila tepat di pipi si lelaki yang barusan ditamparnya. "Lo, cowo culun. Mainin ini aja."

"Apa maksud lo?" si lelaki menggeram.

"Karena lelaki sejati gak mainin perempuan, lelaki sejati gak main Barbie! Pergi lo!" bentaknya sambil menunjuk si lelaki tepat di hidungnya. Astaga! Ke mana kelakuan ala Princess yang tadi ditunjukannya ?

Aku sudah berdiri, siap untuk kemungkinan terburuk jika si lelaki membalas kelakuan Princess Aluna senior ini. Tapi untungnya si lelaki berbalik, meninggalkan foodcourt sekaligus gadis yang kini terisak-isak. Teman Si Princess Aluna senior tadi mendekat, ikut menenangkan si gadis korban selingkuhan. Menyuruhnya duduk dan memberinya minuman.

"Lo kenal sama tu cowok, Ghe?" tanya temannya sambil tetap mengusap-usap punggung si gadis korban selingkuhan.

"Enggak," sahut Princess Aluna senior sambil meniup-niup tangannya. "Gila, pipinya keras banget euy...sakit tangan gue," gerutunya.

Hah?

"Dasar...terus kenapa lo ikut campur? Kalo dia balik lagi dan nyariin lo gimana?" kata si rekan kerja cemas.

"Bodo! Kalo dia berani balik, gue tendang selangkangannya!" sahutnya sambil meraih minuman dan memasang lagi kacamata besar yang sebelumnya dilepaskannya sewaktu menampar si lelaki tukang selingkuh tadi.

Astaga, gadis ini ?

"Gila, dia gadis paling keren yang pernah aku temui," lirih Kalila di depanku. Terpana. Matanya berbinar-binar seperti melihat idola kemudian menatap mataku dan menyampaikan kata-kata dalam pandangan yang sudah pasti dapat kubaca, kemampuan telepati yang tercipta karena seringnya kami menghabiskan waktu bersama.

'I foundher, kalo kamu ngerti maksudku, Gil!'. Aku pun hampir terjungkal dari kursisetelah mengartikan tatapan mata berbinar Kalila. Oh, God!    

Note:

Selamat menikmati :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro