Lepas Kendali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dulu Al pernah bilang, terbangun dari tidur lelap sepanjang malam dan menyadari kalau kamu punya gebetan atau pacar atau kekasih bisa membuatmu senyum-senyum sendiri.

Saat itu, aku hanya mengedikkan bahu ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut dokter jantung yang mesum itu. Masa iya sampai sebegitunya?Tapi ternyata...

Oke, aku akui. Saat ini aku...ah...merasa biasa saja.

Bohong, Gil! Tapi, ditambah senyum-senyum sendiri mungkin. Dikit.

Sedikit? Faktanya, ketika aku menatap cermin, entah siapakah wajah yang tersenyum begitu lebar sampai terlihat—sedikit—konyol. Astaga! Dan itu pastinya menggelikan untuk ukuran diriku yang kata orang, manusia tanpa ekspresi ini.

Selama tiga puluh dua tahun kehidupanku, baru aku mengenal rasa yang sulit untuk didefinisikan. Dulu, aku pernah salah mengartikan, bahwa aku jatuh cinta pada adik angkatku sendiri, Kalila. Dengannya aku merasa terpanggil untuk memperhatikan, berkorban, melindungi, menjaganya, dan lainnya. Tapi, dulu aku tak pernah merasakan sesuatu yang kuat seperti yang aku rasakan kepada Ghea saat dia pergi dinas ke Surabaya bersama Ian waktu itu. Suatu rasa yang begitu mengganggu sampai rasanya ingin meretakkan tengkorak kepala Ian, yang Al namai dengan nama cemburu.

Sekarang, mari kembali ke rutinitas subuh yang mampu membuat jantungku takikardia. Hanya ini yang bisa kulakukan sebab dalam seminggu ini jadwal operasi padat sekali sementara salah satu rekanku sesama dokter anestesi cuti mendadak karena orang tuanya meninggal dunia.

"Hallo?" bisiknya serak. Astaga, cuma suara serak ini saja mampu membuat otakku membayangkan yang tidak-tidak.

"Bangun?"

"Kalau saya ngangkat telepon begini, apa namanya tidur?"

Astaga...walaupun suaranya terdengar menggerutu, tapi di telingaku malah terdengar seperti kata 'habis kamu ngangkat tubuh kamu dari tubuhku tadi malem, aku belum cukup tidur'. Sial!

"Oke."

Klik, kuputus teleponnya. Hanya itu?! Jelas, kalau percakapan dengan suara serak dan seksi itu berlanjut, bisa ditebak kalau aku bakal terbirit-birit ke kamar mandi untuk mengguyur seluruh tubuhku.

-oo0oo-

Siang yang cukup melelahkan, masih ada waktu setengah jam sebelum istirahat siang. Kali ini aku tidak ingin melewatkan makan siangku lagi seperti beberapa hari belakangan ini gara-gara sibuk di ruang operasi. Hm...bagaimana kalo aku menelepon Ghea dan mengajaknya makan siang? Baiklah, saatnya aku menggunakan statusku sebagai kekasih, atau bosnya? Tergantung...

"Hallo, Ghea?"

"Iya, Pak?"

"Kamu lagi ngapain?"

"Apa? Kerja lah! Bapak takut saya nyantai atau keluyuran terus merugikan hotel?"

Kenapa sih galaknya gak ilang-ilang?

"Gak. Aku mau ngajak kamu makan siang," kataku to the point.

"Oh...Saya udah makan, Pak!"

"Kapan?"

"Barusan selesai."

"Bukannya jam istirahat masih setengah jam lagi, Ghea!"

Suaranya berubah kikuk, "Tapi saya lapar! Tadi pagi cuma sempat minum susu segelas."

Aku hampir tertawa mendengar pengakuan dosanya. "Hmm...baiklah, kalo begitu besok kita makan siang bareng!"

"Ogah!"

"Ghea, atau yang tadi aku anggap sebagai pelanggaran terhadap jam kerja?"

"Besok kan minggu, Pak! Udah dua minggu ini saya gak tidur siang yang lama!"

Oh gitu, tapi kupikir kamu harus terbiasa, Ghea. Karena nanti, tiap hari minggu mungkin kamu gak bakal sempat tidur siang. Weekend yang sempurna bersama istri tercinta! Aih...

"Ya sudah, besok aku beli makan di luar dan bawa ke kost kamu. Kita makan siang bareng dan setelahnya kamu bisa melanjutkan tidurmu!"

"Yaaah...jadi pengen pindah kost deh saya!" rutuknya yang malah membuatku makin membekap mulut supaya tidak tertawa.

"Pindahlah, nanti aku carikan dekat hotel!" kataku berlagak bijaksana.

"Mana ada kost-kostan di sekitar hotel, Pak!" Terbayang dahinya yang mengernyit.

"Ada. Kamu kapan mau pindah?"

Ada kok Ghea. Apartemen tepatnya. Apartemen Al yang sekarang kutempati. Masih ada satu unit kosong tepat di samping kiri apartemen ini.

"Ah...saya cuma becanda kali, Pak! Udah ya..."

"Matiin aja dan aku tinggal telepon Pak Derry biar kamu dapat sanksi karena melanggar jam makan dan jam kerja."

"Yah...yah...kok bisa gitu sih, Pak? Emang ada aturannya?"

Bisa saja. Bisa. Peraturan baru yang kuciptakan mendadak gara-gara kamu, Ghea!

"Kamu bisa lihat peraturan The Raikan's Hotel di Pak Derry. Pasal lima ratus tiga belas."

"Li...lima ratus tiga belas?"

"Yep."

"Buseeet...itu peraturan pasalnya udah sebanyak itu," jeritnya ngeri. "Astagaaa...ini hotel apa Kantor Kejaksaan sih, Pak?"

"Hotel. Tapi, peraturannya ketat. Kan seharusnya kamu bisa menyadari dari mana The Raikan's bisa berkembang sebesar ini kalau peraturan yang dibuat asal-asalan?"

"Terus, saya harus gimana, Pak? Ngadep Pak Derry gitu?"

"Gak perlu. Cukup besok makan siang sama-sama dan aku anggap aku gak pernah denger kalo kamu nyuri start jam makan siang."

Ingatkan aku buat nyuruh Pak Derry nyetak buku peraturan karangan abal-abalku.

"Ugh. Oke deh, Pak. Kenapa sih saya selalu dalam posisi sulit sama Bapak?"

"Gak sulit, Ghea. Cukup terima. Oke?"

"Oke...laaaaah...," katanya pasrah, tapi bisa kutangkap nada kurang ikhlas di akhirnya.

Klik. Telepon dimatikan.

Aku menatap layar laptop yang menyala di hadapanku. Entah bisikan dari mana, tiba-tiba aku justru mengarahkan kursor yang berkedip ke halaman pencarian. Tanpa disadari jariku malah mengetikkan tiga nama keramat yang akhir-akhir ini membuatku penasaran. Aqlin Zeid Ilyasa. Enter.

Tulisan paling atas dari Wikipedia. Pesawat dari Maskapai XXX XXXX XXXXX.

Lalu berikutnya berita tentang jatuhnya pesawat komersial dari maskapai itu yang tertanggal dua tahun lalu.

Detik-Detik Terakhir dari Pesawat XXX Dengan Nomor Penerbangan XXX Tujuan Surabaya-Palembang yang Hilang Kontak di Laut Jawa.

Aku membuka laman tersebut dan membacanya. Terungkap bahwa pesawat mengalami masalah dengan salah satu mesin yang diduga menjadi penyebab jatuhnya pesawat.

Jumlah Korban Pesawat XXX yang ditemukan dan Teridentifikasi Terus Bertambah.

Halaman ini dihiasi wajah-wajah keluarga yang lelah menunggu kepastian identifikasi korban. Wajah yang terus berharap bahwa anggota keluarga mereka ditemukan dalam kondisi selamat. Dan yang paling banyak, wajah-wajah yang mengucurkan air mata deras karena korban yang teridentifikasi adalah salah satu orang yang mereka cintai. Hatiku trenyuh, larut dalam kesedihan yang dirasakan para keluarga korban saat itu.

Pencarian puing pesawat XXX resmi dihentikan. Jumlah korban yang ditemukan dan teridentifikasi klik di sini.

Pencarian dan identifikasi korban resmi dihentikan, sampai pencarian terakhir hanya separuh dari keseluruhan jumlah penumpang yang bisa ditemukan dan sebagiannya bahkan belum berhasil diidentifikasi. Sampai terakhir pun sang Pilot, Aqlin Zeid Ilyasa dan Kopilot Abiyaksa Daud Permana termasuk dalam daftar korban yang belum ditemukan.

Mengenal Aqlin Zeid Ilyasa, Pilot Pesawat Naas XXX.

Segera mataku mencermati berita tersebut. Muncullah foto Zeid yang sedang tertawa lebar sambil merentangkan tangannya di depan pesawat dengan nama maskapainya.

Zeid dijabarkan sebagai pribadi yang hangat, humoris, dan cukup low profile. Dia dekat dengan rekan kerjanya yang lain sampai salah satu rekan kerjanya berujar 'jika kau tidak percaya bahwa ada orang dengan hati sebaik malaikat, maka kau belum mengenal Zeid'. Dia juga orang yang taat beragama dan sangat hormat dalam memperlakukan lawan jenisnya. Bahkan, dikatakan pula bahwa Sang Kapten gagah itu akan menikah seminggu sebelum kecelakaan naas itu terjadi dengan gadis yang tidak pernah terungkap identitasnya ke media. Hanya beberapa rekannya menyebutkan bahwa Zeid sangat protektif terhadap calon istrinya yang berinisial G tersebut.

Argh...Aku menghembuskan napas kencang. Seberat inikah sosok sainganku?

Kemudian ada berita yang menyita perhatianku pada akhirnya. Konferensi pers dari pihak keluarga Zeid. Berita yang cukup mengejutkanku, ternyata Zeid adalah putra pertama dari salah satu rekan bisnis Mami, Abdel Fadillah Ilyasa. Di situ dituliskan, keluarga Zeid menyebut calon istrinyalah yang menyebabkan kejadian naas itu terjadi. Calon istri pembawa sial, begitu kata salah seorang dari anggota keluarga Zeid yang tidak mau disebutkan namanya. Media lalu menyulapnya menjadi 'kutukan calon pengantin'. Bullshit!

Aku hampir saja membanting laptopku seandainya tidak menyadari bahwa tindakanku itu tidak bisa mengubah kata apa pun yang telah menyakiti hati Ghea. Gheaku! Pantas saja Ghea benar-benar meradang saat mendengar sumpah serapah si vampir medusa di IGD saat itu.

Si pembawa sial, hah!! Akan kubuktikan Gheaku adalah pembawa kebahagiaan. Tak ada yang boleh melukai hati gadisku. Kalau perlu, aku akan memutuskan hubungan bisnis dengan pemilik Ilyasa Corporation itu!

-oo0oo-

"Ngapain Bapak kemari?" katanya mengernyit begitu aku mengetuk pintu kamar kostnya.

"Menurut kamu ngapain?"

"Nyatronin kost saya?"

"Bisa jadi."

"Lah, terus Bapak tuh mau ngapain di sini coba? Dalam rangka apa?" katanya dengan nada frustrasi dan menggeleng-gelengkan kepala. Astaga, dengan menggeleng-geleng begitu dia malah terlihat lebih...menggairahkan.

"Ini Sabtu malam, Ghea!"

"Terus?"

"Kata Revan, Sabtu malam itu waktunya ngapelin kekasih."

"Yang diapelin siapa?"

"Kamu. Kan pintu kamar kamu yang aku ketuk!" selaku tak sabar.

"Pintu kamar saya?" tunjuknya.

Aku mengangguk tegas.

"Oh, ya udah kalo gitu. Silakan aja Bapak mantengin pintu kamar saya. Saya mau pergi kebetulan," katanya sambil melenggang pergi melewatiku. Kentara sekali mengacuhkan keberadaanku. Astaga, Ghea. Kita ini udah seminggu lho gak ketemu karena padatnya jadwal operasiku!

"Jadi, kamu mau diapelin dimana, Ghea?" tanyaku mencoba mengkredit kesabaran di hati dengan mengekori langkahnya.

Ghea memutar matanya, "Saya dari dulu gak pernah diapelin pacar," sahutnya cuek. "Jadi, saya gak tau!"

"Lah, emang dulu si Zeid gak pernah ngapel?" kataku kelewat bersemangat, hatiku langsung membengkak mendengar kalau Ghea tak pernah bermalam mingguan bersama Zeid.

Ghea mendelik mendengar pertanyaanku, "Kepo!"

"Ghea?"

"Buat kami 'gak ada malam mingguan, malam apa pun sama', Pak. Tau gak lagu dangdut yang begitu?" jawabnya dengan bersenandung.

Aku menggeleng. Oke, aku memang menyukai musik, tapi jelas dangdut belum pernah masuk dalam playlist-ku. Dan apa tadi? Malam apa pun sama? Grrr...

"Ya udah, kalo gitu malam apa pun aku bakal ngapelin kamu ke sini, gimana?" sahutku datar, tapi menyelipkan nada tak ingin dibantah.

"Bapak tuh kurang kerjaan yak?"

"Kamu jelas tahu aku sibuk!"

"Nah, makanya balik aja ke kerjaan Bapak yang sibuk itu. Daaaah..." katanya melambai dan melangkah pergi.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku menyejajari langkahnya.

"Kerja!"

"Kerja apa jam segini? Kamu pikir aku gak tahu jam kerja The Raikan's?"

"Siapa bilang saya mau ke The Raikan's?"

"Terus?"

"Bapak Agil yang terhormat. Saya tuh kerja juga di tempat selain The Raikan's!"

Aku membeku, jangan bilang kalau di tempat yang...

"Di mana?" desakku tak sabar.

"Di mana-mana hati saya senang, Pak!"

"Di mana, Ghea?" ulangku.

"Rahasia!"

"Ghea?" tanyaku sambil mencekal lengannya. Jangan! Tolong jangan bilang kalo kamu kerja di bar, club malam atau sejenisnya. Awas kamu, Ghea!

"Radio Show A More FM!" katanya galak sambil menyentakkan tangan.

"Di mana lokasinya?"

"Deket kafe yang Bapak pernah ngisi live music beberapa malam minggu yang lalu."

"Oh, dekat Kafe La Tansa?"

"Hooh," katanya sambil ngeloyor pergi.

"Ghea!"

"Apalagi sih Pak?"

"Bukannya kalau mau pergi harus pamit dan seizin pacar?"

Dahinya seketika mengerut sempurna, alisnya bahkan menyatu. Galak mode on!

"Yang pacar siapa sih, Pak? Saya gak ngerasa soalnya!"

"Ya sudah, gak usah dirasain. Dicoba dan terima saja."

"Paaaaak!" katanya sambil menepuk dahi.

"Kenapa?"

"Kalo saya telat cuma karena ngejawab pertanyaan Bapak, honor saya bakal dipotong tiap menitnya lima ribu rupiah," semburnya.

"Gak masalah buatku."

"Tapi, masalah buat saya!"

"Emang kamu di sana ngapain? Hitung permenit? Jaga wartel?"

Keliatan banget dari bibirnya yang mencebik itu, terkesan bicara 'zaman di mana semua ponsel bertebaran masih ngomongin wartel. Hello...'.

"Gak. Jaga corong," katanya sambil mengibas tangannya.

"Corong apa?"

"Cuap-cuap, Pak. Siaran. Kalo bapak ga tau apa yang dikerjain orang di stasiun radio."

"Siaran apa?"

"Ish...Siaran harga sembako dunia yang melambung tinggi. Harga kol, cabe keriting, cabe lurus, gula pasir, gula batu, gula semen, beras merah, putih, beras ijo, pelangi-pelangi, minyak goreng, minyak zaitun, minyak Mak Erot," semburnya tanpa bernapas.

Aku sampai gak bernapas dan berkedip menangkap perkataannya. Siaran yang aneh? Sekarang emangnya ada gula semen, beras ijo, pelangi-pelangi ?

"Ya, udah. Aku anterin!"

"Gak mau!"

"Hemat dua puluh ribu daripada naik taksi ke sana!"

"Ojek delapan ribu, Pak. Salip-salip, cepet sampai. Anti macet," katanya sekali lagi membalikkan badan untuk beranjak meninggalkanku.

Grrr...memang menguji kesabaranku gadisku ini!

"Ke sini kan duit sepuluh ribu!"

"Buat apaan?" meskipun bingung Ghea merogoh juga duit sepuluh ribu dari saku belakang jins bolong-bolongnya itu. Ghea dan kostumnya yang membuatku mendesah dalam hati.

Aku meraih tangannya agak sedikit menyentak, "Nih!" kataku sambil menggaplokkan uang dua ribu ke telapak tangannya.

"Apaan?" jeritnya.

"Anggep aja malam ini aku ojek delapan ribu kamu," kataku sambil menariknya ke Ducati 1199 Panigale-R ku. Kasian si Biru, hargamu cuman delapan ribu di mata Ghea, Blue!

Kami meliuk di kegelapan malam kota Jakarta menuju Radio Show A More FM, radio yang cukup besar dan sering kulewati saat ke kafe Faletehan. Satu yang baru kutahu, ternyata radio sebesar itu siarannya tentang harga bahan pangan di pasaran.

Setelah melalui drama bertengkar dan segala penolakan akhirnya dia mau mengenakan jaket kulitku dan duduk manis di belakang boncenganku. Lengkapnya, setelah kuteriaki kalau dia protes maka aku akan membekapnya dan masuk ke hotel terdekat. Baru dia menghentikan protesannya yang diungkapkan dalam berbagai bentuk seperti dorongan ataupun sikutan ke sana kemari yang membuat kami sempat oleng.

Akhirnya, waktu pembalasan tiba, gas sedikit, dan...dadanya yang empuk membentur punggungku. Hmm...coba sudah halal...coba sudah halal...hmm...belok ke hotel....

Sesaat sempat membuatku kehilangan konsentrasi, namun segara kutarik lengannya agar melingkari pinggangku. Lingkaran lengannya di pinggangku yang kemudian menyadarkanku agar menjaganya dengan seluruh jiwa dan ragaku, termasuk menguasai jalanan agar sampai tepat waktu dan selamat.

"Wow! Ghea, bawa Papa Pestisida?" kata salah satu rekannya yang pernah kulihat di kafe waktu itu. Matanya berbinar-binar. Antusias sekali.

"Jangan rusuh deh, Res. Dia bos gue," kata Ghea masuk ke dalam tanpa menghiraukan aku.

"Resty!" kata si rekan Ghea menyodorkan tangan.

"Agil," sahutku menyambut uluran tangannya.

Aku melangkah mengikuti pintu pembatas ruangan tempat Ghea menghilang.

"Maaf, Pak. Pengunjung dilarang masuk, silakan menunggu di ruang tunggu aja," kata seorang lelaki berseragam satpam.

Aku mengerutkan dahi. Terpaksa duduk di kursi yang disediakan di ruang tunggu.

"Di sini aja, Gil. Lagian Ghea bisa ngamuk diikutin gitu," sela Resty ikut duduk di ruang tunggu. Sepertinya menunggu jemputan. Oke...oke, baiklah. Besok pagi akan kupikirkan supaya pemilik radio ini mau menjualnya padaku.

"Teman akrab Ghea?" Gadis itu mengangguk. "Dan...er...Papa pestisida?"

Resty tertawa. Sayangnya tawanya justru terdengar seperti kuntilanak.

"Abaikan...," katanya memasang sepatu flat-nya. Siap pergi dari radio, sepertinya.

"Gak bisa. Saya penasaran soalnya. Dari awal Ghea ngecap saya sebagai Papa Pestisida?"

"Hahaha...," Resty malah ketawa. "Lo gue aja, Gil!" katanya.

"Oke. Gue penasaran, Res."

"Lo disebut ama dia Papa Pestisida, itu istilah kami," jawabnya. "Tipe laki-laki semacem pestisida, yang sekali semprot aja segala macam serangga terbang bakal terkapar di bawah kaki lo. Apalagi yang emang dari awal udah menyemut di kaki lo. Serangga itu cewek ya maksud gue, kecuali lo nerima double gender," sambungnya, lagi-lagi sambil terkikik ala kunti. "Ngerti?"

"Gue anti serangga?" kataku mengerutkan dahi.

"Hahaha...itu artinya lo memesona, Gil. Magnet buat wanita! Ibaratnya wanita itu serangga, lo semprot dikit pada klepek-klepek semua ngemis-ngemis cinta di kaki lo."

"Ouh...," Ghea menganggapku memesona. Walaupun norak, entah kenapa aku merasakan hati yang menggelepar karena gembira yang keterlaluan. "Lalu Papa?"

"Hmm...kata Ghea, dia pernah ketemu lo dan anak lo pas dia ngegampar cowok Barbie siapa gitu."

Aku langsung tersenyum simpul, "Itu ponakan gue."

"Oh, jadi bukan anak lo? Lo belum married gitu? Lo single available kan?" katanya memberondong.

"Married? As soon as possible."

"Hah?"

"Tergantung rekan lo itu kapan mau married-nya," kataku sambil garuk-garuk kepala.

"Lo pacaran gitu sama Ghea?"

Aku mengangguk. Resty malah ternganga seakan gak percaya.

"Yang bener?"

"Setidaknya menurut gue sih gitu!"

"Lah, menurut Ghea?"

"Masih dalam tahap menuju situ."

"Wow! Amazing. Dan Ghea pasrah aja kemari bareng lo?"

"Yah, semacam anak SMA-lah. Pakai tawuran dulu."

"Tapi, dia gak kabur gitu? Gak nyetop taksi atau ojek tiba-tiba?"

Aku menggeleng, bingung sama arah pertanyaannya.

"Lanjutkan, Men! Lanjutkan perjuangan lo ngedapetin gadis dispenser susah move on itu!"

"Menurut lo gue punya kesempatan?" tanyaku tertarik mendengar dukungan Resty.

"Jelas! Sebelumnya, Ghea bakal ngacir begitu ada cowok yang punya perasaan lebih ke dia. Sementara lo, bisa nganter dia ke sini itu berarti something, pencapaian besar tauk."

"Something?!"

"Yep! Taklukan cewek susah move on kayak dia, Gil. Lo harus sabar emang!"

"Yah, gue lakuin yang gue bisa lah," kataku sambil menerawang. Mengingat saingan yang ku-browsing tadi siang.

"Jangan melempem gitu! Ghea tuh emang perlu dijedukin palanya biar sadar kalo Zeid gak bakal balik lagi! Eh, lo tau Zeid kan?" katanya pelan...agak tak enak hati.

Aku mengangguk.

"Dibentur-benturin ke meja?" lanjutku. Masa semudah itu? Tinggal beri sedikit kode ke Alina. Pasti dengan senang hati Alina bakal membenturkan kepala Ghea ke meja. Tapi jangan, kasian! Gitu-gitu gadisku, susah dapetinnya.

"Hahaha. Sayangnya gak semudah itu, Gil. Tapi, pokoknya lo guncanglah perasaan dia! Bikin dia sadar, biar otak gesreknya itu kembali ke jalan yang benar."

"I will try."

"Gue jalan dulu," kata Resty sambil melambai. "Oy, Gil!" katanya. Aku berbalik.

"Yep?"

"Ghea itu sahabat gue. Galak, tapi rapuh. Banget! Berhubung lo udah masuk ke hidupnya, gue gak menolerir kalo lo ninggalin dia dengan cara apa pun. Meskipun suatu saat lo kecelakaan dan nyawa lo hampir di ujung, lo harus tetap kembali buat Ghea!"

Astaga...apa dia pikir nyawa kita sendiri yang ngatur?

Daripada memperpanjang diskusi dan aku udah tak sabar mengetahui apa sebenarnya aktivitas Ghea di depan corong, aku hanya menghela napas dan bilang, "Oke!"

Aku menyandarkan punggung di kursi tunggu ini. Memandangi ruang tunggu kecil dengan satpam yang terkantuk-kantuk duduk di kursinya. Ini satpam kalo kerja di The Raikan's bakal dipecat sebelum dua puluh empat jam.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku. Iseng kuketikkan kata 'bagaimana cara menaklukkan gadis susah move on'. Lebih baik begini daripada minta saran duo mesum yang otaknya sudah dihibahkan ke selangkangan.

Sederetan berita keluar. Beberapa kubaca, dan ternyata isinya standar. Intinya satu kata. Sabar. Ppft...Sabar dari mana?

Kembali aku memandangi si satpam yang kepalanya sudah terantuk-antuk ke meja. SHOW A MORE FM, begitu tulisan besar menempel di dinding di belakang satpam. Kukeluarkan headset bluetooth-ku dan segera menghubungkannya ke ponsel. Oke, mari kita cari siaran radio harga sembako yang saat ini mungkin sedang dibawakan Ghea!

"Cieee...yang samaan online-nya, tapi gak ada yang berani nge-chat duluan...Cieee," terdengar suara Ghea langsung di telingaku begitu perangkat ini mulai mendeteksi frekuensi radio yang aku maksud.

Lah, acara harga sembako dunia?Pake chat dan online segala?

"Kak @gheagadrie dari @evan_sebastian, malam Minggu lalu ke mana hayo?? Kok tumbenan gak siaran? Nge-date yak!"

"Nge-date dari Hongkong! Malam Minggu lalu gue ada dinas ke luar kota, ya. For your information nih buat semua penggemar gue, sekarang gue gak cuma siaran di radio ini aja. Gue udah dapet kerjaan meskipun belum ngerasain gaji pertama."

Aku tersenyum mengingat aku yang sengaja memerintahkan agar gajinya dimasukkan langsung ke rekening barunya tanpa memberitahunya. Gak banyak duit aja gadis ini harga dirinya tinggi. Apalagi tau nominalnya yang sekarang ada di ATM-nya.

"Kak @gheagadrie, dinas apa dinas? Keluar kota bareng kekasih kali? Dari @evan_sebastian tadi lagi!"

"Kepo banget sih lo, Van. Gue bilang dinas kali. Lagian nasib kita kan masih sama. Sama-sama jomblo kali. Kalo udah gak jomblo, ngapain gue malmingan depan corong mikrofon gini nemenin kalian para jomblowers di luar sanah. Yang jomblo mana suaranyaaaaa?"

What? Dia ngaku jomblo? Sialan, Ghea!

"Nah...nah...nah...notifikasi twitter gue jadi bunyi tang tung gak keruan. Hahaha...banyak amat yang jomblo! Dari @evan_sebastian, @MaulanaIrham, @ganeshawidyasari, @alan_budikusuma, eh...ini pemain bulu tangkis bukannya udah merit ama Susi Suzzana? Eh, Susanti deng! Haha..."

"Ampuun ya, mari kita berpelukan. Sesajen... Sesama Jomblo Endonesaaaah..."

Suaranya hilang timbul seiring pikiranku yang melantur ke mana-mana. Jadi, Ghea masih belum ngerasa memiliki kekasih? Lalu aku, kekasih yang tak dianggap, begitu?

"Dari @Jorgen_Morgenstren, Ghea, gimana kalo kita kencan aja? Boleh message nope?"

Astaga? Kalo begini caranya sih aku harus masuk. Harus. Sekali lagi kupandangi satpam masih setengah tidur. Oke, sekarang! Sebelum dia menyadari, aku sudah menyelinap ke pintu pembatas ruangan ini dan berjalan di koridornya. Celingukan mencari posisi keberadaan Ghea sambil tetap mendengar cuapannya di telingaku.

"Hahaha...Oke...oke, gue inbox ya, inbox nomer Painem, yang punya kost gue ajah!"

Akhirnya aku menemukan ruangannya setelah mengintip dari beberapa pintu yang berkaca. Ghea mengepalkan tangan saat aku masuk ke ruangannya tanpa permisi.

"@gheagadrie, dari @EdwardCullen, sama gue aja, Ghe! Gue cowok baik, humoris, taat agama, ganteng gak ketulungan, dan kalo kita ketemu lo pasti klepek-klepek deh!"

"Gubrak...gue demennya ama manusia.. Kalo vampir, apalagi vampir medusa ya mending lewat ajah! Lagian nih kalo lo beneran sesuai sama deskripsi lo tadi dan masih jomblo, berarti patut dipertanyakan keabsahan deskripsi lo tadi... Hahaha."

"Sudah sejak pertama ngikutin acara @askgheagadrie, baru kali ini saya memberanikan diri untuk melamar Neng Ghea yang manis sebagai istri saya. Dari @kurniawan_roby."

"Hahaha...makasih ya, udah ngikutin acara gak jelas ini. Tapi, ini kenapa acaranya jadi pada ngelamar Ghea? Emang pada sanggup apa?"

"Jangankan Bulan, Bintang pun abang raih demi Neng @gheagadrie. Masih dari @kurniawan_roby yang mention gue."

"Gak demen gue Bulan, soalnya datengnya cuma tiap bulan, seminggu abis. Eh, itu datang bulan ya?"

Setiap ocehan yang keluar dari mulut Ghea membangkitkan rasa panas di dalam dada. Sial! Segera aku keluar dari ruang siarannya, menghubungi seseorang yang pasti bisa memberiku solusi.

Anak Ayam Calling...

Angkat Kalila!

"Hallo, Brother?"

"Sibuk?" Terdengar ponsel direbut paksa dan berpindah tangan.

"Iya sibuk! Napa lo?" ternyata si makhluk mesum yang merebut ponselnya. Sial!

"Perasaan gue neleponnya ke ponsel bini lo. Kenapa lo yang nyaut akhirnya," gerutuku.

"Oke, lima menit, Gil! Lebih dari itu awas aja lo ngeganggu ritual gue!"

Ponsel pun berpindah tangan, "Ya, Gil?"

"Ajarin aku caranya mention di twitter!"

"Hah? Apa? Kenapa?"

"Cara mention orang di twitter gimana, Anak Ayam?" ulangku.

"Ya, tinggal ketik aja nama orang yang kamu maksud. Kenapa sih?"

"Ghea lagi siaran. Aku mau mention!"

"Siaran apa?"

"Ajang curhat gak jelas."

"Oh, ya udah kamu mention aja akunnya. Tau kan namanya?"

"Yep. Gheagadrie gitu. Terus baru tulis pesan?"

"Hooh," kata Kalila sambil menahan tawa. Bukannya gaptek, hanya saja aku tak pernah memanfaatkan sosial media yang pernah Kalila buat sebagai akunku. Ponsel pintarku cukup kugunakan untuk mengakses portal berita saja.

"Oke, Thanks!"

"Pake @ Gil. Kalo gak, gak bakalan nyampe. Eh apaan tadi nama akunnya?"

"Gheagadrie. Kenapa?"

"Ghea itu...Ghea yang di Radio Show A More FM bukan?"

"Iya."

"Acara #askgheagadrie kan??" tanya si anak ayam antusias.

"Kok kamu tau?"

"Ya...ampuuun...Itu Ghea kita? Gak nyangka. Itu acara keren banget tauk, Gil! Acara paling seru yang pernah aku tau. Aku juga sering dengerin, tapi gak nyangka itu Ghea kita."

"Seru gimana? Ajang curhat gitu!"

"Yep, cara Ghea membawakan dan kalo istilahnya Ghea itu membinasakan masalah itu-lah yang jadi daya tariknya, Gil. Semua pada curhat ke dia, dan semua bakal nungguin jawaban-jawaban Ghea yang luar binasa itu. Gila, Ghea itu followersnya banyak lho. Fansnya dia di mana-mana!" kata Kalila di ujung telepon dengan nada tambah excited.

Wow, semakin gatal telingaku mendengarnya. Followers? Pengikutnya Ghea?

"Oke, La. Udah dulu yak,"

"Iya, polisi juga udah kode-kode nih dari tadi, Gil. Lewat lima menit katanya!"

Telepon pun ditutup, dan aku kembali melangkah ke ruang siaran Ghea yang kini sedang terkekeh sendirian. Ke mana si operator lagu?

"Tipe lelaki kesukaan gue? Hmm...Lelaki yang gagah perkasa, taat agama, terus hormat sama wanita. Itu penting!" kata Ghea melirikku saat aku kembali duduk di hadapannya, hanya berbatas kaca.

Oh...Oke mari kita mention dia, dan lihat bagaimana reaksinya. Segera kuketikkan pesan di twitterku dan send...

Mata Ghea melotot begitu tahu ada mention dengan namaku masuk. Dia kembali mengepalkan tangan, tanda ingin menonjokku.

"Baca!" perintahku tanpa suara.

"Next ada dari @raikan_agil, Ghea Aluna Gadrie itu calon istri saya. Jadi, gak seorang pun boleh menggoda!" katanya. Nada membacanya sambil menggerutu.

Ayo...kita lihat tanggapannya!

"Lalu ada dari @richardosalampessy, Kak @gheagadrie kok banyak yang ngaku-ngaku pacar Kakak sih? Sama aku aja, jamin deh Kak Ghea pasti bahagia!" lanjutnya.

Apa? Tweetku barusan gak direspon seperti yang lainnya?

"Hm...sama orang yang udah jelas baik banget aja belum tentu gue bahagia. Apalagi ama lo! Paling juga anak SMP kan? Yang kalo putus seminggu juga udah dapet gandengan."

Nah, ternyata memang tweetku saja yang diabaikan! Sialan, Ghea!

"Oke, dari @raikan_agil yang ngeyel, kamu mau aku nikahin di sini juga?" bacanya.

"Sori, ini bos gue yang aneh ya fans Ghea semua. Gak ngerti dia kalo nikah itu perlu penghulu, bukannya radio. Hehehe...."

Astaga, aku dibilangin gak ngerti? Kalo perlu aku bisa datangin penghulu ke sini lho, Ghea!

"Lagi-lagi dari @raikan_agil, harusnya kamu tau kalo aku mampu ngedatangin penghulu sekarang juga!"

"Psst...dah dulu yak, meskipun jam siaran gue masih ada sepuluh menit. Tapi, edisi spesial malam ini gue akhirin dulu karena ada hal-hal yang perlu ditendang ampe ke luar angkasa. Oke, see you next week. Love you, Guys!"

Menghambur-hamburkan love, Ghea? Menyebalkan.

Aku langsung meraih tangannya keluar dari ruangan ini tak sampai tiga detik setelah dia melepaskan earmuff-nya.

"Kita mau ke mana, Pak?"

"Makan."

"Di mana?"

"Ikut aja."

"Bapak kenapa sih?"

"Gak papa."

Kami meluncur ke Kafe La Tansa dekat radio tempat Ghea siaran. Baru beberapa saat lalu dia terprovokasi dengan sikapku, tapi nyatanya... Ghea bahkan sudah melupakan sikap jutekku saat makanan yang kami pesan datang. Aku memilih menghabiskan makanan dalam diam, mengabaikan niatan untuk menceramahinya yang asyik makan sambil memainkan ponselnya. Yang ada aku malah mengikuti jejaknya.

Dan...begitu aplikasi twitter kubuka...ternyata followers Ghea masih banyak yang mention ke akunnya. Dan si Ghea ini, masih sambil makan malah mengetikkan jawaban-jawaban konyol dalam rangka membalas kicauan para follower-nya. Astaga, beginikah rasanya pacaran sama anak muda yang gaul kekinian?

"Kok diam aja?" tanyanya menyadari kebisuan yang terjadi di antara kami. Oh, baru nyadar ya? Keasyikan balasin para fans sih!

"Gak papa!"

"Eh, ini makanan tapi Bapak yang bayarin kan?" tanyanya. Aku langsung mengernyitkan dahi. Astaga, bocah satu ini, orang lagi kesal malah ditanyain soal bayarin makanan.

"Iya," jawabku, masih kesal.

"Aduh...Bapak kan udah baik banget, mau nganterin saya, nungguin saya siaran, terus traktir saya pula. Kan saya jadi gak enak kalo Bapak juga gak enak!"

"Kenapa gak enak?"

"Iya, Bapak diem-dieman gitu. Bapak marah?"

"Tidak...Cinta!" Kulihat Ghea membuka mulutnya dan sempat mangap beberapa saat.

"Lalu, tolong jangan buat saya jadi gak enak gini!" pintanya. "Don't call me, Cinta, oke?"

"Cinta. Kamu mau bikin aku enak?" tantangku.

Dia terpana, "Hah?"

"Abaikan!"

"Gak mau. Kasih tau yang bikin saya enak dong, Pak. Masa diasemin gini!"

"Bilang A'Agil dulu, gak ada Pak Bapak lagi!"

"A'Agil?" katanya sambil mengerucutkan bibirnya. Itu kode minta cium kah?

"Nah, sip. Gak mau dengar lagi kalo manggilnya Pak, Bapak, Saya...saya," tegasku.

Ghea mengangguk,menggeleng, mengangguk lagi... pasrah.

"Yakin mau tau yang bikin enak aku?"

"Hooh...Pak...eh...A'Agil!" katanya sambil tergagap karena pelototan dariku. Heran nih anak senengnya dikerasin dulu, nanti Ghea, belum saatnya dikasi yang keras-keras... Ya Tuhan, Gil!! Fixed, efek mimpi indah yang berkepanjangan ya seperti ini.

"Bener mau tau?"

Ghea mengangguk berulangkali.

"Nanti kamu nyesel kalo tau! Marah...," godaku.

"Gak. Gak bakal!"

"Yang bikin aku enak—ralat, kita sama-sama enak..., gak jadi...," kataku sengaja menggantung kalimat.

"Aaaaaa....A'Agil, bikin penasaran. Nanti aku gak bisa tidur!" gerutunya. Entah kenapa aku mendengar nada manja dalam suaranya.

"Kamu janji gak bakal gampar aku kalo aku jujur?"

"Iyaaaaa."

"Oke, pegang janji kamu ya, Ghea," kataku. Dia mengangguk. Yang bikin kita sama-sama enak itu adalah kita udah halal dan sepulang dari sini kita making love di hotel terdekat yang bisa kita temukan dengan penuh gairah dan perasaan cinta. Sebenarnya ini yang ingin kuucapkan, tapi...

"Aku enak—bukan, kita sama-sama enak—kalo aku gak perlu maksa-maksa kamu buat segala macam kegiatan yang melibatkan kita berdua ke depannya. Dan kamu rela nerima perlakuan aku layaknya sepasang kekasih. Sisanya...akan aku pikirkan lagi enak yang seperti apa lagi yang oke buat kita berdua," kekehku geli. Ngerti gak kode dariku, Ghea?

Ghea melongo mendengar pernyataanku. Mulutnya mangap.

"Jadi, sebelum aku menjelaskan lebih jauh apapun enak yang selanjutnya itu, ayo...aku antar pulang," bisikku pelan sambil berdiri dan mengecup sisi pipinya dengan Ghea yang masih ternganga dengan ajaibnya.

Ghea tersentak, sadar. Pipinya memerah. Matanya melotot ngeri.

"Pak!"

"Gak ada Pak, atau gak aku anter!"

"Saya bisa naik taksi!"

"Silakan, orang dompet kamu sama aku," kataku sambil melambaikan dompet tipis norak bermotif tengkorak yang kutarik dari saku belakangnya saat mengecup pipinya tadi. Aku mengacung-ngacungkan dompetnya sambil berlalu. Melambai pada Faletehan yang balas melambaikan tangan. Baru saja dikasih tahu kalo sebenarnya aku ogah maksa-maksa, tapi gadis ini emang limited edition. Kepala baja beton! Bukan batu lagi.

"Pegangan yang kuat, aku anterin kamu dengan selamat, Cinta!" kataku saat Ghea sudah duduk di belakangku. Kami meluncur kembali ke kost Ghea dalam waktu yang lebih lama dibanding saat berangkat tadi. Gak papa, semakin lama bersamanya akan semakin baik untuk hubungan kami. Itu yang dibilang Mbah Google tadi.

Jika tidak memikirkan pakaian bolong-bolongnya, bisa saja aku membawanya memutari kota Jakarta melalui jalan tikusnya, agar waktu bersama semakin lama.

"Makasih," katanya saat turun dari motorku dan melangkah cuek menuju pintu depan kamar kost-nya yang sudah sepi.

Astaga, gadis ini. Aku sudah tak tahan lagi dengan sikapnya. Segera kusentak tangan kirinya dan itu sukses membuat badannya yang hampir sampai di pintu kost-nya itu berbalik. Sekarang!

Tangan kananku bergerak ke belakang pinggangnya, sementara tangan kiriku menyergap tengkuknya. Kutarik sampai badannya membentur keras dadaku. Kutatap matanya seolah aku meminta izinnya, "Boleh?" tanyaku gugup.

Mata Ghea mengilat bersinar. Apa pun itu artinya, terserah kamulah Ghea!

Tanpa peringatan lagi, kutekan bibirku pada bibirnya yang bergetar. Manis lebih daripada yang aku bayangkan. Bibir kami terus berpagutan satu sama lain. Perlahan, tapi pasti berubah menjadi panas tak terkira. Tanpa kuduga, Ghea menyambut semuanya dengan mengalungkan lengannya ke leherku.

Tanpa berpikir, aku membenturkan punggung Ghea ke dinding dingin persis di sebelah pintu kamarnya. Kakinya pun sudah melingkupi pinggangku dan terasa sangat pas di sana. Tepat saat kami melepaskan diri untuk menarik napas sejenak, kesadaran menghantam kami berdua.

"Bukannya aku gak menikmati," kataku di sela napas kami yang memburu. "Tapi, pengendalian diriku gak sekuat itu," desahku.

Ghea menatapku frustrasi. Matanya melotot, gabungan antara marah dan putus asa.

"Lepaskan semua beban dan halangan yang ada di otakmu, Ghea! Mulai sekarang kita bisa belajar saling menerima?" tanyaku sambil menangkup pipinya.

"Makasih, Cinta," bisikku. "Makasih sudah mau jadi kekasihku."

Akumenunggu tanpa kedip sampai akhirnya bisa menangkap anggukan samar dari Ghea. Ah...darah kemenangan memang mengalir dikeluarga Bachtiar! 


Note:

Segini dulu, saya kudu masak dulu. Besok malam kita vote kover baru yeaaah...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro