Darah Kemenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Delapan jam sebelumnya...

"Neng, Abang kangen!"

Aku menoleh ke suara yang kuhapal mati. Zeid!

Tanpa banyak bicara aku menghambur ke pelukannya. Langsung terisak. Jejeritan sampai dalam taraf nangis yang kata orang nangis bombay. Nyesek banget rasanya.

Apa peduliku jika ternyata ingus dan air mataku ngotorin seragam kebanggaannya. Apa peduliku jika setelah ini aku harus ngelaundry seragamnya di tempat paling mahal. Gak peduli walau biayanya bikin tabunganku tersisa sedikit di atas limitnya.

"A-bang ke-ma-na aja?" tanyaku dalam isakan. Sesenggukan. Terbata.

"Abang gak ke mana-mana. Di sini aja," sahutnya sambil menunjuk dadaku. Kalau lelaki lain yang menunjuk dadaku, jangan harap! Pasti sudah merasakan tonjokan sangarku di wajahnya. Kali ini beda kasus. Beda! Dia tunanganku, calon suamiku tercinta. Kapten Aqlin Zeid Ilyasa.

"Ta-pi, Ghe-a gak bi-sa liat A-bang!"

"Abang emang bukan buat diliat, Ghea! Tapi, cukup dirasain," Zeid mengusap rambutku.

"Tapi, Ghea maunya ngeliat!" kataku ngotot.

"Kan sekarang udah liat," balasnya sambil tersenyum. Menyentuh ujung rambutku yang menjuntai dan menyelipkannya ke belakang telinga.

"Tapi, jarang!"

"Kalo sering nanti kamunya bosan!"

"Engga bakalan!" kataku menaikkan suara beberapa oktaf.

Zeid tertawa, "Kamu gak berubah, Neng! Masih ngegemesin, polos, ngototan, dan galak!"

"Gak papa banyak jeleknya, toh Abang juga mau sama Ghea. Terikat malah!"

"Ya...ya, Abang terikat sampai mati padamu, Ghe! Jangan lupa itu!"

"Lalu?"

"Apanya yang lalu?"

"Ghea maunya Abang brenti aja jadi pilot!"

Zeid mengernyitkan dahi. Kalo orang lain akan terlihat seperti menua karena kernyitannya. Sebaliknya, untukku Zeid selalu keliatan begitu gagah saat dahinya mengernyit dan bibirnya mengerucut gara-gara ucapanku setiap kali adu debat dan konfrontasi soal pekerjaannya.

"Kamu minta Abang brenti jadi pilot itu sama kayak Abang nyuruh kamu gak makan pempek lagi, Ghe!" katanya sambil tetap mengucek rambutku yang sekarang bersandar membelakanginya. "Meskipun mulut Abang ampe berbuih nasihatin kamu kalo cairan yang kamu sebut cuko itu asem dan pedasnya minta ampun, yang kapan aja bisa ngefek ke lambungmu. Emang kamu dengerin Abang?"

"Ghea sekarang udah kerja, Bang!" kataku tanpa menghiraukan argumennya. "Di hotel besar, gajinya gede! Jadi, Abang gak perlu membahayakan diri dengan pekerjaan Abang!"

"Trus kenapa gak sekalian aja kamu bilang kalo kamu yang bakal ngucapin ijab kabul depan penghulu? Dan Abang duduk manis di sampingmu sambil berlelehan air mata?"

Kali ini aku yang berbalik tidak mengerti, "Abang apa-apaan sih! Yah mana sah kalo Ghea yang ngucapinnya!" gerutuku.

"Nah gitu juga Abang, kamu pikir Abang bakal ngebiarin kamu nyari nafkah buat keluarga kita cuma karena alesan pekerjaan Abang berbahaya, Ghea?"

"Itu bukan cuma, Abang! Itu berbahaya, pake banget!" protesku lagi.

"Semua pekerjaan itu berbahaya, Neng! Pekerjaanmu gitu juga. Kalau sewaktu-waktu kamu terkurung dalam lift hotel dan gak ada orang yang bisa kamu kontak terus mati kehabisan oksigen di dalam lift, bukannya sama bahayanya?"

"Ih, Abang! Doain Ghea mati ya?" kataku sinis. Gak papa sih, selama di alam sana bisa nyusul dan ketemu Zeid. Aku sih terima aja.

"Ih Abang...Ih Abang," katanya sambil mencolek hidungku yang pesek jika dibandingkan dia. "Bukan gitu. Abang mana mungkin doain kamu gitu, Neng. Doa Abang malah kamu panjang umur, punya anak cucu yang banyak, suami yang baik yang bahagiain kamu dunia akhirat!"

"Tergantung Abang sih mau punya anak berapa. Ghea kan tinggal hamil aja!"

Zeid tertawa lepas. Tawa yang amat sangat kurindukan.

"Jadi penerbang itu...hidup Abang, Ghe," bisa kurasakan pandangan Zeid yang menerawang saat dia mengucapkannya. "Jauh sebelum Abang ketemu kamu, Abang sudah memutuskan untuk mengabdi di udara," lanjutnya.

"Tapi, Bang..."

"Bahkan Abang menyadari risikonya kalau ada saatnya di mana Abang benar-benar mengudara dan tidak mendarat lagi," kali ini nadanya berubah sendu. "Tapi...ini benar-benar hidup Abang! Pilihan Abang, sama seperti ketika Abang memilihmu."

"Bang..."

"Abang gak pernah nyesal sedikit pun milih kamu, Ghe. Atau kamu yang nyesal karena menerima Abang sebagai salah satu bagian dari kehidupanmu?"

Aku langsung menggeleng kuat-kuat

"Abang memang dilahirkan untuk ini, untuk terbang, dan untuk mencintaimu, Ghea Aluna Gadrie."

"Ghea juga cinta Abang. Di sini. Menancap. Dalam. Sampai sakit rasanya di sini, Bang! Ketika Abang memilih mengudara dan tidak mendarat lagi," sahutku lagi sambil membawa tangannya ke dadaku.

Zeid menghela napas berat, "Yang itu sama sekali bukan pilihan Abang, Neng! Jika Abang punya kesempatan hidup dua kali—bukan—beribu kali lagi, Abang pasti bakal tetap kembali ke kamu, Ghea."

"Tapi, Abang gak kembali?"

"Abang gak punya pilihan untuk kembali, Ghea. Tapi, kamu punya!"

"Punya?"

"Ya. Ada seseorang yang menunggumu di sana, Ghea. Yang sekarang sedang merasa kehilangan separuh nyawanya karena kamu menolak bangun dan menemani Abang di sini!"

"Aku gak peduli!"

"Jangan galak-galak, cepet tua!'

"Abang...," desisku frustrasi.

"Tapi Abang peduli, Ghe! Abang percaya sama yang bakal ngegantiin Abang. Abang ingin kamu bahagia dan mengikhlaskan Abang!"

"Ghea gak mau mengikhlaskan, Abang! Dan gak mau Abang terganti!"

Bisa kurasakan Zeid tersenyum kecil, seperti dulu jika aku ngotot dan ngambek pada pendirianku.

"Dia kuat, Ghe. Kuat untuk menghadapi kegalakanmu," katanya terkekeh. "Dan cukup kuat untuk membiarkanmu menyimpan Abang di salah satu sudut hatimu dan menerima sisanya. Memberimu waktu dan mengajarimu untuk menerima dia di sisi hatimu yang lain tanpa mendesakmu melupakan, apalagi menyingkirkan Abang selamanya. Pada akhirnya, Abang tidak akan terganti, tapi mendampingi kalian sebagai rantai pengikat hubungan kalian yang saling membutuhkan. Saling melengkapi."

Aku terdiam mendengar ucapannya. "Abang rela Ghea sama dia?" tanyaku defensif. Masih tak percaya Zeid merelakanku untuk orang lain.

"Kalau maksud kamu Abang cemburu? Jelas! Abang cemburu sampai rasanya hati Abang mendidih saking panasnya. Tapi Abang juga gak kalah kuat untuk menahannya, karena Abang tahu kamu akan jauh lebih bahagia kalau Abang mengikhlaskan kamu sama dia. Gak seperti keadaan kamu sekarang. Abang pengen setidaknya kamu kembali seperti Ghea yang dulu, saat Abang masih menemani hari-hari kamu!"

Aku kembali terisak, kali ini lebih keras. Seandainya tidak memilih untuk menempel di dada Zeid yang nyaman, mungkin aku bakal berguling-guling di padang rumput ini sampai Zeid mengabulkan keinginanku seperti biasanya.

"Tapi Ghea gak mau, Bang!"

"Dia yang akan bikin kamu mau, Sayang. Cukup kamu kasih waktu dan kesempatan," katanya sambil membalikkan badanku. Kedua pipiku ditangkupnya dengan gemas. Sesekali menowel hidung dan mencubiti pipiku. "Lagian kamu tahu, sejak kamu belum mengikhlaskan Abang, Abang masih di sini-sini aja," sahutnya mengubah nada. Bercanda seperti tak terjadi apa-apa. "Bahkan, ketemu Paul Walker juga kagak! Kamu sih, katanya sayang...masa biarin Abang melayang-layang," gerutunya sambil memencet hidungku.

Aku tertawa pelan dan bindeng, "Sakit, Bang!"

"Ikhlasin Abang ya, Sayang. Biar jalan Abang ke depannya mudah," kali ini pintanya dengan nada sayang. Hatiku terasa hangat sekaligus sakit pada saat bersamaan.

Aku hanya bisa mengangguk pelan, walaupun tubuhku menggigil hebat ketika Zeid mendaratkan ciuman lembutnya di keningku. Rasanya ciumannya bahkan menjalar sampai ke punggung tanganku.

"Cinta..., bangun cinta. Maafkan aku," kata suara lain yang cukup familier di telingaku. "Aku bener-bener gak tau. Maafkan aku!" katanya lagi dalam suara seperti tercekik sambil menggenggam erat tanganku dan menciuminya.

Tepat saat aku membuka mata, aku bingung karena dialah yang menggenggam erat tanganku. Dia, Agil Raikan Bachtiar. Aku langsung berpikir kalo panggilan tadi adalah bagian dari mimpi. Meskipun hatiku berkata, Zeid tak pernah memanggilku Cinta.

-oo0oo-

"Jadi, kenapa cuma kita penumpangnya di sini, Pak?" tanyaku membuka suara. Rasanya gak nyaman diliatin dengan begitu intens, seakan aku bakal pingsan sewaktu-waktu atau melompat dari jendela kereta api yang sedang melaju.

"Bisa nggak kita bicara tanpa kamu manggil aku 'Pak' seperti itu?"

"Nggak," jawabku sambil menggelengkan kepala.

Agil hanya mendengus, "Aku yang minta Hanna buat booking satu gerbong full untuk kita," gumamnya lagi tanpa mengalihkan pandangan.

"Astaga? Dan Bapak membiarkan penumpang lain berdesakan di gerbong belakang itu hanya supaya kita berdua menguasai satu gerbong ini?" tanyaku tak percaya.

"Ini gerbong khusus Ghea, ditautkan ke kereta api utama atas permintaan pelanggan. Jadi gak mengganggu penumpang yang lain," sahutnya dengan nada datar seperti biasanya.

"Tapi, tetap saja...," kataku mencoba berargumen.

"Hanna nyaris keluar bola mata ketika aku memintanya mengurus pemesanan gerbong ini. Jadi bisakah kita..."

"Mubazir! Buang-buang duit!" makiku.

"Dan aku gak tau lagi harus gimana, Ghea," sahutnya gemas. "Ketika kamu ngotot memutuskan untuk tetap pulang ke Jakarta malam ini juga. Ketika semua argumenku untuk istirahat di hotel barang sehari dua hari kamu abaikan gitu aja."

"Maksudnya?"

"Yah...aku hanya mencoba memberikan kenyamanan yang aku bisa, Ghea. Gak mungkin rasanya aku membiarkan kita—terutama kamu yang baru saja pingsan—untuk berdesak-desakkan dengan penumpang lainnya, kan?" tanyanya.

"Tapi nggak perlu selebay ini, Pak! Lagipula kita kan gak naik kelas ekonomi, desak-desakkan dari mananya?" kecamku lagi.

"Di mana bagian lebaynya, Ghea?"

"Gak usah ngerasa bersalah hanya karena saya pingsan. Saya tahu Bapak tidak bermaksud begitu," jawabku tajam.

"Maaf Ghea, aku benar-benar gak tau," katanya lagi. Kali ini dalam nada lirih. Sedih.

"Bapak gak perlu minta maaf," jeritku melihatnya menundukkan kepala di antara kedua kakinya."Bapak gak salah, saya aja yang terlalu baper!"

"Jadi, bisakah kita tidak berdebat soal gerbong eksklusif ini dan kamu tetap beristirahat seperti tadi? Masih tiga jam lagi kita nyampe Jakarta," katanya sambil mengangkat kepala.

Yang benar aja, aku beristirahat dengan nyaman dalam pelukannya. Dalam pelukan Tuan Eskimo yang kutau gak memejamkan matanya sekejap pun. Buktinya setiap kali aku terbangun, dia sudah sigap bertanya apakah aku membutuhkan sesuatu. Bahkan, posisi duduknya yang tidak ergonomis pun tidak berubah sedikit pun. Jika besok atau lusa dia menuntut biaya pijat ataupun fisioterapi tulangnya yang ketekuk, atau syarafnya kejepit maka itu salahku!

"Baiklah," kataku sambil mengangkat ranselku dari kursi di belakangnya.

"Mau ke mana?"

"Bergabung duduk sama penumpang lain seperti kodrat seharusnya jika naik kereta api!"

"Oh, jika kamu ngerasa perlu mengabaikan kerja keras Hanna, silakan," katanya lagi mengangkat bahu. "Paling kamu dikembalikan ke sini lagi. Tiket kamu bukan untuk kelas ekonomi," tambahnya pelan.

Sial, lelaki ini selalu tahu cara memojokkanku agar aku tak mampu menolak permintaannya. Coret, perintahnya.

Aku melempar ranselku dan kembali duduk, bersandar di kursi dan memejamkan mata. Mengistirahatkan kepalaku dari berbagai pikiran yang berkecamuk sejak tadi siang kemunculannya di The Raikan's Surabaya. Ketika kelopak mataku sudah terlalu berat untuk diangkat, kepalaku ditarik dan disandarkan. Meskipun isi kepalaku menyuruh menolak, tapi badanku gak bisa bohong kalo ini membuatku nyaman. Argh...Agil.

Di antara rasa kantukku, lamat-lamat kudengar ia berbisik, "Baper itu apa, Ghea?"

-oo0oo-

Kejutan lagi-lagi menyambutku begitu sampai di stasiun Gambir. Mobil sport-nya sudah terparkir menunggu pemiliknya. Seperti biasa pula, Agil memaksa mengantarku pulang dengan disupiri olehnya. Heran! Cape-cape perjalanan jauh malah tetap ngotot nyetir sendiri. Si supir yang nganterin mobil malah disuruh naik taksi.

"Makasih," ucapku begitu kami sampai di depan kost-ku jam lima pagi.

"Hmm..."

"Bapak gak pernah diajarin untuk bilang sama-sama gitu kalo ada yang bilang makasih?"

"Aku anggap kamu ngerti sahutanku," balasnya.

"Ya sudah, whatever-lah. Tengkyu, Gracias, Danke, blablabla."

Agil hanya mengangguk.

"Ghea...," panggilnya dari balik kemudi begitu aku membuka pintu pagar kost-ku.

Aku berbalik, "Hmm?"

Agil hanya terkekeh, "Aku ngerti sahutanmu," katanya geli. "Istirahatlah, jangan lupa nanti siang aku jemput!"

"Ogah! Saya mau tidur pulas seharian!"

"Terserah sih kalau kamu mau tukang pukulnya dokter Al ngedatengin kamu mulai besok," sahutnya tenang. "Jam satu Ghea!"

Astaga? Bagaimana aku lupa? Bahkan, aku belum mengarang alasan indah di balik kejadian memalukan di IGD yang harus kupertanggungjawabkan!

-oo0oo-

Kami kembali ke rumah besar tempat Agil mengantarkan keponakannya. Dari luar saja sudah kelewatan mewahnya, taman bunganya, kolam ikan disertai air mancurnya, terlihat beberapa mobil menghuni garasi yang entahlah jenisnya apa. Hanya tau kalo kata 'mahal' melekat di setiap unitnya. Begitu melangkah ke dalam aku percaya bahwa ini sebenarnya bukan rumah, tapi istana. Tunggu...

Ini salah! Salah kostum!

Ingin rasanya aku menggeplak dahiku sendiri atau masuk ke tumpukan cucian kotor di samping mesin cuci kalo melihat orang-orang yang berseliweran di depanku.

"Pak," panggilku menarik baju Agil.

Dia menghentikan langkahnya. Berbalik, "Yep?"

"Kok gak bilang sih ini acara formal?"

"Formal apanya, ini acara santai kok!" katanya sambil menunjukkan ekspresi tidak mengerti dari mana aku mengambil kesimpulan tersebut. Dia sendiri walaupun hanya mengenakan celana jeans warna gelap selutut, tapi disertai baju kaos kerah polo. Setidaknya masih termasuk sopan dibandingkan aku. Baju rajutan dekil dan terlihat kebesaran yang kugulung lengannya dengan topi asal comot dari ruang tamu kamar kost. Dilengkapi dengan celana jeans panjang, tapi penuh robekan di lututnya.

"Tapi...tapi...," kataku sambil melihat Kalila yang sedang menggandeng kedua putra kembarnya. "Mbak Kalila bajunya begitu," tunjukku pada Kalila yang mengenakan rok panjang bermotif bunga dan blus tanpa lengan sifon yang berkaret di sekeliling pinggangnya. "Itu...wanita yang di sana pake dress anggun begitu. Terus yang satunya lagi, biar pun pake celana panjang, baju setali yang diikat di belakang lehernya juga keren. Lah...apa kabar jins robek saya ini, Pak?" sahutku ngeri. "Malu!"

Agil tertawa, "Aku juga cuma begini," katanya."It's okay, gaya kamu kan emang begitu."

"Tapi, kan saya jadinya gak pede." Yah situ sih gak papa, kan ini keluarga besar situ.

"Sejak kapan kamu yang galak kayak petasan mercon jadi gak pede?"

"Sejak ngeliat semua pakaian wanita-wanita di sini."

"Udah, gak papa. Ayok!" katanya sambil mendorong badanku ke depan.

Terlambat, aku tak bisa berbalik untuk kabur tepat ketika Kalila melihatku.

"Hai, Ghe!" sapanya sambil melambaikan tangan. "Masuk sini!"

Dengan terpaksa aku melangkah ke dalam, "Mbak Lila," sapaku yang langsung disambutnya dengan pelukan dan cipika-cipiki.

"Akhirnya Agil berhasil juga ya nyeret kamu ke sini," katanya menggandeng tanganku ke belakang lalu kemudian menuju samping rumah, tempat semua orang berkumpul.

"Princess Aluna mana Mbak?" tanyaku karena hanya sepasang anak kembar ini yang dituntunnya tadi.

"Biasa, sama Ayahnya. Kalo ada Ayahnya mah aku gak laku," keluh Kalila.

"Si kembar siapa namanya, Mbak?" tanyaku lagi saat melihat kedua bocah kembar identik itu mengelilingi Agil. Keliatan akrab.

"Kafka sama Defka. Kaka dan Dede panggilannya," jawab Kalila membiarkan aku menowel pipi mereka yang terlihat gemesin. "Ayo kenalan dulu, Ka! De!"

"Capa?" kata salah satunya.

"Tante Ghea."

"Mama Ghea," sahut Agil dari belakang.

Aku mengangkat alis, "Mereka gak bisa ngomong Tante," sambungnya lagi diiringi dengusan Kalila.

"Mama Gila?" tanya yang satunya lagi. Kampret! Agil terkikik.

"Ma-ma Ge-ya," kata Kalila mengeja.

"Oh, Mama Jeyya...," kata keduanya kompak. Tertawa dengan lebar menampakkan deretan giginya yang putih bersih. Terserahlah, asal jangan gila aja!

"Mami belum nyampe, La?"

"Belum, tadi masih on the way dari bandara."

Kalila masih menggandeng tanganku, sementara Agil berjalan di belakangku sambil digelayuti dua anak kembar identik yang bertanya macam-macam dengan suara cadelnya. Interaksi mereka terdengar lucu. Agil yang biasanya pendiam jadi banyak bicara menanggapi pertanyaan aneh dari keponakannya. Pantesan dipanggil Papa.

"Semua...kenalin nih, Ghea!" kata Kalila yang membuat semua orang di teras samping ini menoleh padaku. Terasnya aja megah luar biasa. Kolam renang besar terhampar setelahnya. Di sudut kanan, tepat di bawah air terjun buatan yang bagusnya kebangetan itulah semua orang yang tadi menoleh ke arahku berkumpul.

Astaga? Ini mah namanya nyeburin diri ke lubang buaya, di antara para wanita fashionista dan lelaki yang yang pasti masuk dalam kategori foto dompetku!

"Hai Ghea," kata salah satunya menyalamiku. Si gadis yang memakai baju setali dan celana panjang yang tampak sopan. "Aku Aliefiya, adik iparnya Teh Lila," katanya riang.

"Ghea," gumamku. Nah berarti ini adiknya dokter Al yang akan segera menyidang kesalahanku.

Tiba-tiba sosok wanita yang cantiknya luar biasa ikut mendekat. Wanita yang mengenakan dress anggun selutut tadi. Bahkan, rambutnya pun terlihat tertata rapi meski cuma diikat buntut kuda. Vania pun lewat kalau disandingkan dengannya. Entah kenapa aku menangkap sorot mata yang usil tingkat dewa disertai gelengan kepala tidak terima, "Jadi, ini anggota baru kita?" tanyanya.

Aku menggeleng, lalu mengangguk. Bingung.

"Alina," katanya sambil tersenyum menyodorkan tangannya. Terkesan ramah, tapi...iseng.

"Ghea," balasku.

"Makasih udah bikin sepupu gue keliatan normal," bisiknya agak keras. Tak lupa mengerling usil ke Agil. "Lo keberatan gak kalo gue make over dikit?" tanyanya langsung.

Aku bengong.

"Alina!"

"Udahlah, Gil! Nikmati aja hasilnya," katanya sambil menyeret tanganku ke dalam rumah menuju tangga.

"Kita ke mana?" tanyaku.

"Make over kamu dikit," sahutnya sambil menarikku naik. "Gak keberatan kan?"

Aku hanya mengangguk bingung.

Dia menyeretku menaiki tangga istana ini. Aku ngos-ngosan mengekorinya yang setengah berlari menuju kamar paling ujung di tingkat tiga. Kalo disuruh naik satu tingkat lagi aku bisa terserang penyakit asma dadakan.

Begitu memasuki kamar yang terbuka, aku terpana. Kamar ini bahkan lebih luas daripada kamar kost-ku digabung tiga.

"Untung badan kita mirip," katanya lagi. Benar-benar terdengar riang.

"Mbak Alina?"

"Panggil Teh Alin aja, ntar juga lo bakal terbiasa," katanya mendudukanku di kursi meja rias yang di atasnya penuh dengan berbagai macam botol dalam berbagai bentuk. Silinder, bulat, kotak, dan bentuk yang susah kusebut apa. Alat kosmetik dalam satu merk yang aku tahu harganya selangit sampai sisir yang berbeda-beda kerapatan dan bentuknya yang aku gak ngerti buat apa. Sementara aku sedang terbengong dan takjub, dia sedang mengobrak-abrik walk in closet yang memanjang dari ujung ke ujung. Menatapku lagi kemudian tangannya memilah-milah lagi di antara pakaian yang tergantung rapi.

"Bukannya gue gak suka ngeliat baju lo," katanya sambil menyodorkan baju biru semi jeans dengan karet di bagian lehernya lalu mendorong badanku ke kamar mandi. "Cuma gue udah kehilangan objek perdendongan semenjak Kalila udah canggih dandannya," katanya ketawa. "Anak gue dua-duanya cowok. Bisa ilang bakat gue.

"Ini agak...terbuka," kataku begitu keluar dari kamar mandi. Bagian berkaret yang kupikir leher tadi ternyata cukup luas untuk sampai turun dari bahuku. Dia mendudukkanku di kursi depan meja rias.

"Gak. Itu udah pas buat lo yang agak tomboi," jawabnya sibuk menata rambutku. Berbagai krim yang entah kapan dioleskannya, lipstick yang terlihat keren padahal ringan di bibir sampai tak berasa, serta tatanan rambutku yang berbeda dari biasanya justru membuatku terlihat berbeda. Aku sampai mengerjap beberapa kali, tak percaya siapa makhluk cantik yang balik memandang dari kaca.

"See...bagus kan?"

"Siapa dia Teh Alin?" kataku menunjuk kaca.

Dia merangkul bahuku, "Ayo kita turun dan buat sepupu gue yang sok dingin itu klepek-klepek gak keruan!"

"Ini kamar Aliefiya," tunjuknya ke pintu di sebelah kamar yang tadi kami masuki. "Lalu ini kamar Al, kakaknya Alief," katanya lagi saat kami melewati pintu berikutnya. "Nah, yang ini kamar Agil, mau liat?"

Sebelum aku bersuara, Alina sudah membuka pintunya. Aku melongokkan kepala. Kamarnya jauh lebih kecil dibandingkan kamar Alina. Hanya sebuah tempat tidur ukuran kecil dengan seprai abu-abu, rak buku, dan sebuah keyboard besar di ujungnya. Tidak ada pajangan atau foto apa pun di dindingnya.

"Sebenarnya ini rumah orang tuanya Al, tapi kita semua punya kamar di sini. Buat nginap sewaktu-waktu," kata Alina seraya kami menuruni tangga.

"Wow...," sahut seorang lelaki berkacamata yang kesannya jenius, tapi tetap saja ganteng gila. "Pantesan Agil kayak cacing kepanasan pas ditinggal ke Surabaya," lanjutnya. Hah?

"Revan," kata Teh Alina menunjuk si lelaki berkacamata. "Laki gue!"

Si lelaki berkacamata tadi menyodorkan tangannya. "Gue Revan," sapanya. "Gil...woy Gil, jangan ngelamun aja!" tepuknya di bahu Agil yang dari tadi diam. Memandangiku gak berkedip.

"Napa lo? Nelen ludah doang bisanya? Kesian amat," kata seorang lelaki yang sudah kutahu siapa. Si pemilik rumah sakit jelmaan Hercules tampan, Aldebaran Bachtiar.

Aku menelan ludah. Bentar lagi sidang kehebohan IGD dengan pelaku bernama Ghea akan dimulai. Eh...dia malah merangkul bahuku dan menyeretku ke depan. Kami duduk berdampingan di sofa. Hakimnya macem begini, kepalaku blank seketika.

"Jadi, nama lo Ghea?" tanyanya. Salah tingkah karena sidang atau hakimnya sih Ghea?

Aku cuma bisa mengangguk kaku, "Emh...anu...itu...eh...dokter Al," kataku gugup. "Soal kejadian di IGD waktu itu...," Al mengernyitkan dahi. "Saya sih mau aja tanggung jawab, ta...tapi...gak sepenuhnya salah saya juga kan. Si vampir medusa itu yang mancing duluan!"

"Panggil Al aja, di rumah ini seluruh atribut panggilan kaku begitu dilarang! Tidak ada saya dan Anda di rumah ini. Pilih lo gue atau aku kamu!" katanya sambil mengacungkan telunjuk dan tertawa.

"Mas Al?"

"Gak, tar lo panjangin lagi jadi Mas Al. Mas Al lah buat lo. Udah pengalaman gue soalnya. Dulu bini gue pertama ketemu manggilnya gitu."

Mau gak mau aku tersenyum.

"Kak Al?"

"Gak! Emang gue pramuniaga di mall? Sendalnya boleh kakak? Bajunya kakak? Gak!" Kali ini aku mulai tertawa ngakak. "Gimana kalo A'al?" sambungnya.

"Gak. Gak ada panggilan gitu," potong Agil yang bersandar di dinding. Bibirnya mencebik mengawasi kami yang duduk berdampingan seperti guru memergoki muridnya pacaran.

"Lah...kenapa?" tanya Al.

"Itu panggilan Kalila buat lo. Jangan macam-macam, Al!"

Al malah tertawa terbahak-bahak.

"Ya sudah...ngomong-ngomong soal IGD tadi apa?" tanyanya balik. Heh?

"Kata Pak Agil...itu...," Al menggeleng.

"A'Agil, Ghea! Gak ada Pak Agil di sini. Right?"

"Hah?"

"A'Agil!"

"A...Agil bilang," Al langsung mengacungkan jempol. Tangan kekarnya tetap merangkul bahuku akrab. "Aku harus tanggung jawab soal kejadian di IGD itu dengan ngejelasin langsung sama Mas Al," cicitku pelan.

"Lalu?"

"Aku harus ikut ke sini untuk menerangkan kenapa sampai kejadian waktu itu. Itu, si vampir medusa ngatain aku...."

"Stop! Udah, gak usah dibahas," sambarnya. Membuatku melongo. "Lo masi percaya itu alesan lo diajakin ke sini?"

Aku mengangguk perlahan.

"Berapa sih umur lo?" tanyanya lagi. Bikin aku kaget akan pertanyaan yang gak terduga.

"Dua dua."

"Waaaaah...Agil gila...pedofil," teriaknya kencang. "Vaaaaaaan....Agil...Van!"

Yang diteriakin namanya nongol lengkap dengan cengengesannya.

"Bisa gak sih lo gak teriak norak gitu," desis Agil jutek. Kemudian menyentil lengan Al yang merangkul bahuku. "Turunin tuh tangan!"

Sementara, Al yang tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata menunjuk-nunjuk hidungku, "Van...lo percaya gak? Ghea baru dua dua!"

"Hah? Kampret bener Om yang satu ini!" kata Revan sambil menoyor bahu Agil. "Doyannya ama daun muda," sambung Revan lagi yang bikin Al makin terpingkal-pingkal.

"Anak ayam...," kata Agil. Entah apa atau siapa yang disebutnya anak ayam. Yang jelas, setelahnya kulihat Agil dan Kalila yang datang tiba-tiba saling memandang dalam diam.

"Ayah...usil banget sih!" gerutu Kalila mendekati suaminya dan menjewernya di telinga. Menyeret Al yang jauh lebih tinggi itu sampai harus berjalan miring. "Ayo A' Revan ke belakang juga!"

"Kamu ngapain sih mau-mau aja diseret Al ke depan?" kata Agil terdengar...aneh.

"Loh, kan saya pikir mau disidang," jawabku. Mukanya kembali datar mendengar jawabanku. Entah apa yang dipikirkannya aku tak begitu mengerti.

-oo0oo-

Semua hidangan di rumah ini berpotensi menghilangkan kewarasanku seketika. Aku menyikat makanan yang tersaji bahkan mengesampingkan rasa malu dengan menambah dua kali. Mumpung gratis! Ogah rugi ah!

"Loh, ada Ghea?" kata Bu Desty yang baru nyampe. Cipika-cipiki dengan yang lainnya.

"Eh, iya Bu."

"Gak jadi dideportasi ke Pontianak kan, Tante?" seru Al yang sedang menepuk-nepuk pelan kepala Princess Aluna yang terlihat mengantuk.

"Ayah..., awas Teteh bangun," kata Kalila memperingatkan Al yang badannya berguncang karena tertawa.

"Uhuk...Gak jadi pulang kampung deh dan dicariin warga asli sono...Uhuk," tambah Revan yang gak kumengerti.

"Kamu bareng Agil tadi?" tanya Bu Desty lagi.

"Iya, Bu," sahutku gugup.

"Udah pantes ngamar kan, Des?" kata Tante Lailani.

"Dari dulu juga udah pantes kan sebenarnya," balas Bu Desty.

"Agil sih gak usah diragukan," kata seorang lelaki lagi menyodorkan tangan kepadaku. "Riyad Bachtiar."

"Mami!"

"Apaan sih kamu, Gil? Gak bilang-bilang ama Mami!"

"Nanti!"

"Udah, Mi. Jangan digodain mulu. Tar malah gak dateng lagi bulan depan," kata seorang lelaki separuh baya yang datang bareng Bu Destyana. "Rehan Bachtiar, Ayahnya Agil."

Ngeek...Bapaknya Agil cakep banget. Udah tua, tapi malah makin menarik. Hush...Ghea!

-oo0oo-

Bocah-bocah hiperaktif tadi sekarang sudah damai menonton televisi maha besar bersama opa omanya, sedangkan Aliefiya berangkat menonton konser musik. Yang membuat aku kaget, Aliefiya dijemput Ian yang tertawa mengejek ke arah Agil.

Tersisalah kami berlima di ruang keluarga, berenam setelah Alina datang kembali dengan botol di tangannya.

"Let's play the game," serunya riang.

"Ogah gue main monopoli," sahut Al. "Bakal lama!"

"Siapa yang mau main monopoli," cibir Alina menunjukkan botol kaca di tangannya.

"Truth or Dare!" tembakku.

Alina menggeleng, "Udah gak zaman main itu, kita main...," kata Alina menggantung suara. "The deepest secret...," sambungnya dramatis. "Berlaku untuk pasangan!"

Diiringi makian Agil, "No!"

"Yes," sahut Al. "Kalila juga yes kan, Ay?" tanya Al menahan kepala Kalila yang menggeleng dengan tangan besarnya.

"Yes," kata Revan.

Semua menatap ke arahku, "Yes," sahutku akhirnya walaupun aku belum terlalu mengerti.

"Agil, you lose!" kata Alina tertawa. Baru kusadari ada nada usil dalam suaranya. "Gue ama Revan, Al dan Lila, dan lo Gil, ama Ghea!" katanya menunjuk kami.

Alina memutar botol. Hasil putaran pertama, kepala botol menghadap ke arah Al.

"Kapan Kalila terlihat paling cantik? Dan Al paling ganteng?" tanya Alina.

Oh, cuma begini toh pertanyaannya ? Gampil ini mah.

Kalila menjawab, "Al paling ganteng?" Kalila tampak berpikir. "Pas dia ngegendong anak-anak di kiri dan kanan lengannya yang kokoh dan seksi," sambungnya. Mengucapkan kata terakhir dalam desahan manja. Wow!

"Al?"

"Kalila terlihat paling cantik? Ya jelas...."

"Jelas apa?"

"Jelas, pas dia lagi orgasme neriakin nama gue," sahut Al yang disambut dengan cubitan keras Kalila yang merona. "Aw, sakit Ay!" Bahkan aku ikut malu mendengar jawaban Al.

"Kamu melibatkan diri dalam permainan kotor ini," bisik Agil di telingaku.

Al meraih botol, memutarnya dengan kuat. Botol berputar kencang dan kepala botolnya berhenti di aku. Waduh!

"Cinta pertama?" kata Al menaik-turunkan alisnya. Lengkap dengan senyum seolah memenangkan permainan.

"Aqlin Zeid Ilyasa," sahutku tenang. Agil menelan ludah sejenak. Diam.

"Gil?" panggil Alina. Dengan nada setannya.

"Princess Aluna," kata Agil akhirnya. Revan tertawa.

Oh, pantes aja Agil diolokin pedofil. Cinta pertamanya sama anaknya Al dan Kalila toh?

Al mendengus tak puas. Tampak tak terima anaknya ditaksir omnya sendiri.

Aku meraih botol dan memutar kepalanya. Tep...terhenti menghadap Kalila.

"Ciuman pertama?" tiba-tiba Agil yang mengambil alih pertanyaan. Aku yang muter, dia yang nyamber nanya! Dasar Agil!

"Mas Al?" tanyaku.

"Seorang gadis entah siapa namanya aku lupa. Waktu SMP," kata Al pelan. Kulihat Kalila melotot ke arahnya. Manyun.

"Anak ayam?" tanya Agil. Suaranya licik mengancam. Oh, jadi yang dimaksud anak ayam ternyata Kalila?

"Agil," sahut Kalila pelan sekali. Hah?Agil? Agil yang ini?

Al menggebrak meja, mengepalkan tangannya ke arah Agil.

"Sudah...sudah, lupakan. Itu masa lalu," kata Agil santai. Menahan tawa seperti bisa membalas telak kelakuan Al.

Dengan tak sabar Al meraih botol dan memutarnya. Kepala botol mengarah ke Revan. Aku mendesah lega.

Benar kata Agil. Permainan ini kotor, mampu bikin keluarga ini baku hantam seketika.

"Kapan pertama kali making love?" kata Al, nadanya sudah terdengar enteng.

"Kampret! Gak ada pertanyaan lain, Al?" umpat Alina.

Al menggeleng. Tersenyum puas.

"Wisuda dokter muda. Dengan Alina," sahut Revan santai.

Ruangan langsung riuh. Berbagai macam makian Agil dan Al mengudara. Aku ternganga, permainan ini...mematikan ternyata.

"Seperti kata Agil, itu masa lalu. Gak sama cewek lain juga, Nda," kibas Revan.

Permainan diakhiri dengan Alina yang menutup muka dan lari ke tangga.

"Siapa yang memulai permainan, dia yang menuai malunya," kata Agil santai. "Pulang?"

Aku mengangguk.

"Nte Alin, Nda...Papa Agil mau pulang," kata salah satu si kembar yang menghampiri kami yang bersiap pamitan.

"Tuh...bisa ngomong Tante Alin?" tanyaku.

"Nama Alina gampang. Gak kayak nama kamu!"

"Kan yang saya bahas kata 'tante'nya, Pak," gerutuku yang diacuhkan Agil dengan mendatangi maminya.

-oo0oo-

"Keluarga Bapak lucu," kataku membuka suara. Daripada suasana mobil ini kayak kuburan.

"Rasanya kamu tadi diajari Al untuk tidak memanggilku Bapak!"

"Yeah, tapi itu kan di rumah tadi. Sekarang kan...,"

"Sekarang harus sama!"Aku gondok mendengar suaranya.

"A'Agil?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Karena kamu kekasihku!"

Aku meradang, seenaknya saja. "Kata siapa? Gak mau!"

"Kemaren kan udah salim dan nyium tangan, berarti sah kalo kamu mau aja."

"Kata siapa? Itu cuma karena saya ngehargain Bapak yang lebih tua aja," balasku.

Agil melirikku dengan pandangan tak percaya, "Menurutku gak begitu."

"Tapi, menurut saya..."

"Aku gak minta pendapatmu."

"Loh? Gimana sih?"

"Gak gimana-gimana. Begitu adanya."

"Gak bisa, Bapak main paksa gitu aja."

"Kenapa gak bisa?"

"Ini soal hati, bukan soal pekerjaan. Kalo soal pekerjaan, silakan aja Bapak perintah-perintah saya."

"Anggap aja ini salah satu pekerjaan kamu!" sahutnya. Gila.

"Maksud Bapak apa sih?"

"Yah...kalau memang jadi kekasihku harus diperintahkan baru kamu mau, ya...anggap aja ini perintah."

What the...?

"Tapi cinta saya..."

"Masih sama Aqlin Zeid Ilyasa? Si pilot itu," tembaknya tanpa kuduga.

"Kalau iya, Bapak mau apa?"

"Ya udah, main fair aja. Saingan boleh kalo begitu!"

"Gimana bisa?"

"Nah, itu kamu tau kalo kami gak bisa saingan. Ngomong-ngomong, kupingku gatal denger kamu nyebut dia cinta pertamamu dan masih cinta ampe sekarang," tambahnya santai.

"Terus mau Bapak apa sih?"

"Kamu udah cukup gede buat ngerti, Ghea!"

"Bapak nembak saya?" tanyaku akhirnya tak sabar.

"Gak. Aku proklamasi," sahutnya. Tetap dengan nada datarnya.

"Tapi, hati saya gak mau!" jeritku.

"Urusan hati kamu belakangan."

"Hah?"

"Itu tugas hatiku buat menangin hati kamu," katanya akhirnya. "Cukup kasih aku waktu, Ghea! Bisa kan?" Terdengar nada kesal dalam suaranya.

"Saya yakin ini gak bakal berhasil, Pak," keluhku putus asa.

"Darah kemenangan mengalir di keluarga Bachtiar,Ghea," tutupnya telak, menghentikan segala sanggahan yang sudah siap di ujunglidahku.    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro