Trauma Ghea

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tumben lo ke sini, Rei?" kataku sambil menyalami rekan kerja yang cukup dekat denganku, dr. Reina Lestari, Sp.OG yang tiba-tiba muncul di The Raikan's.

"Main aja, Gil! Bosen di rumah sakit mulu."

"Hahaha...bisa bosen juga ya, Rei?"

"Iyalah, beda kayak lo. Amfibi. Bosen di rumah sakit, ngabur deh ke hotel. Lagian, lo mau cuti juga gampang negonya sama Al," katanya lagi tanpa memandangku. Malah sibuk membolak-balik halaman majalah bisnis yang diambilnya dari mejaku.

"Jadi, kenapa?"

"Lo gak bisa manis-manis dikit ya, Gil? Basa-basi gitu?" tanyanya sambil tertawa.

"Gak," kataku mengulum senyum. Pasti ada tujuan tertentu dia datang kemari.

"Gue pengen lo temenin gue pas SC anaknya Pak Menteri ya," katanya menyodorkan satu berkas status pasien ke tanganku.

"Anak menteri nih?" tanyaku retoris. Ternyata ada beberapa penyulit dalam proses kehamilannya. Mungkin ini sebabnya Reina memutuskan SC dan mengajakku ke dalam timnya.

Reina mengangguk. "Gue tenang kalo lo dokter anestesinya, Gil!"

"Kenapa?"

"Perlu ya gue muji? Lo itu tenang, gak banyak cingcong. Tapi, rebes!" katanya sambil menaikkan jempolnya ke atas. Lalu ke bawah. Dasar Reina!

"Kapan?"

"Itu dia yang mau gue bicarain. Waktunya udah ditetapkan pasti, dua hari lagi. Tapi..."

"Tapi?"

"Gue liat itu jadwal lo kateterisasi jantung bareng timnya Al."

"Hmm..."

"Gue minta tuker ama Al pasti gak dikasi ama monyet satu itu," gerutunya lagi. "Lo kan partner kesayangannya. Hueeeek..."

"Nah...itu lo tau!" gurauku. Mengabaikan adegan muntahan yang hiperbola tadi.

"Yah, Gil. Tolongin gue ya.Tukeran anestesiologisnya ya, Gil. Please...please..."

"Ya udah, nanti gue yang ngomong ke Al," tutupku sambil tersenyum. Tak tahan melihat bibirnya yang manyun ke depan dan matanya yang mengedip-ngedip.

Reina pun melonjak-lonjak kesenangan, "Tengs amigos...," katanya sambil bangkit dan merangkul bahuku dari samping. "Lo emang selalu bisa diandalin, Gil!"

Bersamaan dengan itu, tok..tok..tok...

"Masuk!" kataku langsung.

Pintu terbuka dan masuklah Ghea dengan...seragam ajaibnya. Baju kemeja kedodoran sampai paha. Bahkan, aku tak bisa melihat apakah Ghea mengenakan celana mini atau tidak sama sekali di baliknya. Ditambah dengan kacamata besar bening yang menutup sampai pipinya, yang mungkin lebih pas kalau disebut kacamuka.

Astaga apa anak ini tak tahu kalau sedang bekerja harusnya menggunakan pakaian standar hotel? Celana panjang dengan blus misalnya? Rok atau dress panjang yang sopan juga tak apa. Bukannya pakaian menggoda keimanan seperti yang dia kenakan sekarang.

Jangankan aku, mulut Reina saja sampai membentuk bulatan melihat kedatangan makhluk berpenampilan ajaib di depan kami. Tanpa sadar posisi kami masih belum berubah.

Untung yang lihat Reina dan terakhir kali kukenal Reina itu cewek! Tapi aku ini lelaki tulen dan kali ini gak bisa memungkiri kalo ini adalah anugerah terindah yang mubazir kalau tidak dipandangi. Persetan dengan menundukkan pandangan untuk saat ini. Ini mata, otak, dan hati punya kendali sendiri saat ini.

"Ada apa, Ghea?" tanyaku akhirnya sampai harus kesulitan menelan ludah.

Dengan mengernyitkan dahi dia memandangi posisi kami, yang akhirnya membuat kami tersadar. Reina seketika melepaskan diri saat melihat tatapan Ghea yang menyipit. Kemudian tersenyum dan bergeser perlahan ke sofa. Reina menatapku dengan pandangan bertanya. Aku pun mengangkat bahu tanda bahwa aku sama bingungnya dengan kelakuan Ghea.

"Sori, Mbak Rei," kata Ghea sambil tersenyum ke arah Reina. Kemudian memutari meja kerjaku dan berhenti persis di samping kursiku.

Aku memutar kursi kerjaku menghadapnya, "Jadi, ada masalah apa dengan plan marketing kita, Ghea?" tanyaku lagi. Dan ada masalah apa dengan pakaianmu itu?

Bukannya menjawab, Ghea malah menarik napasnya dalam, dan kemudian mengangkat satu kakinya tepat ke atas pahaku. Jantungku langsung berdetak takikardia. Disusul satu lagi kakinya yang diangkat ke pahaku yang sebelahnya. Mataku seolah berlompatan memandangi kemulusan pahanya. Posisinya sekarang tepat duduk melingkupi kedua kakiku, sambil mengalungkan tangannya erat di belakang leherku. Sebelum aku sempat bertanya lagi, Ghea berbisik, "Sorry, Pak," dan menekankan bibirnya yang bergetar ke bibirku.

Mati! Aku mati kutu kalo dibeginikan! Gak bisa!

Hal terakhir yang kuingat adalah aku melambaikan tangan ke arah Reina tanda mengusirnya dari ruangan ini. Dari sudut mataku, kulihat Reina berlari sambil menyumpah-nyumpah dan kemudian membanting pintu dengan keras.

"Ternyata, rasamu lebih manis dari yang kubayangkan," desahku di sela-sela aku memberinya kesempatan untuk mengambil napas. Tanganku mulai menggila, bergerilya di antara pakaian longgarnya yang hampir terangkat separuh.

I'm too hot (hot damn)...Call the police and the fireman...

I'm too hot (hot damn)...Make a dragon wanna retire man...

Astaga...di saat begini?

"GANGGU AJA!" sentakku setelah menggeser tanda menerima panggilan dari benda yang berbunyi di waktu yang salah.

"Agil, Nak?"

Hening.

Tut...tut...tut. Bunyi sambungan diputus.

Hah?

Aku mengerjapkan mata. Berulang kali. Menyadari tidak ada seorang pun yang duduk di pangkuanku, karena kenyataannya aku sedang tiduran tengkurap dan bukannya duduk.

Ugh...Aku meninju bantal keras-keras. Dengan langkah terseret, aku menuju kamar mandi untuk mengguyur seluruh tubuhku dengan air dingin. Sial! Sial! Sial!

"Gheaaaaaaaaaaaaaa...," teriakan frustrasiku balik menggema dari dinding kamar mandi.

-oo0oo-

"Kalo yang gak kenal lo pasti gak menyadari kalo lo lagi kacau," tembak Al santai saat kami sedang mensterilkan tangan dan lainnya sebelum operasi yang dipimpin Al dimulai. Setahuku, aku tetap seperti biasanya. Tapi, memang Al yang mengenalku sejak matanya membuka ke dunia tak bisa ditipu.

Bedanya, Al hanya mampu mendeteksi kalau kondisiku sedang kacau. Sementara, istri tercintanya itu mampu menemukan bibit penyebab kacaunya aku hanya dengan memandangi mukaku yang menurutku sama datarnya.

"Gue lagi bikin perkara sama Mami," kilahku.

"Buaya mau dikadalin?" kata Al memutar matanya. "Lo gelisah, jangan sampai dosisnya salah," tegurnya sambil melangkah ke ruang operasi.

Seorang perawat pendamping dengan sigap menyambutnya dengan pakaian steril dan mengikatnya kencang begitu Al memutar badannya. Yang lain memasangkan sarung tangan steril di tangannya.

"Tenang," balasku sambil menuju ke arah kursi yang khusus disediakan untukku. Begitu Al memulai aba-aba, aku menyuntikkan obat melalui selang infus sesuai hasil rapat tim sebelumnya. Kemudian memantau vital sign pasien dan berjaga jika salah satu kondisi yang tidak diinginkan terjadi, misalnya penurunan tekanan darah yang drastis.

Inilah enaknya jadi dokter anestesi. Tak perlu tenaga yang terlalu besar untuk ikut mengoperasi dan tetek bengeknya. Tapi, di balik itu tanggung jawabku amat besar. Simple-nya, tugasku adalah memastikan agar pasien tidak merasakan nyeri, tidak merasakan kecemasan dan takut selama operasi jika memang hanya bius lokal, dan tentu saja meminimalkan efek obat bius pasca operasi. Bagian paling pentingnya adalah memastikan pasien bangun pada perkiraan waktu yang sudah ditentukan kalau menggunakan bius total.

Kedengarannya mudah, tapi ternyata proses ini harus melalui hitungan yang tepat. Berapa dosis yang harus kuberikan agar pasien tertidur dan tersadar tepat pada waktunya, obat bius yang mana yang cocok untuk meminimalkan efeknya, sampai membuat tubuh pasien lemas agar dokter pelaksana tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk membedahnya. Jika pasien yang dioperasi tidak bangun pada waktu yang sudah diperkirakan, itu artinya saatnya kerja ekstra untukku.

Proses pemasangan ring pada pembuluh darah pasien hari ini berjalan lancar. Meskipun satu jam setelahnya aku harus standby di ruang pemulihan untuk mengukur vital sign-nya setiap satu setengah menit. Setelah yakin kalau tidak ada kendala berarti, aku pun menyerahkan pasien ke tangan perawat anestesi.

"Mau ke mana?" tanya Al melihatku terburu-buru masuk ke ruangan dan keluar lagi dengan menyampirkan ranselku seadanya.

"Ada urusan."

"The Raikan's? Meeting?" tanyanya sambil mengeluarkan ponsel. Pasti mengontak istri tercintanya. Memastikan kalau Kalila tidak sedang berada di The Raikan's.

"Bisa gue pikirin untuk meeting setelah sampai di sana."

"Nah...ini aneh lagi, kalo gak ada meeting ngapain lo buru-buru ke sana?" selidiknya.

"Nyari masalah," gerutuku sambil melangkah.

"Jangan lupa, tar malem ke kafe yang biasa. Revan cuti, lagi di Jakarta," serunya lagi berteriak pada punggungku.

Aku mengacungkan jempol tanda memahami. Halah...biasanya juga hanya hang out bareng di mana aku harus mendengarkan curhatan para lelaki yang tergila-gila sama istri mereka. Menyodor-nyodorkan pengalaman untuk dibagi dan berkode-kodean untuk membuatku iri. Keahlian Al dan Revan untuk soal begini. Tak datang dibilang pengecut, datang di-bully. Shit!

Aku melarikan motor besarku, meliuk-liuk di antara kemacetan ibukota. Kecepatan full, secepat yang dimungkinkan jalanan Jakarta. Panas menyengat pun kuabaikan demi cepat sampai di The Raikan's.

Sial...Ada apa denganku? Pura-pura gak tau, Gil?

Padahal sampai sekarang kemajuan komunikasiku dengan Ghea hanyalah panggilan untuk membangunkannya di subuh hari. Itu pun kututup dengan tergesa-gesa sebelum dia bereaksi. Gugup. Dasar Agil pengecut!

Ghea pun tidak pernah mempertanyakan ucapanku waktu di IGD. Entahlah dia mendengar atau telinganya mendadak tuli karena tertutup kemarahan. Bisa jadi mendengar, tapi tidak mengerti. Ghea sama sekali bukan Kalila. Mana pernah aku bisa menebak apa yang dipikirkannya.

"Selamat siang," kataku begitu membuka ruang kerja tim marketing. Kuedarkan pandangan untuk mengabsen keberadaan penghuni-penghuninya. Di mana dia?

"Siang, Pak Agil," koor Vania, Ell, dan Erick bersamaan.

"Ian mana?" tanyaku basa-basi, menutupi keberadaan seseorang yang sebenarnya ingin kutanyakan dari awal.

"Pak Ian dinas ke Surabaya, Pak!" jawab Erick.

"Oh, kapan dia berangkat?"

"Tadi pagi, Pak. Soalnya ada meeting besok siang di sana."

"Meetingnya besok siang dan Ian sudah berangkat sejak pagi tadi?"

"Soalnya, Pak Ian lewat jalur darat Pak. Makanya berangkat tadi pagi."

Mataku membulat. Ian menggunakan transportasi darat.Yang benar saja, padahal pakai pesawat lebih cepat. Mau korupsi waktu, Ian? Awas saja!

"Meeting apa?"

"Itu, penajaman program bulan musim kawin kemarin sama tim marketing The Raikan's Surabaya, Pak," kali ini Ell yang menjawab.

"Hmm...lalu Ghea mana?" tanyaku akhirnya.Tak tahan lagi.

"Ghea diculik sama Pak Ian ke Surabaya," kata Vania sambil lalu.

"Apaaaa?"

Semuanya menoleh ke arahku.

"Bukan diculik, Pak!" sambung Vania. "Becanda. Ghea nemenin Pak Ian ke Surabaya."

"Sekarang kan Ghea asistennya Pak Ian," tambah Erick.

Aku tersedak dengan informasi terbaru dari Erick. Ell, Vania, dan Erick pasti bingung melihat perubahan raut mukaku. Memerah karena menahan kesal. Ian kampret! Kadal! Buaya! Gorila! Bekantan! Monyet! Ular berbisa! Sial...sial...sial.

Baru dua minggu aku gak ke The Raikan's dan Ian sudah mengklaim Ghea sebagai asistennya? Dinas ke Surabaya, menempuh perjalanan via darat yang lama perjalanannya bikin pantat rata itu untuk apa?

"Supirnya yang mana?" tanyaku lagi. Mencoba tenang.

"Pak Ian sendiri yang nyetir, Pak," kata Ell lebih pelan. Mungkin takut dengan perubahan ekspresi mukaku yang biasanya datar.

"Ell, saya mau laporan tim marketing selama tiga bulan terakhir ada di meja saya nanti sore. Vania, bawa hasil negosiasi dengan vendor soal proyek bulan musim kawin, antar ke ruangan saya dua jam lagi. Dan Erick, desain untuk icon proyek itu kirim ke email saya. Saya tunggu! Oke. Selamat siang!" kataku mengakhiri konfrontasi dengan tim marketing yang sebetulnya tidak berdosa. Sebelum aku memutuskan untuk menimpakan kekesalanku lebih lanjut pada salah satu dari mereka, aku memilih keluar.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...atau berada di luar jangkauan. Sudah hampir dua puluh kali aku menekan tombol panggilan.

Begitu terus. Dua-duanya. Apa yang mereka lakukan sampai ponsel keduanya tidak aktif!

Pacaran? Make out? Making love di pinggir jalan?Di dalam mobil?

Aku mengibas-ngibaskan tangan mengusir bayangan yang tidak-tidak.

Tidak, Gil! Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Bukannya Ghea gak bakal mau di grepe-grepe begitu saja sama orang yang gak dikenal?

Gak dikenal, Mbahmu! Orang mereka sudah dua minggu ini bersama. Bahkan, mungkin ke mana-mana bersama karena Ghea asistennya Ian. Siapa yang suruh sibuk di AlMedika?

Tapi, Ghea kan gak mungkin pasrah. Kalau Ian mau macam-macam pasti Ghea bisa menyemburnya dengan makian, jotosan, bahkan tendangan halilintar. Ghea itu kuat! Xena hatiku!

Tapi makhluk berbentuk gadis mana yang sanggup menolak pesona Ian?Semua gadis juga mau kalau ditawarin menggelayut mesra di lengannya. Kata Alina dulu, tinggal kode dikit, gadis mana yang gak memelorotkan celana di hadapan Ian? F*ck!

Maka, jangan salahkan aku kalau pikiran jahat timbul dari situasi seperti ini.

"Halo, Pak Derry?" kataku menghubungi manager personalia.

"Iya, Pak Agil?"

"Semua cabang The Raikan's bagian timur sudah punya marketing manager?"

"Hmm...Merauke belum, Pak. Mau kita buka recruitment, Pak?" tawar Pak Derry.

"Tidak perlu, buatkan surat mutasi untuk Pak Brian Rivaldi Ramadhan ke sana."

"Hah? Apa...itu, eh...."

"Saya tunggu suratnya nanti sore."

Aku meletakkan gagang telepon tanpa menunggu jawaban. Kemudian men-dial nomor berikutnya.

"The Raikan's Hotel Surabaya. Selamat siang! Bisa dibantu?"

"Hanna?" tanyaku setelah mengecek nama bagian personalia The Raikan's Surabaya.

"Maaf dengan siapa saya bicara?" katanya terdengar defensif.

"Agil Raikan Bachtiar."

"Oh, Maaf Pak. Belum familier dengan suaranya. Ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Kalau Pak Brian bagian marketing The Raikan's Jakarta sudah nyampe sana tolong telepon saya!"

"Baik Pak, ada pesan lain lagi untuk Pak Ian?"

Ian memang populer. Bahkan, hampir semua cabang tahu cukup dengan menyebutkan Pak Brian. Pasti menyambar dengan nama Pak Ian.

"Ada. Nanti saya fax suratnya. Tolong sampaikan surat itu ke Pak Ian. Lalu carikan tiket Surabaya ke Merauke untuk besok pagi atas nama Pak Ian!"

"Baik, Pak! Ada lagi?"

"Sampaikan pada Pak Hendro, saya sendiri yang akan memimpin rapat untuk tim marketing di sana. Saya akan ke sana dengan penerbangan besok pagi."

"Oke, Pak! Tercatat!"

"Baik. Selamat siang, Hanna!"

"Siang, Pak!"

Rasakan Ian! Siapa suruh berani menyentuh kekasihku?

-oo0oo-

"Sorry, gue tadi visit pasien dulu," kataku sambil ber-high five dengan Revan. "baru jemput Al."

Al pun melakukan high-five, tapi dengan cara menggaplok jidat Revan, "Udah pesen?"

"Sialan lo, Al!" gerutu Revan mengusap dahinya. "Belum pesen. Nungguin lo-lo pada."

Al segera melambaikan tangannya ke arah waiter dan menyebutkan pesanan rutin kami.

"Gak ada cerita ngisi live music malam ini, Gil!" titah Al. "Gue gak mau kalo kita harus ngumpet-ngumpet pulangnya karena lo di kejar-kejar fans suara lo yang gila itu."

"Ya," sahutku sambil melambai ke arah Fal—si pemilik kafe.

"Al tadi nebeng lo, Gil?" kata Revan dengan cengiran isengnya. Aku mengangguk.

"Kalila gak ngasi gue jalan keluar kalo gak dijemput Agil," keluh Al. "Masa dia gak percaya ama gue sih?"

"Bukannya gak percaya, Al. Lo kan udah gila ama dia. Gak mungkinlah macem-macem."

"Lah, trus? Kenapa coba gue dibekepin di rumah, gak boleh jalan kalo gak dijemput?"

"Itu karena dia khawatir. Lo kan marathon operasi dari subuh tadi, Al. Kalila takut lo ambruk kalo nyetir sendirian," sahutku tak peduli sambil menyesap orange juice yang baru datang.

Al yang dalam perjalanan menepuk jidat segera ditarik tangannya oleh Revan, "Mending gue yang ngegaplok dahi lo," balas Revan cengengesan.

"Oh...jadi gitu! Sia-sia dong gue sebel sepanjang jalan," sambung Al lagi dengan nada merana. Mengabaikan dahinya yang baru saja digaplok Revan, "Berarti istri gue sayang banget ya sama gue," katanya dengan mata berbinar-binar. Tak diragukan lagi, sebentar lagi dia pasti minta antar pulang.

"Yaelah, Al. Lo kan tau, lo kenal deket ama pembaca pikirannya Kalila. Tinggal tanya Agil aja tau deh apa yang dipikirin istri lo itu!"

"Haha...kembar siam kepisah rahim!" tawa Al. "Untung aja lo sepupu gue yang terpercaya, Gil. Kalo engga mana rela gue, canggihan lo kalo urusan mahamin istri gue!"

"Haha...udahlah. Lagian dari awal kan lo tau kalo gue nganggap Kalila emang sodara gue, meskipun gue tau kalo dia cinta mati sama gue!" balasku mengolok Al.

Al menoyor belakang kepalaku, "Itu dulu...Gil. DULU!" sambar Al kedengeran gondok.

Aku dan Revan tertawa terbahak melihat reaksi Al.

"Iya, kalo gue kawin sama Kalila bisa jadi sepanjang hidup tatap-tatapan aja. Mana seru," sahutku mendamaikan. "Alina gimana?" tanyaku ke Revan.

"Begh...," kata Al melepeh ke samping. "Taruhan deh..."

"Sama! Gue juga dibekepin di rumah," sahut Revan pelan. "Baru setelah nelepon Kalila dan memastikan kalo kita emang bakal nongkrong, akhirnya gue dikasi kunci mobil."

Aku ternganga. Beginikah derita para lelaki beristri?

"Hampir aja tadi gue gak jadi berangkat," sambung Revan.

"Kenapa? Alinevil gak ngasih?"

"Ngasih kunci sih, terus..."

"Terus?"

"Terus dia malah menari-nari striptease pake lingerie terbarunya di kamar."

"Lah?"

"Baru sampai sesi warming up. Terus dengan 'pengertiannya' Gaza nangis kenceng. Selesai deh jatah gue, soalnya Alina langsung ngacir ke kamar Gaza. Gak peduliin panggilan gue yang udah horny. Gue langsung cabut ketimbang sakit kepala," maki Revan sambil membenturkan kepalanya ke meja.

Kali ini aku dan Al yang kompak menertawakan Revan.

"Terus...lo kenapa, Gil?" kata Al dengan cengiran usilnya.

"Apa yang kenapa?"

"Kalila bilang lo lagi mikirin sesuatu," sambung Al. "Jangan ngadalin gue dengan bilang ada masalah ama Tante Destyana!" tambah Al membungkamku sebelum aku mengemukakan alasan itu.

Ini nih, yang gak aku suka dari Kalila. Susah punya rahasia!

"Yah...sedikit masalah di kerjaan."

"Alah...sejak kapan AlMedika ngasih lo masalah?" sahut Al lagi. "Kalo soal The Raikan's bukannya lo gak pernah ngurusin dan ikutan bingung?"

"Kalo bukan soal tempatnya, berarti...," potong Revan menaik-turunkan alisnya.

"Orangnya!" sahut Al dan Revan bersamaan. Mati aku!

"Menurut pengamatan gue, berhubung selama ini di AlMedika gak ada satu pun yang berhasil menarik perhatian makhluk ini, jadi si 'gadis' ini pasti posisinya di The Raikan's," tembak Al.

"Dan berdasarkan informasi Alina, besok Yang Mulia Pewaris Utama The Raikan's Hotel mengadakan perjalanan dinas ke Surabaya...yang mana belum pernah dia lakukan selama ini...," sambung Revan.

"Maka hipotesa kami, gadis yang membuat Agil kayak cacing kepanasan gak keruan adalah...," kerling Al ke Revan.

"Staf marketing yang baru masuk sebulan ini yang... yang namanya..." sambung Revan.

"Kami belum tau....Hahahahaha..." seru keduanya kompak.

Sial!

"Siapa bilang masalahnya seorang gadis," gumamku.

"Loh? Jadi, janda?"

"Al!! enggaklah! Setahu gue dia belum kawin! Hampir tapi."

"Nah...kejebak!" sahut Revan. "Ternyata emang gadis, hehe..." kekehnya.

"Jadi, Abang sepupuku tersayang. Ceritakan siapa gadis ini pada kami atau...."

"Besok pagi, Alina akan membeberkan seluruh data personalia si gadis bahkan sampai ke ukuran celana dalam dan branya," sahut Revan kalem.

Aku merutuk dalam hati. Sial! Punya dua sepupu setan, sepupu ipar yang gak kalah iblis, ditambah adik kesayangan semacam cenayang pikiran itu...sangat mengerikan!

"Jadi, apa masalahnya?" tanya Al sambil menyesap kopinya. Pasti anak ini niat begadang setelah pulang dari sini. Begadang bersama Kalila maksudnya.

Aku mengangkat bahu.

"Al...," kata Revan memberi kode.

"Sebentar, gue mau tanya Nyonya dulu," balas Al merogoh ponselnya dari saku.

"Oke...oke!" sahutku tak sabar.

Al dan Revan menghentikan apa pun aktivitas mereka seketika. Menatapku serius sambil menunggu. Cengiran lebar menghiasi mulut keduanya.

"Dia...dinas ke Surabaya," kataku.

"Hmm...?"

"Sama Ian. Lewat jalur darat pula," gerutuku lebih keras. "Lama di jalan! Buat apa?"

Al dan Revan berpandangan. Dengan tatapan setannya Al menyipit, "Jadi, gimana Gil? Enak kan makan cemburu? Kenyang, eh?"

Aku terkesiap mendengar cetelukan Al. Cemburu? Jadi, perasaan tidak nyaman sedari tadi siang ini namanya cemburu? Bukan, bukan cuma tidak nyaman. Rasanya menyakitkan. Membuat susah berkonsentrasi. Ingin marah-marah?

"Akhirnya Agil membuktikan kalo dia normal sepenuhnya," kata Revan dengan gaya guru besar yang baru saja menjelaskan penemuannya. Menyebalkan? Memang!

"Kalo gitu Papa Agil perlu dikasih tips dan trik," sahut Al jumawa. Menepuk dadanya. "Tanyakan pada ahlinya, Gil. Jangan dipendam!" ledeknya lagi.

"Bener tuh, Al." sahut Revan. "Gil?"

"Ya sudah...ya sudah...," gerutuku. "Jadi, gue harus gimana?"

"Nah, gitu dong. Curhatlah kepada yang benar, Gil. Van?"

"Kalo gue sih, gue susul tu gadis ke Surabaya. Terus..."

"Terus?"

"Cium habis-habisan tu gadis di hadapan Ian. Biar Ian sadar kalo lo mengklaim gadis lo."

Aku mengernyit, "Bukannya setelah itu gue bakal digampar si gadis?"

"Lo kebanyakan nonton drama Korea sih, Gil!" sahut Al. "Nyiumnya yang oke, yang penuh cinta. Tunjukin kalo lo gak bisa tu gadis deket ama yang lain. Lo tunjukin kalo kepergian si gadis sama Ian itu bikin lo mati kutu. Mana ingat tu gadis buat ngegampar!"

Dalam bayanganku, bukannya bakal berakhir seperti apa kata Al. Yang ada malah aku yang babak belur masuk rumah sakit dihajar Ghea. Bisa jadi mulutku dibersihkannya dengan ringer lactate seperti si vampir medusa kemarin itu. Tidak!

"Cara lain?" tanyaku. "Kayaknya tu gadis bakal tetep gak mau!"

"Lo bodoh apa gimana sih, Gil?" gerutu Al. "Lo kan dokter anestesi. Lo biuslah dia, terus lo kerjain aja dia, seolah-olah lo ngapa-ngapain dia pas gak sadar. Rekam kalo perlu. Setelah bangun, lo sodorin tuh rekaman dan bilang kalo dia gak mau sama lo bakal lo upload ke dunia maya," seloroh Al.

"Lo yang bodoh dan gila, Al! Korban nonton berita kriminal lo!!"

"Hahaha...," Revan ketawa ngakak mendengar saran Al. "Tapi, gak enak Gil kalo ngerjain yang gak sadar, gak bisa ngasih reaksi balik! Mana enak!"

Al tertawa dan membenarkan ucapan Revan dengan jempolnya. Tertawa sampai keluar air mata. Dasar sarap!

"Sudah! Sudah! Ogah gue denger ide kalian lagi!"

"Ya udah...kasih yang bener, Van!" kata Al sambil menyeka sudut matanya.

"Lo harus...nunjukin kalo...punya lo lebih naga daripada punya Ian," kata Revan sambil menunjuk ke arah 'si boy'. "Naga ya Gil, jangan cacing!" Al langsung ngakak lagi.

Astaga...Apa hubungannya mengklaim Ghea dengan naga vs cacing. 'Si boy' ini aset berhargaku, masa harus aku pamerin? Terus berjejer sama Ian? Aku angkat tangan sama dua cecurut dengan tingkat kemesuman berlebih itu.

"Udah...udah, Van! Gini Gil, gue kasi tau yak."

Telingaku sudah malas untuk mendengarkan.

"Anter gue pulang. Abis gue olahraba siapa tau dapet ide buat nolongin lo!" seru Al berdiri dan menyambar kunci mobilku.

"Gue juga. Siapa tahu Gaza udah tidur. Nanti gue chat di grup!" kata Revan ngeloyor. Menyisakan aku yang harus membayar tagihan makanan mereka.

"No...jangan di grup," aku memelas. Bisa lebih mati kutu aku di-bully Alina. Aku tak yakin saran Alina bakal lebih baik daripada suaminya masalahnya.

-oo0oo-

The Raikan's Hotel Surabaya, 14.00 WIB

Ini gara-gara pesawatnya delay gila-gilaan, makanya jam segini baru nyampe di hotel.

"Maaf, Pak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis hotel menyapaku.

"Saya mau ke ruangan tim marketing."

Dahinya mengernyit, "Maaf, Pak. Sudah membuat janji?" jelasnya.

"Sudah," kataku sambil menyodorkan kartu nama yang langsung dibacanya.

"Oh, maaf Pak Agil. Saya benar-benar tidak tahu itu Bapak," kata si resepsionis lagi.

Ini akibat gak pernah ikut satu kali pun ke cabang. Tahunya cuma The Raikan's Jakarta, Bandung, dan Pontianak saja.

"Tak apa," seruku sambil berlalu ke lift. Menuju lantai delapan belas, ruang rapat tim marketing sesuai petunjuk si resepsionis di antara permohonan maafnya.

Tanpa mengetuk, aku membuka pintu ruang rapat. Semua kepala menoleh padaku. Menatapku bingung. Mataku bertemu pandang dengan mata Ian.

Astaga, kenapa kunyuk satu itu masih di sini?

"Bapak-bapak dan Ibu...kenalkan, ini Pak Agil. General Manager The Raikan's Hotel," kata Ian akhirnya. Bisa kutangkap nada jengkel dalam suaranya. "Cuma Pak Hendro kan ya yang pernah bertemu Pak Agil sebelumnya?" tanya Ian lagi menunjuk Pak Hendro, Assistant Manager Marketing di sini.

Semuanya berdiri menyalamiku, sementara Ghea hanya mematung di sudut. Matanya terlihat shock akan kehadiranku. Masih memegang pointer di tangannya, baru menyelesaikan presentasinya ternyata. Aku telat karena rapat sudah hampir selesai.

"Kamu...," tunjukku ke Ghea. "Gak nyalamin aku?"

Semua kru tim marketing berpandangan. Dengan manyun Ghea menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya erat dan mengangkat tautan tangan kami, membawanya ke hidungnya. "Cium!" bisikku.

Ghea mengejang namun tak urung menuruti juga perintah konyol yang baru terlintas di pikiranku. Tindakan kami malah semakin jadi tontonan di antara tim marketing lain.

Cara ini yang terpikir olehku sebagai cara untuk mengklaim Ghea sebagai milikku. Bukannya dengan hot kissing ala duo mesum kemarin. Sesaat aku berhalusinasi mendengar penghulu menyuarakan 'Silakan dicium kening istrinya, Mas' sesaat setelah bibir Ghea mencium punggung tanganku tadi.

"Udah selesai rapatnya?" tanyaku setelah sadar.

"Udah."

"Kenapa ponselnya gak aktif dari kemarin?" tuntutku.

"Eh? Abis baterai, Pak. Nyampe langsung tepar, lupa nge-charge," kata Ghea menjawab dengan nada bingung. Bingung karena ternyata aku menelepon?

Aku memalingkan wajah ke arah Ian, "Lo gak baca fax gue, Ian?"

"Baca. Besok gue berangkat, Gil," sahut Ian terdengar lelah. Siapa suruh ke Surabaya via darat?

"Kirimkan hasil meeting hari ini ke email saya, Pak Hendro," kataku lagi.

"Baik, Pak Agil!"

"Capek?" tanyaku kembali ke arah Ghea. Ghea menggeleng. Masih terlihat bingung.

"Laper...," katanya. Shit! Jadi, Ian bikin Ghea meeting sampai melewatkan makan siang?

"Oke. Meetingnya di-close saja. Silakan makan siang dulu semua...," kataku berlalu sambil menyeret Ghea ke lift. Ke lantai dua puluh dua, VVIP suite khusus untuk keluarga besar The Raikan's.

Aku menempelkan kartunya di pintu kamar terdekat begitu kami keluar dari lift.

"Makanan kamu akan dianterin ke sini. Istirahatlah. Satu jam lagi aku ke sini ya," kataku sambil mengucek rambutnya. Ghea mengernyit melihat tanganku di atas kepalanya.

Jangan...jangan ikut masuk ke kamar ini, Gil! Sebelumnya aku begitu percaya dengan pengendalian diriku, tapi untuk kasus Ghea aku tak yakin untuk gak mempraktikkan semua kejadian di mimpi indahku. Sial!

Aku membuka pintu kamar di sebelahnya kemudian menghempaskan badanku sambil menelepon pantry agar mengantarkan makan siang istimewa untuk Ghea. Dan tentu saja menelepon Hanna untuk mendapatkan tiket pulang ke Jakarta.

Kita pulang, Ghea! Maafkan aku gak bisa mengajakmu jalan-jalan dulu karena aku sudah keburu janji operasi besok sama Reina.

-oo0oo-

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Ghea begitu kami meluncur dari The Raikan's Surabaya.

"Pulang."

"Oh, Pak Ian?"

"Ke Merauke dulu."

Ghea manggut-manggut.

"Sering ke Surabaya?"

"Baru kali ini, Pak! Harus ya saya pulang hari ini?"

Aku mengangguk. Dalam hati aku berjanji akan mengajaknya lain kali. Bahkan, memberikannya waktu ekstra untuk jalan-jalan.

"Next trip, kamu bisa jalan-jalan keliling Surabaya."

"Next trip yang entah kapan," gerutunya.

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kami memasuki area Bandara Juanda. Ghea yang tadi tidur-tiduran seketika membelalakkan mata. Tanganku dicengkeram erat olehnya.

"Kita pulang ke Jakarta?" katanya begitu kami diturunkan oleh supir hotel di terminal bandara.

"Kamu pikir aku bercanda?" tanyaku balik. "Sebentar lagi pesawat kita mengudara," sahutku sambil menunjukkan e-ticket di smartphone-ku. Aku justru kebingungan melihatnya menggigil. "Dingin?"

Ghea mengangguk berkali-kali. Bibirnya bergetar hebat. Tangannya yang mencengkeram tanganku terasa dingin sekali. Tepat saat aku ingin meremas tangannya, Ghea jatuh tak sadarkan diri. Ambruk tepat di dadaku. Serangan kepanikan yang tak pernah kurasakan sebelumnya langsung melandaku.

Sial, semua ini gara-gara Ian yang memforsir tenaganya lewat perjalanan jauh. Atau malah Ian memforsir tenaganya lewat aktivitas berat yang lain? Heh! Tunggu saja sampai bertemu, kuhajar kau sampai mati, Ian!

Tanpa pikir panjang, aku menyetop taksi yang baru saja menurunkan penumpang dan menggendongnya masuk ke dalamnya. Memerintahkan supir taksi untuk ke rumah sakit atau klinik terdekat dan melupakan bahwa klinik terdekat juga bisa dijumpai di dalam bandara.

Gheaku...tolong sadarlah, Ghe. Kalau kecapekan kenapa gak ngomong. Aku bisa mundur dari tim operasi Reina kalo gini caranya.

"Ghe, bangun Cinta...," lirihku sambil memeriksa denyut nadinya. Cepat, tapi lemah.

Baru kali ini sepanjang hidupku termasuk saat aku menghadapi pasien-pasien di rumah sakit, aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Ini lebih menakutkan daripada pasien-pasien yang kubius total namun belum ada tanda-tanda sadar ketika waktu perkiraan efek biusnya habis. Bahkan, jauh lebih mengerikan daripada pasienku yang tidak bangun sama sekali. Seandainya tidak memandang gadis di pelukanku yang pucat pasi, justru mungkin aku sendirilah yang pingsan saat ini. Serangan panik bisa menimpa siapa pun, termasuk dokter!

Queen Of My Heart Calling...

"Hallo, Mi?"

"Astaga, Agil Raikan Bachtiar! Ke mana saja kamu Mami telepon dari tadi gak diangkat?"

"Agil di Surabaya, Mi," sahutku lemah.

"Ngapain? Nyusul Ian?"

"Ya."

"Mami denger kamu mutasiin Ian ke Merauke?"

"Iya."

"Kenapa? Salah Ian apa, Gil?"

"Mi, bisa ditunda dulu kan ngebahas kerjaan," kataku lesu.

"Kenapa kamu, Nak?" nada suaranya berubah khawatir. "Masih di hotel kamu?"

"Gak papa, Mi. Agil di rumah sakit. Ghea pingsan, mungkin kecapekan."

"Ghea?"

"Iya, tadi pas mau pulang ke Jakarta, Ghea pingsan di bandara, Mi!"

"Pingsan?" seru Mami heboh. "Kamu bawa Ghea ke bandara?"

"Iya, Mi. Agil gak tega nyeret Ghea lewat darat."

Mami menghela napas berat. Terdengar lelah sekaligus kaget.

"Agil, Nak? Dengar. Ghea itu masih belum kuat untuk datang ke tempat dengan apa pun yang berhubungan dengan pesawat. Trauma. Makanya, Ian ngajak dia dinas lewat darat," kata Mami lirih. "Sebelum berangkat, Ian cerita. Makanya Mami kasih izin mereka dinas lewat darat..."

Kali ini aku yang memucat. Seluruh darah di tubuhku seperti dihisap keluar. Aku lunglai tak menyisakan tenaga. Jadi, ini bukan gara-gara Ian? Tapi...

"Cinta..., bangun Cinta. Maafkan aku," kataku menciumi tangannya. "Aku bener-bener gak tau. Maafkan aku!" lirihku sambil mendekap erat tangannya di dadaku.

Trauma...pesawat...foto dalam dompet Ghea. Seketikaaku teringat kata-kata Kalila tempo hari. Saingansama orang yang udah meninggal itu paling berat sedunia.    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro