Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelan kebaya brokat yang semestinya dipakai Kak Arara dalam acara pertunangan yang dihelat sebentar lagi, masih terpajang rapi di gantungan baju. Aku mengamatinya untuk sesaat.

"Pulanglah segera, Kak Arara, biar acara pertunangannya bisa berjalan dengan lancar! Kami semua menunggumu, Kak." Aku bergumam sendiri di dalam hati.

"Teh Nini ... Teh .... Kamu di sini rupanya. Ibu cari kamu ke mana-mana."

Pintu kamar tidur Kak Arara yang semula terbuka sedikit makin menjadi lebar. Ibu melangkah masuk dan berjalan mendekatiku.

"Ayo bersiap, Teh! Keluarga calon tunangan prianya sudah datang, loh." Ibu memberi tahu.

"Sudah datang? Artinya Kak Anggoro ikut rombongan mereka," ucapku kepada Ibu.

"Belum tahu, Teh. Ibu belum ngecek juga," balas Ibu.

"Penting sekarang ayo kita keluar menyambut kedatangan mereka." Ibu menambahkan.

"Ibu duluan. Nini mau rapikan riasan sama gamis brokat sebentar." Aku berkilah.

Ibu beranjak meninggalkan aku sendirian. Aku ragu Kak Anggoro ikut rombongan keluarganya. Kak Arara saja belum tercium kemunculannya. Feeling aku sudah tidak enak.

"Ah! Nanti bisa diurus. Penting aku bersiap dulu."

Aku memandangi diriku sendiri di depan cermin. Riasan oke. Setelan hijab dan gamis brokat dengan warna senada yakni peach, membuatku terlihat anggun dan elegan ketika mengenakannya.

"Sip. Sudah oke semua. Waktunya aku keluar dan menyambut kedatangan tamu istimewa. Bismillah. Semoga acara pertunangannya bisa berjalan dengan lancar."

Aku beranjak meninggalkan kamar tidur Kak Arara dan bergegas menyusul ke ruang tamu. Aku menyapa ramah sambil menyalami satu per satu anggota keluarga calon tunangan pria.

Loh!

Aku tidak lantas menjabat tangan orang terakhir dari anggota keluarga calon tunangan pria. Aku tersentak kaget.

Aku pikir mataku salah lihat, tetapi sosok pria yang berdiri di depanku memang benar-benar dia. Pria yang bekerja di minimarket sebelah rumah. Setahuku, namanya Azhar.

Benar tidaknya, aku ingin sekadar berbasa-basi sebentar.

"Hai. Kamu, 'kan, yang kerja di minimarket sebelah?"

"Iya, Kak," jawabnya singkat seraya mengukir seulas senyum ramah.

Oh My God. Suaranya soft dan feminin sekali. Buat hati meleleh saja.

"Siapa nama kamu?" Barulah aku menjabat tangannya sambil bertanya.

"Masa iya Kakak tidak tahu nama aku? Kakak, 'kan, sering bolak-balik ke minimarket untuk belanja."

Ugh! Cerdik sekali dia yang tak lantas menyebutkan namanya secara gamblang.

"Aku sungguh tidak tahu, tuh," balasku.

Awas saja, ya! Aku pasti tahu nama kamu meski harus dengar dari orang lain. Benar saja. Apa yang aku ingin terkabulkan.

"Aini, Azhar. Kalian sudah saling kenal?" Ibu tiba-tiba buka suara.

Azhar mengambil alih untuk menjelaskan kepada semua bahwa ia hanya tahu aku sebatas pelanggan tetap minimarket tempatnya bekerja.

Sesi acara pertunangan pun segera dimulai. Namun, bagaimana bisa dilaksanakan jika para calon tunangannya saja tidak muncul menampakkan diri jua? Pertanyaan besar itu terus berputar-putar di kepalaku.

"Permisi, maaf. Sebelum menginjak sesi intinya, ada yang perlu saya sampaikan selaku ibu dari Anggoro dan Azhar."

Wah, akan ada apakah ini? Feeling aku yang tidak enak makin kuat saja. Ibu Azhar kembali berkata dan aku mencoba untuk mendengarkannya saksama.

"Sejujurnya Anggoro masih belum pulang ke rumah sampai hari ini. Mungkin Aira juga begitu, 'kan, ya?"

Aku melihat Ibu menganggukkan kepala tanda membenarkan ucapan ibu Azhar.

"Jadi, begini. Jauh-jauh hari sebelumnya, kami selaku orang tua Anggoro sudah berdiskusi dengan orang tua Aira. Hasil dari diskusi itu pun lumayan berat karena acara pertunangan ini harus tetap diselenggarakan dengan bukan Anggoro dan Aira sebagai calon tunangannya, melainkan Azhar dan Aini."

Aku seketika melotot, dong, mendengar apa yang dikatakan ibu Azhar.

"Tidak." Aku dan Azhar menyahut bersamaan.

Aku syok mendengarnya. Seketika aku melayangkan protes kepada Ibu.

"Bu. Tolong katakan semuanya tidak benar! Tidak mungkin. Masa iya Nini tiba-tiba harus bertunangan dengan Azhar untuk menggantikan Kak Arara. Tidak bisa seperti itu juga kali, Bu."

"Maafkan Ibu, Teh. Ibu tidak punya pilihan lain. Ibu pikir itu adalah solusi yang tepat dan juga terbaik untuk kedua keluarga besar."

Ibu menggenggam kedua tanganku erat. Aku lantas mengalihkan pandangan ke arah Azhar, mendesaknya untuk segera ikut angkat bicara.

"Azhar. Kamu juga ngomong, dong. Jangan diam saja gitu!"

Aku melihat Azhar menoleh ke arah ibunya. Beliau menggelengkan kepala pelan, memberi isyarat kepada Azhar untuk tidak menolak keputusan menjadi tunangan pengganti, menggantikan Kak Anggoro.

"Tolong kamu jangan menolak keputusan yang serba mendadak dan cukup memaksa ini, ya, Azhar! Ibu tahu berat memang. Demi menjaga nama baik keluarga yang hampir tercoreng karena ulah kakakmu, kami terpaksa mengambil keputusan seperti ini. Tolong kamu jangan menolak, ya!"

Suara ibu Azhar terdengar parau karena disebabkan berusaha menahan air mata untuk tidak tumpah mengalir deras.

Aku mengamati Azhar saksama. Wajahnya merah padam. Aku tahu dia juga ingin protes dan berontak, tapi dia justru menahannya. Aku jadi ingin tahu apa yang sedang ada dalam pikirannya.

"Sekarang lekas katakan keputusanmu, Azhar! Jangan mengulur banyak waktu dan ingat! Ayah tidak ingin mendengar namanya penolakan." Giliran ayah Azhar angkat bicara.

Nyaliku mendadak menciut dan hati kecilku memberontak. "Astaga. Itu namanya pemaksaan, dong."

"Mari lakukan apa yang sudah diputuskan oleh para orang tua kita!" kata Azhar sambil menatap ke arahku.

Ia menambahkan, "Mau marah, melayangkan protes, bahkan berontak sekalipun percuma. Toh, kamu dan aku tetap menjalankan keputusan untuk menjadi tunangan pengganti kakak-kakak kita."

Ada benarnya juga, sih, apa yang dikatakan dia. Aku dan Azhar terpaksa menjadi lakon utama dalam acara pertunangan yang sedang dihelat, demi menjaga reputasi nama baik kedua keluarga besar.

Masuk ke sesi inti, aku dan Azhar berdiri bersebelahan untuk prosesi tukar cincin sambil disaksikan oleh kedua pihak keluarga besar.

Jantungku berdegup sangat kencang dan iramanya tak beraturan ketika Azhar menyentuh tangan kemudian memakaikan cincin pertunangan di jari.

Begitu juga sebaliknya ketika aku memakaikan cincin pertunangan di jari Azhar, aku merasa gugup dan tegang. Bahkan tanganku sampai ikut gemetaran dan itu tampak sangat jelas.

Aku tidak menyangka sama sekali cincin pertunangan yang telah melingkar manis di jari masing-masing ternyata ukurannya pas. Hebat. Bagaimana bisa, ya?

"Ayo tunjukkan senyum bahagia kalian!" seru salah seorang lelaki dari rombongan keluarga besar Azhar sambil membidikkan kameranya ke arah kami.

Ya. Kami memasuki sesi berikutnya. Berfoto sambil memamerkan cincin pertunangan kami yang telah melingkar apik di jari.

"Ayolah! Kalian lebih dekat lagi coba! Jangan gugup dan jangan tegang, ya!" seru seorang lelaki itu lagi.

"Duh, bikin malu saja." Aku menggerutu sangat lirih.

Ternyata Azhar mendengar apa yang aku katakan, kemudian ia menimpali dengan dingin, "Mari kita hibur mereka yang telah menjadikan kita lakon utama dari acara pertunangan ini!"

Aku tidak berani memandangnya. Dari mendengar nada bicaranya saja, sudah cukup membuatku merinding.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro