Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Acara pertunangan yang dihelat akhirnya telah usai. Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Sementara kerabat keluarga besar sibuk membagi rata seserahan tujuh macam makanan menurut adat, aku memilih untuk melipir masuk ke kamar tidur. Ibu bahkan mengikutiku pula.

"Teh Nini. Ibu sangat minta maaf kepadamu. Ibu merasa sangat bersalah karena tiba-tiba memintamu untuk bertunangan, menggantikan kakakmu, tanpa mendiskusikan terlebih dulu denganmu."

Aku melihat jelas gurat penyesalan di wajah ibu. Aku mendesah pelan.

"Sudahlah, Bu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekalipun Nini dan Azhar menolak, kalian pasti tetap memaksa kami untuk melakukannya, 'kan?"

"Sekali lagi maaf, Teh." Ibu berujar sambil membelai lembut wajahku.

"Bu, bisakah tinggalkan Nini sendiri? Nini capek dan ingin istirahat sekarang juga," pintaku.

"Tentu. Istirahatlah."

Ibu beranjak melangkah ke luar dan pintu kamar tidurku kembali tertutup erat. Aku lantas berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diriku sendiri.

Aku menggerakkan jari jemari ke depan dada. Lewat pantulan cermin, aku mendapati sebuah cincin melingkar indah di jari manis.

Aku sadar semuanya bukan bagian dari mimpi. Semuanya nyata. Keinginan yang aku idam-idamkan untuk bertunangan pada saat waktunya tiba nanti, terwujud juga, tetapi bukan dengan cara menjadi seorang tunangan pengganti.

Bermimpi apakah aku sampai-sampai harus bertunangan dengan Azhar demi menggantikan posisi Kak Arara dan Kak Anggoro?

Ah, sudahlah. Semakin dipikir kencang, semakin pusing pula kepala aku. Akhirnya aku memutuskan untuk rebahan sesaat tanpa mengganti terlebih dulu gamis brokat yang masih aku kenakan.

Aku terbangun kembali dan mendapati hari ternyata telah beranjak sore. Aku harus membersihkan diri, mengganti gamis brokat yang masih menempel apik di tubuh dengan setelan baju rumahan biasa.

Setelahnya, aku ingin ke luar kamar tidur membaur bersama ibu dan ayah. Tak lupa ponsel pun aku kantongi.

"Sepertinya Nini tertidur lama sekali. Kenapa Ibu tidak membangunkan?"

Aku melayangkan protes kepada ibu yang sedang membereskan sisa makanan seserahan yang telah dibagi rata bersama kerabat.

"Ibu sudah ada niatan, loh, ingin membangunkan kamu tadi, tapi melihat kamu tidur begitu lelapnya, Ibu jadi tidak tega membangunkan kamu," jawab ibu memberi tahu.

"Ngomong-ngomong, Teh, bagaimana dengan Azhar? Ibu dan Ayah merasa bersalah juga kepadanya. Andai ibu ayahnya tidak gengsian, mungkin pertunangan kamu dengan dia tidak terjadi."

Oiya. Aku jadi baru teringat Azhar jika ibu tidak mengungkit namanya. Bisa-bisanya aku melupakan dia. Cepat-cepat aku merogoh saku celana untuk meraih ponsel.

Aku mengeceknya saksama. Sebelum pulang, Azhar memang sempat memintaku untuk menyimpan nomor ponselnya. Berhubung ponselku tertinggal di kamar tidur sewaktu acara pertunangan berlangsung tadi, aku balik meminta Azhar untuk melakukan panggilan tak terjawab ke nomor ponselku.

Memang benar ada satu nomor ponsel togel dalam panggilan tak terjawab. Haruskah aku sekadar berbasa-basi mengirim chat kepadanya untuk memastikan nomornya memang benar miliknya atau bukan?

Mari coba saja. Begitu yang dikatakan oleh kata hatiku. Aku pun menurut.

"Hai. Selamat sore. Apakah benar ini nomor ponselnya Azhar?"

Pesan chat dariku terkirim. Centang dua memang, tapi warnanya belum berubah menjadi biru. Aku menunggu sesaat, belum ada balasan.

Langit bahkan telah berganti petang pun, belum juga muncul pesan chat balasan dari Azhar. Mendadak muncul perasaan gelisah di dalam hatiku. Aku berdecih.

Aku balik ke kamar tidur lagi setelah ibu mengatakan ingin istirahat. Aku rebahan di atas tempat tidur. Pandanganku menerawang ke langit-langit kamar tidur yang bercat putih.

Pikiranku pun jadi mengembara ke mana-mana. Berkat acara pertunangan yang dihelat, aku jadi alamat bertukar nomor ponsel dengan Azhar.

Funfact, sebelumnya aku memang sudah ada niatan untuk membidik mendapatkan nomor ponsel Azhar via sesama rekan kerjanya di minimarket. Kenapa? Karena aku tertarik dan merasa ingin tahu tentangnya.

Ih, kepo, ya.

Tiba-tiba kepalaku berdenyut sakit seperti ada sesuatu entah apa itu sedang menghantam. Ternyata sebuah pertanyaan besar bersarang di dalamnya.

Apa jika sudah memiliki nomor ponselnya, hubunganku dengan dia bisa berjalan baik? Apalagi setelah tersemat adanya status tunangan pengganti di antara aku dan dia. Entahlah. Makin dipikirkan, makin galau perasaanku.

Aku kembali mengecek ponselku. Aku kecewa mendapati dia belum membaca pesan chat masuk dariku. Apa aku terlalu banyak berharap dia akan bicara denganku?

Ah, entahlah. Sudah cukup. Daripada memikirkan yang tidak-tidak, lebih baik aku beranjak tidur saja. Fix. Sampai aku nyaris terlelap pun, Azhar sama sekali tidak membaca pesan chat masuk dariku.

Menyebalkan.

Sampai esok paginya pun, belum juga ada balasan pesan chat dari Azhar. Boro-boro dibalas, dibaca aja belum.

"Chat-ku masih belum dibacanya. Kenapa, ya? Apa jangan-jangan dia marah kali, ya?" Aku asal main tebak saja.

"Hari ini dia masuk kerja tidak, ya? Kira-kira masuk shift apa? Pagi atau siang? Apa aku perlu ngecek ke minimarket sebelah rumah?

Ngapain juga? Entar aku dikira mirip kayak orang o'on kalo cuma sekadar mondar-mandir lewat depan minimarket. Gimana kalo aku intip sebentar dari teras? Biasanya, tuh, motor yang dia pakai keliatan."

Tanpa berpikir panjang, aku setengah berlari menuju teras. Bingo. Ideku cemerlang sekali. Motor matic gede hitam yang biasa dipakai Azhar kerja, terlihat dari teras. Artinya dia masuk shift pagi.

Ke sana tidak, ya?

Aku melipat satu tangan di dada, sementara tangan yang lain mengetuk dagu. Aku sedang berpikir.

Sepertinya aku memang harus ke sana. Fix. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pergi ke minimarket untuk menyambangi Azhar sekaligus bertanya apa alasan dia tidak membaca bahkan membalas pesan chat masuk dariku.

Aku mesti pamitan dulu kepada Ibu. Aku lantas beranjak meninggalkan teras. Aku menemukan Ibu yang masih sibuk berkutat dengan urusan dapur.

"Bu. Nini mau ke minimarket sebelah rumah. Ada barang yang Ibu nitip sekalian dibelikan tidak?" tanyaku.

Ibu menoleh lalu menatapku heran. Aku mencoba untuk tidak bersikap salting. Kalo kentara, aku bisa-bisa terciduk.

"Tidak ada nitip, ya, Bu?" tanyaku kemudian.

"Pagi-pagi, kok, sudah ingin main ke minimarket. Mau belanja apa sekadar belanja?" tanya Ibu menggodaku.

"Bukan belanja, Bu, tapi ...."

"Ingin ketemu dia, 'kan?" Ibu menggodaku lagi setelah berhasil menyela ucapanku.

"Siapa ketemu siapa? Dia yang Ibu maksud itu siapa? Hari masih pagi, loh, Bu. Jangan aneh-aneh, dong! Lagian Nini belum selesai ngomongnya. Nini mau ke minimarket itu cuma ingin topup saldo spay." Aku melengkapi kalimat yang belum kelar dengan berdalih.

"Sana pergilah! Ibu tidak nitip apa-apa, kok. Stok kebutuhan rumah masih ada pada banyak," beri tahu Ibu lembut.

"Oh, ya. Kalo gitu Nini keluar dulu sebentar ke minimarket. Dah, Ibu."

Usai berpamitan kepada Ibu, aku lantas berbalik dan bergegas meninggalkan dapur. Aku sedikit merasa lega dan plong. Feeling seorang ibu ternyata cukup ampuh. Nyaris saja aku ketahuan dan terciduk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro