Part 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedua mataku membola dan aku makin kesal ketika nama Azhar mulai ikut disebut ke dalam obrolan aku dengan ibu. Usai kejadian tidak mengenakkan ketika dia dengan seenaknya main menurunkan dan meninggalkan aku di tengah jalan, aku putuskan tidak mau lagi pergi dengan dia. Sekalipun dipaksa, aku tetap bersikeras menolak.

Alih-alih dia, lebih baik aku mengajak Om Ye saja untuk soal urusan bepergian. Lebih nyaman pergi bersama Om Ye daripada dengan Azhar.

"Diem lagi. Kamu kenapa, sih, Teh?"

Aku menatap ibu lekat-lekat, lantas menjawab pertanyaan yang ibu lontarkan kepadaku. "Kayaknya tidak mungkin Azhar mau diajak pergi."

"Loh? Memang kenapa?"

"Dia itu off-nya kemarin. Kalo sekarang dia sudah masuk kerja lagi. Itu, tuh, sepertinya dia masuk shift pagi." Aku memberi tahu ibu.

"Beneran?" tanya ibu setengah tidak percaya padaku.

"Bener, dong, Bu. Buat apa juga Nini bohong? Itu motor matic gede hitam punya dia terparkir di halaman depan minimarket. Misal Ibu tidak percaya, Ibu bisa cek sendiri, loh."

"Kenapa jadi Ibu? Yang bersangkutan dengan dia itu, 'kan, kamu. Bukan Ibu." Ibu berkilah.

Capek, deh, bicara sama ibu kalau ujung-ujungnya nanti tetap bersikeras memaksa aku untuk pergi dengan Azhar. Astaga. Bagaimana, dong? Aku serius tidak mau pergi bersama Azhar lagi. Aku kapok.

Tepat di tengah rasa frustrasi yang datang mendera, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. Datangnya dari ruang tamu. Aku menegakkan tubuh kemudian sekadar mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

Suara pintu diketuk kembali terdengar. Aku bangkit dari kursi makan sembari berkata kepada ibu. "Habiskan saja dulu makan pagi Ibu! Biar Nini yang buka pintunya dan melihat siapa yang telah berkunjung kemari pagi-pagi begini."

"Bukalah! Mungkin bisa saja itu Azhar." Ibu menyahuti.

Alih-alih menggubris perkataan ibu, aku memilih melenggang meninggalkan ruang makan untuk beranjak menuju ruang tamu.

"Iya, sebentar. Siapa itu, ya?"

Aku berseru dari dalam ketika hampir sampai ke pintu ruang tamu. Sesaat kemudian, tanganku benar-benar menyentuh handle pintu ruang tamu. Aku membuka kemudian menariknya pelan hingga pintu benar-benar terbuka lebar.

Wujud sosok tamu pagi itu akhirnya tampak jelas di hadapanku. Refleks. Aku mengembangkan senyum menyambut kehadirannya.

"Hai. Selamat pagi, Cantik."

Aku ingin membalas sapanya, tetapi kenapa mendadak lidahku menjadi kelu? Aku terbuai sesaat oleh perhatian yang ditunjukkan olehnya.

"Apa kamu tidak berkenan untuk mempersilakan aku masuk, Cantik?" Barulah aku tersadar ketika ia melontarkan pertanyaan seperti itu kepadaku.

"Mari masuk dan silakan duduk!" ucapku sambil memberi sedikit jalan kepada sosok tamu itu agar bisa melangkah masuk ke ruang tamu.

Om Ye berjalan melewatiku kemudian memilih duduk di sebuah sofa panjang. Ya. Sosok tamu itu ialah Om Ye. Sebelumnya aku sempat mengira Azhar-lah yang datang bertamu ke rumah, tetapi ternyata tidak. Syukurlah bukan dia. Aku bisa bernapas lega.

"Om Ye mau aku buatkan minuman apa?" tanyaku menawarkan sesuatu kepada Om Ye dengan malu-malu.

"Selama yang buat itu kamu, apa pun aku suka."

Jawaban yang sangat nice. Memang harus aku akui, Om Ye itu sosok pria jangkung yang sangat perhatian, lembut dan suka membuat lega hati para kaum wanita. Tentunya termasuk aku juga. Bahkan tidak dipungkiri pula, daya tarik yang dimiliki oleh Om Ye perlahan-lahan bisa membuatku terpikat.

Namun, apa daya aku ketika mengingat status tunangan pengganti yang telah tersemat pada diriku. Aku dan Azhar telah saling terikat satu sama lain. Merepotkan saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro