Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Esok paginya Azhar sungguh datang ke rumah, minta izin kepada Ibu untuk mengajakku pergi ke luar. Ibu mengiyakan.

Untuk hari itu aku sengaja berdandan cantik dan natural. Baju yang aku kenakan pun warnanya senada semua dengan hijab dan celana kulot plisket yaitu dark brown.

Dengan sling bag menggantung di bahu sebelah kanan, aku melenggang meninggalkan rumah setelah berpamitan kepada Ibu.

Jantungku berdegup kencang dan kedua telapak tangan mulai terasa dingin. Usai mengenakan helm milikku sendiri ke kepala, aku lantas hendak membonceng Azhar.

Aku sempat kewalahan menaiki motor matic gede hitam milik Azhar yang biasa digunakan untuk bekerja. Kakiku tak sampai berpijak ke pijakan sisi seberang.

"Kakak boleh pegangan bahuku," kata Azhar memberiku solusi.

"Eh, iya. Maaf, ya, Azhar," ucapku.

Aku dengan sangat hati-hati mencengkeram bahu Azhar untuk menopang diriku ketika menaiki motor matic gede hitamnya. Sip. Aku berhasil mendarat duduk dengan posisi nyaman.

Setelahnya, Azhar lekas memelintir stang gas motor matic gede hitam itu, mengajakku pergi entah mau ke mana. Di tengah perjalanan, tak ada satu pun kata yang meluncur keluar dari bibirku maupun Azhar.

Aku yang gemas sendiri lantas berinisiatif untuk memulai percakapan terlebih dulu. Dalam pikiranku, terserah Azhar mau merespons bagaimana nanti, penting aku ngomong dulu.

"Ngomong-ngomong, kamu mau ngajakin aku ke mana, ya, kalo boleh tahu?"

Sama sekali tak ada jawaban yang terlontar. Aku tidak lantas menyerah begitu saja. Aku masih terus mengajak Azhar supaya mau bicara.

"Pasti kamu bingung, ya. Aku, sih, kagak jadi soal kamu ngajakin aku ke mana. Ke taman untuk sekadar duduk santai, boleh. Ke kafe untuk ngopi bersama, boleh. Duduk di tepi jalan untuk menikmati es degan pun juga boleh. Aku tidak merasa keberatan sama sekali, you know."

See?

Dia tidak meresponsnya lagi. Aku makin geregetan. Aku tanya, ya, baik-baik. Ngomong pun juga baik-baik. Kurang ramah bagaimana coba? Aku lantas harus melakukan apa supaya dia mau bicara padaku?

Aku sudah diajaknya ke area jauh dari rumah. Aku bingung sebenarnya Azhar ingin mengajakku pergi ke mana. Ketika sedang berkutat dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba motor matic gede hitam Azhar menepi.

Kecepatannya makin lama makin pelan saja, kemudian berhenti. Azhar menoleh ke belakang. Barulah ia mau bicara padaku.

"Ada apa?" Aku bertanya.

"Kak, maaf. Aku terpaksa harus menurunkan Kakak di sini," jawabnya.

"Loh, kenapa?" tanyaku yang seketika bingung dengan kata-katanya.

"Aku sengaja mengajak Kakak pergi ke luar hanya untuk mengelabui ayah dan ibuku saja. Sebetulnya aku ada acara sendiri hari ini, tapi mereka ngotot menyuruhku untuk mengajak Kakak pergi ke luar.

Kalo aku ngeyel lebih mementingkan acaraku, mereka pasti marah besar. Dikiranya aku tidak perhatian pada Kakak. Terpaksa, deh, aku melakukan ini. Sekali lagi maaf, ya, Kak."

Dia termasuk manusia macam apa bisa bertingkah seperti itu? Dia bicara dengan begitu mudahnya. Tanpa ada nada penyesalan sama sekali. Tanpa memedulikan perasaanku bagaimana.

Ingin rasanya tanganku menjitak kepalanya keras. Namun, aku urung melakukannya karena tak ingin memperumit keadaan. Dengan sangat berat hati, aku turun dari motor matic gede hitamnya itu.

"Pergi dan tinggalkan saja aku di sini kalo itu yang memang kamu mau!" ucapku dengan nada kurang bersahabat.

Azhar sungguh melakukan apa yang aku katakan padanya. Dia memelintir stang gas motor matic gede hitamnya kembali. Padahal maksudku berkata begitu untuk sekadar ngetes Azhar, apa dia masih punya perasaan atau tidak.

Nyatanya memang tidak karena dia benar-benar pergi meninggalkan aku seorang diri di sebuah tepian jalan.

Aku melepas helm yang aku kenakan, kemudian menentengnya. Aku mengembuskan napas panjang. Harus pergi ke manakah aku? Itu pertanyaan yang terus terlintas di kepala.

Aku tidak mungkin langsung pulang ke rumah. Nanti kalo ibu tiba-tiba tanya bagaimana? Baru juga pergi, kok, pulangnya cepat amat. Sendiri pula. Nah, loh. Aku mesti jawab apa, dong?

Untuk sementara, biarkan kakiku berjalan menyusuri tepian jalan itu. Mau menuju ke mana, pikir belakangan. Semenit, dua menit, tidak terasa. Sepuluh menit berselang mulai, deh, terasa lelahnya.

Belum lagi ditambah terkena sengatan sinar matahari yang kian terik, membuat tubuh panas sekaligus hati makin memanas. Aku berhenti sejenak di tempat teduh. Tepatnya di sebuah emperan toko yang masih tutup.

Aku mengipasi diri dengan satu telapak tangan sambil mataku mengamati sekitar. Sekelebat aku menangkap sosok yang sepertinya aku kenal. Aku memfokuskan pandangan mata ke arah sosok itu.

Hal serupa juga dilakukannya. Kedua mata kami saling bertaut. Meski wajah sosok itu kurang terlihat jelas karena tertutup topi, aku sangat meyakini kalo itu adalah Kak Arara.

Dari bentuk lekuk tubuhnya yang aku amati, semakin yakin kalo itu memang benar sosok Kak Arara. Dugaanku makin mendekati kebenaran ketika sosok yang berdiri di seberang jalan itu, tiba-tiba lari kabur.

Fix. Itu pasti Kak Arara. Aku lantas menarik kesimpulan sendiri. Alasannya? Semisal aku dan sosok itu tidak saling mengenal, pasti dia tidak akan kabur. Lah, itu orang asal main kabur begitu saja. Artinya, sosok itu tahu aku. Kenal aku. Dia lari karena ingin menghindar dariku. Dia tidak ingin aku menemukannya.

Namun, tidak bisa begitu. Aku tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku berlari menyeberangi jalan, mengejar sosok itu.

"Aku pasti bisa menangkap dan membawamu kembali pulang ke rumah. Jangan remehkan aku, ya, Kak Arara!" Aku menggerutu.

Tekadku sudah bulat untuk membawa Kak Arara kembali pulang ke rumah siang itu juga. Gara-gara dia, kakakku sendiri, aku harus menjalani nasib yang kurang begitu membahagiakan. Dia harus bertanggung jawab untuk semua itu.

Aku terus menambah kecepatan lari supaya sosok Kak Arara bisa terkejar olehku. Namun, sepertinya usahaku akan sia-sia karena Kak Arara makin jauh saja. Tercipta jarak yang cukup jauh di antara kami. Aku tidak habis pikir, Kak Arara lincah dan lihai sekali untuk soal urusan kabur.

Pandangan mataku fokus mengamati ke mana arah gerak sosok Kak Arara berlari. Apa? Dia menyeberang jalan. Sial. Mana pakai ramai pula jalanan itu.

Aku sedikit kesulitan untuk menyeberang. Aku bisa-bisa kehilangan jejak Kak Arara jika tidak lekas untuk menyeberang. Terpaksa aku ambil inisiatif untuk menerobos semua kendaraan yang berlalu-lalang itu dengan pelan-pelan dan juga hati-hati.

Tidak jarang pula aku mengadang dengan tangan supaya pengemudi baik itu motor maupun mobil, memelankan laju kecepatan kendaraan mereka. Aku sangat berterima kasih untuk itu.

Begitu hampir berhasil sampai di tepian jalan sisi seberang, aku sama sekali tidak menduga akan muncul sebuah motor matic gede hitam melaju kencang ke arahku, usai menyasak bagian tepian jalan untuk menyalip sebuah mobil.

Saking terkejutnya, aku lantas berhenti dan diam mematung. Beruntung pengendara motor matic gede hitam itu bisa menguasai kendaraan yang ditungganginya. Motor matic gede hitam itu pun berhenti tepat di depanku.

Aku yang gemetaran seketika menjatuhkan diri di atas aspal jalanan yang panas. Aku mengembuskan napas lega karena masih diberi keselamatan. Dewi fortuna masih berpihak kepadaku.

Di waktu bersamaan pula, aku sempat-sempatnya berandai-andai. Jika aku memang sampai tertabrak atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diriku, aku akan minta pertanggungjawaban kepada Azhar yang sudah dengan seenaknya menjadikan aku kedok untuk memuluskan apa yang dia inginkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro