Part 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pengendara motor matic gede hitam menepikan kendaraan yang ditunggangi, melepas helm yang dikenakan, kemudian berjalan menghampiriku.

"Maaf. Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka? Aku tidak melihat kalo ada orang sedang menyeberang."

Aku mendongak lalu mendelik ke arah sosok pria jangkung yang berdiri di hadapanku.

"Kamu bisa berdiri, 'kan? Mari aku bantu," kata pria jangkung itu sambil mengulurkan tangannya padaku.

Aku meraih lalu menggenggam erat tangan itu. Aku berdiri sempoyongan, tapi pria jangkung itu dengan sigap menahanku agar tidak jatuh.

"Terima kasih," ucapku menghargai pertolongan pria jangkung itu.

Aku merasa sedikit ada yang aneh. Pria jangkung itu terus memandangiku. Memangnya ada yang salah dengan wajahku, hm?

"Kamu Aini, 'kan?" tanyanya.

Loh? Siapa pria jangkung di hadapanku, kok, dia bisa tahu namaku?

"Sepertinya kamu beneran lupa sama aku," tukasnya lagi.

Siapa, ya? Apakah aku dan pria jangkung itu pernah saling bertemu sebelumnya? Aku diam sejenak. Sekelebat memori berputar cepat di dalam kepalaku. Otakku mengidentifikasi siapa sosok pria jangkung itu sebenarnya.

Namanya Yanuar. Dulu dia memang tetangga sebelah rumah, tapi sudah tidak lagi. Iya. Aku ingat. Aku sudah mengingatnya.

"Om Ye?" tanyaku untuk sekadar memastikan.

"Benar. Ini aku. Aku senang akhirnya kamu ingat aku. Aku tidak menduga sama sekali akan bertemu denganmu dalam situasi begini," ucapnya girang.

"Sama. Aku juga begitu. Bagaimana kabar Om Ye? Sehat-sehat, 'kan? Sekarang Om Ye tinggalnya di mana?" tanyaku kepo.

"Kamu bisa lihat sendiri. Aku sangat sehat. Tempat tinggal aku berada tidak jauh dari sini. Ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu lakukan di sekitar sini?" tanya Om Ye sambil menghunuskan tatapan penuh selidik ke arahku.

Gawat. Bagaimana aku harus menjawabnya. Terpaksa aku memberitahunya dengan sebuah dalih.

"Kak Aira menurunkan paksa aku di sini. Sempat terjadi perseteruan kecil yang membuat dia marah padaku. Jadinya, ya, begini. Aku terlantar."

Lidahku sudah mulai mengucapkan kebohongan. Semuanya itu, ya, gara-gara dia. Siapa lagi kalau bukan Azhar. Namun, Kak Arara pun tidak luput dari kesalahan. Menyebalkan sekali. Aku tersadar dari lamunan sesaat, ketika Om Ye bicara kembali padaku.

"Kasihan kamu. Bagaimana kalo aku antar kamu pulang?"

"Jangan! Jangan dulu! Kebetulan aku juga sedang bosan berada di rumah terus. Aku pikir ini waktu yang sangat tepat untuk sesekali menghirup udara luar."

"Namun, sangat berbahaya apabila kamu berkeliaran seorang diri." Om Ye memperingatkan aku.

"Mau bagaimana lagi? Niat awal, 'kan, memang ingin bersama Kak Aira. Om Ye tenang saja. Aku bisa jaga diri, kok."

"Begini saja. Aku ada ide. Bagaimana kalo kamu ikut sama aku? Aku sangat yakin kamu pasti menyukainya."

"Ke mana?" Aku bertanya dengan dahi berkerut.

"Tidak keberatan, 'kan?" tanya Om Ye memastikan.

"Sama sekali tidak," jawabku enteng.

"Sip. Pakai helm-nya dan aku ambil motor dulu," ucap Om Ye antusias.

Motor matic gede hitam yang dikendarai Om Ye berhenti tepat di depanku. "Naiklah!" seru Om Ye.

Aku permisi dulu kepada Om Ye untuk memegang kedua bahunya kemudian menekan tidak terlalu keras agar aku bisa melangkahkan sebelah kaki ke sisi seberang. Aku sudah duduk dalam posisi nyaman.

"Jangan lupa untuk pegangan yang erat!" pinta Om Ye.

Aku tertawa kecil ketika menanggapi kata-katanya. "Om Ye apaan? Aku tidak akan jatuh kali. Sudah posisi enak dan aman, nih."

Tanpa banyak membuang waktu, Om Ye lantas memelintir stang gas motor matic gede hitamnya itu, meninggalkan tepian jalanan dan mengajakku pergi ke suatu tempat yang katanya aku pasti menyukainya. Hm, menarik.

Penasaran tempat seperti apa, sih, yang Om Ye bisa yakin kalau aku pasti menyukainya. Terlalu berkutat dengan pikiran sendiri, sampai-sampai aku tidak sadar kalau sudah sampai ke tempat tujuan yang dimaksud.

Aku melangkah turun begitu Om Ye telah memarkirkan motor matic gede hitam tersebut tepat di depan sebuah toko yang masih belum buka. Sementara Om Ye sibuk membuka jok motor matic gede hitam untuk mengambil sebuah pouch kemudian merogoh keluar segerombol kunci, aku sekilas membaca spanduk yang terpasang menggantung bertuliskan Selamat Datang di Galeri Buku Waiting Love.

Kedua mataku seketika menyipit.

"Toko ini usaha kecil-kecilan milikku."

Om Ye bersuara dan aku mengalihkan pandangan ke arahnya yang sibuk membuka satu demi satu gembok yang terpasang di pintu lipat toko tersebut. Aku melangkah mendekat untuk ikut membantunya buka toko. Aku dan Om Ye mendorong pintu lipat toko ke arah saling berlawanan.

Di balik pintu lipat, terdapat sebuah pintu lagi yang masih terkunci rapat. Om Ye lekas memasukkan kunci ke slot yang tersedia kemudian memutarnya hingga menimbulkan suara ceklek sebanyak dua kali. Pintu geser kaca terbuka setengahnya untuk memudahkan aku dan Om Ye melangkah masuk.

"Tolong jangan lupa pintunya ditutup kembali, ya, Aini!" Aku melakukan apa yang diminta oleh Om Ye.

"Om Ye bisa manggil aku Nini saja. Orang-orang rumah bahkan tetangga sekitar menambahkan imbuhan Teh di depan Nini. Jadi, panggilanku adalah Teh Nini. Om Ye juga bisa, kok, memanggilku begitu." Aku memberi tahu.

Om Ye menghentikan langkah dan menyempatkan untuk berbalik memandangiku.

"Nini. Teh Nini. Tidak, ah. Itu kaku dan aku tidak pantas untuk mengucapkannya." Om Ye menyanggah kata-katanya sendiri.

"Lantas yang pantas menurut Om Ye itu yang macam seperti apa?" tanyaku yang berhasil dibuatnya bingung.

"Ai? Artinya cinta dalam Mandarin."

Kedua mataku refleks membulat, sementara Om Ye terkekeh usai melihat reaksi yang aku tunjukkan.

"Bercanda doang, ya."

Dih! Aku mikir apaan, sih, sampai-sampai responsku cukup berlebihan?

"Tunggu sebentar, ya! Aku nyalakan lampu dan AC-nya dulu," seru Om Ye yang sosoknya telah menghilang di balik sebuah rak buku.

Ruangan galeri buku telah mendapat penerangan yang cukup jelas. Aku takjub melihat apa yang tersaji di depan kedua mata. Deretan rak-rak buku berjejer begitu rapi. Semuanya terisi full oleh buku-buku.

Puluhan? Ratusan? Entahlah. Hanya pemiliknya yang tahu berapa total buku keseluruhan. Pertanyaan yang paling aku soroti dan ingin aku tanyakan adalah sejak kapan ia mulai mendapatkan dan mengumpulkan buku-buku itu.

"Tuh, 'kan? Benar apa yang aku katakan. Aku tahu persis kamu pasti menyukainya."

Om Ye angkat bicara. Tubuhnya bersandar di tepian salah satu deretan rak buku dengan kedua tangan terlipat di dada. Aku menoleh ke arahnya kemudian memberi tanggapan singkat. "Sangat."

Aku kembali mengalihkan pandangan ke deretan rak-rak buku itu. Aku beruntung sekali bisa dipertemukan dengan Om Ye dan diajaknya ke galeri buku miliknya itu. Aku pikir tidak perlu repot-repot mencari tempat lain yang dituju kalau suatu saat berikutnya aku diturunkan paksa oleh Azhar di tepian jalan seorang diri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro