Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berjalan mendekati Om Ye. Sampai di hadapannya, aku lantas bersuara.

"Nama galeri buku Om Ye ini unik. Mirip judul buku novel yang pernah aku baca dulu. Apa, ya, judulnya? Sebentar. Aku ingat-ingat dulu."

Aku berpikir keras mencoba mengingatnya, tetapi ingatan itu tak mau kunjung tiba.

"Cafe Waiting Love karya Giddens Ko. Apa aku benar?" sebut Om Ye.

Bingo. Tentu saja aku membenarkan jawabannya. Giliran Om Ye yang bergantian bicara. "Aku memang terinspirasi dari judul buku novel itu. Kedengarannya menarik dan sama seperti yang kamu katakan ..., unik."

Aku tersenyum sebagai tanda respons.

"Mau berkeliling melihat-lihat koleksi buku yang ada di sini?" tanya Om Ye.

"Tentu saja mau. Temani, ya!" pintaku antusias.

"Ayo aku temani! Lewatnya mulai dari rak deret sini dulu." Om Ye memberi tahu dengan tangannya terjulur menunjukkan jalan.

Aku berjalan melewati Om Ye dan Om Ye lekas mengekor di belakang. Aku terkesima melihat koleksi-koleksi buku itu yang tertata dan berjejer rapi dalam rak. Memangnya dalam satu rak itu ada berapa banyak buku? Sepertinya puluhan.

Aku ingin menanyakannya kepada Om Ye, tetapi malu. Dasar aneh! Kenapa juga aku harus malu bertanya? Aku tanpa pikir panjang, lantas berbalik secara mendadak tanpa berkata apa-apa. Aku benar-benar lupa kalau Om Ye berada persis di belakangku. Alhasil, kepalaku seketika membentur dada Om Ye dan membuat keseimbanganku goyang.

"Awas hati-hati!" seru Om Ye yang secepat kilat mencengkeram erat kedua lengan atasku, menahanku supaya tidak terjatuh.

"Kamu baik-baik saja? Kepalamu pasti sakit," ucap Om Ye cemas.

"Maaf. Aku tidak berhati-hati," timpalku sambil memijat dahi pelan.

"Bagaimana dengan Om Ye sendiri?" lanjutku bertanya balik.

"Tidak ngefek apa-apa, dong. Aku ini, 'kan, kekar dan kuat," jawab Om Ye percaya diri.

"Ah, iya, ya."

"Memangnya kamu mau ngapain? Kenapa mesti pake acara buru-buru segala?" Om Ye melepaskan cengkeraman kedua tangannya dari lengan atasku.

"Cuma ingin bertanya doang, sih." Aku memberi tahu.

Tawa lebar terlukis jelas di wajah Om Ye. Sepertinya Om Ye geli mendengar jawabanku yang mungkin konyol.

"Bawa santai saja! Kamu bisa tanya ini itu sepuasnya apa yang ingin kamu tahu."

"Niatnya, sih, memang pengen begitu. Namun, aku takut ganggu kerjaan Om Ye." Aku berkilah.

"Ganggu apanya, hm? Bisa lihat sendiri, 'kan? Kerjaanku cuma nyantai-nyantai begini," balas Om Ye.

"Kamu tidak perlu malu ataupun merasa sungkan. Ngerti? Mau dilanjut lagi kelilingnya atau sudah cukup sampai di sini saja?"

"Lanjut, dong. Masa iya udahan? Aku belum puas lihat-lihatnya kali."

"Kalo begitu, ayo!" balas Om Ye mempersilakan aku untuk beranjak melangkah lagi.

Om Ye tidak lagi mengekor di belakang, melainkan menyejajarkan diri untuk berjalan bersisian denganku.

"Sudah berapa lama galeri buku ini beroperasi?" Aku tidak tahan lagi untuk tidak bertanya.

"Pokoknya sudah lama sekali. Semenjak aku pindah dari kampungmu, aku langsung buka usaha galeri buku ini. Berarti itungannya sudah berapa tahun, ya?"

"Sangat lamalah. Pantas aja koleksi-koleksi buku Om Ye bejibun banyak sekali. Semua itu hanya untuk dipinjamkan atau diperjualbelikan juga?"

"Keduanya," jawab Om Ye singkat.

Aku sesekali mengangguk singkat untuk sekadar merespons apa yang diucapkan oleh Om Ye. Akhirnya, langkah kedua kakiku dan Om Ye sampai juga ke deretan rak buku paling ujung sekaligus menjadi yang paling akhir.

"Kamu pasti capek. Duduklah!"

Om Ye menarik sebuah kursi dan mempersilakan aku untuk duduk di kursi tersebut usai berkeliling mengitari deretan rak-rak buku yang ada di dalam galeri buku Waiting Love.

"Mau minum apa? Biar aku ambilkan."

"Apa aja aku suka," jawabku seraya menarik kedua sudut rahang ke atas membentuk seulas senyum.

"Tunggu sebentar di sini, ya!" kata Om Ye yang setelahnya lekas beranjak menuju kulkas pendingin minuman.

Sesaat Om Ye kembali beranjak menuju tempatku berada, lalu berdiri tegap persis di sebelahku. Om Ye datang sambil membawa dua minuman kopi dalam kemasan kaleng, lalu memberikannya satu kepadaku.

Aku meraihnya sambil berucap, "Terima kasih. Jangan berdiri saja! Ikutlah duduk di sebelahku sini!"

"Nitip, ya. Aku mau ambil laptop dulu." Om Ye menyerahkan minuman kopi kaleng miliknya kepadaku sebelum beranjak pergi.

Sementara Om Ye sibuk dengan kerjaannya di laptop, aku lebih memilih fokus membaca sebuah buku novel fiksi yang aku ambil dari deretan rak buku yang ketiga.

"Kamu jangan buru-buru pulang dulu, ya!"

Om Ye memecah keheningan dengan buka suara terlebih dulu. Aku menoleh ke arahnya yang duduk tepat di sebelahku. Om Ye melakukan hal serupa dan itu membuat mataku dan dia saling memandang.

"Memangnya kenapa?" Aku bertanya karena penasaran.

"Tinggallah dan temani aku untuk lebih lama lagi! Itu kalo kamu tidak merasa keberatan."

"Iya, ngerti. Alasan Om Ye memintaku untuk melakukan itu apa?"

Aku sengaja melontarkan pertanyaan itu karena ingin sedikit mengerjai Om Ye. Sepertinya berhasil. Aku mendapati mimik wajah Om Ye seketika berubah kikuk. Gelak tawaku nyaris saja pecah jika tidak aku tahan sekuat tenaga.

"Alasan? Haruskah butuh itu?" Om Ye memastikan dan aku mengangguk cepat.

"Itu karena jarang-jarang ada orang di sini pada jam-jam segini. Biasanya selalu hanya ada aku seorang diri. Aku kesepian. Berhubung ada kamu di sini dan untuk saat ini, aku tidak ingin merasakan kesepian itu lagi untuk sekali waktu. Makanya aku putuskan untuk minta kamu ...."

"Aku mau, kok." Aku sengaja memotong perkataan Om Ye.

"Ya. Baguslah. Terima kasih." Om Ye membalas.

Aku tidak tahan lagi untuk tidak tertawa. Semakin ingin aku melancarkan aksi untuk menggoda pria yang usianya hampir menginjak kepala empat itu.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Om Ye salting.

"Harusnya aku yang tanya begitu," kilahku.

"Tanya apaan, hm?"

"Kenapa ekspresi wajah Om Ye begitu?"

"Begitu gimana maksud kamu?"

"Ya, pokoknya begitu. Bingung mau menjelaskannya."

"Ini, tuh, namanya lagi dalam mode tampan," ucap Om Ye percaya diri. Aku tergelak.

"Oh, ya? Coba mana perlihatkan padaku!" kataku dengan kedua tangan menyentuh wajah Om Ye kemudian menolehkan ke arahku.

Dih! Entah apa yang merasukiku hingga berani melakukan itu tanpa ada rasa canggung sama sekali? Payah. Sudah kepalang basah, aku memberanikan diri memandangi wajah Om Ye.

Memang, sih, harus aku akui Om Ye memiliki paras yang tampan bahkan menawan. Makin berumur, pesonanya makin terpancar jelas saja. Perempuan mana yang tidak terpikat olehnya coba. Aku pun bisa dikatakan termasuk salah satu perempuan itu.

Tangan Om Ye tiba-tiba menarik tanganku untuk menyingkir dari wajahnya.

"Maaf." Aku bergumam singkat.

Alih-alih menanggapi, Om Ye justru semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memejamkan mata. Astaga. Tunggu! Kenapa aku memejamkan mata segala, sih?

Bersamaan dengan aku membuka kedua mata kembali, Om Ye sungguhan mengecup bibirku dengan lembut. Perasaan aneh seketika menjalari sekujur tubuh. Aku dibuatnya melayang dan sosok tentang Azhar terlupakan untuk sesaat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro