Part 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu geser kaca galeri buku Waiting Love terbuka. Sesosok lelaki muda dan jangkungnya sama seperti Om Ye, melangkah masuk.

"Permisi. Aku datang, Pak Tua." Dia berseru.

Astaga. Om Ye dipanggil Pak Tua olehnya. Ingin aku tertawa, tapi aku mencoba untuk menahannya dulu.

"Kamu terlambat, Icad." Om Ye berseru sambil melangkah mendekat ke arah lelaki muda dan jangkung yang dipanggilnya Icad.

"Iya, tahu. Maafkan aku," balas Icad.

"Tak apa. Penting kamu sudah ada di sini. Tolong jagakan galeri bukuku ini sebentar, ya!" pinta Om Ye.

"Tumben. Memangnya mau pergi ke mana, sih? Padahal belakangan ini kamu, 'kan, jarang minta tolong untuk dijagakan galeri bukunya," tukas Icad ingin tahu.

Om Ye lantas menoleh ke arahku yang masih terduduk santai. Icad melakukan hal serupa pula. Icad memandangiku lekat-lekat sembari menelengkan kepala.

"Apakah dia Nyonya Tua? Tambatan hati yang kamu nantikan kehadirannya selama ini?" terka Icad kepada Om Ye tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Kedua mataku membola. Apa yang dikatakan Icad? Dia menyebutku apa? Nyonya Tua? Apa aku terlihat tua di matanya, hm? Menyadari aku menghunuskan tatapan galak kepada Icad, Om Ye lantas menyikut pinggang lelaki muda dan jangkung itu.

"Apaan?" tanya Icad yang akhirnya mengalihkan pandangan matanya ke arah Om Ye.

"Namanya Aini. Dia masih muda. Usianya jauh di bawahku. Jadi, aku minta kamu jangan memanggilnya dengan sebutan apa tadi? Nyonya Tua?"

Aku menangkap Icad menyunggingkan seulas senyum di wajahnya. Icad balas menimpali ucapan Om Ye.

"Iya. Baiklah. Maafkan aku."

"Jangan minta maaf padaku! Minta maaflah padanya!"

Icad kembali memandangiku, lantas berkata, "Maaf. Bukan maksud aku untuk membuatmu tersinggung."

Aku beranjak berdiri, lalu menimpali ucapan Icad. "Minta maaf untuk apa? Santai aja kali. Aku tidak merasa tersinggung, kok, karena aku tahu kalian sekadar berkelakar saja."

"Baguslah. Aku senang mendengarnya," balas Icad.

"Bolehkah kita saling berkenalan?" pintaku sambil menjulurkan tangan kanan ke arah Icad.

Icad menjabat tanganku sambil memperkenalkan diri terlebih dulu. "Tentu saja boleh. Namaku yang asli adalah Richard. Kebanyakan orang lebih terbiasa menyebutku dengan panggilan Icad. Kamu juga bisa ikut memanggilku begitu. Salam kenal, ya."

"Sama seperti yang dikatakan Om Ye, namaku Aini. Salam kenal juga dan senang bisa berjumpa denganmu." Giliranku memperkenalkan diri.

"Ayo aku antar kamu pulang ke rumah sekarang!" Om Ye bersuara.

Aku dan Icad saling melepas jabat tangan. Aku mengangguk, mengiakan ucapan Om Ye. Aku lantas berpamitan kepada Icad.

"Tolong jagakan sebentar galeri bukuku ini! Aku perginya tidak lama." Om Ye berkata sambil menepuk bahu Icad.

"Pergi yang lama pun juga tidak apa-apa," timpal Icad.

Aku dan Om Ye melangkah keluar bersamaan. Sementara Om Ye mempersiapkan motor matic gedenya, aku mengenakan helm. Setelahnya aku bersusah payah menaiki motor matic gede tersebut. Aku berhasil duduk membonceng dengan nyaman.

Sebelum benar-benar pergi, aku kembali menoleh mengamati galeri buku Waiting Love. Aku mendapati Icad berdiri mengawasi dari balik pintu geser kaca. Aku keheranan. Bahkan ketika motor matic gede Om Ye melesat pergi meninggalkan galeri buku Waiting Love tersebut, aku masih mendapati Icad yang terus mengawasi.

Aneh dan mencurigakan. Jangan-jangan dia punya maksud jahat. Namun, prasangka burukku tentang Icad tertepis begitu saja ketika Om Ye menceritakan sosok Icad di tengah perjalanan.

"Jika kamu ada pertanyaan, bilang saja!" Om Ye memulai percakapan terlebih dulu.

Bagaimana Om Ye bisa tahu kalo aku ...? Aku berhenti membatin. Kedua mataku saling beradu pandang dengan kedua mata Om Ye di kaca spion motor matic gede. Om Ye menaikkan kedua alisnya tinggi, sedangkan aku terkesiap mendapati ekspresi wajah kebingungan yang begitu kentara.

Apa boleh buat. Aku lantas melempar pertanyaan kepada Om Ye. Tak tanggung-tanggung, aku langsung to the point. "Kenapa Om Ye bisa memercayakan galeri buku Waiting Love itu kepada seseorang seperti Icad?"

"Hm?" Om Ye cuma merespons singkat.

Apaan cuma hm doang?

"Begini. Maksudku itu ..., tidakkah Om Ye menaruh curiga padanya? Bagaimana kalo dia punya niat jahat ingin menjarah galeri buku Waiting Love itu? Sekarang, 'kan, kejahatan lagi marak-maraknya dan aku tidak mau itu terjadi."

Bisa aku lihat dari kaca spion motor matic gede, Om Ye mengukir seulas senyum di wajahnya. Senyum yang sangat meneduhkan dan lama-lama aku bisa dibuat terpikat olehnya. Dih, astaga! Aku apa-apaan, sih? Yang dibahas Icad, kenapa pikiranku melayang sampai ke arah sana?

"Tak perlu kamu punya pikiran maupun prasangka buruk tentangnya. Selama mengenal dia, Icad itu sosok lelaki yang baik dan pintar. Berwawasan luas. Suka menolong sesama dan tidak pelit untuk menularkan ilmu yang dia miliki. Dia juga sosok perhatian dan lembut."

Aku secepat kilat menimpali ucapan Om Ye yang begitu panjang lebar memaparkan karakter sifat Icad. "Apa? Lelaki model begitu disebut lembut? Lembut dari mana?"

Om Ye terkekeh.

"Loh, kamu jangan salah. Icad itu memang beneran lembut orangnya. Kamu jangan tertipu sama wajahnya yang terkesan terlihat fierce. Kalo kamu tidak percaya, kamu bisa lihat sendiri. Tepatnya sejam lagi dari sekarang, akan ada acara kumpul anggota komunitas baca yang dibesut dan digagas oleh Icad di galeri buku Waiting Love.

Andai kamu masih stay di sana dan tidak buru-buru minta pulang, aku yakin kamu pasti bisa lihat bagaimana perhatian dan lembutnya Icad memperlakukan para member komunitas bacanya."

Aku tersentak kaget mendengarnya, kemudian buru-buru melayangkan protes. "Kenapa Om Ye baru bilang? Kenapa tidak memberi tahu dari tadi, sih?"

"Maaf. Aku lupa."

Om Ye menyahut dengan terbersit nada sesal di dalam suaranya. Entah apa yang merasukiku hingga aku tiba-tiba berani melingkarkan kedua tangan ke pinggang Om Ye sambil berucap, "Mungkin karena faktor usia, makanya Om Ye lupa."

"Belum. Aku masih belum setua itu. Masih tuaan besok." Om Ye menimpali.

"Gimana? Kamu mau lihat acaranya? Kalo iya, aku bisa putar balik, nih." Om Ye melanjutkan kembali ucapannya.

Aku menggeleng cepat. "Tak usah. Ngapain juga balik? Sebentar lagi, 'kan, sudah sampai rumahku. Buang-buang bensin saja," balasku dengan bersungut.

"Baiklah. Mungkin lain waktu kamu bisa lihat acaranya." Om Ye bergumam sambil mengelus lembut tanganku yang masih melingkar manis di pinggang Om Ye.

Aku baru menyadari apa yang telah aku lakukan. Aku ingin bergerak melepaskan tangan dari pinggang Om Ye, tapi Om Ye buru-buru mencegahnya. Om Ye makin erat saja mencengkeram kedua tanganku yang masih saling bertaut itu dengan sebelah tangannya, sementara tangan yang satu lagi tetap memelintir stang gas motor matic gede.

"Sebentar saja, tetaplah seperti ini!" pinta Om Ye setengah berbisik.

Aku tidak berkomentar apa-apa. Aku membiarkan diri melakukan apa yang Om Ye minta. Aku memeluknya dari belakang dan aku merasa nyaman. Jika begitu terus, bisa-bisa aku enggan pulang ke rumah karena tak ingin jauh darinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro