Part 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Motor matic gede yang aku dan Om Ye kendarai, telah berhenti persis di depan pintu pagar rumahku. Aku turun dengan hati-hati, lantas melepas helm. Aku bergumam sesuatu kepada Om Ye. "Tidak inginkah Om Ye untuk mampir sebentar?"

"Sebetulnya ingin, tapi bukan sekarang. Maaf, ya," balas Om Ye.

Aku merasa sedikit kecewa mendengar jawaban yang dilontarkan. Om Ye mengelus pelan puncak ubun-ubun kepalaku seraya berucap, "Jangan sedih begitu! Aku pasti mampir, kok. Sekarang lebih baik kamu lekaslah masuk ke rumah dan aku harus pamit."

Hatiku sedikit merasakan ketenangan. Aku pun lantas berkata balik. "Sebelumnya terima kasih, ya, Om Ye sudah berkenan mengantarkan aku pulang. Om Ye boleh pergi. Hati-hati di jalan dan jangan ngebut-ngebut!"

"Sampai jumpa, ya, Aini."

"Sampai jumpa," gumamku pelan sambil melambaikan tangan.

Pandangan mataku tak bisa lepas mengamati sosok Om Ye hingga benar-benar menghilang. Itu aneh. Kenapa hatiku terasa begitu berat berpisah dengan Om Ye? Ah, sudahlah! Apa, sih, yang aku pikirkan?

Tak ingin berlarut-larut lamanya diam seorang diri seperti patung, aku bergegas berbalik untuk melangkah masuk ke rumah. Aku menggeser pintu pagar rumah yang berwarna krem. Baru beberapa langkah kakiku menginjak halaman depan rumah, aku dikejutkan oleh sesuatu yang tertangkap jelas oleh kedua mata.

Sebuah motor matic gede berwarna hitam lagi. Siapa yang sedang bertamu ke rumah? Motor matic gede itu tampak tidak asing. Aku menyipitkan kedua mata.

Aku benar-benar lupa. Sungguh. Aku benar-benar lupa. Jeda sesaat untuk berpikir, barulah aku teringat. Teringat dia. Ya, dia. Siapa lagi kalau bukan Azhar. Kedua mataku membulat sempurna. Tunggu dulu! Untuk apa dia datang berkunjung ke rumah?

Gawat. Gawat sekali. Apa yang akan dikatakan olehnya apabila bertemu dengan ibuku? Aku bergegas berlari meninggalkan halaman depan rumah untuk lekas masuk ke ruang tamu. Aku berhasil menampakkan diri ke hadapan ibuku dan juga ....

Aih! Malas sekali aku menyebut namanya. Jangankan menyebut nama, ya, bertemu dengannya pun aslinya aku enggan setelah apa yang dilakukannya terhadapku. Ibu bangkit berdiri dari kursi yang diduduki untuk berlari mendekatiku.

"Teh Nini. Kamu memangnya pergi ke mana saja? Masa iya perginya baik-baik bersama berdua, pulangnya tidak," ucap ibuku khawatir setengah mati.

Aku seketika menghunuskan tatapan tajam ke Azhar yang masih terduduk di kursi. Semua gara-gara dia. Maunya dia itu apa, sih? Pakai acara datang berkunjung ke rumah, lalu membuat ibuku cemas dan khawatir setengah mati.

"Harusnya kamu jangan diam saja. Setidaknya beri dia kabar. Azhar sudah berulang kali mengirimi kamu pesan chat, tapi tidak kamu balas. Menelepon kamu berulang kali juga, tidak kamu jawab." Ibu melanjutkan ucapan sambil menggenggam kedua lengan atasku cukup erat.

Sebentar? Apa aku tidak salah dengar? Ibu bilang apa? Lelaki model macam Azhar mengirimiku pesan chat bahkan menelepon pula? Kerasukan barang halus dari mana dia? Tidak. Pokoknya aku tidak percaya sama sekali Azhar melakukan hal begituan.

"Kamu ini kenapa, sih, Teh? Coba cek saja ponsel kamu kalo tidak percaya!" Ibuku mendesak.

Kuturuti apa yang dikatakan oleh ibuku. Aku menyelempangkan sling bag ke depan, membuka resleting sling bag tersebut, mengeluarkan ponsel dari dalam. Aku lantas segera melakukan pengecekan. Aku tersenyum penuh kemenangan.

Ya, ibuku benar. Memang Azhar melakukan itu, tetapi bukan berarti dia perhatian bahkan mengkhawatirkan aku. Bukan. Itu salah besar. Jangankan menanyakan keberadaanku, Azhar justru mengirimiku pesan chat untuk memintaku berkilah.

Luar biasa tokcer isi kepalanya, ya. Aku memelototi Azhar. Ingin saja aku adukan semuanya kepada ibuku. Biar dia tahu rasa dan tidak mengulanginya lagi lain waktu. Namun, setelah dipikirkan baik-baik, aku jadi urung melakukannya.

Ibarat pepatah senjata makan tuan, aku tidak ingin hal itu terjadi. Aku memang bersikeras ingin menyalahkan Azhar, tetapi bagaimana jika tiba-tiba dia berbalik arah ganti menyudutkan aku? Bisa gawat, 'kan?

Memang sementara aku diharuskan untuk mengalah dari dia. Baiklah. Akan aku ikuti alur permainannya. Aku menghela napas sebelum pada akhirnya bergumam sesuatu.

"Nini minta maaf karena sudah buat Ibu dan juga dia merasa cemas dan khawatir. Sebetulnya tadi itu bukan maksud Nini untuk berpisah dengan Azhar di tengah jalan. Bu, Nini melihat sosok yang mirip seperti Kak Arara.

Nini mengejarnya, Bu, tapi kehilangan jejak karena sosok yang Nini duga sebagai Kak Arara, larinya cepat sekali. Nini sungguh minta maaf sudah gegabah melakukan sesuatu."

"Kamu bisa menjelaskannya kepada Ibu nanti. Penting Azhar dulu. Kalian berbincanglah dengan santai. Ibu masuk dulu, ya. Masih ada beberapa kerjaan di dalam yang harus Ibu selesaikan."

Setelah berkata demikian, ibuku lantas beranjak pergi meninggalkan ruang tamu. Ibu menyediakan tempat dan waktu bagi aku dan Azhar untuk saling bicara berdua. Kalau boleh jujur aku, sih, enggan melakukannya. Mungkin Azhar pun juga demikian. Namun, karena tak ingin menarik kecurigaan ibuku, mau tak mau aku tetap harus melakukannya.

"Ikut aku! Kita bicara di teras."

Aku memang sengaja menarik Azhar untuk keluar meninggalkan ruang tamu menuju teras depan rumah. Aku ingin lebih leluasa bicara empat mata dengannya tanpa bisa didengar sedikit pun oleh ibuku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro