Part 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Azhar memilih bicara empat mata dengan berdiri bersisian. Ingin cepat-cepat rasanya aku mendamprat dia. Belum juga sempat aku lakukan, Azhar terlebih dulu buka suara. Cara bicaranya sangat santai dan itu makin membuatku jengkel saja.

"Karangan cerita Kakak ciamik sekali."

"Asal kamu tahu, ya, tadi itu bukan sekadar karangan belaka. Benar-benar terjadi sungguhan. Berterima kasih kamu kepada Kak Arara! Berkat aku yang mengejar dia, perlakuanmu padaku yang tak mengenakkan hati jadi tak tampak ke permukaan. Menyebalkan. Harusnya aku adukan semua kepada ibu tadi," ucapku bersungut kesal.

Walau pandanganku lurus ke depan, aku merasa sedang diamati oleh Azhar. Aku menggerakkan bola mata untuk melirik sekilas dan ternyata benar. Azhar memandangiku.

"Apa kamu lihat-lihat? Sebelum kekesalanku berubah menjadi emosi, mending kamu balik pulang sana!" tukasku sewot dan setengah mengusir Azhar.

"Baiklah, Kak. Aku balik."

Azhar benar-benar melakukan apa yang aku ucapkan. Azhar bergerak meninggalkan teras depan rumah untuk menuju ke motor matic gede hitam miliknya. Aku pun melakukan hal yang serupa.

Dengan perasaan mendongkol yang masih bersarang di dalam hati, aku dengan langkah cepat berjalan menuju pintu pagar rumah. Aku menggeser pintu pagar rumah hingga terbuka lebar supaya Azhar bisa melewatinya dengan mudah.

Setelah benar-benar meninggalkan rumah, aku menggeser pintu pagar dengan sedikit gerakan kasar hingga menutup rapat kembali. Setibanya aku di dalam rumah, ibuku muncul dari balik dapur kemudian berjalan mendekat ke arahku. Hal pertama yang diucapkan oleh ibuku ialah menanyakan keberadaan Azhar.

"Loh! Azhar mana?"

Aku mendecakkan lidah. Dengan nada kurang bersahabat, aku menjawab pertanyaan ibuku. "Nini sudah menyuruhnya pulang. Untuk apa juga mesti berlama-lama di sini? Bikin kesal saja."

"Jangan cemberut begitu! Ayo duduk dan ceritakan semua yang terjadi kepada Ibu!"

Ibu menggiringku ke ruang makan. Kami duduk saling bersebelahan di kursi makan. Ibu telah memosisikan diri untuk siap menyimak ceritaku. Aku melipat kedua tangan di atas meja makan. Enaknya dimulai dari bagian yang mana, nih? Lebih baik langsung saja ke bagian saat aku tidak sengaja mendapati sosok Kak Arara.

"Sewaktu pergi dengan Azhar, Nini tidak sengaja menangkap sosok Kak Arara berdiri di tepi jalan. Biarpun cuma sekelebat, Nini sangat yakin itu memang Kak Arara. Nini minta Azhar untuk ikut bantu mengejar, tapi dia menolak. Apa boleh buat. Di tengah perjalanan, Nini minta diturunkan paksa."

Skip. Pada bagian itu, aku memang sengaja mengubah fakta yang sebenarnya. Aku tidak ingin ibu tahu apa yang sudah dilakukan Azhar kepadaku. Setelah dipikir-pikir lagi, aku memang sangat bodoh. Mau-maunya aku menutupi kesalahan Azhar.

"Kamu, kok, malah diam? Kelanjutannya terus gimana, Teh?" Aku kembali mendengar ibu bersuara, membuyarkan jeda diamku.

"Kelanjutannya, ya, Nini mengejar Kak Arara. Larinya Kak Arara kencang banget. Nini kewalahan sampai-sampai nyaris tertabrak sepeda motor sewaktu menyeberangi jalan."

Ucapan yang aku lontarkan berhasil membuat ibu spontan mendekap bibir erat. Setelahnya, ibu menyentuh beberapa bagian tubuhku silih berganti.

"Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka, Teh?"

Kentara sekali raut wajah ibu yang cemas setengah mati. Aku cepat-cepat menenangkan ibu. Aku menyentuh tangan ibu kemudian aku genggam erat.

"Nini baik-baik saja. Tidak ada luka lecet sedikit pun. Jadi, Ibu bisa tenang sekarang," ujarku pelan.

"Sungguh? Kamu jangan coba-coba bohong sama Ibu, loh, Teh!" timpal ibu yang masih setengah tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan.

"Nini sama sekali tidak bohong. Lagipula pemilik kendaraan bermotor yang nyaris menabrak Nini, orangnya sangat bertanggung jawab."

Aku melihat kening ibu berkerut. Sepertinya ibu mulai penasaran dengan apa yang aku katakan. "Memangnya siapa pemilik kendaraan bermotor itu, Teh?"

Tuh, 'kan? Dugaan aku benar. Ibu penasaran.

"Om Ye, Bu," jawabku antusias.

"Om Ye siapa?" Ibu menunjukkan respons berbeda.

"Masa iya Ibu lupa sama Om Ye?"

Ibu mengangguk yakin. Wajar saja, sih, kalau ibu lupa akan sosok Om Ye. Secara Om Ye sudah lama sekali meninggalkan kampung tempat tinggalku. Sudah hampir sepuluh tahun, ya.

"Ibu makin kepo, nih, sama sosok Om Ye yang kamu bicarakan." Aku hanya tergelak mendengar komentar ibu.

"Teh. Kamu serius tidak ada niatan memberi tahu Ibu siapa sosok Om Ye itu?"

Aku menggeleng pelan sambil berucap, "Ibu nanti akan tahu sendiri jika Om Ye datang menyambangi rumah."

"Dia ingin berkunjung kemari? Kapan?" tanya ibu antusias.

Disodori pertanyaan seperti itu, membuatku menjawabnya hanya dengan gerakan gelengan kepala.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro