🌫 Masih Tidak Jelas Alasannya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 08
Masih Tidak Jelas Alasannya

* * *

"Bawa dia segera ke rumah sakit, Pak. Saya akan memeriksa yang ada di mobil," ucap Daffin setelah memindahkan sahabatnya itu ke tangan yang benar. Maniknya menatap tajam semua orang di sana yang perlahan membubarkan diri dari sana.

Dasar people-people berotak akar dua, batin sang sekretaris berandalan XII IPS 1 itu, kakinya sudah gemetaran karena dia juga terluka karena kecelakaan tersebut. Kalau berkata dengan jujur, pemuda yang paling pendek dari teman-temannya itu bisa saja minta untuk diantar ke rumah sakit sekarang dengan Zyan. Namun, dia bukan orang yang seperti itu.

Dengan sebelah tangan yang menutup luka di lengan atasnya sendiri--dia baru saja menyadari luka itu ketika tim paramedis mengatakan kepadanya--Daffin membuka pintu mobil yang masih berfungsi baik.

Mata sipit dan tajam itu mengguncang bahu sang kemudi, seorang pria.

"Pak? Pak? Pak?" tanya Daffin yang menghentikan kegiatannya. Dia juga tidak bisa terlalu keras karena dia sendiri juga sakit. Tangannya memeriksa nadi di sekitar leher dan membulatkan matanya.

"Mayday! Mayday! Yang di sini, pernapasannya melemah! Dia dalam keadaan pingsan!" teriaknya yang berlari kecil ke arah ambulans di dekat mereka. Sayangnya, keseimbangannya tidak terlalu baik dan akan terjatuh kalau tidak ditangkap oleh seorang tim medis di sana.

Sialnya, Daffin tidak sempat melihat rupa orang tersebut yang tengah menyangga tubuhnya sekarang. "Selamatkan Bapak itu!" teriaknya yang tidak bisa bergerak karena tubuhnya benar-benar dikunci oleh orang yang sama.

"Bawa tandu ke mobil tersebut. Anak ini benar-benar tidak akan pergi kalau dia tidak melihat lainnya dibawa ke rumah sakit."

Saat itu juga, dia membisu mendadak. Maniknya melihat ke arah orang yang menangkapnya itu tengah memperhatikan sekujur tubuhnya.

"Kak ... Jovanka? Kenapa Kakak ada di sini?" tanya Daffin yang mendadak sadar sempurna.

"Rumah sakit paling dekat sini adalah rumah sakit tempat Kakak bekerja. Kakak turun langsung ke lapangan dengan mereka, karena kau melaporkannya dengan darurat," seru seorang wanita tersebut yang berbalik memapahnya untuk sampai ke ambulans.

"Memang darurat," decih yang lebih muda membiarkan wanita tersebut memapahnya menjauh dari lokasi kecelakaan.

"Masih bisa duduk? Ambulans yang Kakak minta cuma dua tadi, mana Kakak tahu kalau korbannya tiga," kata yang dipanggil dengan Kak Jovan itu. Daffin mengangguk dan dibawa masuk ke dalam kendaraan satu-satunya di sana. Ambulans yang membawa Zyan sudah duluan ke rumah sakit.

Jovanka berdiri di belakang mobil putih itu setelah laki-laki yang sering ditemui di rumah kekasihnya sudah tenang di kursi panjang yang dikhususkan untuk pendamping pasien. "Tunggu di sini, jangan kemana-mana. Sudah sakit begitu masih bisa-bisanya lari. Kalau jatuh gimana? Nggak Abang, nggak Adeknya sama saja. Memangnya kalian itu superhero?" omel wanita yang masih memakai snelli-nya yang telah kotor akan bekas darah.

Daffin terkekeh pelan, sesekali meringis karena rasanya cukup sakit untuk tertawa. Tidak salah dia memberikan persetujuan untuk wanita yang tengah sibuk menjalani jam koas-nya sekarang menjalin hubungan dengan saudaranya itu.

Tidak berapa lama kemudian, tandu yang dibawa ke mobil itu kembali dengan manusia yang tidak sadar, dipindahkan ke bangsal pasien. Jovanka dan tim medis lainnya ikut masuk ke ambulans. Lalu, berangkat ke rumah sakit terdekat.

* * *

Jumat, Februari 2020
Jakarta, Indonesia

Johan mendorong bahu gadis yang selalu menjadi boncengannya dengan senyum mengejek. Tidak peduli dengan tamparan halus di tangannya dari Angel.

"Sasa, aku sudah mau jatuh ini. Astaga, tangga ini!" pekik Angel yang berusaha mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak membuat aksi memalukan untuk diingat. Setelah berada di persinggahan anak tangga tersebut, Johan berhenti bermain-main dan tertawa puas.

Gadis tersebut mencebikkan bibirnya sendiri dan memberikan satu pukulan di lengan atas pemuda tersebut, "Kalau tadi aku jatuh gimana? Sasa mainnya bahaya."

Laki-laki yang telah dalam masa remaja menuju pendewasaan itu menghentikan tawanya dan memajukan wajahnya sendiri, mengusak rambut Angel yang sengaja digerai hari ini, "Iya, deh. Lain kali nggak ada lagi. Soalnya, dari kemarin cemberut mulu. Ini kalau ditawarin mi aceh sama jus alpukat pasti nggak cukup."

"Martabak manis sama martabak telur daging," balas Angel yang perlahan menerbitkan senyumannya. Lalu, Johan menemaninya masuk ke dalam kelas. Rasanya aneh melihat sahabatnya ini yang biasanya terlalu suka tersenyum mendadak menjadi berubah kepribadian dalam satu malam.

"Eh? Itu serius beritanya Angel?"

"Ya, serius. Woi, orangnya sudah datang, goblok. Jangan kuat-kuat!"

"Memangnya kenapa? Dia sendiri yang mainnya kejauhan, kenapa kita yang harus diam-diam? Harusnya orang seperti Angel itu harus dilempari batu baru dia tahu malu."

"Tempo lalu sama Lucas, sekarang sama pemuda asing tajir bawa pulang, mana sepertinya sudah kerja pula."

Johan refleks melihat ke samping, menutup sepasang telinga gadis tersebut dan menuntunnya untuk duduk di tempatnya. Tidak cukup dengan itu, sepasang manik gelap sipit itu memberikan tatapan tajam kepada sekumpulan teman sekelas mereka yang duduk di pojok kelas.

Bagaikan jentikan jari, mendadak seisi kelas tersebut menjadi diam.

Pemuda itu terlihat tidak peduli dengan sekitarnya dan memberikan headset dan ponselnya kepada Angel, "Pakai ini, masih ada sepuluh menit sebelum bel. Tentang Fisika, setelah pulang akan kuajari. Di sini terlalu banyak kaum iri." Dengan sengaja mengeraskan suaranya mengatakan kalimat terakhir.

"Sudah biarin saja. Ta men bu zhi dao wo de sheng huo," jawab Angel dengan pelan. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Johan, mata gadis itu terlihat menyendu dan pasrah akan keadaan. Dia jelas paham dengan kalimat yang dilontarkan oleh gadis tersebut.

*Mereka tidak tahu tentang kehidupanku.

Lucas yang duduk di belakang mereka hanya diam. Dia menarik eksistensi dirinya. Karena, tahu betul kalau dia turun tangan maka yang terkena getah hanyalah Angel.

Peristiwa itu tidak akan dilupakan olehnya dan Angel sebagai korban.

* * *

"Kau yakin tidak mau mencari tahu?" tanya Johan sembari menggenggam coklat panas dengan kedua tangannya yang bersandar di atas pagar besi balkon kamarnya. Sinar rembulan yang malu-malu bersembunyi di balik awan gelap berhasil menyinari kolong langit samar-samar.

Telinganya tersumpal benda keras penyalur suara dengan ponsel dalam kantung piyamanya.

"Angel, yakin nggak mau cari tahu? Pelakunya jelas di depan mata kita, jelas itu adalah Isha pelakunya."

Angel yang bersandar penuh pada tembok balkon yang dibuat setinggi pinggangnya menghela napas pelan. Lima menit lagi sudah akan berganti hari dan dia tidak bisa kunjung tidur dari dua jam yang lalu, satu jam kemudian dari sana Johan ikut bergabung dengannya setelah menelepon.

"Tidak perlu, Sasa. Aku baik-baik saja," jawab Angel yang kembali mengeraskan kepalanya.

Tidak peduli dengan sahabatnya itu mengerang kesal. "Why?" tanya Johan yang terlihat stress. Manik gelap pemuda tersebut mengalihkan pandangannya ke langit-langit.

"Because, I don't know the reason," jawab Angel berselang beberapa detik kemudian. Di bawah cahaya rembulan, manik gadis itu tampak bercahaya. "Alasannya berbuat seperti ini. Kalaupun itu benar adalah Isha. Isha bukan gadis yang seperti itu."

Johan berdecih kesal, tidak seperti itu katanya? Jadi, siapa yang minggu lalu melabrakmu, Gel?

"I'm okay, Jo. Aku nggak terluka, mending sekarang tidur, biar besok kau tidak terlambat bangun."

Pemuda itu mengangguk pasrah. "Good night, Gel," sahutnya pelan dan kembali masuk ke dalam balkon. Begitu juga dengan gadis tersebut yang melakukan hal yang sama. Namun, alih-alih berbaring di kasur kamarnya. Dia hanya mengambil plushie beruang grizzly--hadiah dari seseorang--dan keluar dari kamar dengan telapak kaki yang telanjang menginjak permukaan dingin lantai keramik.

Tangannya langsung mengetuk daun pintu di depannya ini, warna yang sama dengan warna pintu kamar pribadinya. Pintu tersebut berderit tanda dibuka tidak lama setelah itu.

"Eh? Angie? Kenapa, Dek? Kok belum tidur?" tanya Arvin yang sudah santai dengan pakaian rumahannya, kaus singlet dengan boxer keabuan.

"Nggak bisa tidur. Temenin, ya, Kak."

Si sulung menganggukkan kepalanya sembari menyalakan lampu kamar yang lebih terang, memberikan ruang untuk adiknya masuk ke dalam ruangannya sendiri.

"Lho? Kakak habis kerja? Aku balik aja, deh, ya?" Angel menunjuk ke arah meja kerja sang kakak yang berantakan.

Arvin langsung melangkah kembali masuk setelah menutup pintunya, dia merapikan barang-barang di atas meja, "Oh, itu. Sudah siap, kok. Besok tinggal dibawa ke kantor, ada rapat bulanan soalnya. Sekarang Angie mau ngapain?"

"Nonton film, ya, Kak," kata si bungsu yang sudah nyaman di atas sofa yang langsung mengarah pada televisi gantung di depan. "Mumpung Kak Dwi belum pulang, kita nonton yang horor."

Laki-laki tersebut mengangguk, bergerak ke depan televisi untuk menyetel film yang ditonton bersama tengah malam ini. "Dek, bawa cemilannya ke sini," pinta Arvin dengan mata yang masih sibuk mengurus teknologi.

"Di mana? Pantry bawah?"

"Nggak. Itu kemarin Kakak ada simpan makanan di kulkas mini, ambil di sana. Sebelahnya ada keranjang juga, ambil cemilan manapun yang Adek mau. Kakak titip snacks kacang," balasnya lagi, Angel meletakkan plushienya di sofa, sedangkan kakinya berjalan ke samping lemari yang berisi pakaian sang pemilik kamar.

Matanya berbinar bahagia ketika melihat banyaknya makanan tersedia di sini.

"Yang manapun?" ulang Angel yang memaku penglihatan di depan kulkas mini tersebut.

"Iya, yang manapun."

Angel langsung memekik riang, mengambil apapun yang dia inginkan serta permintaan Arvin. Sedangkan, si sulung Anandra tidak merasa keberatan sama sekali.

Karena, dia tahu, Angel yang tidak bisa tidur di jam larut seperti ini adalah Angel yang terlalu banyak pikiran dan perlu ditemani sampai anak perempuan itu sendiri mengantuk dan mengarungi alam mimpi.

* * *

To Be Continue

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro