🌫 Rapat Meja Petak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 25
Rapat Meja Petak

* * *

Lucas menyipitkan matanya ketika merasa sesuatu yang aneh. Tim piket hari ini berjalan dengan lancar. Meskipun, telinganya harus dikorban mendengar lengkingan Aeri. Jam pelajaran juga sudah selesai dan Adelia masih ada jam tambahan selama satu jam kedepan sebelum dia menjemput pacarnya itu pulang. Maniknya mengarah ke sampingnya, ada orang dan terlihat setengah nyawa.

Sontak, dia memukul lengan teman sebangkunya sekarang dengan mimik ragu, "Gue dari tadi mengira ada yang salah. Ya, ada dan itu lo. Lo kok masih di sini?"

"Nggak boleh?" tanya Johan balik.

"Boleh boleh aja, sih." Ketua kelas itu menggaruk pelipisnya ragu. "Cuma, lo biasanya langsung pulang kalau si Angel sudah pulang duluan," sambungnya yang berusaha tidak menyinggung laki-laki ini.

"Ya sudah, gue cabut."

Pemuda yang sama tingginya dengan Lucas itu melenggang pergi dengan tas sekolah yang tersampir di pundak kirinya.

"Nah, kan, tuh anak kenapa, dah?" gerutunya yang melihat Johan menuruni tangga. Lalu, menghembuskan napasnya pasrah.

Jelas, Johan tidak langsung pulang. Dia berbelok dan menaiki tangga di gedung yang lainnya, koridor yang sudah lumayan sepi.

Zyan
[Kita ketemu di kelas setelah pulang sekolah]
[Kali ini gue serius]

Johan
[Ya.]

Dia itu menunggu kosongnya kelas pemuda tersebut dan ketika sudah sampai di depan kelas XII IPS 1, memang nyaris tidak ada siswa sama sekali di sana. Dia tidak pernah menginjak sampai ke sini, paling jauh hanya kelas sepuluh. Karena, ada adik kelas yang masuk ke ekstrakulikuler yang sama.

"Lo terkejut ngelihat kelas gue sampai nggak bisa jalan?" Suara menyebalkan khas Zyan menyadarkannya.

"Nggak, biasa saja."

"Ngaku? Lo pasti terkejut melihat kelas anak IPS serapi begini, kan?" tanya si pemilik kelas tersebut.

Johan menggelengkan kepalanya, bibirnya terbuka memberikan jawaban singkat dan mutlak, "Bersih itu tidak memandang bulu."

"Lo kenal Johan darimana, woi? Jauh amat lo kelilingnya."

Suara yang jauh lebih berat dari Zyan itu terdengar ketika menyadari siapa yang datang.

"Heum? Lo rasa, Daf?"

Daffin berdecih sinis, dia menarik tas sekolahnya yang terlihat kosong untuk dibebankan ke pundak kanannya, "Lo bakalan susah, sih dapatin doi kalau dari temannya. Gue cabut dulu, si Abang rese dibawain sushi, anjir."

"Padahal, bisa pesan online. Kangen kali dia sama adeknya yang bantet ini," balas Zyan dengan tidak ada akhlaknya.

"Gue lempar lo dari lantai tiga sini, tahu rasa lo. Dah lah, emosi kalau bicara sama lo." Daffin langsung keluar dari kelas tanpa menyapa Johan sama sekali. Pemuda itu juga langsung mengambil tempat di barisan depan duduknya Zyan.

"Mau ngomong apa?" tanya Johan setelah meletakkan tasnya di atas meja yang penuh dengan coretan asal.

"Lo bertengkar sama Angel?" Zyan langsung ke topik bahasannya.

"Ntah," jawab si 'ace' dengan bahunya yang terangkat.

Siswa jurusan sosial yang telah mengeluarkan seragamnya dari celana itu menyipitkan matanya, "Serius, anjir. Lo ada masalah apa dengan Angel? Tingkah lo dari tadi itu aneh banget. Orang yang punya mata di sini pada tahu lo tuh selalu bareng dia, Angel kenapa-napa lo langsung tolongin. Kali ini, lo kenapa nggak gerak sama sekali?"

"Gue juga nggak tahu. Dia sendiri yang minta mau begini."

Suara yang terdengar mengeluarkan uneg-unegnya itu membuat Zyan mengerut dahinya.

"Maksud lo?"

"Dia yang minta gue untuk nggak temanan lagi dengan dia, cukup kayak gini. Jadi, tetangga yang cuma tahu keberadaan masing-masing dia bilang. Gue pindah tempat duduk setelah itu," cerocos Johan yang nyalang ke arah lawan bicaranya.

"Bodoh," umpat Zyan cukup keras.

Johan tertegun sejenak dan Zyan melihatnya dengan raut yang remeh, "Lo bodoh."

"Orang-orang sini pada bilangin lo itu pintar dan bisa apa aja. Tapi, tentang Angel, lo mendadak bodoh. Lo sekelas sama dia, nggak mungkin lo nggak tahu dia dibenci sama si nenek lampir satu itu," katanya yang menaikkan nada karena tidak habis pikir dengan laki-laki ini dekat dengan Angel.

"Dia diam selama ini, melawan pun nyaris nggak ada. Gue ada di sana saat si nenek gila itu minta dia untuk ngejauhin lo dengan sifat manipulatifnya bilang lo bakalan celaka kalau terus-menerus sama dia."

Johan melebarkan matanya terkejut, berita yang tidak pernah dia ketahui selama ini.

"Buka matamu lebar-lebar, jir. Lo harusnya tetap temanan dengan dia, dekat dengan Angel dimanapun seperti biasa. Justru dengan lo yang menjauh dari Angel, si nenek lampir itu makin senang ngelihat dia sendirian sekarang!" bentak Zyan yang menamparnya lewat kata-kata.

"Lo paham sekarang situasinya? Bagus, sekarang perbaiki."

Zyan mengambil tasnya juga dan langsung keluar dari kelasnya. Johan membuka bibirnya, alih-alih mengucapkan sepatah dua kata untuk menyelesaikan pembicaraan mereka, dia berkata, "Lo kenapa ceritain ke gue? Lo bisa pakai masalah ini buat Angel suka sama lo, biar perasaan lo terbalas."

"Lalu, pertemanan lo dengan dia rusak begitu?" tanya Zyan balik. Pemuda itu menunduk ke bawah melihat ke lantai kelasnya yang tidak begitu bersih dan mengangkatnya lagi melihat ke luar pintu kelas yang terbuka lebar.

Sinar yang begitu terik menambah bumbu percakapan mereka.

"Kepikiran, kok. Kalau gue jalanin apa yang lo pikirin, lo nggak bakalan tahu kebenarannya selamanya. Gue nggak bakalan biarin Angel tahu kalau sampai gue ngelakuin hal keji kayak gitu. Dia lebih butuh lo daripada gue sekarang," kata Zyan yang tersenyum getir.

"Masalah gue suka sama dia, itu masalah gue pribadi. Gue egois kalau memanfaatkan masalah ini untuk gue sendiri. Dan lagi, gue percaya dengan gue sendiri bisa bikin Angel suka sama gue, yang gunain hal begituan biasanya minder sama diri sendiri, cupu sih."

Laki-laki itu berbalik dan melihat Johan yang mematung di tempat duduknya. Dia berkata satu kalimat sebelum sungguhan keluar dari ruangan tersebut.

"Lagipula, kalau dengan begitu Angel suka dengan gue, tapi dianya masih kepikiran hubungannya dengan lo. Gue bisa jadi orang jahat di sana."

* * *

Rasanya hari ini sangat panjang bagi Angel sendiri untuk dilewati, dia baru saja selesai mandi dan Mila memintanya untuk turun karena ada orang yang ingin bertemu dengannya. Awalnya, dia tidak berpikir yang tidak-tidak. Mungkin itu adalah tukang antar paket yang bekerja siang malam sampai jam setengah delapan seperti sekarang.

Namun, saat melihat si orang yang ingin bertemu dengannya, Angel refleks menarik kembali pintunya untuk ditutup.

"Tunggu sebentar, sebentar saja," kata orang itu.

Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang, pintu rumahnya ditahan oleh si lawan bicara dengan sebelah sepatunya.

"Lima menit saja, Angel. Nggak banyak," ucapnya yang terdengar putus asa.

Dia sudah berjanji dengan Isha, bukan?

Harusnya dia bisa menolak kedatangan pemuda ini. Namun, dengan bodohnya, dia melepaskan pertahanannya membuat pintu itu terbuka lebar seiring dengan lengkungan senyum orang tersebut.

"Eum, begini, Papa minta untuk dibeliin makan malam dan sepertinya aku membelinya terlalu banyak. Nah, ini untukmu. Masih bersih dan belum dibuka, ajak yang lainnya juga untuk makan bersama." Laki-laki itu langsung menyerahkan banyak plastik ke tangan Angel. Gadis itu masih diam dan menurut menenteng banyak makanan.

"Ini aja, kok. Nggak lama banget. Aku balik dulu, ingat dimakan."

Sosok pemuda itu berbalik badan dan berjalan ke luar.

"Johan!" teriaknya cukup tinggi supaya bisa terdengar olehnya.

Pemuda itu berhenti dan langsung berbalik, dia sudah berpikir negatif kalau hanya dia yang akan berbicara.

"Eum ..., thanks. Aku masuk dulu, kau juga masuk ke rumahmu. Di luar dingin," kata Angel malu-malu, rasanya hubungan pertemanan mereka menjadi canggung karena satu ucapan.

Johan langsung tersenyum di balutan pakaian rumahannya, "Iya."

Angel langsung menutup pintunya, kedua tangannya membuka isi plastik tersebut dan tersenyum tipis.

"Om tidak bisa makan yang pedas-pedas tahu," cicitnya yang melihat sebuah bungkusan sate padang. Jelaslah tadi itu hanyalah akal-akalan Johan saja, semua makanan yang berada di tangannya adalah makanan yang tidak bisa dimakan oleh ayah dari laki-laki itu.

"Wuih, makanan darimana?" Arvin membuyarkan lamunan sang adiknya.

"Dari Johan. Makannya bareng sama Kak Win juga pokoknya. Adek ambil piring dulu, di kamarnya Kak Win, tadi lagi nonton soalnya."

"Ck. Iya, sini Kakak bantuin ambil barangnya."

* * *

To Be Continue

* * *

See ya ^^

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro