🌫 Aku Tidak Kuat Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 24
Aku Tidak Kuat Lagi

* * *

Angel melangkahkan kaki kanannya menginjak aspal rata di lobby gedung bertingkat sepuluh setelah sepuluh menit berada di dalam mobil untuk perjalanannya. Dia segera masuk ke dalamnya, tidak berpikir untuk mengucap sepatah katapun.

Tidak dipedulikannya banyak orang yang berlalu lalang di depannya, rata-rata yang ditangkap oleh maniknya adalah mereka yang berpakaian baju pasien, beberapa diantara mereka mendorong tiang infus dan ada pula yang memakai pakaian suster.

St. Joseph Hospital.

Sangat jelas untuk mencari keberadaannya dengan seragam olahraganya seperti sekarang ini. Namun, dia sudah familiar dengan tempat ini dan langsung masuk ke dalam lift yang menampung segelintir orang.

“Mau menjenguk keluarga, ya?” tanya seorang petugas kesehatan yang paling dekat dengan jajaran tombol angka.

Angel melihat keterangan yang ditempel di atas pintu lift, “Lantai lima.”

Perawat laki-laki itu tampak terkejut, bibirnya tampak ingin kembali membalas. Diurungkannya setelah melihat wajah yang tidak bersahabat dari siswi sekolah. Dia menekan sesuai dengan perkataan Angel. Dia jelas tahu apa yang berada di lantai tersebut.

Gadis itu melangkah keluar setelah dentingan lift terdengar beserta pintu besi itu terbuka sampai di tujuannya. Bruder itu hanya mengulas senyum ramah untuknya diabaikan.

“Sus, mau konsul dengan Dr. Daffa Irvan Danurdara,” katanya kepada penjaga yang berdiri di belakang meja antrian.

Suster tersebut juga sama terkejutnya seperti bruder yang di lift, berusaha menguasai kembali dirinya dan berkata, “Dokternya memiliki sekitar lima pasien, Dek. Mau ganti dokter yang lain saja?”

Angel menggeleng kepalanya.

Suster dengan nama pengenal ‘Reisha Syahputri’ itu mengerti, “Saya minta KTP-nya, Dek. Untuk administrasi.”

Gadis itu langsung memberikan apa yang diminta, berdiri tidak berapa lama dan sudah mendapatkan nomor antriannya.

“Ditunggu di sebelah sana, ya, Dek. Konsul untuk anggota keluarganya, ya?” tanya suster tersebut.

Hanya jawaban datar yang diberikan gadis itu, “Bukan.” Lalu, mengambil tempat di bangku antrian panjang, melihat satu tanda pengenal yang diselipkan di samping pintu.

Dr. Daffa Irvan Danurdara Sp.KJ

Kepalanya menunduk dalam, melihat corak keramik yang menjadi pijakannya. Rumah sakit yang memiliki pendingin itu serasa tidak berfungsi baginya.

Dia butuh seseorang.

Orang yang tidak akan menjatuhi omongan yang meremehinya setelah jelas-jelas dia mengetahui apa yang terjadi terhadap Angel.

Dia butuh didengar.

Satu fakta yang membuatnya merasa semesta begitu lucu, dia memiliki dua kakak kandung laki-laki yang jelas-jelas tidak akan membiarkannya sedih seperti sekarang. Namun, karena dia paham benar bagaimana mereka bertindak, itu membuatnya mengurungkan niatnya untuk membuka diri.

Ironi, bukan?

Gadis itu dekat dengan Aswin. Dia didengar dan semua kata-katanya akan didengar oleh pemuda itu bahkan melekat di pikirannya. Walaupun, mahasiswa internasional itu lebih banyak diam.

Dia tidak bisa mengatakannya, kakaknya itu baru saja pulang ke Indonesia untuk beristirahat setelah belajar seorang diri di negara orang lain. Meskipun, ada keluarga dari Mamanya yang menetap di sana. Kata-katanya hanya akan membebankan Aswin.

Begitu juga dengan Arvin, pria muda itu sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya ditambah dengan perkuliahan magisternya sekarang. Mila dan Thomas juga pastilah memiliki kesibukan mereka masing-masing sebagai tulang punggung keluarga dan sebagai ibu rumah tangga yang bekerja sebagi freelancer di pekerjaan dunia literasi.

Kalau sudah begitu, dia harus mencari orang lain, bukan?

Jelas, bukan kepada Johan maupun Zyan yang sudah kelepasan membentaknya di Ruang UKS.

Karena, sejujurnya dia sudah tidak kuat lagi. Inilah saatnya ambang-ambang kemampuannya untuk bertahan.

* * *

“Tumben telat, Dek. Sibuk banget di sekolah tadi, ya?” Zeeliana bertanya ketika Angel masuk ke dalam café.

Gadis itu mengulas senyum, berusaha seperti biasanya yang diberikan kepada perempuan itu. Dia tidak pernah lupa dengan percakapannya bersama Aswin tadi pagi. Janji untuk ketemu di Leora café.

“Sini, sini, mau yang menu baru saja? Kemarin Ryan luncurin menu bolu tiramisu. Minumannya Kakak yang traktir,” kata anak mahasiswa itu sudah rapi dengan apronnya.

“Eh? Nggak perlu, Kak,” tolaknya halus. Dia segan ditraktir mulu oleh orang-orang di sini.

“Nggak apa-apa. Kakak habis menang taruhan dengan Ryan kemarin, bebas mau makan apa saja dibayarin sama dia selama tiga hari. Lagipula, kalau Angel yang ke sini, dia malah nggak mau terima uangmu.”

Angel langsung mengusap lengan kirinya sendiri, “Begitu, ya?”

Zeeliana langsung mengangguk kepalanya, “Heum. Soalnya dia bilang, masa terima uang dari orang yang sudah bantuin dia.”

“Itu bukan hal yang besar, Kak,” sanggahnya lagi, dia tetap kukuh untuk membayar pesanannya sendiri.

“Siapa yang bilang? Bayangin kalau pas Ryan ditabrak itu, Angel tidak lewat jalan itu. Mungkin penanganan pertama akan makin lama. Dia padahal sudah Kakak bilangin untuk lewat jalan besar, jalan di gang sempit biasanya ada yang perbaikan jalan dan siapa yang tahu ada yang iseng ngecelakain kita,” ucapnya panjang lebar, dia masih teringat jelas dengan kejadian enam bulan yang lalu.

“Mungkin Leora café tidak akan bisa dibuka kalau tidak ada bosnya saat itu.”

Angel mengangguk setuju, Ryan yang kemarin memberikannya bolu tiramisu itu adalah seorang bos yang membuka café ini.

“Sudah, kamu sekarang duduk aja. Katanya, dia punya drinks dengan menu baru, sih. Nggak tahu sudah pas atau belum. Rempong emang anak perhotelan satu itu,” kata Zeeliana yang mengusap keningnya yang berkerut.

“Okay, Kak. Makasih, ya.”

Kasir tersebut tersenyum lebar sebagai balasan dan langsung ke belakang dapur. Bersamaan dengan kepergiannya, kedatangan Aswin langsung membuat Angel menyamankan duduknya.

Tenang, tenang, calm down, batinnya yang berusaha membiasakan dirinya sendiri.

Pertemuan pertamanya dengan psikiater muda itu berjalan cukup lama, beruntung dia bisa datang lebih cepat daripada kakak laki-lakinya ini.

“Saya tidak akan meminta kamu untuk menahan semuanya. Tidak juga untuk memintamu mengatakan semuanya hingga transparan kepada orang-orang. Namun, saya sangat berharap kamu bisa berbicara dengan orang yang kamu percayai, bisa dari keluarga terdekat, sahabatmu. Jalani dengan perlahan, saya juga tidak menyarankan untuk langsung melabrak orang yang kamu ceritakan. Namun, kamu juga harus bisa melindungi dirimu sendiri. Setidaknya dengan membalasnya satu dua kalimat.”

“Kak, nggak susah, kan cari lokasinya? Atau Kakak jangan-jangan sudah lupa pula dengan letak sekolahku,” katanya setelah pemuda yang berpakaian kasual itu duduk berhadapan dengannya.

“Nggak, kok. Sudah pesan?”

“Sudah. Kakak maunya apa? Kakak nggak suka yang manis-manis sedangkan yang di sini banyakan manis.”

“Adek aja. Kakak temenin,” balas Aswin yang dimengerti oleh Angel. Tujuan sang kakak hanya untuk menemaninya ke sini sekaligus mengantarnya pulang ke rumah dengan selamat.

“Angel, ini pesanannya. Minumannya choco float, diicip dulu. Katanya nggak bakalan diluncurin, sih. Dijadiin produk jajaran spesial untuk orang-orang tertentu.”

Gadis itu langsung menerima pesanan tersebut dan menyeruput minuman yang disajikan, “Enak, Kak Zee. Ini es krim-nya pasti Kak Ryan buat sendiri, kan? Nggak gitu manis seperti yang dijual di toko, lembut dan enak diminum barengan dengan minumannya. Kak Win, cobain.”

Dia mengarahkan minumannya ke pemuda tersebut, “Adek jamin, nggak manis. Kakak nggak bakalan nyesal.”

Aswin juga ikut menyeruput, “Lumayan.”

Senyum lengkungan terbit di wajah Angel, “Pokoknya sudah perfect, deh.”

“Cowo ini pacarmu?” tanya Zeeliana yang mengundang tatapan terkejut dari kedua insan tersebut.

“Dia kakak laki-lakiku, Kak Zee jelas nggak pernah lihat dia karena dia kuliah di Amsterdam,” kata Angel yang tidak menyebut nama laki-laki itu apalagi memperkenalkannya. Aswin tidak menyukai hal tersebut sama sekali, kepada orang asing.

“Wah, enaknya bisa kuliah di luar negri,” katanya yang mengandung sirat kecemburuan.

Angel mempertahankan senyumannya. Lalu, karyawan itu memilih pamitan untuk balik bekerja. Suasana musik soft lofi yang diputar menjadi teman mengobrolnya dengan Aswin sampai dia sendiri meminta untuk pulang dengan singgah membeli jajan di perjalanan nanti.

* * *

To Be Continue

* * *

Hello, guysss

Bulan ini naskah ini harus tamat sesuai tenggat waktu yang disediakan.

Moga-moga bisa kelar

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro