09 · Duka Dipa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ada suatu kejadian musibah, seperti kecelakaan yang merenggut yawa seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, umumnya informasi itu akan disebarluaskan melalui berbagai media sesuai masanya.

Ada kalanya tulisan berbela sungkawa itu diketik dan dicetak untuk ditempelkan pada papan pengumuman.

Ada masanya menjalar berupa SMS bergilir, ada pula yang berupa broadcast di BlackBerry Messengger hingga yang paling canggih, pesan tersebut akan terselip di antara puluhan gelembung chat di grup WhatsApp antar jurusan, grup fakultas, atau bahkan alumni, yang kemudian akan diikuti dengan beberapa belas kalimat balasan senada; innalillahi, semoga amal ibadahnya diterima.

Dulu, pada masa Rani masih lajang, Bina masih waras kuliah, dan Dipa belum berkenalan dengan setan bernama NAPZA, hiduplah seorang gadis cantik berhijab dan berkacamata tebal bernama Rista. Anak Sastra Indonesia. Pacarnya Dipa, sejak SMA.

Rista dan Dipa adalah pasangan 'nyeni', sebab mereka berdua sama-sama tergabung dalam UKM Kesenian di Fakultas Ilmu Budaya. Banyak komentar yang mengatakan bahwa dulu mereka ini pasangan paling estetik di Universitas Jayanegara; berbekal dai outfit yang kerap senada, hingga perintilan seperti helm motor dan casing ponsel yang cocok temanya.

Itu saja sih, yang Bina ketahui. Selebihnya, hubungan itu berakhir dengan kabar meninggalnya Rista dalam kecelakaan motor, dua minggu sebelum Ujian Akhir Semester 4.

Dipa tidak masuk kuliah sepanjang sisa semester itu, hanya muncul di saat UAS berlangsung dengan wajah datar tanpa ekspresi, dan kantung mata yang kentara sekali.

Bina selalu berpendapat bahwa mengurusi urusan orang lain yang bukan urusannya adalah sebuah hal yang nggak Bina banget. Terlebih lagi pada kolega yang hanya kenal saja.

Paling banter, dulu Bina hanya mengucapkan 'innalillah, turut berduka' di grup jurusan tanpa men-tag Dipa-nya langsung. Sekadar formalitas, menunjukkan kalau Bina masih punya moral untuk berduka.

Tapi hari ini beda. Bina merasa bersalah, sebab Dipa harus bertemu dengan penyebab dukanya hanya karena mengantar Bina ke makam bundanya. Terlebih lagi, perkataan ayahnya sempat membuat Bina terenyuh sesaat.

"Bin, kalau memang pertanyaannya enak berduka sendiri atau ditemenin, Ayah akan memilih yang kedua. Sebab dengan adanya teman, saat kalau kamu bersedih, sedihmu akan dibagi dua, sementara kalau kamu senang, senangnya akan berlipat ganda."

Maka semakin yakinlah Bina untuk melancarkan rencana dadakannya, yang membawanya ke sini, petang ini, di sebuah kafe bernama Past Tense Coffee, tempat di mana dia dan Dipa sudah janjian untuk bertemu.

"Silakan Kak, ini menunya." Seorang Pramusaji menyodorkan buku menu tepat ketika Bina baru mendudukkan diri di salah satu kursi bar.

Gadis itu sengaja memilih area bar untuk diduduki, karena selain posisinya paling dekat dengan pintu masuk, dia juga bisa melihat sebagian besar ruangan kafe ini dengan jelas—panggung, meja-meja indoor, bahkan sebagian meja outdoor dari jendela kaca.

"Makasih, Kak." Bina menyambut buku menu sambil mulai membolak-balikkannya.
Bujubuset! Mahal bingits!! pekik Bina dalam hati.

Americano, lima puluh lima ribu!
Capuccino, empat puluh ribu?!
Matcha Latte? Dua puluh tujuh ... yah ini aja bolehlah.

Bina sedikit meratapi nasib dompetnya malam itu.

Nggak papa. Demi tanggung jawab moral terhadap teman yang hari itu rela menjadi ojeknya, Bina mencoba untuk ikhlas.

Sambil meletakkan menu, dialihkannya pandangan menuju sekitar kafe. Bina tidak mau buru-buru memesan. Nunggu Dipa dulu aja, siapa tau dia datang—dan siapa tau dia mau bayarin, he-he-he.

Namun tak ada tanda-tanda kehadiran Pranadipa si sadboy eks-napi tersebut. Pemandangan yang mengisi pandangan Bina hanyalah keadaan kafe yang lumayan ramai, bernuansa retro dengan perabotan era tahun 50-an, serta penerangan kekuningan yang membuat suasana keseluruhan menjadi ala-ala filter Instagram.

Akhirnya Bina memesan minum, sebelum mulai memainkan ponselnya. Lima menit, tujuh menit, Dipa tak tampak juga. Pesan chat yang dikirim Bina juga tak dibaca.

Ke mana sih, cowok ini? runtuk Bina dalam hati. Dan kenapa aku nasibnya gini amat yak, selalu dibuat nunggu laki-laki yang tak bertanggung jawab atas waktu orang lain? Anjir lah.

Perhatian Bina lantas teralihkan pada suara akustik gitar listrik yang mulai dimainkan di atas panggung, mengalunkan sebuah intro lagu yang enak didengar.

Sesaat Bina memicingkan mata ketika mendapati siapa yang tengah duduk di tengah panggung itu, memangku gitar dan mulai bernyanyi, solo.

Wajah yang dikenali Bina itu mendekat ke arah mikrofon.

Dipa?!

Keterkejutan Bina bukannya tanpa alasan. Bina tau, Dipa adalah anak UKM Kesenian. Bina juga tau, Dipa jago memainkan gitar.

Yang Bina tidak sangka adalah pembawaan Dipa yang sendu dan biru, kontras sekali dengan mulut nyeplaknya yang biasa menghardik celetukan tanpa perasaan.

Terlebih lagi saat Dipa yang baru, yang duduk di atas panggung itu, mulai mengeluarkan suara. Sebuah perpaduan nada yang tak pernah didengar Bina sebelumnya, namun begitu sopan masuk ke dalam telinga. Sendu, hangat, dan sedikit serak.

Dipa seperti bukan Dipa.

Dia terdengar sangat ... jinak.

"Have I told you lately?
That I miss you badly?

Sometimes I wish ...
That I could still call you mine ...
Still call you mine.

Now all I've got is ...
The stain on my blue jeans ...
The only way I could ...
Remember that you were once mine."

Bina seperti terhipnotis. Entah sejak kapan, gadis itu memandangi teman seperjuangannya itu tanpa berkedip. Tanpa sadar, Bina juga mulai memperhatikan perawakan Dipa.

Pranadipa adalah cowok sepantaran Bina dengan tubuh yang sedikit gempal, alis menukik tajam yang sering terkernyit tak suka. Bibir Dipa tajam—baik dalam bentuknya maupun dalam caranya berbicara.

Demikian, sebenarnya wajah Dipa itu bisa dibilang manis (kalau dilihatnya dari pucuk monas, pake sedotan).

Intinya, kalau boleh jujur, Dipa itu nggak jelek-jelek amat. Walaupun badannya tidak setinggi Banu, dan wajahnya juga tidak semenyenangkan Banu, tapi yah ... cukup bisa dilihat lah.

Eh, kenapa aku malah banding-bandingin sama Banu, coba?! sadar Bina sambil menggelengkan kepala.

Di penghujung lagu, pandangan Bina dan Dipa bersirobok. Cowok itu tersenyum tipis, dan hanya sekilas. Namun entah kenapa Bina merasa, tanpa manjat monas pun, tanpa melihat dari ujung sedotan pun, kalau senyum begitu ternyata ... wajah Dipa terlihat manis juga.

Manis itu berubah nyata menjadi kata yang membuat Bina berkedip sedetik.

"Hai," ucap Dipa, diiringi senyum emas monas itu.

Cowok itu sudah turun dari panggung dan berjalan ke arah Bina. Bina mengangguk sambil melambai rendah.

"Hai juga, Dipa. Suara kamu bagus." Bina menggumamkan kata itu tanpa benar-benar memikirkan efeknya—Dipa jadi makin lebar tersenyum, Bina jadi makin bego.

"Thanks." Tanpa aba-aba, Dipa mengambil gelas matcha latte minuman Bina.

"Ngobrol di sana, yuk?" ajaknya kemudian, sambil menunjuk ruang duduk outdoor.

Bina mengangguk saja, menurut.

Entah kenapa dia merasa Dipa ganteng sekali malam itu. Mungkin karena tadi Dipa menyempatkan diri berkata pada bartender, 'ini bill-nya tap ke gue aja' sambil menunjuk minuman Bina.

Hm, efek mentraktir orang memang bisa membuat siapa saja bertambah ganteng dan cantik.

"Jadi?" tanya Dipa setelah mereka duduk di salah satu meja outdoor.

"Hm?" Bina menjawab dungu.

"Kesurupan apa lo, sampe tiba-tiba ngajak ngopi gini?"

"Hmh?"

"Pasti karena kejadian tadi siang, ya? Gue tiba-tiba ngilang ... sori ya, Bin. Lo nggak nyasar kan tadi, Pas di kuburan?" Dipa menjabarkan dengan sabar, sementara Bina mulai meneguk matcha latte-nya, mencairkan tenggorokan.

"Hehehe, nggak apa-apa kok," ucap Bina setelah habis setengah isi gelasnya. "Emmm... sebenernya, aku ngajakin kamu ngopi biar kamu nggak kesepian aja."

Dipa mengangkat satu alisnya. Oke, wajahnya jadi balik ke setting-an pabrik. Agak nyebelin.

"Kesepian?" ulang cowok itu.

Bina mengangguk. "Tadi siang itu ... kamu ke makamnya Rista 'kan? Pacar kamu pas dari jaman MABA*?"

Dipa tertawa tipis. "Ternyata bener apa yang gue denger. Seorang Sabina itu mulutnya loss dol dan ceplas-ceplos."

"Ehehehe. Pujian ya itu?" Bina tertawa garing. Perkataan Dipa barusan sama sekali tidak menyinggungnya.

"Jadi intinya, lo ngerasa bersalah, nih? Karena gue jadi galau gegara nyamperin makamnya Rista?" simpul Dipa.

Bina mengangguk dengan yakin.

"Aku mau bertanggung jawab atas rasa galau dan duka kamu, Dipa. Baik banget kan aku?" Bina membalas dengan bumbuan tersenyum jayus. Dipa mau tak mau jadi tertawa.

"Hahaha! Iya deh, iya."

Dan cairlah percakapan mereka. Dipa dan Bina mengobrol ringan sambil sesekali tertawa, tanpa terasa setengah jam telah mereka lewati bersama.

"Enak ya ternyata, ngobrol sama orang yang ceplas-ceplos begini," celetuk Dipa tiba-tiba di tengah percakapan mereka. Kentang goreng sudah habis setengah, dan Bina juga sudah memesan air mineral untuk melarutkan gula dalam matcha-nya.

"Gimana tuh?" Bina menuntut penjelasan. Tanpa sadar menyeruput gelas matcha latte-nya yang sudah habis. Ah, Bina kumat bodohnya.

"Ya ... enak aja. Bebas gitu, lepas, mau ngobrol apa aja. Lo asik ternyata orangnya." Dipa mengangkat bahu.

"Cie~" Bina nyengir absurd.

"Apaan cie-cie?" Dipa mulai tertawa lagi.

"Udah bertaun-taun nggak ada yang ngajak aku ngopi ke kafe, bayarin minum, sama muji aku asik. Rasanya lumayan juga, jadi aku mau 'cie'-in diri sendiri aja. Cieee Bina~"

Dipa hanya bisa menggeleng-geleng mendapati keanehan temannya itu.

"Kalo gitu, cerita dong!" pancing Bina kemudian.

"Cerita apaan? Si Kancil?"

"Ya apa aja, yang mau kamu ceritain." Bina memangku dagunya seakan menunggu dongeng.

Dipa tersenyum lagi, kali ini pandangannya menerawang jauh.

"Dulu itu ... Rista paling suka makan ayam geprek Mang Sabay." Dipa memulai sambil mengerling sekilas, seakan mengingat-ingat kenangan indah.

"Emang enak sih, ayam-nya Mang Sabay tuh." Bina menyeletuk sambil mengangguk.

Dipa terkekeh. "Jadi waktu itu ... kita habis makan siang di Mang Sabay kan, nah terus kita berantem tuh, lupa masalahnya tentang apa, tapi ujung-ujungnya Rista minta dianter pulang ke kosannya."

Bina mendengarkan dengan minat dan antisipsi yang semakin fokus.

"Itu pas weekend kejadiannya, pas jaman-jaman kelas pengganti sebelum libur tenang UAS kan. Nah, gue nggak tau si Rista kenapa, tapi dia malem itu pengen pulang ke rumahnya yang ada di ujung kota, dan minta anter gue tuh."

Dipa meneguk minumannya untuk melemaskan kerongkongan yang mendadak mulai terasa kering.

"Gue pas itu lagi ngopi sama anak-anak UKM, mager juga gue mau nyetir berjam-jam, weekend pula. Jadi gue tolak tuh, permintaannya si Rista." Dipa tampak menghela napas, berat.

"Rista marah besar waktu itu, dia langsung minta putus. Dia bilang, gue udah nggak mrioritasin dia lagi, dan gue lebih mentingin temen-temen gue. Bego banget gue waktu itu, nge-iya-in keputusan Rista. Gue bilang, 'gue nggak butuh juga cewek yang posesif dan nggak pengertian'."

Bina ternganga dari tempat duduknya. Gadis itu bisa merasakan nada pahit dan penyesalan dari kalimat Dipa.

"Gue bego banget, Bin. Waktu itu gue emosi. Next thing I know, Rista maksa pulang naik motor temen kosnya, padahal dia belum fasih nyetir motor. Dan ... gue dapet kabar jam sebelas malem, telepon dari nomornya si Rista, ternyata dia kecelakaan."

"Dip ...."

"Gue nyesel banget, sumpah, Bin. Tiap kali gue inget Rista, rasanya gue kudu minta maaf beribu-ribu kali."

Bina memandang Dipa dengan pandangan ngilu. Hatinya ikut terenyuh dan sedih mendengar cerita itu. Terlebih lagi, Dipa mulai mengusap matanya yang berembun, walau tak merembes. Bina tau, air mata itu ada. Luka itu nyata.

"Rista tau kok, Dip, kalo kamu sayang sama dia," ucap Bina kemudian.

"Sok tau ah." Dipa tertawa sumbang.

"Tau beneran ya! Bundaku juga udah nggak ada, Dip. Ayah bilang, sebenernya cuma raganya Bunda aja yang nggak ada, tapi jiwanya masih ada. Dan setiap kita dateng ke makamnya, dia tau. Makanya aku sering banget curhat ke Bunda tiap kali ziarah."

Dipa terenyuh sesaat. "Semoga lo bener, Bin," gumamnya kemudian.

Bina tersenyum tipis. "Aku selalu bener lah, Dip. Aku kan cewek, nggak pernah salah. Hehe."

Kalimat receh Bina sukses membuat Dipa tersenyum lagi, walau hanya sekilas.

"Makasih ya, Sabina."

**

[1828 Words]

*Maba / MABA = Mahasiswa Baru

A/N

Masih sama dengan bab sebelumnya, bab ini terinspirasi untuk teman seangkatanku, salah satu anggota grup 'Di Ujung Tanduk' di dunia nyata yang kejadian di hidupnya jadi inspirasi kisahnya Dipa :'

(nggak 100% nyata ya pastinya, ada bagian yang aku olah lagi juga)

Semoga feel-nya nyampe ke hati kamu.
Becoz aku ngetiknya serasa nyess nyuss kretek prang 💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro