10 · Perihal Outline

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah cerita yang harus ditunda
Sungguh kita harus menunda

Sebuah kalimat yang tak kunjung usai
Kita pun kehabisan kata

♪ Pusakata — Kehabisan Kata

**

Bahari Nugraha bukanlah lelaki yang buta. Dia punya mata yang bisa melihat.

Sayangnya dia jadi bisa melihat sosok Bina, beberapa hari yang lalu, saat gadis itu baru saja menumpahkan beban pada bimbingan pertamanya di ruang jurusan.

Banu merasa begitu sayang akan potensi yang dimiliki Bina, terpendam demikian dalam oleh bayang-bayang almarhumah bundanya. Memang, memori bisa menjadi motivasi, namun ada kalanya manusia akan tenggelam dalam halusinasinya sendiri.

Dan bagi Banu, Bina memang sudah berada pada titik halu akut, hingga serampangan mengerjakan proposal skripsinya—oke, serampangan memang terdengar agak sedikit keras, tapi yah, intinya begitu—tak sesuai protokol jurusan mereka. Intinya,

Bina butuh bantuan. Dan Banu siap membantu.

Pada momen itulah, Banu merasa takdir telah berbaik hati padanya, seakan memberikannya kesempatan kedua untuk berada di saat Bina membutuhkannya.

Meskipun gadis itu tak berkata apa-apa, tak meminta bantuannya, tapi Banu tau, kalau dia bisa melakukan sesuatu. Pemikiran itulah yang menjadi alasan mengapa Banu dengan yakin menggenggam tangan Bina saat itu, mengatakan dengan lugas tanpa keraguan sedikitpun.

"Aku akan bantu kamu, Bina ...."

Dan begitu saja, Banu melihat bara api yang tadinya padam perlahan-lahan kembali panas. Sabina Gayatri mulai berani berharap kembali.

Banu bukan lelaki buta. Banu melihat bagaimana Bina—terlepas masih loyo karena tumpahan bebannya pasca bimbingan—keluar menuju salah satu gazebo di depan ruang jurusan. Banu juga melihat Bina menyapa teman seangkatannya, salah satu mahasiswa bimbingan Pak Pranoto yang diserahkan padanya juga, dan sedetik itu Banu merasa lidahnya kelu.

Bina, yang sepanjang hari itu tak pernah Banu lihat tawanya, di depan temannya itu mencair bagai es kiko disiram air hangat.

Sabina tertawa, dan itu membuat Banu kesal melihatnya. Ada perasaan asing yang membebani degup dadanya.

Degupan asing itu juga dirasakan Banu malam ini, saat lelaki itu sedang menikmati secangkir macchiato di kafe langganannya, Past Tense Coffee, sambil mengoreksi beberapa tugas UTS mahasiswa Pak Pranoto yang dibebankan padanya.

Mata Banu menangkap sosok Bina yang terduduk di meja bar. Banu hampir saja bangkit dengan senyum terkembang, menyapa gadis yang telah menyita pikirannya selama beberapa hari itu, hanya untuk mengurungkan niatnya ketika turut melihat lurus ke mana arah pandangan Bina berlabuh.

Di atas panggung, terdapat seorang pemuda—ah, mahasiswa yang waktu itu—yang kini sedang menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan gitar solo. Suaranya lumayan, pembawaannya juga lumayan, dan damage yang diakibatkan oleh pemandangan itu juga ... lumayan.

Banu cepat-cepat duduk dan menghirup macchiato-nya lagi.

Lelaki itu bukanlah tipe fighter yang mengedepankan konfrontasi. Banu lebih memilih duduk diam, menenangkan diri, dan menganalisis keadaan.

Lelaki itu kembali merasakan bara yang aneh ketika menyaksikan Bina lagi-lagi tersenyum, tertawa, dan kemudian mengikuti teman lelakinya itu keluar ke ruangan outdoor. Tanpa sadar, Banu telah meremas-remas tisu tak bersalah sedari tadi.

Sepulang dari Past Tense Coffee, Banu buru-buru melemparkan diri ke atas ranjangnya. Ponsel di genggaman, dengan nama Sabina menyala di layarnya. Hanya satu tap saja menuju panggilan ke ponsel Bina, namun Banu tak kunjung melakukannya.

Bagaimana kalau dia belum pulang?
Bagaimana kalau dia masih di kafe itu?
Bagaimana kalau aku jatuhnya mengganggu?
Bagaimana kalau dia masih bersama ... ARRRGGGHHH!

Banu tak mau mengganggu kesibukan Bina, namun di sisi lain dia tak bisa menyangkal senyum dan tawa Bina yang tak henti mengganggu pikirannya.

Ah, persetanlah! putus Banu sambil membulatkan tekadnya.

Dilihatnya jam pada sudut ponsel, 22.43 malam.

Dengan embusan napas diselipi doa, Banu menekan tombol hijau itu. Bina, semoga aku belum terlambat.

Tuutt—tuttt.

"Halo? Banu?"

Suara itu bagaikan air segar yang mengaliri telinganya.

"B-Bina. Belum tidur?" Aish, basa basi busuk.

"Engga, ini aku baru sampe rumah. Ada apa?"

"Kamu habis dari mana? Kok jam segini baru pulang?" Argh! Sok posesif!

"Dari luar. Ada apa, Ban? Kenapa nelpon?" Bina mulai terdengar tak sabar.

"Emmm ... itu ... anu ...." sial sial sial. "Bin, minggu ini bisa ke rumahku, nggak?"

Banu terkejut sendiri akan kalimat yang keluar dari mulutnya. Ditunggunya sedetik respons Bina di ujung sana.

"Rumah ... kamu? Rumah yang dulu itu? Yang di jalan Mangga Arum?"

"I-iya. Iya, bener. Kamu harus ke rumahku. Ini masalah ... outline proposalmu. Iya, kita harus bahas itu!" Banu menjelaskan dengan terlalu bersemangat.

"Hah? Kok ... kenapa? Harus banget minggu ini, ya?"

"Iya! Harus. Banget. Menurut perhitunganku, kalau kamu ditarget selesai semester ini, minimal proposal kamu sudah harus matang bulan ini untuk bisa di-Sempro*-kan pada awal bulan depan."

Terdapat jeda beberapa detik seiring Bina di ujung sana bergumam 'hmmm' panjang.

"Jadi, menurut hemat Bapak, jika saya ingin lulus tepat waktu, maka saya harus selesaikan proposal skripsi bulan ini, begitu?" Bina mendadak beralih pada mode mahasiswa teladan.

Banu tersenyum tipis mendengarnya. "Iya, betul sekali, saudari Sabina. Kalau sudah mengerti, saya tunggu kehadiran kamu di kediaman saya sebelum akhir pekan ini. Oke?" Banu membalas dengan perangai dosen teladan.

"Ya udah, deh. Oke."

Banu tersenyum puas saat menutup panggilan itu. Entah kenapa dia merasa menang. Tapi menang atas apa? Banu juga tidak paham.

**

Sepanjang minggu itu, Bahari merasakan sensasi balsem yang sungguh kentara di hati. Panas namun dingin. Geli namun segar. Harap-harap cemas menunggu kehadiran seseorang.

Sabtu pagi pun tiba. Banu yang sedang bermain di teras rumah dengan keponakannya yang masih belajar jalan, Cecil, anak dari Kak Misha, dikejutkan dengan suara deru motor yang berhenti di depan halaman rumahnya.

Senyum di wajah Banu merekah dengan megah ketika melihat gadis itu, dengan surai hitam bergelombang yang lolos liar ketika dia melepas helm-nya.

Bina memandang ke arah Banu lurus, membangkitkan degup yang sudah lama tak terurus.

Namun senyum itu luruh seketika saat Banu berjalan menyebrangi halaman, masih menggendong keponakannya, dan melihat siapa yang mengemudi motor yang ditumpangi Bina.

Cowok itu, mahasiswa yang diketahuinya merupakan mantan napi itu, yang seangkatan dengan Bina dan yang menyanyi solo di Past Tense Coffee beberapa hari lalu. Siapa namanya? Prana-prana something.

Pertanyaan di benak Banu tak sampai tuntas, seiring tiba-tiba sebuah motor dengan pengemudi berjaket hijau dan helm senada menepi tak jauh dari sana. Perempuan berjubah longgar dan berkerudung panjang turun dari ojek online tersebut. Wajahnya cerah dan tersenyum sopan pada Banu, lalu melirik pada dua teman seperjuangannya.

"Assalamualaikum semua," sapa Rani dengan nada tanpa dosa.

Pranadipa, Bina, dan Banu menggumamkan salam balasan hampir bersamaan. Banu memandangi ketiga mahasiswanya itu dengan alis terpaut. Dia masih bingung dengan situasinya saat ini.

Sadar akan dosen pembimbing mereka yang terlihat dumbstruck, terkejut, Bina maju selangkah dan menatap mata sang dosbing lurus-lurus.

"Pagi, Pak. Semoga kedatangan kami nggak mengganggu akhir pekan Bapak, ya. Kapan hari itu Bapak bilang, kalau mau lulus tepat waktu, proposal harus sudah matang sebelum akhir bulan ini, 'kan?" Bina menyuguhkan senyuman manis.

"I-iya sih, tapi ...." Banu kehabisan kata.

"Saya meneruskan informasi penting itu pada teman-teman seangkatan saya, mahasiswa bimbingan Bapak juga. Bapak nggak lupa 'kan, kalau punya tiga bimbingan mahasiswa angkatan tua?"

Banu menganga seketika. Nggak gini konsepnya, Sabina!

**

[1124 Words]

*Sempro (Seminar Proposal) adalah pengajuan rencana penelitian yang harus dipresentasikan pada dosen pembimbing dan penguji untuk dievaluasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro