11 · Siap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau boleh jujur, mental Bina sempat breakdance sedikit ketika menerima telepon Banu malam itu, terlebih lagi ketika sang dosbing membahas proposal skripsi, sempro, dan tenggat waktu—intinya, Bina harus berkunjung ke rumah Banu.

Bina sengaja memberikan woro-woro di grup Di Ujung Tanduk bahwasanya mereka (para mahasiswa abadi) harus segera mendatangi rumah Pak Bahari untuk mengurus nasib proposal skripsi.

Ah, rasanya nyali Bina langsung nyosrok saat itu juga.

Terlebih lagi, saat baru menjejaki kaki di depan rumah Banu di jalan Mangga Arum ini, Bina sempat melihat lelaki itu datang menyambut sambil menggendong anak balita.

Bohong kalau dada Bina tidak mencelus melihat pemandangan itu. Tapi bukan Sabina Gayatri namanya, kalau tidak tangkas menemukan cara dan pandai berpura-pura.

"Bapak nggak lupa 'kan, kalau punya tiga bimbingan mahasiswa angkatan tua?"

Kalimat itu membuat dosen pembimbing yang sedang menimang balita di hadapan mereka gelagapan seketika.

"Iya, sih, tapi ... "

Banu mengarahkan pandangan pada Bina, Rani, dan Dipa bergantian.

"Nggak efektif kalau bimbingannya keroyokan begini. Lagipula, progress kalian ini berbeda antara satu dan lainnya. Prana ... siapa, nama kamu?"

"Pranadipa, Pak. Dipa saja cukup," jawab cowok yang baru saja ditunjuk Banu.

"Ah, ya, Pranadipa. Kamu masih belum mendapatkan judul 'kan? Tema saja kamu belum menentukan. Lalu kamu, Maharani."

Pandangan Banu kini beralih pada wanita muda yang sedang hamil tua. "Kamu 'kan kemarin tinggal revisi sedikit lagi? Overall proposal kamu sudah oke. Dan Bina ...."

Sabina menelan ludah. Banu memandangi sosoknya dari atas ke bawah. "Terlalu panjang kalau harus kita bahas sambil berdiri begini."

Pernyataan Banu membuat Bina kicep seketika. Dipandanginya kedua teman seperjuangan dengan tatapan putus asa—Dipa dan Rani membalas mata Bina dengan pandangan serupa.

"Jadi kita bubar aja nih, Pak?" tanya Dipa lugas, tak buang-buang waktu.

Hal itu membuat Banu terkesiap sejenak, lalu buru-buru menggeleng.

"Kalian sudah sampai sini, minimal masuk dulu deh."

Banu melirik Rani yang sedang memegangi perutnya. Sisi kemanusiaannya tak tega jika harus mengusir ibu hamil yang baru saja tiba diantar ojol itu.

"Makasih, Pak," ujar Rani yang sepertinya peka dengan keadaan. Banu hanya mengangguk sebelum memimpin rombongan kecil itu melintasi halaman rumahnya.

"Pak, anaknya lucu ... umur berapa?"

Satu pertanyaan basa-basi dari Rani membuat Bina hampir tersandung kakinya sendiri.

"Oh, bukan ... ini keponakan saya kok, anaknya kakak," terang Banu sambil lanjut menimang balita itu. "Bulan depan usianya satu setengah tahun."

"Ooohhh," respons Rani sambil mengangguk-angguk.

Bina sendiri mulai merasa otaknya korslet, memutuskan bahwa dirinya perlu distraksi. Matanya mulai jelalatan, tanpa sadar mulai menilai dan mereminisi setiap sudut halaman yang dulu sering ia sambangi ini.

Air mancurnya masih ada! batin Bina.

Wah, kolam ikannya habis direnov ya? lanjutnya, gabut.

Ehhh, pohon jambunya juga ada! Wah, dulu aku sering banget manjat pohon itu sama Banu. Sekarang masih bisa manjat nggak ya? Mata Bina berbinar penuh semangat.

"Loh, Bin, mau ke mana?" panggil Rani yang melihat temannya bagai terhipnotis, berjalan ke arah sebuah pohon jambu biji.

"Eh, ah ... nggak. Hehe." Bina kembali ke realita sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Oke jambu, next time aja kalau kamu berbuah banyak, aku bakal cosplay jadi maling, batin Bina dengan jenaka.

"Itu jambunya baru dipanen, kok. Tuh di dalem banyak, kalau kalian mau."

Tiba-tiba suara Banu menarik perhatian mereka. Dosbing tersebut sudah berdiri di ambang pintu.

"B-beneran Ba—eeh, Pak?!" Bina menyahut dengan semangat empat-lima.

"Iya. Kakak saya juga kebetulan lagi bikin sambal rujak lumayan banyak. Pas banget orang tua saya juga lagi keluar kota, jadi kalian nggak perlu sungkan makan sebanyak-banyaknya. Sebentar, ya."

Banu melongokkan kepalanya ke dalam rumah, memanggil nama Kak Misha dengan sederet informasi berisi 'tamu' dan 'rujak', sebelum kemudian kembali menghadap ketiga mahasiswanya.

"Ayo, masuk. Kita bisa bahas masalah proposal kalian tipis-tipis sambil rujakan."

Bina bersorak ria dalam hatinya. Pertama, karena dia tidak harus bertemu Om dan Tante Nugraha yang dulunya super-duper killer.

Kedua, karena Bina paling suka rujak buah. Dulu setelah latihan lomba debat, Bina sering mampir dan memborong jambu di rumah Banu.

Nah, yang terakhir ini Bina tidak tau Banu masih ingat atau tidak.

**

Diam-diam Bina sebenarnya telah menyiapkan hati, memupuk nyali, sejak hari pertama dipertemukannya dengan Banu kembali—dengan status yang terlampau tinggi—bahwa dia harus memperhitungkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Seperti saat ini, ketika Bina dan dua teman seperjuangannya bertamu di rumah Banu, dengan status sebagai mahasiswa bimbingan.

Ini bukan kali pertama Bina duduk di ruang tamu rumah Banu, pun bukan kali pertama Bina berinteraksi dengan keluarga besar Banu.

Dulu, dulu sekali ketika Bina masih menjadi murid berprestasi di tahun pertama sekolah menengah atas, Bina sering mampir ke sini untuk berlatih dengan Banu, bahkan setelah lomba selesai sekalipun—walau hanya sesekali, yang berujung tidak sama sekali setelah kejadian pernyataan cinta Bina yang ambyar total.

Keluarga Banu menganggap Bina sebagai anak yang pintar, karena bisa mengoceh English dengan fasih, dan lancar bin hafal 16 jenis tenses di luar kepala.

Tapi apalah arti pintar itu sebenarnya, jika saat ini Bina duduk di ruang tamu Banu bukan lagi sebagai partner lomba, melainkan mahasiswa yang membutuhkan bimbingannya?

Gagalkah Bina menjalani hidup sebagai orang yang disebut pintar itu?

Atau malah Banu yang sebenarnya pintarnya keterlaluan—melejit mendahului Bina yang berjalan stagnan?

Ah, apa pun itu, Bina berusaha untuk tidak baper. Gadis itu tau kalau cepat atau lambat, status abstrak mereka ini akan terkuak.

Pun dengan keluarga Banu, yang kemungkinan besar ditemuinya pada hari ini, di tempat ini; rumah kediaman keluarga Nugraha.

"Mahasiswanya Bahari, ya, kalian?" sambut suara wanita yang nyaring di telinga.

Bina langsung menahan napas. Dia tau siapa ini.

Kak Misha, anak nomor tiga keluarga Nugraha sekaligus satu-satunya kakak perempuan Banu. Selain Misha, ada Kak Herman dan Kak Herdy, saudara laki-laki Banu yang Bina tau.

Dulu, dulu sekali, saat Bina masih sering main ke sini, Kak Misha dan Kak Herdy masih kuliah. Si sulung, Kak Herman, adalah satu-satunya saudara Banu yang sudah kerja—eh, waktu itu masih jadi koas sih, alias dokter muda.

"Kenalin, saya Misha, kakaknya Bahari. Eh, ini, ini ... silakan dimakan. Ada bumbu yang pedas, sama yang nggak pedas."

Kak Misha menyajikan dua mangkuk berisi bumbu rujak kacang dengan gula merah. Bina menahan napas ketika lengan jenjang Kak Misha mengayun dekat wajahnya.

"Thanks, Kak ... nih, Cecil sama mamanya yah."

Banu menyerahkan keponakan mungilnya untuk berpindah gendong pada Kak Misha. Tepat saat itu, pandangan Bina dan Misha bersirobok.

"Eeh ... tunggu. Kok aku kayak kenal wajah kamu, ya?" gumam Misha sambil memincingkan mata.

Mampus aku mak! batin Bina seketika.

"Kamu ini kan ... Sabina?" Kak Misha membelalakkan mata seiring ingatannya menyembulkan sebuah nama.

"H-hai, Kak ...."

Bina melambaikan tangannya dengan lemah, diiringi senyum pasrah.

"O-em-ji, beneran ini Bina?! Astagaaa, lama buanget nggak ketemu ya! Aduh, udah besar sekali kamu. Cantik! Ya Ban, ya? Cantik banget Bina sekarang ya??"

Kak Misha nyerocos dengan bablasnya, membuat Bina tertawa sumbang. Ha-ha-ha ....

"Kamu kuliah di UNJ juga, Bin? Magister, ya?" tebak Kak Misha kemudian, memandangi Bina dan Banu bergantian.

"Emmm ...." Bina menelan ludahnya, pahit. Bunda selalu mengajarinya untuk berkata jujur, dan Ayah selalu mengatakan kalau Bina tak perlu takut akan rasa malu.

"Bukan, Kak. Aku masihS1 kok. Ini ngerjain skripsi, dibimbing Banu."

Bina mempersiapkan hati dan telinganya untuk mendengar balasan Kak Misha—apa pun itu; mau tawa lantang yang mengejek, nyinyiran sinis, pertanyaan menohok hati, atau bahkan diusir dari sini sekali pun (alah lebay! Yakali diusir cuma gara-gara goblog doang), Bina sudah siap.

Siap, siap, siap, siap. Hantam aku, Kak Misha, aku siap.

**

[1167 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro