12 · Proposal Zombi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"S1?" ulang Kak Misha seraya memandang Bina lurus-lurus.

"Iya, Kak. Aku masih belum sarjana."

Berulang kali Bina merapal dalam hati, honesty is the best policy, agar Tuhan yang Maha Baik dan Maha Sayang mendengar doanya dan membuat Bina hilang ditelan udara saat itu juga. Cling!

"Ooooh." Kak Misha membulatkan mulutnya. "Skripsian dong ini? Wah, bisa kebetulan banget yaa dibimbing Banu juga. Semangat ya, Bina!"

Sabina terenyuh saat mendengar kalimat itu. Dia sudah mempersiapkan diri mendengar sindiran, nyinyiran, atau bahkan celetukan tak enak dari mulut Kak Misha, bukannya kalimat semangat yang uplifting layaknya Bina tidak membuat dosa.

"Eerrrmm ... makasih, Kak Misha." Bina buru-buru membungkam mulutnya dengan potongan jambu biji.

Kalau boleh jujur, Bina merasa sedikit malu, sempat berburuk sangka pada respons Kak Misha yang ternyata tidak judgemental sama sekali. Malahan, Bina yang terlalu lancang mendahului dengan asumsinya sendiri.

"Berarti, ini kalian juga teman-temannya Bina, ya? Satu angkatan kah?" Kak Misha mengalihkan perhatiannya pada Dipa dan Rani yang—entah sejak kapan—melongo bagai kancil pilek.

"I ... ya, Kak. Kita bertiga satu angkatan semua. Sisa-sisa yang belum lulus, hehe." Rani berusaha menjelaskan posisi mereka dengan sedikit canda.

"Oh ya? Wah, berarti seumuran semua dong kalian sama Banu! Berasa kayak lagi belajar bareng deh ini jadinya."

Kak Misha menanggapi dengan penuh senyum, seakan sudah biasa menerima pandangan orang-orang yang tertuju pada Banu—setengah heran dan setengah kagum—yang berstatuskan prodigy itu.

"Tunggu, tunggu ... jadi, ini sebenernya Kakak kenal Bina dari mana?" Dipa yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini ikut buka suara. "Dan barusan kata Kakak ... Pak Bahari ini seumuran sama kita? Sori, maksudnya gimana, ya?"

Bina mendelik ke arah Dipa, menahan tangannya sendiri untuk tidak melempar kepala cowok itu dengan biji jambu.

"Ah, kalian belum diceritain? Jadi, Bina sama Banu—eh, sori, Bahari—ini dulunya highschool sweetheart gitu! Satu sekolah, sekelas, dan sering ikut lomba bareng juga." Kak Misha menatap adiknya dan Bina bergantian.

"Kak! Kita bukan ... ah, kita nggak...." Banu gelagapan sendiri.

"Hmh? Kenapa? Kalian dulu pacaran, 'kan?" Kak Misha menuntaskan kalimat itu dengan fatal.

Mendengarnya, Dipa dan Rani nampak syok seketika. Bina sendiri memerikan senyum tenang penuh kepalsuan, menyembunyikan gelombang di dadanya yang sudah menggulung bak tsunami.

"Kak Misha salah sangka. Kita nggak pernah pacaran kok. Cuma temen sekelas biasa," jelas Bina dengan nada suara datar. Kak Misha langsung memiringkan kepala.

"Oh ya? Wah ... padahal Kakak kira dulu kalian pacaran. Soalnya deket banget sih, kemana-mana selalu berdua, kamu juga sering mampir ke sini kan? Sampai suatu hari kamu tiba-tiba nggak nongol lagi, Kakak kira itu karena putus sama Banu."

Boro-boro putus, Kak, disambung aja kagak.

Bina menggeleng pelan. "Dekat bukan berarti pasti pacaran 'kan, Kak." Gadis itu kembali menyomot satu potongan jambu biji, mencelupkannya ke dalam bumbu rujak pedas banyak-banyak.

Kak Misha yang melihat gelagat itu hanya tersenyum tipis sebelum berkata, "Eh iya, kalian pada catch up dulu deh, bertukar kabar, biar Kakak ambilin minum sebentar."

Kakak Banu itu lantas bangkit sambil menggendong Cecil. Sepeninggal Kak Masha, Rani memfokuskan pandangannya ke arah Bina dan Banu bergantian.

"Masya Allah ... berarti bener yah, kalian dulunya sekelas? Wah, betapa sempitnya dunia ini, beneran selebar daun kelor. Subhanallah." Rani berdecak kagum sebelum mulai memberondong Bina dan Banu dengan berbagai pertanyaan.

Butuh waktu lima menit untuk Banu merangkum sekaligus menjawab semuanya; bagaimana dia masuk program akselerasi, jadi murid dengan nilai Ujian Nasional tertinggi se-Indonesia, melanjutkan kuliah S1 di mana, S2 di mana, dan rencana S3 yang membawanya ke bawah kungkungan kuasa Pak Pranoto—dosen pembimbing utama mereka.

"Bisa gini ya, kalian ... ketemu lagi setelah sembilan tahun. Ah, aku doakan jodoh loh, kamu, Bin, sama Pak—eh sori, Mas ya?—sama Mas Banu."

"Nggak usah ngaco deh kamu, Ran." Bina mendelik sambil mengunyah rujaknya.

"Ihhh aku doain yang baik kok, aminin kek."

"Udah, udah. Bahas masalah beginian nggak akan ada ujungnya. Sekarang, kita bahas masalah proposal kalian aja. Rani, gimana? Sampai mana revisinya?" Banu menengahi dengan satu kalimat pamungkas.

Lima belas menit berlalu dengan Banu yang bergantian memberondong Rani dengan pertanyaan seputar proposalnya.

Disela Kak Misha yang mengantar minum es teh manis—yang langsung diserobot Bina, berbumbu celetukan Dipa 'inget akhlak bertamu, Bin', berbumbu lirikan miring dari Banu yang melihat interaksi itu—akhirnya sesi bimbingan dadakan Rani lengkap sudah.

"Intinya, tinggal kamu benahi lagi TPS*-nya, ganti semua citation dengan footnote, dan kamu sudah bisa setor ke Pak Pranoto," simpul Banu sambil meneguk es teh manis. Rani mengangguk-angguk paham.

"Terus habis ke Pak Pranoto, bisa langsung sempro nih, Mas?" tanya Rani yang tampak lega sekali.

"Kalau di-ACC*sama Pak Pran, ya bisa langsung sempro. Nanti prosesnya tapi kamu bakal dikasih dua dosen penguji dulu, itu yang menentukan Pak Pranoto, jadi beliau yang akan memilih dua dosen yang dirasa cukup berpengalaman dalam bidang yang sedang kamu teliti itu untuk jadi penguji."

Rani lagi-lagi menganggukkan kepala.

"Nah, karena Maharani sudah selesai, gimana sekarang dengan kamu, Pranadipa?" Pandangan Banu beralih ke arah Dipa yang dari tadi hemat bicara.

"Eh ... saya, Mas?" balas Dipa yang belum siap ditanya.

"Iya. Kamu sudah dapat judul skripsi?"

Dan mulailah diskusi itu, kali ini berfokus pada Dipa dan progress-nya. Tiga puluh menit berlalu dengan tanggapan back and forth oleh Dipa yang ternyata lumayan keras kepala. Cowok itu menampik sebagian besar rekomendasi bahan judul yang diajukan oleh Banu.

"Mas sendiri kan yang bilang, skripsi itu layaknya anak sendiri, harus ada ikatan emosional ketika kita menulisnya, betul?" sanggah Dipa yang membuat Banu memijit pelipisnya.

"Ya, benar, tapi kamu juga harus sadar sama realita, Dipa, sadar sama kemampuan kamu—kemampuan intelektual, finansial, dan waktu. Dan jujur aja, maksa nulis sejarah kolonial dengan rentang waktu satu semester itu ... sulit. Hampir mustahil, malah."

"Mas Banu meragukan kemampuan saya?" Dipa menaikkan satu alisnya.

"Bukan, bukan begitu. Sama sekali nggak, tapi ... ah ya sudahlah. Begini saja, Pranadipa, temui saya seminggu lagi, dan bawa outline topik yang mau kamu bahas itu. Gimana? Mampu?"

Dipa memandang Banu lurus-lurus. "Dalam seminggu, saya bisa menyerahkan outline dan latar belakang sekaligus, Mas."

Bina membelalakkan mata mendengarnya. Wah, sejak kapan Dipa semangat ngerjain skripsi begini?

"Oke, kita lihat apa kata-kata kamu bisa dibuktikan, kalau begitu. Seminggu lagi."

Banu mengangguk setuju, sementara Dipa tersenyum penuh kemenangan—entah apa yang dia menangkan. Ego tak kasat mata, mungkin.

Setelah mendinginkan suasana dengan tegukan es teh manis, pandangan Banu terarah pada Bina. Gadis itu tau sebentar lagi waktunya tiba untuk dia dieksekusi.

Namun belum sempat Banu memulai dengan proposal Bina, Rani telah lebih dulu berbicara.

"Maaf, Mas, ini untuk kita yang sudah selesai bimbingan, apa boleh pamit duluan? Saya ada janji jam tiga sama dokter kandungan."

Banu mengangguk buru-buru. "Ah, iya, iya, silakan. Kamu pulang naik apa, Rani? Ojol lagi?"

"Emmmm ...." Rani melirik pada Dipa, yang sedang meneguk es teh dari gelasnya. "Dipa, kamu sudah selesai juga, 'kan? Mau nganter aku pulang, nggak?" tanya Rani dengan nada memelas.

Dipa langsung mengangkat wajah dari gelasnya.

"Boleh sih, tapi ...." Dipa menoleh ke arah Sabina, membuat gadis itu mengerutkan alis seolah bertanya, 'apaan?'.

"Tapi gue kan datengnya bareng Bina. Motor dia masih di bengkel, ntar dia balik sama siapa?" ucap Dipa akhirnya.

"Masa kamu tega aku pulang sendirian, Dipa?" Rani mendesak dengan nada yang masih memelas.

"Udah, Dip. Gih sono, santai aja. Aku mah baliknya gampang." Tak disangka-sangka, Bina membuka suara.

"Tapi kan—" Dipa hendak protes.

"Udah, hus-hus," potong Bina. "I'll be okay. Gih anter si cami, calon mami, hehe."

Rani menyuguhkan senyum lebar, seiring meraih tas tangannya dan bersiap pulang.

"Kami pamit duluan ya, Mas Banu. Sampai ketemu di kampus," ujar Rani sambil berdiri.

Dipa mengikuti tak jauh setelahnya, tampak sedikit enggan meninggalkan tempat itu.

"Hati-hati di jalan," ujar Banu sambil melambaikan tangan. Entah sejak kapan sebuah senyum terplester di wajahnya.

Sepeninggal Rani dan Dipa, pandangan Banu kembali terarah pada Bina. Di ruang tamu ini, hanya tersisa mereka berdua.

"Jadi, Sabina ... sudah siap menghidupkan kembali si proposal zombi?"

**

Dua jam! Total sudah enam puluh lima menit Bina duduk di kursi panas. Panas pula diskusinya dengan Banu. Otaknya panas, mulutnya panas, dan hatinya juga panas.

"Kamu kok kayak nggak ngehargain usaha riset outline aku sih, Ban? Masa ini semua kudu dirombak, sih?"

Banu mengernyitkan keningnya, menerima semburan kalimat tidak terima itu oleh Bina.

"I'm doing this supaya kamu nanti tidak kesulitan saat sempro, Bina. Coba dipikir, Pak Pranoto saja yang posisinya pembimbing utama pasti akan bantai kamu dengan outline yang begini. Ini masih sosial vibes-nya, Bina, bukan sejarah ...."

"Sosial-sejarah-sosial-sejarah! Argh! Udah, aku capek Ban, sumpah. Sekarang gini deh, coba kamu jadi aku. Coba, kamu rombak ini outline yang udah kubikin susah-susah selama lima hari. Sana coba!"

Bina menyodorkan lembar print out rancangan outline skripsi yang dikerjakannya hingga begadang beberapa hari lalu. Dadanya naik-turun akibat emosi. Entah kenapa dia baper sekali dengan ini.

Bukan, ini bukan karena Banu (lagi-lagi) nolak usaha aku. Ini pasti pure karena aku nggak rela usahaku ngerombak outline nggak dihargai sama sekali. Kalau pun yang nolaknya Pak Pranoto langsung, aku juga pasti bakal kesal kok! batin Bina mencari pembenaran.

"Oke, coba begini ...." Banu meraih lembaran itu, membuka tutup bolpoin di atas meja dan mulai mencorat-coret kertas pemberian Bina.

Gadis itu menatap horor ketika usaha dan kerja kerasnya dicoret sebegitu rupa.

Tahan Bin, tahan ... biasakan diri lihat kerja keras dicoret-coret. Ini bakal jadi makanan wajib kamu beberapa bulan ke depan. Tahan ....

"Nih, baca dulu."

Banu kembali menyodorkan lembaran itu.

"Di mana-mana, yang namanya pembahasan itu dari umum ke khusus, bukan random dan nggak berurutan begini. Dan ini, coba kamu baca bukunya Kuntowijoyo yang aku tulis di sini. Di situ ada bahan untuk kerangka teori yang mungkin bisa kamu pakai."

Bina menelan ludah dengan rasa getir. Pasalnya, kerangka teori adalah bagian yang paling getol dan sulit yang menjegal Bina beberapa hari ini. Dan kini, Banu dengan mudah membeberkan solusi untuknya.

"O ... ke. Baik. Thanks," ucap Bina tak lebih dari sebuah gumaman. Namun tak ayal Banu tersenyum juga, mengucapkan 'sama-sama' dengan ekspresi puas sambil meneguk teh manisnya.

Bina kalah, namun di waktu bersamaan, dia tertolong.

"Udah kelar, kan? Aku pulang, deh." Bina memasukkan lembaran outline penuh coretan itu sambil pamit dengan nada getir.

"Aku antar," tegas Banu sambil buru-buru bangkit, mengambil dompet dan kunci mobil.

"Nggak usah, Ban ...," cegah Bina seketika.

"Nggak papa. Aku juga pengen mastiin ayah kamu beneran sehat-sehat aja."

Bina melongo.

"Sabina? Let's go. I won't take no for an answer. Aku nggak akan menerima penolakan."

Bina melongo seketika. Ingin rasanya dia berteriak, heh jaenudin! Situ kaga ngaca?? Yang demen nolak itu siapa?!

Namun tak ayal Bina menurut juga. Kalau memberatkan ego dan harga diri, bisa-bisa dompet Bina harus menangis karena mengais chuan membayar ojol. Toh kalau ada yang gratis, kenapa harus nolak?

**

[1761 Words]

*TPS (Teknik Penulisan Sejarah), format penulisan tugas akhir (skripsi) yang sesuai dengan ketentuan jurusan, semacam PUEBI-nya nulis karya ilmiah di jurusan Sejarah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro