13 · Bocah Semprul

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cie."

Satu kata yang berulang kali membuat kuping Bina panas.

Pak Santo menyikut rusuk putrinya yang sedang duduk santai menonton TV sambil lagi-lagi mengucapkan kata laknat itu, cie.

"Ishhh! Apa sih, Ayah?" Bina akhirnya merespons 'cie-cie'-an itu.

"Cie," ucap Pak Santo lagi.

"Apaan sih Yah! Udah nggak bisa ngomong bahasa Indonesia, ya? Dari tadi mulutnya cuma bisa 'cie-cie-cie' terus!"

"Ciiieeeee~"

"AYAH!" Bina melempar bantal sofa ke arah ayahnya.

"Hahahaha!" Pak Santo terbahak puas sambil mengacak rambut putrinya.

"Terakhir deh ini, cieeee ... dianter siapa tuh barusan? Calon mantu bukan?" ujar Pak Santo sambil melirik wajah Bina dengan kerlingan penuh tanya. Bina sontak langsung memukul pundak ayahnya dengan bantalan sofa.

"Ihhh Ayah nyebelin!" pekik Bina sambil terus menghantam bantal.

"Ahaha, ampun-ampun," ujar sang ayah meski jurus pukulan bantal Bina tak seberapa ber-damage. "Ayah cuma penasaran aja, sejak kapan kamu sama Banu balik—"

"AYAHHH!!!"

Hantaman bantal kembali mendarat di tubuh Pak Santo, bertubi-tubi, diiringi tawa sang ayah yang (harusnya) teraniaya.

**

Banu tersenyum sampai telinga. Entah kenapa perjalanan pulang senja ini lebih menyenangkan dari biasanya.

Langit jadi jingga agak merah muda, lampu-lampu berjejer dengan estetiknya, sampai suara klaksonan tin-tin-tin mobil-mobil yang biasanya kurang ajar, tiba-tiba berubah bagaikan alunan saksofon yang memanjakan telinga.

Ah, Banu sudah gila!

Dia gila karena ketawa-ketawa sendiri di tengah macetnya jalanan kota. Sambil melamun memandangi lampu merah, pikiran Banu mulai melayang, mereminisi momen yang baru saja terjadi tak sampai satu jam yang lalu, tentang Bina bersungut-sungut dari kursi di sebelah kirinya.

"Lemot banget sih jalannya?" protes Bina dengan wajah tertekuk.

"Lagi bawa nyawa anak orang, nggak boleh ngebut," balas Banu dengan santainya.

Lagi, Bina mengembus napas kesal. Butuh waktu 40 menit hingga mobil yang dikemudikan Banu sampai di rumah Bina.

Banu selalu suka saat mampir ke sini, ke rumah dengan desain arsitektur khas abad ke-18, rumah peninggalan Belanda dengan jendela kayu yang tinggi besar dan atap runcing menyundul langit.

Pun isinya Banu suka; berbagai barang antik, mulai dari perabotan hingga hiasan dinding, rak, meja, semuanya seperti punya makna—punya cerita.

Banu selalu senang mampir ke rumah itu. Tidak hanya suasananya yang cozy dan homey, tapi juga karena penghuninya super ramah dan menyenangkan hati setiap kali Banu mampir ke sini, dulu.

Tapi sayangnya sejak penolakannya sembilan tahun lalu, Bina bagaikan menarik garis kuning di sekitar halaman rumahnya bertuliskan 'Bahari Nugraha dilarang masuk' yang sepertinya masih berlaku hingga saat ini.

"Dah. Aku pulang. Thanks." Bina mengucapkan terima kasih sambil buru-buru membanting pintu mobil Banu.

Bersamaan dengan itu, ternyata Pak Santo berjalan mendekat ke arah jendela kemudi, mengangetkan Banu seketika dengan sapaan, "Loh? Ini Banu?"

Banu menoleh ke sisi kanan sambil tersenyum lebar. "Iya, Om. Apa kabar?"

"Walaaah, sudah lama sekali ya Ban, kita terakhir ketemu. Om baik, sehat. Kamu sendiri gimana? Mampir dulu yuk. Ayok, turun dulu."

Banu hampir saja menjawab 'iya', namun dehaman Bina dan pandangan melototnya mengisyaratkan kalau itu bukan ide yang bagus.

Banu dengan berat hati berkata, "Mungkin lain kali ya, Om."

Lelaki itu paham kalau mood Bina saat ini sangat tidak mendukung untuk dimampiri tiba-tiba oleh teman lama. Banu merelakan kesempatan itu dengan satu rapalan doa sesuai kalimatnya tadi: mungkin lain kali.

Maka di sinilah Banu sekarang. Senyum-senyum sendiri bagaikan orang gila. Terjebak macet namun sama sekali tak keberatan karenanya.

**

Rumah keluarga Nugraha menyambut anak bungsu yang baru saja tiba. Banu segera berjalan ke dapur setelah memarkirkan mobil di garasi, berniat meneguk segelas air putih, saat tiba-tiba dari ambang pintu dapur terdengar sebuah suara.

"Cie." Kak Misha berdiri sambil tersenyum jenaka.

"Kanapa, Kak?" tanya Banu sambil meneguk air dari gelasnya.

"Jadi ini toh, alasan kamu banyak senyum belakangan ini." Kak Misha berjalan mendekat ke arah Banu. Lelaki itu tertawa tipis mendengarnya.

"Maksud Kakak?" Banu pura-pura dungu.

"Sabina."

Satu kata yang diucap Kak Misha itu sontak menyulut senyum dari bibir Banu, instan tanpa bisa ditahan.

"Nah, kan!" Kak Misha memekik sambil menunjuk wajah adiknya.

"Apa sih, Kak." Banu terkekeh sekilas sambil berjalan keluar dapur.

"EH, Bahari! Tunggu! Sini dulu, bentar!" cegah Kak Misha menuntut penjelasan.

**

Banu duduk di ruang kerjanya sambil membolak-balik tugas akhir semester mahasiswa Pak Pranoto yang (lagi-lagi) dibebankan padanya. Bahari Nugraha, dosen muda yang kerjanya serasa bagai asdos saja.

Di sampingnya, Kak Misha masih mencecar Banu dengan pertanyaan yang sama, seputar Bina.

"Jadi beneran ini, Bina bisa jadi mahasiswa bimbingan kamu cuma bermodal faktor luck aja? Bukan kamunya yang sengaja ngulik, kan?" Kak Misha memulai lagi.

"Astaga, udah berapa kali dibilang sih, Kak. Aku aja kaget pas ketemu Bina di parkiran FIB kapan hari lalu. Pas kutanya ke Pak Pranoto, ternyata memang dia salah satu mahasiswa bimbingan beliau, jadi ...."

"You took over the responsibility? Kamu yang ngegas nawarin diri jadi dosen pembimbing si Bina kan?" potong Kak Misha menyimpulkan sepihak.

Banu mendesah. "Tanpa aku minta juga Pak Pran bakal limpahin tanggung jawab ini ke aku, Kak."

"Mmmmm," gumam Kak Misha. "Berarti kalian emang jodoh!"

Banu terkekeh mendengarnya. "Jangan aneh-aneh deh, Kak. Jodoh itu diusahain, nggak dateng sendiri."

Kak Misha membelalak tak terima. "Eh, eh, eh! Jangan salah! Kalau lewat jalur langit, apa sih yang nggak mungkin? Bisa aja loh, jodoh beneran!"

"Sejak kapan Kak Misha jadi religius begini?" sindir Banu yang mengambil lembaran tugas baru.

Mengoreksi jawaban tulis tangan mahasiswa yang paragrafnya berlembar-lembar itu membuat Banu agak sedikit pusing, awalnya—untung sekarang sudah biasa, sampai bisa multitasking meladeni omongan Kak Misha segala.

"Sejak lihat dengan mata kepala sendiri, kalau kuasa Allah itu ada! Hahaha. Beneran loh, bisa ketemu lagi setelah sembilan tahun, itu—"

"Udahlah, Kak," potong Banu. Dia tidak mau membiarkan kakaknya berharap terlalu tinggi. Dia sendiri tidak mau berharap terlalu tinggi.

"Aku makasih banget tadi Kakak nggak langsung cecar Bina dan teman-temannya dengan pertanyaan retorik kayak 'kenapa kok nggak lulus-lulus' dan semacamnya. I thank your understanding so very much. Tapi status Bina dan aku sekarang ini jelas-jelas mahasiswa bimbingan dan dosen, Kak. Nggak lebih." Banu merendahkan ekspektasinya kembali pada realita.

Kak Misha mau tak mau mengembuskan napas.

Perempuan itu hafal betul perangai adiknya yang begitu kaku dan sistematis dalam menghadapi romansa. Ah, satu-satunya romance yang dia tau ada di hidup Banu ya hanya Bina, itu pun dulu.

Akibatnya, Banu menjadi kaku sekaku-kakunya manusia kalau berurusan dengan cinta.

"Oke, Kakak paham kok maksud kamu. Ada benernya juga sih, kata kamu. Status kalian itu agak terlalu ... jauh. Ah, sorry. Tapi untung aja tadi nggak ada Papi sama Mami, jadi nggak ketemu sama Bina. Coba aja kalau mereka ada, Kakak yakin respons mereka nggak akan sekalem Kakak tadi."

Banu mengernyitkan dahi mendengar kalimat Kak Misha. "Kok Kakak jadi ngomong gini? Aku kira Kakak ngedukung aku sama Bina?"

"Cieee, jadi minta didukung nih ceritanya?"

"Kak! Serius!" sanggah Banu.

Melihat keseriusan di wajah adiknya, Kak Misha pun tertawa ringan. "Oke, oke," ucapnya.

"Jadi gini, Ban ... kamu sadar 'kan, sifatnya Papi sama Mami gimana?"

Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan Banu.

"Menurut kamu, kalau misalnya—misal nih, ya—kamu dan Bina jadi bersama, apa menurutmu ... Papi sama Mami bakal nerima gitu aja?"

Kali ini Banu tercenung.

"Tapi Kak, bukannya di mata Mami sama Papi, Bina itu teman aku yang pintar, ya? Dulu kan gitu?"

"Itu kan dulu, Banu," balas Kak Misha. "Sekarang lihat kenyataannya aja, deh. Boro-boro belum sarjana ... Mami aja sekarang udah mulai jodoh-jodohin kamu sama anak kenalannya yang gelarnya S2 semua. Iya nggak?"

Banu mengangguk pahit. Dia paling tidak suka setiap kali maminya mencampuri urusan percintaannya. Banu selalu menolak tiap kali Mami hendak mengenalkannya pada perempuan-perempuan random anak kenalan Mami yang dilabeli 'calon yang terbukti unggul bibit-bebet-bobotnya'.

Banu bergidik.

"Not gonna happen," gumamnya. "Udahlah, Kak, aku rasa terlalu dini untuk ngebahas masalah ini. Bina sendiri kelihatannya juga sangat-sangat nggak suka sama aku sekarang."

"Oh ya?" tantang Kak Misha. "Kamu sendiri, gimana? Nggak suka juga? Kok Kakak ngelihatnya beda, ya? Kamu belakangan ini jadi lebih hidup, lebih bersemangat, lebih banyak senyum, pasti gara-gara—"

"Okay, fine!" potong Banu. "Aku bukan anak remaja yang hobi denial, jadi oke, aku akui kalau ... mungkin aku suka sama Bina—mungkin loh, Kak! Nggak usah cengar-cengir gitu!"

Banu menarik napas panjang, sementara Kak Misha masih menunggu lanjutan kalimat adiknya.

"Tapi," ucap pemuda itu. "Aku bikin kesalahan fatal yang nyebabin hubunganku sama Bina retak dan ngga kontak lagi pas dulu kita SMA ...."

Kak Misha memiringkan kepala. "What did you do?"

Dengan berat hati, Banu berkata, "aku nolak Bina pas dia dulu nyatain perasaan—ternyata Bina suka sama aku dari kelas satu. Waktu itu aku pikir, satu-satunya tujuan hidup aku ya cuma fokus belajar buat UN—aw! Aduh, Kak!"

Plak! Dug, dug, duak!

Kak Misha meraih setumpuk lembaran koreksi Banu, menggulungnya, dan memukulkannya di kepala Banu berkali-kali.

"ADIK GUOBLOG!! Ya jelas lah Bina jadi ngejauh! Oooalah dasar bocah semprul!"

Pak-pak-pak! Plak!

**

[1436 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro