14 · Footnote + Doctor's Note

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bina tidak pernah menyangka, setelah sekian tahun pasif dari kampusnya, akhirnya dia mulai rajin menyambangi gedung jurusannya kembali.

Seminggu belakangan ini, hampir setiap hari Bina datang untuk menggarap proposal skripsi berbekal outline bikinan Banu.

Ternyata semua jadi lebih mudah, tidak serumit yang Bina sangka, sebab rancangan penelitiannya telah didesain secara sistematis dan berurutan oleh Banu cukup memudahkan Bina dalam proses riset sumber atau mengumpulkan bahan penelitian.

Hari ini Bina telah sigap memasuki perpustakaan jurusan dengan laptop yang didekap di dada, bertumpukkan tiga buku rujukan yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan pusat universitas.

Perpustakaan jurusan adalah sebuah basecamp bagi mahasiswa yang ingin ngadem, ngetem, dan mendinginkan diri di ruangan ber-AC dan ber-Wifi, lengkap dengan colokan listrik untuk laptopan atau sekadar men-charge hape.

Bagi Bina sendiri, ruangan ini adalah surga dunia tempatnya dengan nyaman bisa mengetik proposalnya yang saat ini masih setengah jadi.

"Heh, sssttt! Bina!"

Terdengar satu bisikan yang mengganggu perhatian Bina. Gadis itu sedang meletakkan tas punggungnya di loker kayu terbuka, saat matanya menyapu seisi ruangan hanya unyuk bersirobok dengan sosok teman seperjuangannya.

"Dipa?" sapa Bina seraya mendekat dan duduk di samping cowok itu.

"Udah sampe mana kamu?" tanya Bina seraya melongokkan kepala ke layar laptop cowok itu. Kedipan kursor di layar datar itu berhenti di barisan dengan sub judul ter-bold berbaca '1.4 Ruang Lingkup'.

Bina dengan lancing men-scroll tetikus yang tadinya digenggam Dipa, membuat cowok itu harus buru-buru melepas tangannya sebelum digenggam Bina, sementara gadis itu membaca judul utama proposal di layar laptop.

"Gak sopan ama sih lo, Bin. Laptop orang loh ini," protes Dipa seketika.

"Yang bilang ini laptop setan siapa?" Bina sibuk men-scoll ke bawah. "Anjay, udah dapet delapan halaman aja!" komentar gadis itu kemudian.

"Lo emangnya udah dapet berapa halaman?" Pertanyaan Dipa diindahkan oleh Bina, sebab gadis itu serta-merta memekik tertahan sambil menunjuk-nunjuk layar laptop di hadapannya.

"Dip, Dipa ... ini, ini!"

"Apaan?"

"Ini! Footnote! Gimana cara bikinnya? Kok kamu udah punya? Masih bab satu kan ini? Eh, berarti sumber kamu ada, ya? Terus caranya bikin footnote yang begini gimana sih, Dip? Aku dari kemarin tuh ngetik manual tau, huruf satu, dua, tiga, dikecilin pake superscript satu-satu. Biar bisa otomatis gini gimana sih, Dipa??"

Pranadipa menahan diri untuk tidak membekap mulut Bina saat itu juga. Tatapan tajam ibu penjaga perpus sudah terarah pada mereka. Dipa buru-buru berdeham rendah.

"Ehm, gini ... lo tenang dulu. Liatin nih, tangan gue di keyboard."

Bina menuruti instruksi Dipa. Mata gadis itu sontak melotot melihat gerak-gerik teman seperjuangannya.

"Lo teken ... control, alt, terus F. Nah, gitu. Itu otomatis formatnya udah ngikut, angkanya juga urut. Gampang kan?"

Bina membeku selama dua detik sebelum kemudian grusak-grusuk menata laptopnya, mencolokkan kabel charger pada port listrik dan menyalakan teknologi prasejarah tersebut. Dipa tidak berani menyela karena Bina terlihat sangat fokus, bahkan sampai menunggui loading logo jendela di layar laptopnya sendiri tanpa berkedip.

Setelah akhirnya gawai itu menyala, Bina buru-buru membuka file proposalnya.

"Apa tadi, Dip? Control, alternative ...."

"Huruf F," sambung Dipa.

Dan benar saja, kursor Bina langsung terseret ke bagian bawah halaman dengan angka kecil yang siap diisi dengan keterangan footnote. Bina hendak bersorak kencang, namun kali ini Dipa buru-buru membekap mulutnya.

"Bin, plis, ini di perpus. Tahan."

Melihat Bina yang mengangguk paham, akhirnya Dipa melepaskan tangannya.

"Thaannnkksss Diipppaaa!" desis Bina dengan nada suara yang dipanjang-panjangkan.

Pranadipa lantas tersenyum mendengarnya. Ternyata temannya ini bisa lucu juga.

"Sama-sama," ujar Dipa sambil mengembalikan perhatian pada laptopnya.

Bina sendiri tampak bersemangat merevisi seluruh footnote yang ada di proposalnya, sementara tak jauh dari sana, di ambang pintu perpustakaan yang setengah terbuka, berdiri seseorang yang diam-diam memperhatikan interaksi dua mahasiswa angkatan tua itu sedari tadi.

**

Banu mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

Sial, umpatnya dalam hati.

Pemandangan yang tak sengaja dihadapinya saat melewati perpus jurusan sama sekali tidak mengenakkan hati.

Terlebih lagi, Banu langsung teringat ucapan Kak Misha beberapa waktu lalu, ketika sang kakak merepet sekaligus memukuli kepala Banu dengan lembaran koreksi yang digulung kaku.

"Bodo, bodo, semprul! Sontoloyo! Kamu nggak tau apa gimana sih, Ban, kalau apa yang sudah kamu perbuat itu efeknya lebih fatal dari yang kamu kira?!"

Banu melindungi kepalanya dengan kedua tangan.

"Kak! Aduh, sakit! Apa sih ...."

Lelaki itu buru-buru mengelak, berlari ke sudut ruangan dan memanjat sofa. Kak Misha mengejar tepat di belakangnya dengan gulungan kertas yang siap melayang.

"Waktu itu umur berapa kalian? Lima belas? Enam belas?" cecar Kak Misha.

"Y-yah segitu lah! Aw, Kak! Ampun ... astaga."

Kali ini Kak Misha mendepak kaki Banu dengan gulungan kertas itu. Tak puas menggapai sang adik, Kak Misha membuang kertas koreksi tugas mahasiswa Banu sembarangan dan berusaha meraih adiknya itu.

"Aduh, Kak!" pekik Banu saat Kak Misha berhasil menjewer telinganya.

"Duduk!" perintah sang kakak.

"Nih, denger ya, di usia segitu, itu rawan-rawannya seseorang bisa terluka secara emosional. Masa remaja itu masa pencarian jati diri, masa membentuk identitas diri, itu adalah masa-masa yang rentan sekali. Dan kamu, Banu ... ahhh! Apa kamu langsung nolak Bina mentah-mentah tanpa ngasi dia penjelasan mendetail terlebih dulu?"

Banu yang terduduk pasrah di atas sofa hanya bisa mengangkat dua bahunya, kemudian mengelus telinga kirinya yang panas dan memerah akibat jeweran Kak Misha.

"Suemprol!" Sekali lagi, Kak Misha menjitak kepala adiknya.

"Kamu tau nggak apa yang sudah kamu lakukan, Bahari??"

"Aduh, apaan sih, Kak ... lagian cuma penolakan cinta-cintaan monyet. Nggak akan ngefek apa-apa juga."

"Apa kamu bilang?!" Kak Misha melotot.

Banu sudah siap meringkuk melindungi kepalanya lagi. Namun bukannya menyerang, Kak Misha malah menghela napas, seakan menumpuk kesabaran.

"Gini ya, Banu, Kakak kasi tau ... rejection is the source of insecurity, even trauma. Penolakan yang mentah akan bikin anak usia remaja—terutama perempuan, kayak Bina—bakal ngerasa dirinya nggak berharga, ngerasa kurang, ngerasa nggak dikehendaki. Ini bisa ngejalar ke mana-mana loh, Ban. Bisa jadi serius ini. Kamu nggak mikir ya, apa efek dari keputusan yang ringan aja kamu mentahkan itu pada Bina?"

Banu tercenung sesaat. Beberapa detik kemudian, si bungsu membuka suara.

"Bina nggak selemah itu, Kak. Dia nggak akan tenggelam sama insecurity cuma karena ditolak cintanya. Lagian, alasanku dulu itu valid, kok. Aku mendahulukan apa yang jadi prioritas, yaitu pendidikan."

Kak Misha memijit pelipisnya. "Dengan begitu, kamu pikir semuanya baik-baik aja? Apa nggak pernah kepikiran kalau bisa aja kamu norehin luka emosional sama dia? Kamu nggak ngebayangin kalau bisa aja, Ban, kamu jadi tokoh antagonis di mata Bina. Cowok jahat yang bikin dia ngerasain sakit patah hati untuk pertama kalinya."

Banu menggeleng jengah.

"Kakak ini kebanyakan baca postingan aneh-aneh di Twitter lagi ya?"

"Banu!"

"Kak! This is real life. Bukan dongeng burung biru yang dikit-dikit menye, jadi victim, ada tersangka juga—apa tadi, antagonis? Plis lah, Kak. Realita nggak sealay itu!" Banu memberanikan diri menatap kakaknya. Kak Misha kehabisan kata-kata.

"Kadang Kakak heran ya, Ban. Kamu yang studi humaniora, yang harusnya paham tentang apa-apa menyangkut kemanusiaan, tapi kok jatuhnya kayak nggak punya hati. Kenapa juga Bina bisa suka sama kamu, coba? Gak paham. Kakak sumpahin kena batu kamu, Ban! Lihat Bina direbut cowok lain. Biar kerasa damage-nya, nggak main-main!"

GUBRAK!

"Ehh, eh maaf Pak—eh, Mas. Sori, sori."

Banu buru-buru bangkit dari posisinya, meraih tas kerja yang terlempar ke sisi kakinya.

"Ah, Maharani ... kamu nggak apa-apa?"

Banu mengenali mahasiswi bimbingannya yang mengenakan kerudung pasmina dan tunik semata kaki. Rani terlihat memegangi perutnya.

"Santai aja, nggak papa kok, Mas Banu. Maaf saya barusan nggak lihat jalan."

"Yakin nggak apa-apa?"

"Iya." Rani tertawa tipis. "Kebetulan saya ketemu Mas Banu. Saya mau bimbingan final sama Mas, nih."

"Ooh." Banu mengangguk sambil menunjuk ke ruang jurusan. "Ayo, masuk dulu."

**

Dua puluh menit Dipa menghadap layar monitor, hanya untuk menghasilkan dua paragraf minimalis. Kepalanya dipenuhi pikiran yang sama sekali tidak selaras dengan topik yang sedang diketiknya. Entah dari mana datangnya pikiran itu, pikiran yang mengganggu itu. Dipa kira ini erat hubungannya dengan gadis yang sedang duduk di sebelahnya. Sabina.

"Bin," gumam Dipa. Entah kenapa mulutnya memanggil nama itu. Rasanya seperti auto-pilot saja.

"Hmh?" Bina balas menggumam.

"Kok ... lo nggak pernah cerita, sih?" Dipa memulai. Oke, sudah terlanjur basah. Ini semua harus selesai sekarang juga.

"Cerita tentang apa ...?" Bina menghentikan tarian jarinya di atas keyboard. Kini perhatian gadis itu terarah pada Dipa. Cowok itu menahan napas seketika.

"Yah ... apa aja, yang mau lo ceritain."

Bina tertawa tipis. "Pasti ini masalah dosbing kita bersama ya, Bapak Bahari Nugraha?" tebak Bina dengan jitu.

Dipa mengangguk ragu-ragu. "Kenapa ... lo nggak bilang?"

"Karena kamu nggak nanya." Bina mengangkat bahu. "Memangnya apa yang mau kamu tau, Dipa?"

Kali ini Dipa tak bisa menjawab apa-apa. Kenapa, ya? Kenapa juga gue kepo? Kenapa fakta kalo Mas Banu sama Bina pernah deket itu bikin pikiran gue jadi keganggu? Wah, dah sinting nih gue!

"Kamu nggak naksir aku kan, Dip?" ceplos Bina, membuat jantung Dipa jatuh sampai mata kaki.

**

[1439 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro