21 · Melepaskan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I'm sure you're probably busy getting on with your new life
So far away from ....

When everything we used to say was wrong is now alright

Where has the time gone ....

♪ Kodaline — Love Will Set You Free

**

Banu merasa bagaikan terlempar ke lorong waktu.

Pemandangan itu sedikit berbeda, namun terasa sama dengan apa yang dia lihat sembilan tahun lalu.

Bina, yang dulu berambut dikuncir kuda, kini tergerai surainya. Dulu seragam putih abu yang melekat di tubuhnya, kini jas almamater Universitas Jayanegara yang membalut torsonya.

Dan masih seperti dulu, Bina yang membelakanginya, berjalan dengan langkah tergesa, sebab baru saja perkataan Banu membuat gadis itu tak enak hati—ah, nggak, kalau dulu, malah kata-kata Bina yang membuat hati Banu remuk bagai remahan regal.

Intinya tetap sama.

Mereka berdua sama-sama menyakiti lewat mulut, dan turun ke hati.

Entah kutukan apa yang membuat interaksi Bina dan Banu menjadi sekeruh ini. Pun apa yang dilakukan Banu tetap sama, baik sembilan tahun yang lalu maupun hari ini: lelaki itu hanya bisa menatap punggung Bina yang melenggang jauh, tanpa berbuat apa-apa.

Banu, lo pecundang paling payah se-Indonesia raya! rutuk lelaki itu pada dirinya sendiri.

**

Sesampainya di rumah, Banu merasa tidak bersemangat.

Sebenarnya, dia sudah tidak bersemangat semenjak melangkahkan kaki meninggalkan ruang jurusan (sekaligus bersirobok sekilas dengan pemandangan Bina yang lesu dan sedang dihibur kedua temannya—khususnya si cowok bernama Pranadipa itu).

Tawaran makan dari Mami yang baru pulang dari luar kota pun dia skip, padahal Nyonya Nugraha sengaja masak besar untuk makan malam itu.

Banu lebih memilih untuk rebahan dan istirahat di kamarnya.

Aneh banget. Ini sebenarnya kenapa, sih? pikir banu setelah menenggelamkan wajahnya di atas bantal.

Petang mulai menjelang dan Banu yang seharusnya mengoreksi tugas kuliah salah satu kelas ampuan Pak Pranoto, malah men-skip kewajiban itu karena mood yang kelewat anjlok. Lelaki itu mendadak tidak produktif.

Sadar ada yang salah dengan keadaan ini, Banu lantas mulai mengevaluasi diri. Diambilnya secarik kertas note bergaris dan bolpoin tinta.

List penyebab turunnya produktivitas Bahari Nugraha :

1. Capek, kebanyakan kerja.
2. Harga saham yang diinvestasikan turun.
3. Mami makin maksa buat jodoh-jodohin sama anak temennya.
4. Sabina...

Yang terakhir ini membuat bolpoin dari genggaman Banu terlepas.

Bina, ya?

Sambil menyandarkan punggung di kursi, nalar Banu mulai merangkum dan merajut berbagai sikap dan kesimpulan atas apa yang terjadi antara dirinya dan Bina.

Selama ini, Banu selalu merasakan kebahagiaan yang familiar, begitu lembut dan tak terdeteksi, tau-tau Banu senyum saja setiap kali dia dekat dengan Bina.

Dan semua itu selalu berujung pada satu hal yang sama: rasa sakit.

Kalau dipikir-pikir lagi, semua penderitaan dan rasa sakit hati yang terjadi di antara Bina dan dirinya adalah efek dari keputusan Banu sendiri. Lelaki itu telah menjadi sumber derita dari Bina.

Mau tak mau Banu membayangkan, apakah lebih baik melepaskan Bina sepenuhnya, jika yang dia bisa hanya menyakiti hati cinta pertamanya?

**

"Loh, tumben kamu turun ikut makan, Ban? Udah mendingan?" Pertanyaan Nyonya Nugraha membuat Banu menaikkan satu alisnya.

"Apanya yang mendingan, Mi?"

"Kamunya lah. Mami kira kamu sakit, ngga enak badan, soalnya kamu ngurung diri di kamar terus. Udah enakan, kan?"

Tak mau memperpanjang pembahasan, Banu mengangguk saja. Lelaki itu lantas mulai mengambil piring dan nasi di atas meja, duduk berseberangan dengan Kak Misha yang sedang menyuapi MPASI pada Cecil.

Makan malam itu dilalui Banu tanpa kendala berarti. Tumben. Tak ada pertanyaan tentang teman perempuan, rencana studi, hingga sindiran Mami karena Banu selalu menolak rencana penjodohan aneh-anehnya.

Saat Banu meneguk air putih dari gelasnya, Mami tiba-tiba menyeletuk.

"Ban, kamu inget Olivia anaknya Tante Maya, nggak?"

Banu hampir tersedak. Ah, baru aja dikira bisa makan dengan tenang ....

"Mi, please, jangan lagi," cegah Banu sambil menggeleng yakin.

"Tapi, Ban—"

"Mi, udahlah. Lagipula Banu sekarang lagi deket sama seseorang kok." Kak Misha memotong ucapan Mami dengan satu kalimat telak. Kali ini Banu benar-benar tersedak.

"K-Kak, apa-apaan, sih?!"

"Maksudnya apa, Mish?" tuntut Mami lebih jauh. Kak Misha terseyum puas.

"Ituloh Mi, yang dulu pernah deket sama Banu, temen lamanya itu, yang satu SMA sama dia dulu, yang anaknya pinter itu loh. Tapi sempet gagal ga jadian karena Banu-nya bodo ...."

"Kak!" protes Banu, yang sama sekali diacuhkan secara sepihak oleh Kak Misha.

"Benar itu, Mish? Banu, kok kamu nggak pernah cerita?" Kali ini perhatian Mami teralih ke Banu. Lelaki itu segera menggeram sedikit kesal.

"Nggak, Mi. Itu nggak benar. Banu nggak lagi dekat dengan siapa-siapa, especially not with ... yang dikata Kak Misha tadi." Banu meyakinkan Maminya—dan dirinya sendiri—dengan kalimat yang lugas dan jelas.

Nyonya Nugraha tampak bingung. "Jadi yang benar ini yang mana, kata Misha apa kamu, Ban?"

Banu tampak jengah. Napsu makannya menguap seketika.

"Terserah deh, Mi. Yang jelas Banu lagi nggak dekat dengan siapapun," ucap lelaki itu sambil meletakkan garpu dan sendoknya.

"Loh, kok gitu?" tanya maminya.

Banu bangkit dari duduknya, hendak pergi. Dan tepat ketika Banu melangkah meninggalkan meja makan, Nyonya Nugraha kembali membuka kata.

"Kalau kamu memang nggak dekat dengan siapa-siapa, kenapa kamu nggak coba untuk sesekali turuti kata-kata Mami? Coba temui dulu anaknya Tante Maya, si Olivia. Keluarganya itu teman karib Mami dan Papi dari masa kuliah dulu. Anak tunggal, cantik, sukses juga sudah kerja jadi project manager di—"

"Mi," potong Banu. Lelaki itu lantas membalikkan badan, bertemu tatap dengan wajah Nyonya Nugroho. Seketika kesadaran menyambar nalarnya. Mungkin ini caranya.

"Oke, Banu mau. Atur aja ketemuannya sama anaknya teman Mami itu."

**

[850 Words]

**

"The more I live the more I know I've got to live without.

But this ain't no sad song. Life has to go on."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro