22 · Withdrawal Syndrome

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa hari setelah dinyatakan lolos Sempro, Bina merayakan kejayaan itu dengan rebahan dari pagi hingga sore. Kontradiksi dari produktifitas yang sudah dikerahkannya sekian minggu.

Berdasarkan hipotesis nalar Sabina yang ngawur luar biasa, keadaan ini disebut withdrawal syndrome. Kondisi di mana seseorang melakukan 'balas dendam' atas ujian hidup yang baru saja berhasil dilaluinya.

Dalam kasus Bina, hari-hari menjelang seminar proposal yang telah berhasil dilewatinya. Sebuah teori hipotesis yang luar biasa ngasal, tentu saja.

Pada suatu siang yang tenang, Bina sedang tiduran dengan ponsel di tangan, men-scroll beberapa gambar meme dan video kucing lucu yang sesekali membuat sang empunya gawai mengembuskan tawa.

Sungguh kegiatan yang nirguna namun menyenangkan.

"Anak ayah yang paling cantik, matahari sudah tinggi begini, kok kamu masih nempel di kasur aja? Tuh-tuh, ada sisa iler udah ngecap di pipi kamu dari tadi pagi, belum hilang."

Mendengar teguran sang ayah, Bina buru-buru mengusap pipinya. Nihil. Sepertinya Pak Santo hanya membual saja.

"Ayaah! Kapan Ayah masuknya, sih? Kok nggak ada suaranya," protes Bina sambil memadamkan layar ponsel.

"Lho, kamu aja yang terlalu fokus hapean, jadi nggak dengar Ayah masuk."

Pak Santo duduk di sisi anak gadisnya di atas kasur, mempersilakan Bina rebahan di pangkuannya yang otomatis membuat tangan sang ayah mengelus pucuk kepala sang anak.

"Ayah pasti mau nyuruh aku ngerjain skripsi, ya kan?" tebak Bina setelah mereka duduk diam beberapa saat.

"Mmmm ... Ayah nggak bilang apa-apa tuh. Itu pasti subconscious kamu aja yang ngomong, kesadaran dari alam bawah sadar. Kamu tau kalau kewajiban kamu bikin skripsi, eh tapi malah malas-malasan dari kemarin."

"Ayah, ah!" Bina memutar bola mata. "Aku tau kok, aku tau. Rani udah bolak balik nanyain aku, 'udah sampe mana? Sampe bab berapa? Bla bla bla bla' gitu. Lebih cerewet dari pada dosbing aku sendiri, malah."

"Masa iya?"

"He'em. Banu aja sama sekali nggak ...."

Bina menutup mulutnya.

"Nggak apa?" selidik Pak Santo.

"Nggak apa-apa, Ayah," jawab Bina sambil menggeleng. "Aku cuma butuh motivasi aja buat mulai bener-bener ngerjain skripsinya."

Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya, membiarkan sang ayah tetap membelai rambut panjangnya. Mata Bina berhenti di atas meja belajar, pada tiga lembar kertas berwarna merah, kupon diskon Ayam Gurinjay yang merupakan hadiah pasca Sempro dari Dipa.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya.

"Ayah, aku tau sekarang! Kayaknya emang perlu motivasi sedikit, dan itu dimulai dari selebrasi!" Bina bangkit dan meraih tiga lembar kupon tersebut.

"Kita makan-makan, Yah!" pekik Bina dengan nada girang.

Pak Santo lantas memiringkan kepala, meraih sodoran lembaran kupon dari tangan Bina.

"Ayam Gurinjay? Wah, tapi dapet tiga ini, Bin? Mau makan sama siapa lagi kita?"

Pertanyaan Pak Santo membuat Bina menggaruk kepalanya seketika.

Pasalnya, Bina tidak merencanakan akan menghabiskan ketiga kupon itu sekaligus—atau mungkin iya, dengan satu porsi menambah untuk dirinya atau Pak Santo. Yang jelas, Bina hanya merencanakan makan berdua dengan ayahnya, bukan bertiga.

Dengan polos akhirnya Bina mengangkat bahu. "Nggak tau."

"Ajak satu teman kamu saja, Bina," saran Pak Santo sambil mengembalikan kupon ke tangan putrinya.

"Eh? Temen aku? Siapa?"

Kini giliran Pak Santo yang mengangkat bahu.

"Ya terserah kamu. Ajaklah teman yang menurut kamu paling baik, yang sudah membantu kamu sampai sejauh ini bisa menyelesaikan skripsimu, yang kamu rasa cukup berjasa, sebagai ucapan terima kasih," ucap Pak Santo sambil bangkit dari duduknya.

Bina masih memikirkan kata-kata ayahnya ketika Pak Santo sudah meninggalkan kamarnya.

Orang yang baik, membantu, dan berjasa? Siapa, ya? batin Bina.

**

Bina mondar-mandir mengitari ruang kamarnya, ponsel pintar tertempel di sisi wajahnya.

Beberapa kali bunyi tut-tut-tut terdengar berulang kali, menandakan ada sebuah panggilan yang sedang berusaha menghubungkan, namun tak kunjung diangkat oleh penerima di ujung sana.

"Ck, dia lagi ngapain sih?!" decak Bina kesal sambil sekali lagi menekan tombol hijau.

Nama 'Banu' yang terpampang sebagai kontak di gawai itu kembali menyala. Suara tut-tut-tut kembali terdengar, namun hasilnya masih tetap sama. Tak diangkat.

Lagi sibuk kali, ya? tebak Bina dalam hati. Gadis itu kemudian menyimpan ponselnya di atas nakas, mencolokkan kabel charger karena baterai yang mulai low, dan turun ke bawah untuk makan malam dengan ayahnya.

Malam beranjak larut. Bina sudah kenyang, kembali rebahan di atas kasur sambil bersiap memejamkan mata, tidur.

Pikirannya bertamasya sebentar ke arah ponsel, bertanya-tanya sampai kapan perang dingin yang berangsur di antara dirinya dan Banu akan berlangsung. Penyebabnya saja Bina tak terlalu paham. Tapi yang jelas, ini sudah mulai mengganggu.

Bagaimana jika Banu tetap mengabaikannya ketika Bina butuh bimbingan?

Bagaimana jika keadaan ini menyulitkan Bina di kemudian hari, bersangkutan dengan skripsinya?

Bina menggeleng perlahan. Terkadang, untuk mencapai tujuan mulia, kita harus tega menekan sedikit ego kita.

Diraihnya ponsel di atas nakas, dengan baterai 78% pasca charging, Bina mengirimkan sebuah pesan singkat pada nomor Banu.

[Kamu sibuk?]

Yap. Itu saja. Hanya dua patah kata, dan sent!

Ego memang harus ditekan. Tapi jangan banyak-banyak.

**

Hari berganti, pagi menjelang lagi. Bina menggeliat dari atas kasur dan hal pertama yang diraihnya adalah ponsel.

Aneh. Centang dua di penghujung pesan atas kontak Banu masih berupa abu-abu. Sepertinya sang dosbing benar-benar sibuk sampai tidak sempat membaca pesan Bina.

Dengan decak sedikit getir, Bina bangun dari ranjang. Gadis itu bersiap membuat sarapan untuknya dan sang ayah.

**

Siang hari, menuju sore. Grup Di Ujung Tanduk kembali diramaikan dengan Rani yang menggedor-gedor jendela chat teman-temannya dengan pesan menyemangatkan-semi-menuntut. Tentu saja, seputar skripsi.

Bina dengan malas membalas ketikan Rani. Rasanya grup itu menjadi milik berdua saja, sebab Dipa tak tampak hadir sama sekali dalam pembahasan yang membuat mahasiswa tua seperti mereka ini kerap alergi.

Setelah puas berdiskusi angin dengan calon mamah muda itu, Bina kembali membuka jendela pesan dengan Banu. Dua centang itu kini sudah berubah menjadi biru, namun tak ada balasan sama sekali.

Entah apa yang lebih membagongkan; pesan tak dibaca sama sekali, atau dibaca tapi sengaja diabaikan.

Hm. Dua-duanya sama-sama membuat Bina ingin misuh sekencang-kencangnya.

Dengan dengusan napas kesal, Bina memadamkan ponsel dengan tombol kunci. Bertepatan dengan itu, benda tersebut mulai bergetar dan berbunyi. Sebuah panggilan masuk!

"H-halo??" Bina mengangkat telepon terlalu cepat. Garis wajahnya tegang, mengantisipasi.

"Woy, Bina." Suara di seberang sana menyapa. Air muka Bina luruh seketika.

"Kamu, Dipa. Kenapa nelfon? Jangan bilang nanyain skripsi juga, kayak Rani." Bina mendudukkan tubuhnya di atas ranjang.

"Kaga lah, gue aja juga belum nyentuh laptop sama sekali lagi kok. Males, mau rehat bentar."

"Bentar? Tapi ini udah seminggu sejak kamu sendiri juga Sempro kan, Dip?"

"Hehehe." Cowok di ujung sana malah tertawa, membuat Bina menyadari betapa sebenarnya tawa Dipa sedikit segar didengar di telinga.

"Jadi kamu nelpon aku tuh buat nyari temen aja gitu, Dip? Biar tau kalo kamu nggak sendirian mangkir dari skripsiannya?" tebak Bina dengan jitu, membuat Dipa tertawa lagi. Ah, tawa itu. Bina jadi tersenyum juga.

Tiba-tiba sebuah bunyi 'klik' terdengar dari dalam kepalanya. Bagaimana kalau....

"Dipa, makan sama aku sama ayahku ke Ayam Gurinjay, yuk? Pakai kupon yang dari kamu kemarin, mau nggak?" ajak Bina tanpa tedeng aling-aling.

Terdengar Dipa yang terpaku beberapa detik di ujung sana.

"Sama bokap lu?" ulang cowok itu.

**

[1138 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro