26 · Penelitian Lapangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bina, Bina, Bina ... besok gede mau jadi apa?

Sebuah pertanyaan retorik yang biasa Bina jawab dengan tawa. Dewasa ini, terlebih jika pernah menyandang status sebagai mahasiswa, pertanyaan yang menyangkut tentang rencana dan cita-cita itu akan terasa utopis sekali.

Mungkin karena pasca lepas seragam putih abu-abu, realita akan segera menampar para remaja yang beranjak dewasa, bahwa sebenarnya cita-cita itu lebih abstrak daripada sekadar omongan angan belaka. Butuh usaha, darah, dan air mata untuk mewujudkan itu semua.

Bina yang mageran tentu saja langsung merasa mlz bgtz dan lebih memilih rebahan saja ketimbang harus ngoyo dan ngeden mewujudkan ambisi yang hanya berujung capek otak-fisik-hati.

Toh ayahnya juga tidak menuntut Bina untuk mempunyai cita-cita yang aneh dan muluk. Melihat anaknya bahagia saja, sepertinya Pak Santo sudah ikut bahagia juga.Dan tentu saja, melihat sang ayah bahagia, Bina juga ikut bahagia. It's a circle of happiness. Hidup itu simpel, bukan?

Dan bicara tentang kebahagiaan, apa coba yang lebih membahagiakan ketimbang kebebasan? Khususnya bagi para tahanan skripsi, kebahagiaan hakiki adalah momen hari besar yang telah dinanti-nanti: hari di mana mereka dinobatkan menjadi sarjana. Hari wisuda.

Semuanya tampak begitu jauh jika dilihat dari posisi ini, di mana Bina sedang terlungkup dengan berlembar-lembar buku terbuka dan kertas jurnal serta artikel betebaran di atas meja, menemani laptop tua yang terbuka dan masih menyala, sementara manusia di hadapannya, Bina, sepertinya sudah hilang nyawa. Lelap.

Bina baru saja menyelesaikan sub-bab terakhir dari bab keempat, sebuah bab penutup sebelum kesimpulan dan saran yang akan diketik ringkas pada bab terakhir, bab lima.

**

Layar laptop masih menyala, file Word terbuka dengan kursor berkedip tak jauh dari tanda titik. Di sudut layar, jam digital menunjukkan pukul 09:20 pagi.

Sebenarnya, apa yang dilakukan Bina saat ini tidak sesuai dengan alur pengerjaan Tugas Akhir yang baik dan benar, sebab Bina seharusnya menyerahkan draf itu pada Dosbing Dua-nya terlebih dahulu untuk dikoreksi. Jika dirasa sudah pantas, barulah draf tersebut dinaikkan ke Dosbing Satu.

Namun apa mau dikata. Dosbing Dua-nya, Bapak Bahari Nugraha yang terhormat dan teramat pintar itu, adalah manusia yang berusaha Bina hindari habis-habisan di kampus ini. Untuk alasan apa, Bina sendiri tak begitu tau—atau lebih tepatnya, tak mau tau. Ego dan hatinya seakan memaksa gadis itu untuk mengukuhkan keputusannya untuk 'loncat' dalam proses penyerahan draf skripsinya itu. Lebih cepat selesai, lebih baik.

Ayo akhiri babak yang kepalang kadaluarsa ini dari hidupmu, Bina!

**

Bina tidak menyangka bahwa hari ini tiba—bahkan, lebih cepat dari dugaannya. Hari di mana Bina menyerahkan draf skripsi pada Dosen Pembimbing Satu-nya, Pak Pranoto.

Hari itu Senin, di mana Rani dan Bina duduk di gazebo depan jurusan sambil mengobrol santai—lebih tepatnya Bina yang kepo tentang seluk-beluk proses kehamilan—sembari menunggu kehadiran dosen-dosen yang perlu mereka hadap.

"Jadi paling parahnya itu trimester pertama? Pas baru-barunya hamil, ya?" Bina menggaruk dagunya ketika Rani mengangguk sebagai konfirmasi atas informasi yang baru saja dirapalnya.

"Bener. Itu mual-mualnya, muntah-muntahnya, ngidam-ngidamnya perempuan kalo lagi hamil. Nanti kamu ngerasain sendiri deh." Rani menyebutkan kalimat yang membuat Bina bergidik.

Hamil? Boro-boro. Yang mau ngehamilin aja nggak ada....

Mengingat hal itu, Bina lantas memandang Rani. Ah, iya. Selama ini, Bina belum pernah bertemu lelaki yang bertanggung jawab atas kehamilan kawan seperjuangannya itu. Bina belum pernah bertemu suami Rani.

"Ran, kamu itu nikah sama si—"

"Hoi." Obrolan ringan Rani dan Bina harus terputus tatkala Dipa menghampiri gazebo mereka, membawa setumpuk draf skripsi yang baru saja dikoreksi.

"Gimana, Dip?" tanya Rani dengan mata penasaran, mengindahkan pertanyaan Bina yang terpotong tanpa tuntas didengarkan.

Pasalnya, Dipa baru saja menghadap Dosbing pengoreksi mereka, Dosen Pembimbing Dua, alias Banu. Rasa penasaran Bina rupanya terwakilkan oleh pertanyaan Rani.

"Ya gitu deh," jawab Dipa dengan acuh seperti biasa, seraya meletakkan lembaran drafnya di atas meja, seakan mempersilakan Bina maupun Rani untuk melihat bukti konkrit itu sendiri.

Dua gadis itu lantas melongok ke arah darf itu secara bersamaan. Rasanya seperti melihat tembok graffiti—penuh coretan di-sana-sini mulai dari halaman cover hingga dibalik-baliknya.

"Buset, ini kamu kudu revisi banyak banget, ya, Dip?" komentar Bina sambil lancang membolak-balik halaman demi halaman, namun Dipa tidak protes, melainkan hanya mengangguk.

"Kalau Dipa yang udah ngikut alur dari bab satu aja udah disuruh revisi begini keras, gimana kamu yang langsung loncat empat bab, Bin? Tanpa konsul sama sekali, lagi ... kamu udah siap dibantai?"

Rani berucap ke arah Bina yang tampak tak gentar. Dengan pasti, gadis itu mengangguk.

"Aku siap tempur sampe mati. Wish me luck ya, gengs!" pamit Bina seraya bangkit dari duduknya. Rani dan Dipa yang memandangi sobat nekat itu hanya bisa melambai, pasrah.

**

Bencana. Apa yang diharapkan dari menyetor skripsi bermodalkan kenekatan dan tulisan kilat dengan typo bertebaran? Tentu saja, bencana.

Namun Sabina belum merasakan bencana itu. Sepertinya dewi keberuntungan masih memberikan sedikit rasa kasihan pada sang mahasiswa abadi, terbukti dengan Pak Pranoto yang hanya menyuruh Bina meletakkan draf skripsinya di atas meja, dan (untung sekali!) Bina tidak berpapasan dengan Banu di ruang jurusan tadi. Mujur!

"All is well!" Bina mengacungkan dua jempolnya ke arah Dipa dan Rani, dengan penuh percaya diri membodohi dirinya sendiri—sebab Bina tau, ada bencana yang menunggunya di kemudian hari. Yang perlu dia lakukan hanya pasrah dan menunggu.

**

Banu baru saja selesai berkemas untuk pulang hari itu. Senin yang panjang. Pak Pranoto yang sedang dalam mood bekerja membuat lelaki itu serasa menjadi peserta romusa—pekerja rodi.

"Sudah mau pulang, Bahari?" Pak Pranoto menanyakan pertanyaan retorik, sekadar menyambut pamitnya Banu.

"Iya, Pak. Saya duluan."

"Tunggu." Dosen senior itu lantas menyerahkan sebuah lembaran draf skripsi dari atas mejanya, "Ini oleh-oleh, buat di rumah."

Banu tersenyum kecut sambil menerimanya, tanpa membaca nama yang tertera di halaman judul, memasukkan benda itu ke dalam tas kerja. Yang Banu pikirkan saat itu adalah lekas hengkang dari hadapan Pak Pranoto sebelum beban tugasnya bertambah.

Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan Banu sudah melaju meninggalkan parkiran Fakultas Ilmu Budaya, dengan dirinya yang mengemudi sekaligus menggunakan handsfree, sedang berbicara dalam sambungan telepon.

"Pokoknya lo jangan kaget aja, Ban. Ini gue kasi heads up biar lo tau kalo nyokap gue sama nyokap lo lagi sekongkol biar gue dilama-lamain mampir rumah lo. Paham kan?"

Olivia dari seberang sana nyerocos membocorkan rencana orangtua mereka. Banu tersenyum tipis. Setidaknya dalam hal ini, Oliv bisa diajak kerja sama. Entah mengapa rasanya tidak sepenuhnya menyebalkan, sebab dia tau perempuan itu setidaknya berada di pihaknya. Di pihak yang sama-sama malas untuk dijodohkan.

"Thanks ya, Oliv. Ya, ya. Kira-kira sepuluh menit lagi lah sampenya. Oke. Rencana dinner kamu sama si Bang Pacar jadi gagal, dong? Aduh, sabar ya Oliv. Haha, oke, bye." Banu menutup sambungan singkat itu.

**

Pelarian dari keadaan yang rikuh dan memaksa Banu beramah-tamah nirguna adalah satu: pekerjaan.

Lucu dan miris, di mana Banu harus mengungsi ke teras depan rumahnya sendiri dengan tas kerja selepas makan malam, sekadar agar tidak ditanya-tanya oleh maminya dan juga mami Olivia yang bertamu terlampau lama.

"Sibuk banget nih, Pak Dosen." Olivia bergabung dalam usaha kaburnya juga, dari mami Banu. Dua anak mami ini terjebak dalam keadaan yang seragam, dan memikirkan solusi sementara yang seragam pula, yakni kabur ke teras.

"Sok sibuk aja kok," jawab Banu seraya mulai membuka tas kerjanya.

Olivia terkekeh perlahan sambil mulai bermain ponsel, jelas menghubungi pacarnya sekaligus membiarkan Banu sibuk berkutat dengan pelariannya sendiri.

Mereka paham bahwa di teras ini, mereka tak perlu bercakap-cakap remeh temeh seperti halnya pada saat makan malam tadi. Mereka bisa menjadi diri mereka sendiri—dua orang yang sama-sama jatuh cinta dengan orang lain.

Beberapa detik berlalu diiringi keheningan. Banu yang baru saja membuka sebuah draf skripsi membeku tanpa suara. Satu menit, dua menit. Olivia bisa melihat Banu yang menimbang-nimbang draf tugas akhir tersebut, berulang kali membaca dan membolak-balikkan kertas itu tanpa benar-benar membaca. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

"You okay?" tanya Olivia yang menyadari gelagat aneh itu. Banu sedikit tersentak akan sapaan tersebut.

"Emmm ... yah, lihat sendiri deh." Banu lantas menyerahkan draf skripsi itu. Olivia meraih dan langsung membacanya. Mata sewarna hazel perempuan itu membulat.

"Sabina ... Eka ... Gayatri. Lah?! Ini si Bina yang lo ceritain itu?"

Banu mengangguk. Olivia sendiri sudah mahfum dari sedikit cerita yang dibeberkan lelaki di hadapannya tentang gadis bernama Bina, bahwa lelaki itu benar-benar tak pernah alpa memikirkan gadis itu. Banu, yang belum kelar menuntaskan cinta di masa lalu.

"Lo mau denger saran dari gue nggak, Ban?" tawar Olivia beberapa detik kemudian. "Menurut gue, ini kesempatan lo."

**

Bencana. Bina lupa mengangkat jemuran!

Hari masih pagi, namun gadis itu telah berlari keluar rumah, berlomba dengan gulungan awan yang sudah siap menitikkan air langitnya.

Bina buru-buru mengungsikan cuciannya yang setengah kering ke dalam keranjang, begitu panik sehingga tak menyadari sebuah Jeep sedang memelan ke arah halaman rumahnya.

Ketika membalikkan badan, Bina terjingkat tatkala melihat sesosok lelaki yang mati-matian dia hindari turun dari balik kursi kemudi. Banu.

"A—apa yang ... ehm, Banu ... ngapain, ke—"

"Cepat packing, Bina. Siapkan baju ganti dan jaket yang tebal. Kita berangkat penelitian lapangan!"

"HAH??" 

Bina hampir saja menjatuhkan keranjang jemurannya.

**

[1469 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro