27 · Rahasia Pandalungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau mau dirasa, rasanya Bina ingin marah, bingung, kaget, dan kebelet ngomel.

Tapi nyatanya, mulut gadis itu terkunci rapat sembari kepalanya menoleh ke kiri, menghindari manusia di balik roda kemudi, yang sama sekali tak bertukar kata dengannya selama 30 menit terakhir sejak Bina pertama kali duduk di kursi penumpang Jeep ini.

Pertanyaan 'kita mau ke mana' sudah berulangkali dimulutkannya, dan selalu dijawab dengan barisan kalimat yang sama: penelitian lapangan.

"Pasti kamu udah baca draf skripsiku, ya? Ini pasti kerjaan Pak Pranoto, ya kan?" simpul Bina sepihak sambil terus memandang jendela.

Banu mengangguk tanpa suara, seakan Bina bisa melihatnya saja.

"Separah itu kah, sampai kita harus penelitian dadakan begini?" lanjut Bina yang kini menyandarkan punggungnya, pasrah.

Nampaknya mereka sudah terlalu jauh melesat meninggalkan batas kota, sehingga menolak keadaan pun sudah lewat bagi Sabina.

"Well ... kita bisa mulai dari susunan subbab akhir yang kamu urutkan di bab dua sampai empat. Setiap subbab yang kamu cantumkan itu sama sekali nggak kronologis, dan juga sumbernya minim—"

"Oke, aku paham," potonga Bina. "Aku juga sadar waktu ngerjain itu nggak maksimal. Ngebut. Tujuanku itu supaya dikoreksi langsung sama Pak Pranoto, bukanya ...." Bina menggantungkan kalimatnya.

"Bukannya aku, ya kan?" sambung Banu, yang dijawab dengan tolehan kepala Bina yang kaku.

Mereka tau sama tau, kalau menghindari satu sama lain itu adalah suatu hal yang erat kaitannya dengan ego, gengsi, dan harga diri. Mengakui keadaan yang tak sehat seperti ini butuh keteguhan hati.

Dan kalau boleh jujur, hati Bina sama sekali sedang tidak teguh saat ini. Itulah sebabnya gadis itu mulai mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Memangnya bisa ya, penelitian lapangan ketika skripsinya udah jalan? Bukannya harusnya sebelum sempro?" ujar Bina.

"Memangnya bisa ya, mahasiswa selesaikan skripsi dengan sisa waktu tiga bulan sebelum di-DO? Bukannya harusnya kelar dari jauh-jauh hari?" balas Banu seketika, membuat gadis di sisi kirinya mengatup mulut.

"Bina, Bina. Nggak semua yang ada di dunia itu harus plek ngikutin urutannya. Walaupun nggak ideal, tapi namanya proses itu bisa jadi fleksibel dan ekstrim kalau udah kepepet. Dan kalau dipikir-pikir, kamu dan kata 'ideal' itu memang agak kontradiktif."

"Apaan tuh maksudnya?!" tantang Bina. Banu kembali tertawa.

"In a good way. Kamu bikin dunia yang semrawut ini jadi masuk akal, tau?" Banu tertawa lepas seakan kalimatnya barusan tidak membuat pipi Bina terasa panas. Lelaki itu lantas menlanjutkan.

"Intinya nggak papa lah, mau penelitian di lapangan, penelitian pustaka, yang namanya sumber itu didapatnya bisa dari mana aja. Cuma in your case, kita butuh banget sumber lapangan."

Dan kalimat itu pun sah menjadi penutup obrolan mereka. Bina sedikit melanum atas celetukannya tadi. Mungkin Banu benar. Bina memang bukan manusia ideal, in a good way.

Gadis itu pun diam-diam tersenyum.

**

Dua setengah jam berlalu, jalanan yang semakin menanjak dan berliku, sementara Bina masih tersekap dalam Jeep ini. Punggungnya mulai pegal, leher belakangnya mulai kaku.

Sesekali diliriknya Banu yang masih fokus mengemudi, seakan menyalahkan encok dini ini pada dia, sang penculik sekaligus dosen pembimbingnya.

Namun lagi-lagi, kalimat protes ia telan kembali. Bina menunggu waktu yang tepat, ketika lawan bicaranya itu tidak sedang berkonsentrasi mengemudi di atas jalan bebatuan yang mulai rusak.

Sebab, jika Bina bawel sekarang, bisa saja itu mengganggu konsentrasi Banu dan ujung-ujungnya membahayakan jiwa mereka.

Untungnya Bina tak perlu bersabar terlalu lama setelah itu, sebab begitu melewati gapura bata bertuliskan 'Selamat Datang di Desa Pandalungan', Jeep yang dikemudikan Banu menepi tak lama kemudian, tepat di sebuah bangunan berpendopo yang bertuliskan kantor kepala desa.

"Kita sudah sampai." Seakan mengonfirmasi asumsi Bina, Banu mengucapkan kalimat itu sambil membuka pintu di sisi kanannya.

Bina mengikuti turun dari mobil. Hawa dingin langsung menyambutnya, tembus hingga tulang. Baru Bina sadari bahwa perjalanan mereka melewati jalan tanjakan tanpa henti sedari tadi telah membawa mereka ke daerah dataran tinggi—pegunungan, malah.

"Selamat datang, Nak Bahari. Ini, ya, mahasiswanya?"

Seorang lelaki paruh baya dengan kemeja batik menyambut mereka dari ambang pintu bangunan utama. Banu menyalami lelaki itu, yang otomatis diikuti oleh Bina, meskipun gadis itu tak paham betul si bapak ini siapa.

"Pak Adi, sehat? Iya, Pak, ini mahasiswa saya." Seakan menjawab pertanyaan di benak Bina, Banu menlafalkan nama si bapak itu. Adi, katanya.

"Halo, Pak. Saya Sabina." Memperkenalkan diri dengan iringan senyum formal, Bina turut menjabat tangan si bapak.

Tak lama kemudian mereka dipersilakan masuk. Tak lama pula Bina akhirnya tau bahwa Pak Adi ini adalah kepala desa di sini.

Sepuluh menit dihabiskan Bina dan Banu berbasa-basi dengan Pak Adi. Layaknya tipikal bapak-bapak di perkampungan pada umumnya, sang kades hobi mengobrol dan cangkruk (nongkrong) dengan sejuta bahan pembicaraan yang seakan tak ada habis-habisnya. Beruntung Banu menemukan sebuah momentum untuk menyela, menyudahi pembukaan dan ramah-tamah mereka untuk menuju inti kedatangan mereka sesungguhnya: riset.

"Kalian bisa coba ngobrol sama keponakan saya dulu. Dia anaknya pintar, sepertinya tau banyak juga masalah orang-orang desa sini. Mari, saya antar." Begitu kira-kira kalimat penutup dari Pak Adi sebelum Bina dan Banu hengkang dari kantor desa.

Mereka kemudian berjalan menyusuri rumah penduduk, jalan terus menaiki sebuah bukit yang semakin terpencil saja dari peradaban. Bina berulang kali melemparkan pandangan tak setuju, namun Banu dengan yakin tetap meneruskan perjalanan—tampak dari langkah kakinya yang pasti dan raut mukanya yang sengaja menganggap protesan Bina itu bagaikan angin lalu.

Ternyata tempat tujuan mereka adalah rumah mungil satu lantai yang beridiri sendirian di halaman yang lapang, dikelilingi pagar kayu yang tertancap melingkar, dengan pekarangan belakang yang menjurus pada hutan.

"Assalamualaikum, Dek ... ada tamu!" Menggema suara Pak Adi berpadu dengan ketukan di pintu. Butuh beberapa detik sebelum pintu itu terbuka.

Di baliknya, tampak sesosok gadis bertubuh kecil, tak lebih dari 155 senti tingginya, dengan rambut pendek yang ikal dan wajah berbentuk hati. Gadis itu tersenyum ramah.

"Halo," sapanya. "Ini yang dari UNJ itu, Lek?" tanyanya pada sang kades kemudian.

Pak Adi mengangguk sembari memperkenalkan Bina dan Banu. Gadis itu pun balik memperkenalkan diri. Namanya Leda, dan hubungan kekeluargaan dia sama persis seperti yang diucap sang kades sebelumnya, yakni keponakan dari Pak Adi.

"Leda ini pernah kuliah di luar negeri, di mana itu da ... Ostrali? Afrika?"

"Amerika, Lek," ralat Leda menutup tebakan pamannya.

Gadis itu lantas mengalihkan perhatiannya pada Banu dan Bina.

"Aku dengar kalian butuh narasumber untuk penelitian tentang budaya Pandalungan, ya? Well, itu bukan keahlianku sih, tapi kayaknya aku tau lah satu-dua hal tentang adat keluargaku sendiri."

**

Hari itu berlalu dengan cepat. Bina diinapkan bersama Leda di rumah terpisah itu, sementara Banu menumpang di kediaman Pak Adi.

Tanpa disangka-sangka, malam itu Bina menghabiskan waktu hingga larut berkutat dengan album foto, lembaran surat kabar, beberapa artikel print-out, dan juga narasumber utamana, Leda.

Sejujurnya, Bina sempat merasa agak insecure ketika gadis itu harus menunjukkan hasil kerjanya pada Leda. Keponakan dari kepala desa itu nampaknya bukan hanya menjadi narasumber semata, namun ternyata juga bisa menjadi teman diskusi yang lumayan asyik.

Satu hal yang menarik perhatian Bina adalah minat Leda yang tampak begitu fokus mengobok-obok folder skripsinya.

Sedikit ramah-tamah dan tembok es di antara mereka memang mencair sudah, namun tetap saja Bina merasa agak sedikit rikuh ketika Leda membuka beberapa jurnal yang baginya cukup rahasia. Jurnal tulisan Bunda-nya yang di-scan hitam-putih.

"Ini ...." Leda hendak berkomentar ketika mendapati salah satu jurnal dengan foto Bunda Bina pada bagian identitas penulisnya. Bina buru-buru menunduk.

"Bundaku," terangnya singkat. Leda mengangguk seakan mengerti nada bicara Bina yang tidak begitu welcome. Gadis itu mungkin saja sudah terlalu jauh mengusik privasi.

Leda lantas mengalihkan perhatiannya pada draf skripsi Bina, membacanya dari awal hingga akhir. Bina tampak semakin gundah tatkala masterpiece-nya dipelototi oleh gadis sepintar Leda.

"Berantakan banget, ya?" tanya Bina seraya Leda membaca bab kesimpulan draf skripsi di laptopnya. Softcopy dari kerja keras berminggu-minggu itu habis dibaca lahap tidak sampai lima menit.

"Sedikit. Tapi overall udah masuk kok, ide pokoknya. Tiap subbab kamu bisa dikembangkan lagi, intinya udah ada, tinggal elaborasi aja. Oh, dan juga, urutannya—"

"Aku tau," potong Bina. Dia tidak perlu diingatkan lagi tentang ketidak-kronologisan draf skripsinya. Banu sudah cukup mengomel tentang itu selama perjalanan tadi.

"Intinya, sekarang aku harus kembangkan lagi dari sumber yang ada. Dan aku nemuin lumayan banyak, terutama ini ...." Bina menunjukkan sebuah foto lawas yang dibukanya dari album keluarga Leda. Tampak sepasang pasutri berdiri berdampingan dengan pakaian adat khas Pandalungan.

"Foto ini, boleh kujadiin referensi, kan? Ini acara nikahan adat sini, betul?" Bina menunjuk foto tersebut dengan penuh minat. Rasanya seperti menemukan harta karun.

Leda tampak terpaku sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Sure, silakan. Itu namanya budaya bhekalan, semacam perjodohan gitu tapi lebih formal. Ada dibahas juga di subbab kamu kan?"

"Perfecto! Ah iya bener, Leda, aku sekalian mau nge-list kamu sebagai narasumber di daftar pustaka, boleh ya? Nama panjang kamu siapa? Biar kuketik langsung sekarang aja." Bina meraih laptop itu, men-scroll hingga halaman akhir dan menyelipkan satu barisan kosong di daftar wawancara.

Si wajah hati mengangguk. "Maleda Magnolia," jawab Leda sambil memperhatikan tamunya mengetikkan nama itu.

"Nama kamu bagus," komentar Bina, yang berbalas senyuman manis dari gadis berwajah hati di hadapannya itu.

Setelah men-save tambahan identitas pada daftar pustakanya itu, Bina mengambil kamera pocket dari dalam ranselnya, mulai membuka-buka album foto dan memotret beberapa foto terkait tradisi bhekalan dalam album keluarga Leda tersebut.

Nampaknya ada lebih dari foto yang menunjukkan model pasangan yang sama, berbalut pakaian adat yang berganti-ganti warna, hingga ada foto di mana sang mempelai pria menjabat tangan penghulu di meja pendek. Ijab kabul.

"Ini ...." Bina menggantungkan kata-katanya seraya menaikkan wajah menatap Leda. Yang ditatap mengintip sebentar ke arah foto tersebut, lalu mengangguk seakan paham.

"Itu ayah-ibuku," terangnya. Namun Bina malah menggeleng. Telunjuknya menunjuk salah satu objek lain di foto itu. Tamu acara, duduk diantara keluarga dan sahabat mempelai.

"Leda ... kamu tau?" tanya Bina penuh selidik. Pasalnya, telunjuknya kini mengarah ke satu sosok familiar yang sempat membuat napasnya tercekat beberapa detik lalu.

Foto Bunda.

"Ah ... ya. Onty Fira. Dia ibu kamu, kan?" Leda mengatakan itu dengan senyum, seakan hal tersebut bukanlah beban, sementara Bina sudah menganga akibat kejutan yang tak disangka-sangka ini.

"K-kamu kenal sama Bundaku?!"

Leda mengangguk. "Meskipun nggak pernah ketemu, tapi sering diceritain ayahku pas dulu dia masih muda. Dia sobat kuliah ayahku, Bina. Nih, lihat ...."

Gadis itu membuka-buka album foto, memperlihatkan gambar-gambar lawas dengan wajah asing yang berbaris dengan satu wajah familiar bunda Bina—Safira.

"Kok bisa?" gumam Bina, lebih kepada dirinya sendiri.

Leda yang memperhatikan itu memberi jeda untuk bungkam, guna Bina meresapi emosi yang menyisip dari lubuk hatinya, terwujud dalam lelehan air mata yang diusap buru-buru. Air mata rindu.

"Aku tadinya juga nggak percaya, kenapa bisa kebetulan banget. Tema yang kamu angkat, topiknya, jurnal-jurnal itu, semua—"

"Diteliti di tempat ini," tuntas Bina menyelesaikan kalimat Leda. Gadis itu mengangguk.

"Ini bukan kebetulan," simpul Bina beberapa detik kemudian. Pikirannya langsung beranjak pada satu manusia yang menjadi dalang dari ini semua. Banu. Dia pasti tau.

Dua gadis itu lantas melanjutkan perbincangan mereka hingga dini hari, tanpa rasa kantuk sama sekali. Sepertinya mereka berdua punya kesamaan yang kentara: otak cerdas dan mata yang kuat begadang.

**

"Kamu tau kan??"

Sarapan pagi Banu dilengkapi dengan dampratan Bina. Gadis itu tampak tidak terima.

"Ha?" Banu menggaruk kepalanya.

"Bundaku, Om Budi—ayahnya Leda, terus penelitian ini ... akal-akalan kamu semua, iya kan?!" Bina makin ngegas.

Untungnya mereka hanya berdua di warung nasi pecel di sudut desa, sementara sang empunya tempat sedang mencuci piring di bak luar gubuk.

"Hah??" Banu masih berlaga bodoh.

"Apa sih maksud dari ini semua? Mau kamu apa??"

"Oke, sebentar, aku tanya dulu ... risetmu gimana? Sumbernya sudah dapat?"

"Ya, banyak, tapi—argh! Banu! Tujuan kamu sebenarnya apa sih??"

"Kamu."

"Hah?" Kini giliran Bina yang bingung.

"Maksudnya, skripsi kamu."

"Ini semua demi risetku?" ulang Bina. Lelaki di hadapannya pun mengangguk.

"Itu dan ... hal lain lagi. Maaf kalau ide aku ngebawa kamu ke sini bikin kamu kesal dan waktu kamu terganggu. Aku cuma ingin mencari tempat di mana kita nggak bisa saling menghindar lagi. Bina, kita harus bicara."

Sabina menggelengkan kepala tanda tak terima.

"Kamu ini lucu ya. Yang mutus kontak tiba-tiba siapa? Yang ngehindar duluan siapa? Terus, yang nyulik tiba-tiba juga siapa? Nah sekarang, kamu bilang kita harus bicara? Apa lagi yang perlu dibicarakan?"

"Banyak."

Jawaban itu membuat Bina bungkam seketika.

Sial. Dia benar.

"Oke. Ayo bicara," ucap Bina akhirnya.

**

[2004 Words]

A/N

Adakah di sini yang udah kenal duluan sama si Leda? Hehehee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro